GURATAN
Publish or Perish: Menyorot Lemahnya Pengembaraan Intelektual di Utara Selebes
Published
1 year agoon
17 Oktober 2023
“Ada banyak tanya yang terlontar soal potensi, kelebihan dan kekurangan Sulawesi Utara terkait dunia riset. Dari diskusi itu ada hal serius yang saya tangkap, generally speaking di kampus-kampus kita, pengembaraan intelektualnya lemah. Kalu so jadi doktor, sudah, so bangga, dan kemudian stuck.“
Penulis: Rikson Karundeng
BEBERAPA hari duduk ngopi dan berbagi kisah dengan kawan lama. Bercakap soal masyarakat adat, pendidikan adat, berbagai kiat yang dilakukan baik komunitas adat maupun penggerak sekolah adat, untuk menerapkan sistem pendidikan khas di masing-masing wilayahnya. Ada pergumulan, tapi ada juga harapan yang membuncah. Terutama soal upaya penyelamatan bumi dari ancaman kerusakan masif dan pewarisan nilai-nilai tradisi yang bisa menjadi benteng pertahanan dari gempuran mengerikan itu. Sekolah adat jelas memiliki peran penting dalam pewarisan nilai-nilai tradisi budaya.
Kawan sharing itu bernama Herry Yogaswara. Para penggerak sekolah adat biasa menyapanya dengan akrab, Kang Herry. Peneliti hebat ini saya kenal sejak tahun 2017, di Tanjung Gusta, Sumatera Utara. Waktu itu, sosok ini kami tahu sebagai seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 15-19 Maret 2017, masyarakat adat se-Nusantara sedang berkumpul dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara V, di Kampung Tanjung Gusta. Pendidikan adat jadi salah satu hal yang dibahas serius dalam rangkaian kegiatan kongres itu, dan Kang Herry turut terlibat di dalamnya.
Pada perjumpaan sebelumnya, November 2022 lalu, kami ngopi bersama di tepi Danau Sentani, Tanah Papua. Tak banyak yang kami diskusikan, tapi di tempat itu kami sama-sama sedang menggumuli pendidikan adat di Nusantara. Sekian tahun Kang Herry memang melakukan studi terhadap pendidikan adat. Ia keliling ke berbagai sekolah adat di wilayah Nusantara, memahami konteks dan persoalan, menulis buku, kemudian memberikan masukan-masukan ke pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Sekarang, kawan para penggerak sekolah adat ini dipercayakan pemerintah sebagai Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Karena itu, diskusi kami melebar ke soal-soal penelitian di Indonesia. 10-13 Oktober, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal kebudayaan, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, menggelar “Sarasehan Pendidikan Masyarakat Adat” di Jakarta. Kami bersua di situ. Saya menjadi peserta, sementara Kang Herry menjadi pemateri dan intelektual penting dalam kegiatan ini.
Kamis sore, 12 Oktober 2023, saat agenda sarasehan jeda sejenak, saya menyimak banyak informasi menarik dari Kang Herry. Berbagai hal terkait program dan agenda-agenda penelitian BRIN yang sedang dan akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini, diurainya. Salah satunya tentang rencana ekskavasi besar-besaran di salah satu provinsi. BRIN dipastikan akan membuka peluang bagi para peneliti dari berbagai daerah untuk terlibat dalam proyek penelitian tersebut. Ada tantangan bagi para peneliti yang serius untuk ikut dalam proyek mencari “Homo Erectus” ini. Dengan nada gurau namun serius, katanya paling penting harus siap stay di lokasi penelitian selama tiga bulan.
Kang Herry juga mengungkapkan berbagai program BRIN di wilayah Sulawesi, termasuk Sulawesi Utara (Sulut), tempat saya tinggal. Saya kemudian mendapat informasi tentang Pusat Arkeologi Riset Sulawesi, sebuah ruang menarik bagi para peneliti. Di Pusat Arkeologi Riset Sulawesi, BRIN memfasilitasi semuanya, para peneliti tinggal berkompetisi. Template-nya sudah tersedia, jadi tinggal bergerak saja. Saya juga mendapat informasi dari Kang Herry, kini sedang ada upaya serius untuk mendorong hadirnya fakultas atau jurusan arkeologi di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Hanya saja, fokusnya ke Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Senang mendengarnya, tapi kalau melihat syaratnya, sepertinya belum ada perguruan tinggi di Sulawesi Utara yang memenuhi syarat. Kalau tidak salah, di Pulau Sulawesi baru ada satu atau dua PTN-BH.
Ada banyak tanya yang terlontar soal potensi, kelebihan dan kekurangan Sulawesi Utara terkait dunia riset. Dari diskusi itu ada hal serius yang saya tangkap, generally speaking di kampus-kampus kita, pengembaraan intelektualnya lemah. “Kalu so jadi doktor, sudah, so bangga, dan kemudian stuck“. Padahal di dunia riset, menurut Kang Herry, tidak soal dari perguruan tinggi mana. Bukan harus dari perguruan tinggi “besar” dan terkenal. Ia mengisahkan tentang BRIN yang baru saja menandatangani program kerja sama dengan salah satu perguruan tinggi yang tidak begitu dikenal luas di Indonesia, tapi mereka jago soal manuskrip.
Diskusi kami juga “menyenggol” akademisi yang tidak lagi serius mengurusi riset, memikirkan pengembangan dan masa depan kampus, serta peningkatan kualitas perguruan tinggi di mana ia tinggal, tapi lebih senang mengurusi “proyek kecil” saja, menjadi narasumber sini-sana dengan materi “copy paste”.
Mengkritisi lembaga-lembaga riset di daerah kita yang tidak jalan, ia menegaskan soal perlunya kerja sama antara para peneliti. Berharap semua ekosistem bisa duduk bacirita sama-sama. Perjumpaan seperti itu diharapkan dapat memicu motivasi, sebuah energi positif yang bisa menggerakkan turbin penelitian di daerah Sulawesi Utara yang lahannya masih sangat “subur”.
Kami juga mendiskusikan soal Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) dan riset-riset yang dilakukan lembaga yang berkantor di kota Tomohon ini. Lembaga tempat saya, Denni Pinontoan, Ruth Wangkai, Kalfein Wuisan, Riane Elean, Greenhill Weol, Erny Jacob, Steven Manengkey, Yonatan Kembuan, Leon Wilar, Filo Karundeng, dan sejumlah kawan lainnya tinggal dan beraktivitas. Katanya, ia dan BRIN bertanggung jawab menciptakan ekosistem riset, karena itu merasa beruntung kalau ada lembaga riset independen seperti Pukkat. Sebab, kalau pemerintah hanya ada satu lembaga riset, BRIN. Ia meyakini, lembaga seperti Pukkat merupakan bagian penting dari ekosistem riset.
Dalam waktu dekat, Kang Herry akan ke Sulawesi Utara. BRIN punya rencana membuat kegiatan “mapalus” bersama perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset independen di Sulawesi Utara. Kami janjian, akan melanjutkan ritual ngopi di kantor Pukkat, sambil menikmati hawa sejuk kaki Gunung Lokon.
Diskusi panjang selama beberapa hari di beberapa jeda agenda sarasehan, cukup meyakinkan saya bahwa kini gairah riset di Sulawesi Utara kurang keras. Bersyukur mendapatkan suntikan motivasi, energi positif yang memantik gairah. Yakin, perjumpaan ini akan berlanjut dengan kerja sama konkret ke depan.
“Publish or Perish”
(Memublikasikan Karya atau “Mati” Terlupakan)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan