Kalelon Wakan memang punya ciri khas sendiri dibandingkan grup Kalelon lain, apalagi Maka’aruyen. Selain karena ia berasal dari Wakan dan lahir dari kultur orang Minahasa di pegunungan, Kalelon Wakan punya nuansa yang lebih lembut dengan syair cerita yang panjang.
“Dulu torang ja rekam pake kaset biasa yah. Kong torang ja jual. Abis itu ada tu lebel pangge pa torang kong torang rekaman di Manado,” kenang oma Ros.
Nama lengkapnya Rosye Poluan. Ia berasal dari kampung Wakan, Minahasa Selatan. Kebanyakan orang, akrab memanggilnya dengan nama Oma Ros.
Saat ditanya tentang Kalelon Wakan, Oma Ros nampak larut dalam romantisme masa lalu. Sesekali ia menengok ke atas. Nampak ia sedang berpikir dan mengenang.
“Memu katu yah tu ja tulis depe syair. Dia lei riki ja dapa pangge bermain di kampung-kampung”, tambahnya.
Upayanya mengenang Kalelon, juga membuatnya teringat rekannya sesama grup Kalelon Wakan. Memu, nama panggilan rekannya itu. Nama lengkapnya, Semuel Lonteng.
Memu adalah pemimpin dan pencipta lagu-lagu grup Kalelon Wakan. Ia menjadi seniman dibalik petikan gitar yang khas dan syair-syair Kalelon Wakan yang puitis serta sarat makna.
Nama Rosye Poluan dan Semuel Lonteng memang kurang dikenal. Namun bila mendengar istilah ‘Kalelon Wakan’, orang Minahasa pecinta musik tradisi pasti familier. Padahal dua orang inilah yang menjadi seniman dibalik musik tradisi Kalelon Wakan. Mereka juga yang turut memperkenalkan Wakan ke dunia luar lewat musik tradisi Kalelon.
Mengenal Kalelon dan Maka’aruyen
Istilah Kalelon memang kurang dikenal di daerah sekitar Minahasa bagian tengah, Tomohon, Minahasa Utara, Manado sampai Bitung. Istilah Maka’aruyen yang lebih familier. Namun, di daerah Minahasa Selatan, terutama di daerah Kecamatan Motoling yang lama, istilah ‘Kalelon’ lebih dikenal. Walau tentu Kalelon dan Maka’aruyen punya perbedaan yang mendasar. Terutama pada tempo dan durasi lagu.
Kalelon dan Maka’aruyen adalah musik tradisi Minahasa yang dilantunkan dengan petikan gitar yang khas. Syairnya berisi cerita tentang hubungan antara manusia dengan Sang Penciptanya, hubungan antara manusia dengan alam, dan relasi antara manusia dengan sesamanya. Cerita tentang relasi antar manusia banyak ditemukan dalam syairnya. Misalnya, cerita lika-liku kehidupan manusia, pergulatan batin seorang anak dan orang tua, asmara, kisah persaudaraan, dan persahabatan banyak ditemukan dalam syair-syairnya.
Secara terminologi, kata Kalelon dan Maka’aruyen memiliki beberapa arti dan makna. Pemahaman mengenai arti Maka’aruyen tergantung pada konteks kata ini dipakai. Di dalam kata Maka’aruyen tersimpan kata aruy. Secara harafiah, aruy berarti sikap, kondisi atau keadaan yang baik, nyaman, senang, dan tentram. Aruy juga bisa berarti luapan rasa cinta dan rindu. Sehingga Maka’aruyen adalah gambaran sikap ataupun kondisi yang baik, nyaman, dan tentram. Sikap dan kondisi ini adalah pemaknaan dari manusia terkait rasa, cinta, dan rindu yang begitu kuat terhadap sesama manusia, alam, dan Sang Pencipta. Sementara, Kalelon berasal dari kata ‘lelo’. Secara harafiah lelo berarti rindu. Kalelon dapat didefinisikan sebagai sebuah kondisi dimana seseorang teringat dan merindukan sesuatu yang berkesan dan penting bagi dirinya. Misal, kerinduan kepada orang tua, sahabat, kekasih hati, kampung halaman, alam dan tanah kelahiran, dan bahkan kepada Sang Pencipta. Kalelon juga dapat dimengerti sebagai suatu cara untuk untuk tetap terhubung dengan ingatan yang membuat rindu.
Ada banyak anggapan bahwa Maka’aruyen dan Kalelon lahir nanti ketika Minahasa telah berinteraksi dengan orang barat yaitu sekitar abad 15, saat mengenal juk ataupun gitar yang dibawa saat itu. Namun, jauh sebelum gitar dikenal di tanah Minahasa, Maka’aruyen dan Kalelon telah mewujud dalam tradisi marei’ndeng; ketika orang Minahasa, terutama Tonaas danWalian, menemukan ‘gitar satu tali’ atau lebih dikenal dengan nama Swassa. Menurut penuturan Tonaas Rinto Taroreh, “Swassa” adalah semacam gitar dengan satu tali yang digunakan untuk Ritual Marei’ndeng dan Masambo. Talinya terbuat dari urat tulang belakang ular hitam (wai). Sementara menurut, Agus Mamoto, seniman Maka’aruyen asal Wuwuk, Swassa merupakan alat petik satu tali yang terbuat dari urat ular yang dicampur emas.
Dari sini dapat dilihat bahwa benih dari Maka’aruyen & Kalelon adalah musik ritual. Hal ini juga bisa terlihat dari syair-syairnya. Di kemudian hari, seiring waktu berlalu, syair dan musik tersebut, mengalami perjumpaan dengan budaya barat yaitu dengan alat musik gitar. Tradisi menggunakan gitar dalam Kalelon dan Maka’aruyen kemudian bertahan sampai sekarang. Penggunaan gitar menghantarkan Kalelon dan Maka’aruyen lebih memiliki ciri khas dan menjadi sebuah identitas yang kuat. Sehingga ketika orang mendengar bunyi petikan gitar khas Minahasa, mereka langsung tahu bahwa itu Kalelon atau Maka’aruyen.
Bila dilihat dari karakteristiknya, maka senandung Maka’aruyen agak lebih ‘keras’ dan lantang dari pada Kalelon. Hal ini bisa disebabkan karena memang Kalelon lahir dari kultur orang Minahasa di pegunungan yang dekat hutan, dengan tradisi hidup Tontemboan yang terkenal lembut dengan tradisi ‘maere’. Kalelon mengambil bentuk lebih lembut dan syahdu. Salah satu alasan lain yaitu dalam tradisi Minahasa,terutama di Tontemboan, orang tidak boleh membuat suara yang berisik saat berada ataupun tinggal di gunung, lembah, sungai, dan hutan. Oleh karena itu Kalelon memiliki nilai tradisi ini. Sementara menurut Budayawan Minahasa, Fredy Wowor, Makaaruyen tumbuh dalam sebuah perjalanan. Bahkan ia menjadi lantunan di masa sulit, misal di masa perang, yang membutuhkan nada yang lebih keras untuk memberikan semangat. Selain itu musik Maka’aruyen lahir di daerah pinggiran pantai ataupun jalur ke pantai sehingga musik yang diciptakan seolah lantang dan lebih keras dari suara ombak ataupun angin. Hal ini seperti tergambar seperti dalam syair Minahasa berikut:
Seperti Masuk hutan. Diam, menenangkan jiwa.
Seperti ke pantai. Berteriak, menenangkan jiwa.
Quo Vadis Kalelon Wakan
Kalelon Wakan memang punya ciri khas sendiri dibandingkan grup Kalelon lain, apalagi Maka’aruyen. Selain karena ia berasal dari Wakan dan lahir dari kultur orang Minahasa di pegunungan, Kalelon Wakan punya nuansa yang lebih lembut dengan syair cerita yang panjang. Satu lagu Kalelon bisa memiliki durasi selama 11 menit.
Rosye Poluan (Kaos Kuning) bersama seniman muda Kalelon Wakan
Menurut Oma Ros, Grup Kalelon Wakan sendiri sudah menghasilkan beberapa album. Namun ada dua album yang beredar luas.
Memu, menjadi seniman dibalik terciptanya syair-syair Maka’aruyen termasuk petikannya. Namun sayang, sebelum berpulang ke Sang Pencipta, hampir tidak ada orang yang secara serius belajar musik tradisi Kalelon darinya.
Oma Ross Poluan, masih ada. Tahun 2020, ia berusia 77 tahun. Saat diwawancari tahun 2017, oma Ross sudah lupa beberapa syair dari lagu Kalelon yang dulu ia senandungkan sejak tahun 1950-an. Namun ingatan tentang perjuangannya dengan Memu mengenalkan Kalelon Wakan kepada publik tetap ia ingat.
Ia bercerita bagaimana ia dan Memu merintis Grup Kalelon Wakan. Mereka sering merekam karya mereka, kemudian di jual di kampung. Bahkan mereka juga sering diundang tampil. Memu juga begitu, karena ia memang mahir memetik Kalelon. Ia sering diundang pentas solo, di kampung sekitar Wakan. Perjungan mereka ini kemudian berujung, ketika ada studio rekaman yang mengontrak mereka dan memproduksi lagu mereka secara professional.
“Napa dank itu depe kertas lagu. Kita masih ada simpang”.
Oma Ross keluar dari kamar. Ia membawa secarik kertas kecil yang nampak sudah usang. Kertas itu pun sudah sobek dan berlubang sebagian. Rupanya itu adalah sampul album Kalelon Wakan.
“Ini dank, Qta deng Memu pe gambar. Mar so barobek reen”
Mata Oma Ross berkaca-kaca. Mungkin ia sedih karena kertas yang ia simpan sudah rusak dimakan rayap. Bisa juga karena ia terharu melihat kembali wajah sahabatnya yang telah tiada di sampul tersebut.
Sampul album miliknya itu, berisi foto ia dan Memu. Tulisan ‘Group Kalelon Wakan’, nampak mencolok dengan warna kuning dan merah muda. Di situ juga tertulis, pemimpin dan pencipta lagu adalah Semuel Lonteng, alias Memu. Di sampul itu juga tertera informasi bahwa Happy Sound Studio merupakan pihak yang mengeluarkan album mereka itu. Album itu dilabeli harga Rp. 6.500,00.
Ada 8 lagu dalam album tersebut. Di bagi ke dalam side A dan side B kaset. Lagu Tumembo Meko, Minta Doa, Sa Aku Tumengi, Di Bawah Sinarnya, ada di side A kaset. Sementara Si Pisok, Sungguh Ibu, Bila Malam, Saaku Cabow I Mama, ada side B kaset.
Sampul album Group Kalelon Wakan yang dimiliki Rosye PoluanKalelon Wakan, telah direkam dan telah menghasilkan 2 edisi album. Edisi pertamalah yang banyak beredar di kalangan masyarakat Minahasa. Beruntunglah, Kalelon Wakan punya dua album rekaman yang beredar. Dari rekaman itulah, banyak orang, khususnya orang Wakan belajar kembali seni tradisi Minahasa, Kalelon.
Grup Kalelon tidak hanya dari Wakan. Ada grup Kalelon lain, yaitu Group KalelonSematuari, berasal dari Tompaso Baru. Bila kita melihat di Worldcat libraries, album Kalelon baik Wakan maupun Sematuari, tercatat disana. Walaunpun memang kedua grup Kalelon ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Kalelon Wakan juga lebih dikenal dan sekarang ini lagunya banyak beredar dalam format digital.
Tidak bisa dipungkuri Kalelon Wakan turut mempengaruhi cita rasa Kalelon di daerah Minahasa Selatan. Terlebih di daerah kecamatan Motoling lama. Ini terlihat dari syair-syair yang mirip dengan syair Kalelon Wakan. Kemungkinan, banyak lagu Kalelon di daerah sana yang terpengaruh oleh Kalelon Wakan. Apalagi sejak tahun 50-an, Kalelon Wakan banyak beredar luas di daerah sana.
Kalelon Wakan tidak hanya mempegaruhi seniman Kalelon di daerah Minahasa bagian selatan. Ternyata ia juga memiliki pengaruh bagi seniman Maka’aruyen di daerah Minahasa bagian tengah. Kalelon Wakan dijadikan sebagai sumber inspirasi dan sumber belajar. Hal ini seperti diakui oleh Yoke Saerang, seniman Maka’aruyen asal Ampreng.
“Qt ja dengar Kalelon Wakan, Maka’aruyen Tompaso Baru Deng Tumareran”, tuturnya.
Yoke juga mengatakan bahwa ia sering mendegar Kalelon Wakan karena syair-syairnya yang begitu menghanyutkan.
Reynold Siwu, seorang pegiat Kalelon asal Wakan, mengatakan bahwa sekarang ini dapat dihitung dengan jari para pemain Kalelon Wakan yang tersisa. Di Wakan sendiri, tinggal sekitar 4 orang yang tahu teknik memetik Kalelon Wakan. 1 orang sudah lanjut usianya. 3 orang lain, masih berusia muda.
Reynold Siwu bersama rekannya Derby Lapian dan Marlon Tampemawa, sementara berlatih Kalelon Wakan
Selama ini, hanya Reynold Siwu yang dalam forum dan event adat budaya Minahasa, sering memperkenalkan Kalelon Wakan. Ia hampir menjadi satu-satunya seniman Kalelon asli dari Wakan. Namun ternyata, ia berhasil menemukan 2 orang Wakan yakni Derby Lapian dan Marlon Tampemawa yang juga paham Kalelon. Mereka kemudian saling belajar. Meneladani seniman, sang maestro Kalelon Wakan, Semuel Lonteng.
Walaupun memang, saat ini mereka masih membawakan Kalelon Wakan yang lama dan belum mencipta yang baru. Menurut mereka itu butuh proses.
Salah satu keterbatasan mereka untuk mengembangkan Kalelon Wakan, terletak pada alat musiknya, gitar. Mereka tidak punya. Hal ini menjadi kendala untuk belajar. Gitar yang ada pada mereka hanya pinjaman. Namun, ternyata kendala ini tidak memutuskan niat dan semangat mereka untuk menggali kembali Kalelon Wakan. Ini menjadi sebuah penanda positif, ke mana arah Kalelon Wakan ke depan.
Di beberapa tahun ini memang terjadi kebangkitan kesadaran dan kepedulian terhadap musik tradisi Minahasa, Kalelon Maka’aruyen. Banyak seniman Kalelon Maka’aruyen muncul lewat rekaman video yang diupload di media sosial. Begitu juga banyak orang muda yang belajar musik tradisi ini. Hasil belajarnya kemudian turut diupload dan dibagikan lewat media sosial. Hal ini bisa dilacak. Misal, di status Facebook banyak orang menulis dan memakai hastag #kalelon & #makaaruyen. Tentu ini bisa jadi penanda kebangkitan akan kepedulian terhadap musik tradisi Minahasa, Kalelon dan Maka’aruyen.