Published
4 years agoon
19 Juni 2020
Oleh: Kalfein Wuisan
Kalelon Wakan memang punya ciri khas sendiri dibandingkan grup Kalelon lain, apalagi Maka’aruyen. Selain karena ia berasal dari Wakan dan lahir dari kultur orang Minahasa di pegunungan, Kalelon Wakan punya nuansa yang lebih lembut dengan syair cerita yang panjang.
“Dulu torang ja rekam pake kaset biasa yah. Kong torang ja jual. Abis itu ada tu lebel pangge pa torang kong torang rekaman di Manado,” kenang oma Ros.
Nama lengkapnya Rosye Poluan. Ia berasal dari kampung Wakan, Minahasa Selatan. Kebanyakan orang, akrab memanggilnya dengan nama Oma Ros.
Saat ditanya tentang Kalelon Wakan, Oma Ros nampak larut dalam romantisme masa lalu. Sesekali ia menengok ke atas. Nampak ia sedang berpikir dan mengenang.
“Memu katu yah tu ja tulis depe syair. Dia lei riki ja dapa pangge bermain di kampung-kampung”, tambahnya.
Upayanya mengenang Kalelon, juga membuatnya teringat rekannya sesama grup Kalelon Wakan. Memu, nama panggilan rekannya itu. Nama lengkapnya, Semuel Lonteng.
Memu adalah pemimpin dan pencipta lagu-lagu grup Kalelon Wakan. Ia menjadi seniman dibalik petikan gitar yang khas dan syair-syair Kalelon Wakan yang puitis serta sarat makna.
Nama Rosye Poluan dan Semuel Lonteng memang kurang dikenal. Namun bila mendengar istilah ‘Kalelon Wakan’, orang Minahasa pecinta musik tradisi pasti familier. Padahal dua orang inilah yang menjadi seniman dibalik musik tradisi Kalelon Wakan. Mereka juga yang turut memperkenalkan Wakan ke dunia luar lewat musik tradisi Kalelon.
Mengenal Kalelon dan Maka’aruyen
Istilah Kalelon memang kurang dikenal di daerah sekitar Minahasa bagian tengah, Tomohon, Minahasa Utara, Manado sampai Bitung. Istilah Maka’aruyen yang lebih familier. Namun, di daerah Minahasa Selatan, terutama di daerah Kecamatan Motoling yang lama, istilah ‘Kalelon’ lebih dikenal. Walau tentu Kalelon dan Maka’aruyen punya perbedaan yang mendasar. Terutama pada tempo dan durasi lagu.
Penulis, Desainer Grafis & Sinematografer
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
Pingback: Kaset, Pita Penghubung Kebudayaan tahun 1980-an – Kelung