ECONEWS
Ramai-Ramai Selamatkan Leuser
Published
6 years agoon
By
philipsmarx
8 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
DI BAGIAN UTARA Sumatera — seperti kebanyakan wilayah di Indonesia, perhatian orang selalu lebih condong soal politik. Tapi di balik riuh yang sudah keterlaluan itu, sebuah inisiatif menyeruak ke permukaan.
Ini bukan gerakan yang benar-benar baru. Amazon, Great Barrier Reef, Grand Canyon, juga pernah memiliki inisiatif semacam ini. Sebuah gerakan global yang melibatkan organisasi non-pemerintah di tingkat lokal hingga internasional.
Kini giliran Ekosistem Leuser menjadi isu publik internasional.
Rainforest Action Network (RAN), menyatakan bahwa Ekosistem Leuser adalah harta dunia dan menjadi salah satu hutan hujan utuh paling penting yang tersisa di dunia. Sayangnya, masih sedikit orang mendengar dan tahu tentang Ekosistem Leuser. Itu mengapa kampanye internasional semacam ini dianggap penting.
Leuser dipandang mendesak untuk mendapatkan sorotan internasional melalui gerakan global. Inisiatif dipicu orang-orang yang menyadari peran mereka dalam melindungi tempat luar biasa ini dari kerusakan karena aktivitas komoditas internasional seperti minyak kelapa sawit.
Mulai dari komunitas lokal, ahli biologi satwa liar ternama, konservasionis hutan, aktivis hak asasi manusia dan pejuang perubahan iklim mengatakan bahwa sudah waktunya bagi Ekosistem Leuser mendapatkan pengakuan layak dan penting sebagai prioritas konservasi global. Mereka kemudian menggunakan media seni grafis, fotografi, dan video yang disebar melalui media sosial dan perangkat lain.

Peta tapal batas kawasan Ekosistem Leuser. Sumber Foto: wikipedia
Tujuan yang dianggap mendesak bagi Leuser mendapatkan sorotan internasional melalui gerakan berskala internasional, adalah untuk memperkenalkan profil dari lanskap Ekosistem Leuser yang unik. Kampanye ini ingin menyasar para pelaku industri agar berusaha menghindari resiko penyandang reputasi sebagai penyebab kerusakan yang terjadi di Ekosistem Leuser demi mendapatkan keuntungan jangka pendek.
Turut juga bergabung dalam kampanye Ekosistem Leuser, seniman grafis terkenal Asher Jay, fotografer peraih penghargaan Paul Hilton, serta aktor dan aktivis lingkungan Leonardo DiCaprio. Semuanya berada di satu perahu dengan misi mendorong agar lebih banyak sorotan internasional kepada Ekosistem Leuser, suatu wilayah di tepi utara Sumatra, Indonesia.
“Ekosistem Leuser merupakan sumber daya vital yang memberikan kehidupan bagi jutaan orang. Banyak di antaranya bergantung pada hutan yang sehat dan air bersih sebagai mata pencaharian utama mereka dari generasi ke generasi,” kata Farwiza Farhan, Direktur Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA).
HaKA adalah organisasi berbasis di Banda Aceh yang sejak lama terlibat dalam upaya konservasi dan perlindungan Ekosistem Leuser. Pertengahan 2016, organisasi ini merilis laporan mengenai deforestasi yang mencapai hingga 290.000 hektar. Penyebab utama salah satunya adalah perluasan perkebununan kelapa sawit.
Ada 2,6 juta hektar hutan hujan yang membentang di Ekosistem Leuser menjadi salah satu yang terluas dan tersisa di Asia Tenggara.
Muhammad Nur, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, mengatakan, bahwa Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menghadapi ancaman aktivitas pembukaan lahan untuk energi, perkebunan sawit, pembangunan jalan, pertambangan, penebangan liar yang tidak memperhatikan aspek hukum lingkungan, terus merusak keseimbangan KEL.
WALHI secara khusus menyoroti tentang kebijakan tata ruang ruang Aceh agar memberikan perlindungan khusus terhadap KEL. Terutama menyangkut pemahaman bersama mengenai kebijakan pengelolaan, pengendalian maupun pemanfaatan KEL antara internasional, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah.
Ekosistem Leuser menjadi tempat terakhir di dunia – di mana orangutan, gajah, harimau, dan badak hidup bersama di alam bebas. Para ilmuwan satwa liar telah memperingatkan bahwa empat jenis satwa yang kini terancam punah akan punah selamanya jika hutan yang tersisa di Ekosistem Leuser ini hancur.
Wilayah ini merupakan ekosistem bersejarah yang dikenal oleh ilmu pengetahuan telah mengalami ribuan tahun evolusi tak terputus. Hasilnya adalah salah satu konsentrasi keanekaragaman hayati tertinggi. Ekosistem ini kaya flora dan fauna, termasuk setidaknya 105 jenis mamalia, 386 jenis burung, 95 jenis reptil dan amfibi dan 8.500 spesies tanaman. Banyak di antaranya seperti Thomas Leaf Monkey, atau dikenal sebagai ‘Monyet Kedih,’ merupakan spesies endemik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.
WILDLife Asia berpendapat bahwa kini kita sedang berada di ambang kehilangan badak Sumatra. Ekosistem Leuser menjadi penting karena menjadi benteng harapan terakhir bagi kehidupan satwa ini dan satwa lainnya yang terancam punah. Dengan mendorong dunia mengenal Ekosistem Leuser, ada harapan untuk melindungi orangutan, badak, harimau, dan gajah Sumatra.
Ekosistem Leuser membentang di antara dua provinsi di Sumatra, yaitu Aceh dan Sumatera Utara.
Meski pun, sekitar sepertiga dari wilayah Ekosistem Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Leuser telah menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO, namun sebetulnya masih banyak wilayah Ekosistem Leuser dengan tingkat keanekaragaman hayati hutan-hujan dataran rendah dan lahan gambut yang paling kaya berada di luar batas-batas taman nasional.
Jutaan orang tinggal di wilayah tersebut tergantung pada sungai-sungai bersih yang berasal dari Ekosistem Leuser untuk air minum, melindungi dari banjir, dan irigasi bagi mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar hidup dari pertanian. Sebuah gerakan konservasi lokal juga tengah berkembang dengan memasukkan upaya politik, ilmiah dan hukum yang kuat bagi warga yang tinggal di wilayah ini.
Usaha tersebut dilakukan dengan memberikan advokasi untuk perlindungan dan strategi pertumbuhan hijau untuk pembangunan. “Bagi kami orang-orang yang lahir dan dibesarkan di Aceh, nilai terdalam Ekosistem Leuser terdapat pada air yang disediakan. Jutaan orang bergantung pada sumber air ini. Sekarang kita menghadapi kenyataan menyedihkan bahwa apabila kerusakan hutan tidak berhenti, maka anak cucu kita suatu hari nanti akan hidup tanpa air,” ungkap Rudi Putra dari Forum Konservasi Leuser.
Ekosistem Leuser muncul dalam film dokumenter Leonardo DiCaprio yang berjudul Before the Flood sebagai daerah yang berfungsi penting untuk melindungi keseimbangan iklim dunia. Karya ini kemudian menjadi film dokumenter yang paling banyak ditonton dalam sejarah. Selain dijuluki sebagai ‘ibukota orangutan dunia’, Ekosistem Leuser juga merupakan rumah bagi tiga rawa gambut utama yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon paling kaya di bumi. Hutan-hutan rawa gambut yang basah menangkap sejumlah besar karbon dari atmosfer kita dan menyimpannya dengan aman di bawah tanah.
Sayangnya, meskipun ilegal, banyak lahan gambut ini dikeringkan dan dibakar untuk dijadikan industri perkebunan kelapa sawit.
Pembukaan lahan dengan pembakaran menyebabkan polusi karbon dalam jumlah besar dilepaskan ke udara. Peristiwa kebakaran selama satu dekade terakhir diperkirakan telah menyebabkan 100.000 kematian di seluruh Asia Tenggara. Kebakaran hutan yang terjadi di puncak 2015 telah membuat Indonesia melepaskan polusi karbon yang sama dengan jumlah polusi dari seluruh gabungan kegiatan ekonomi AS setiap harinya.
“Hanya sedikit tempat tersisa di planet ini di mana sejarah evolusi dan biologi kita tetap utuh terjaga di alam liar bersama dengan berbagai perubahan peradaban yang terjadi di seluruh dunia. Tempat di mana garis keturunan sejati kita tersimpan dan terhubung dengan generasi mendatang. Lanskap yang mendahului keberadaan kita di planet ini, di mana tanah kaya dengan cerita, dan pohon-pohon tua berfungsi sebagai penjaga gerbang waktu. Ekosistem Leuser merupakan salah satu surga hijau itu, yang jika tidak kita dilindungi, kita akan kehilangan bukan hanya habitat untuk harimau, gajah, orangutan dan badak Sumatra yang tak tergantikan, tapi kita juga akan kehilangan sebagian besar sejarah cerita asal kita,” ungkap Asher Jay. (*)
Editor: Daniel Kaligis