Connect with us

ESTORIE

Rasa Pedas Cabai Dalam Mangkok Peradaban

Published

on

23 Maret 2019


Oleh: Greenhill Weol


 

Sejarah Cabai, dari Mesoamerika, Dusta Colombus, Sampai Marisa Kokoak

KALENDER Julian menunjuk tanggal 12 Oktober 1492. Subuh, dua jam lewat tengah malam.

Ombak lautan Atlantik terdengar sedikit tenang malam ini, berbeda dengan gelora minggu-minggu silam. Bintang-bintang berkerlipan di balik awan tipis yang sesekali menggumpal. Semilir angin terasa hangat dan basah.

“Daratan! Daratan!” Seruan Rodrigo de Triana dari menara pengintai tiba-tiba memecah kesunyian.

Awak kapal terbangun, mereka berhamburan keluar kabin. Lima minggu mereka tidak melihat daratan semenjak singgah di Kepulauan Canary, lepas pantai barat Afrika. Nun jauh di sana, bayangan sebuah pulau di latar langit malam semakin jelas terlihat.

Malam itu de Triana kebagian tugas jaga di La Pinta, kapal tercepat dari tiga kapal yang digunakan oleh Christopher Columbus dalam perjalanan trans-Atlantik pertamanya untuk mencari jalan cepat dari Eropa ke India.  Kehebohan teriakan de Triana juga membangunkan kru Nina dan Santa Maria, kedua kapal yang berlayar di dekatnya.

De Triana diliputi kegembiraan. Ia baru saja memenangkan hadiah dari penguasa Spanyol berupa tunjangan bernilai 10.000 koin perak per tahun untuk selama sisa hidupnya. Sayang, kegembiraannya itu tak panjang.

Dalam beberapa jam, muncul berita yang berhembus bak angin dari kapal ke kapal bahwa klaim de Triana sebagai penemu pertama telah mendapat tantangan, seorang yang lain mengaku telah terlebih dahulu melihat daratan itu beberapa jam sebelum dirinya. Ini sebenarnya membingungkan semua orang, karena pasti jika seseorang telah melihat daratan, maka tentu itu sudah dilaporkan dan telah terjadi keramaian, serta pasti sudah dimulai kesibukan untuk berlabuh. Akhirnya terungkap bahwa penantang de Trianas tidak lain adalah pemimpin ekspedisi itu sendiri, Christopher Columbus.

Columbus mengklaim bahwa malam sebelumnya dia memandang ke kejauhan dan melihat apa yang tampak olehnya sebagai “lilin lilin kecil yang naik dan terangkat.” Colombus menambahkan bahwa peristiwa ini tidak terlalu penting, sehingga dia tidak merasa perlu untuk memberitahu siapa pun tentang hal itu. Tetapi dia mencatat peristiwa “penemuan”nya dalam buku hariannya, dan menggunakan “bukti” ini sebagai dasar untuk menantang klaim Rodrigo de Triana begitu mereka tiba kembali ke Spanyol.

Columbus menang. Ia dianggap sebagai penemu “Dunia Baru”, benua yang kemudian disebut Amerika.

Sketsa pendaratan Christopher Columbus di pulau Hispaniola, 1728. (Gambar: www.historytoday.com)

***

Cabai adalah buah tanaman dari genus Capsicum yang merupakan anggota keluarga Solanaceae. Saudara dekatnya adalah tomat, kentang, dan terong. Cabai digunakan di banyak masakan sebagai bumbu untuk menambah panas masakan. Ini menarik, sebab seharusnya tidak ada makhluk yang suka merasa “terbakar”.

Rasa panas dan membakar yang kita rasakan ketika mengkonsumsi cabai disebabkan oleh senyawa yang disebut capsaicin. Mengkonsumsi capsaicin memicu reseptor rasa sakit di tubuh untuk mengirimkan peringatan kepada otak. Pesannya, kita sedang melakukan sesuatu yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi tubuh. Otak seolah tertipu, kita merasa bahwa tubuh kita memang sedang terbakar.

Manusia berbeda dengan makhluk lain, ia rupanya senang menyiksa diri sendiri. Bagaimanapun juga, kepedasan bukanlah rasa, tidak seperti manis atau asin atau asam. Pedas berarti rasa sakit. Sensasi kepedasan adalah hasil dari aktivasi reseptor rasa sakit di lidah. Menurut psikolog Paul Rozin dari University of Pennsylvania, “sekitar sepertiga orang di dunia mengkonsumsi cabai setiap hari.”

Pada simposium tentang gastro-psikologi dalam konvensi Asosiasi Ilmu Psikologi tahun 2011 lalu, Rozin menunjukkan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang secara khusus mencari  – bahkan kemudian menikmati- apa yang kita sebut sebagai rasa “pedas” ini.

“Mengapa? Karena kita rupanya suka terbakar,” tambahnya.

Toh cabai tidak hanya berguna menambah rasa panas, ia juga berfungsi sebagai pengawet alami untuk membuat makanan tidak mudah busuk. Cat Adams, seorang kandidat Doktor pada Organismal and Evolutionary Biology program di Harvard University menyimpulkan,  “Penduduk asli di Amerika telah membiakkan cabai juga karena kemampuannya membuat makanan tahan lebih lama, jauh sebelum penemuan lemari es.”

Ada kontroversi tentang asal-usul cabai. Secara umum diterima sebagai fakta ilmu pengetahuan bahwa sejarah cabai dimulai di Mesoamerika, wilayah yang membentang dari Meksiko Tengah ke Amerika Tengah dan Kosta Rika utara.

Meskipun beberapa ahli percaya bahwa berbagai spesies berasal dari Meksiko, dalam ilmu botani diterima bahwa nenek moyang tanaman cabai berasal dari daerah Bolivia dan menyebar keseluruh Amerika pada masa silam. Yang pasti, cabai telah menjadi bagian dari makanan manusia di benua Amerika sejak setidaknya 7500 SM.

Dari sisa-sisa tanaman yang ditemukan di sebuah situs di Guila Naquitz di negara bagian Oaxaca, Meksiko selatan, terbukti bahwa cabai dibudidayakan sekitar 10.000 tahun yang lalu. Dalam penggalian baru-baru ini, para arkeolog AS yang memeriksa lapisan tanah menemukan bahwa penghuni Gua Silvia di Mitla, Mexico, telah menanam dan menyimpan setidaknya 10 jenis cabai yang berbeda.

Bukti-bukti arkeologis ditemukan bahwa di daerah dataran rendah tropis barat daya Ekuador cabai telah didomestikasi lebih dari 6000 tahun yang lalu. Ini menjadi bukti bahwa cabai merupakan salah satu tanaman budidaya pertama di Amerika Tengah dan Selatan.

Di Panama, cabai telah digunakan sejak sekitar lebih-kurang 5.600 tahun yang lalu. Dalam temuan itu, cabai juga telah digunakan di lokasi yang dihuni 4.000 tahun yang lalu di Andes, Peru. Pada situs-situs di Bahama ditemukan bukti penggunaan cabai sejak 1.000 tahun yang lalu, begitu pula di penggalian-penggalian arkeologis di Venezuela.

Linda Perry, seorang peneliti postdoctoral ilmu arkeobiologi di Smithsonian Institution’s National Museum of Natural History di Washington, telah mengidentifikasi mikrofosil dari butiran pati yang ditemukan melekat pada batu gerinda dan panci masak yang ditemukan pada situs-situs arkeologi di Karibia, Venezuela, dan Andes. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Science tahun 2006, dia dan tim peneliti menemukan bahwa cabai telah dikonsumsi di Ekuador selatan sekitar 6.250 tahun yang lalu.

“Nampaknya, cabai memang digemari banyak orang di zaman itu,” kata Perry. “Tanaman cabai menyebar dengan sangat cepat di Amerika Selatan dan ke Amerika Tengah.”

Lada Tepin atau Chiltepin (Capsicum annuum var glabriusculum) dikenal sebagai varietas tertua dan disebut sebagai “induk dari semua cabai”. Jenis ini ditemukan tumbuh liar di utara Meksiko sampai ke wilayah Arizona dan Texas. Nama “chilly” berasal dari dialek Nahuatl, Aztec kuno, yang menyebut cabai dengan sebutan chiltepin ini.

Suku Aztec memang terkenal dengan kecintaan mereka terhadap cabai dan ini banyak ditampilkan dalam makanan mereka. Cabai digunakan tidak hanya untuk membumbui makanan tapi juga untuk mengasapi rumah agar terhindar dari kelembaban. Juga untuk membantu menyembuhkan penyakit.

Walau hanya lima dari 25 spesies Capsicum yang dibudidayakan manusia, hari ini ragam cabai masih terus bertambah, terutama di wilayah Amerika Selatan di mana sebagian besar cabai liar masih ditemukan. Maka lebih jelaslah bahwa bentuk dan warna cabai jauh lebih bervariasi daripada yang klasik melengkung merah atau hijau yang selama ini kita asosiasikan sebagai bentuk dan warna cabai.

“Ada ribuan jenis dan kami masih terus menemukan varietas yang baru,” kata Paul Bosland, direktur Chile Pepper Institute di New Mexico State University, Santa Fe.

“Ada cabai berbentuk kacang, cabai berbentuk hati, cabai dengan benjolan berbentuk otak, dan cabai yang pipih dan panjang seperti kacang. Warnanya pun beragam: ungu, merah, kuning, hitam, oranye terang dan hijau limau,” terangnya.

***

Pada 1492, ketika Christopher Columbus berangkat dari Spanyol untuk menemukan rute barat ke Asia, salah satu tujuan utamanya adalah ia ingin “mengamankan” dapur orang-orang Eropa. Rempah-rempah adalah salah satu komoditas terpenting saat itu. Peradaban Eropa telah belajar untuk menggunakan rerempahan sebagai bahan tambahan dalam olahan makanan mereka. Namun, di Eropa, sangat sedikit rempah yang tumbuh local pada iklim dingin mereka. Mereka kemudian berpaling ke timur, ke Asia.

Rempah-rempah yang diimpor dari “Kepulauan Rempah-rempah” Asia, telah memicu lonjakan perekonomian di pelabuhan perdagangan seperti di Alexandria, Genoa dan Venesia. Orang Eropa telah menggunakan lada hitam sebagai bantuan obat-obatan dan untuk membumbui masakan mereka sejak zaman Yunani dan Romawi.

Tentu saja, Columbus tidak sedang mencari cabai. Ia mencari rute perdagangan baru ke Asia dengan hasrat untuk menemukan langsung sumber dari lada hitam. Lada dikenal sebagai “emas hitam” karena nilainya yang sangat tinggi sebagai komoditas, bahkan sering digunakan untuk membayar sewa atau gaji. Sampai jauh setelah Abad Pertengahan, hampir semua lada hitam yang mencapai Eropa harus melakukan perjalanan dari Pantai Malabar, di India.

Ketika rute darat dan laut tradisional ke Asia terputus oleh kebangkitan Kekaisaran Ottoman, para pedagang Eropa harus mencari cara-cara baru untuk mencapai India dan wilayah-wilayah timur lainnya. Ini tentu tidak hanya demi mendapatkan rempah-rempah, tetapi juga produk-produk menggiurkan lain seperti sutra dan opium.

Dari Eropa, Columbus berlayar langsung ke arah barat, karena ia yakin akan menemukan rute baru ke Hindia Timur tanpa harus melewati jalur jauh dan berbahaya mengitari Afrika. Ia tidak pernah tiba di tempat yang ditujunya, sebab selebihnya adalah sejarah: rupanya di tengah jalan ada sebuah benua yang tak pernah diketahui sebelumnya oleh bangsa barat. Sejarah juga mencatat bahwa lewat ekspedisi Colombus inilah untuk pertama kalinya bangsa barat mengenal sebuah tanaman yang buahnya membakar mulut: cabai.

Pada saat Columbus pertama kali berlabuh di Karibia pada akhir abad ke-15, cabai sudah menjadi bagian dari keragaman kuliner Amerika. Tetapi peradaban barat benar-benar belum mengetahui tentang tanaman ini. Adalah Diego Álvarez Chanca, seorang dokter dalam perjalanan kedua Columbus ke Karibia tahun 1493 yang kemudian membawa cabai pertama ke Spanyol dan pertama kali menulis tentang efek pengobatan cabai pada tahun 1494.

Tetapi seperti yang dikisahkan oleh penulis Inggris Lizzie Collingham dalam bukunya Curry: A Tale of Cooks and Conquerors, orang-orang Eropa pada awalnya tidak begitu terpikat dengan rempah-rempah baru yang dibawa Columbus dari Dunia baru ini. “Di semenanjung Iberia,” tulis Collingham, “cabai justru ditanam lebih sebagai tanaman hias yang aneh daripada sebagai bumbu masakan.”

Biara-biara di Spanyol dan Portugis adalah yang pertama mulai mencoba menanam cabai di jazirah Eropa. Para biarawan di biara-biara inilah yang pertama kali bereksperimen dengan potensi kuliner cabai dan kemudian menemukan bahwa efek pedasnya dapat digunakan sebagai pengganti lada hitam.

Walaupun cabai dibawa pertama kali ke Eropa oleh orang Spanyol, orang Portugislah yang menyebarkan dan memperkenalkan tanaman ini ke lebih banyak tempat di dunia. Penjelajah Portugis Vasco de Gama menemukan rute pelayaran dari Amerika Selatan di sekitar Tanjung Harapan ke Afrika dan India pada 1498, memuluskan jalan bagi cabai dari koloni mereka di Brasil dan menyebar ke seluruh dunia.

Dalam rentang 30 tahun setelah perjalanan pertama Columbus, setidaknya tiga jenis tanaman cabai yang berbeda telah dibawa dan kemudian tumbuh di koloni Portugis di Goa, di pantai barat India. Pada 1510, wilayah Goa jatuh ke tangan Portugis di bawah kepemimpinan Afonzo de Albuquerque. Terletak di Pantai Malabar, yang memang kaya dengan produksi bumbu, kota strategis ini kemudian meningkatkan kontrol Portugis terhadap perdagangan rempah-rempah.

Jane Andrews dalam tulisannya, Diffusion of Mesoamerican Food Complex to Southeastern Europe menulis, “Ada catatan tentang seorang pejabat Portugis yang bertugas di India dari 1500-1516 melaporkan bahwa bumbu baru cabai disambut baik oleh koki-koki India.”

Menurutnya kultur setempat memang sudah terbiasa dengan pedasnya lada hitam dan jahe. “Buah berwarna merah ini rupanya sangat cocok tumbuh di daerah ini,” tambahnya.

Pada tahun-tahun berikutnya, barang-barang dan makanan yang berasal Dunia Baru, Benua Amerika, mulai mengalir melalui rute pelayaran Portugis. Kekaisaran Portugis tumbuh pesat – koloni-koloni mereka di Brasil, pulau-pulau di Asia Timur, Afrika, Timur Tengah, dan India – dengan benteng-benteng, pabrik dan pos-pos angkatan laut menghiasi garis pantainya, dimotori perdagangan antar koloni yang berkembang pesat.

Selain itu, terbuka jalur laut ke Malaka dan Nusantara membuka jalan pedagang Eropa, Cina, Gujarat, dan Arab untuk saling berinteraksi. Cabai “mengunggangi” arus yang mengalir deras ini, menuju ke seluruh penjuru bumi. Di Thailand, kehadiran Portugis yang berumur pendek tetapi toh berhasil merevolusi dapur Thailand dengan mengintroduksi cabai kedalam daftar bahan makanan orang Thai dan sekitarnya.

Cabai kemudian diintroduksi oleh misionaris-misionaris Portugis ke kepulauan Jepang pada 1542, dan selanjutnya diteruskan ke Korea. Beberapa sumber menuliskan bahwa walau tidak semasif yang dilakukan Portugis, Spanyol juga sebenarnya membantu memperkenalkan Cabai di wilayah-wilayah koloninya di Filipina, beberapa tempat di Indonesia, dan juga ke Cina.

Kecepatan penyebaran cabai sangat fenomenal. Dalam setengah abad cabai sedari pertama tiba di Spanyol dari asalnya Amerika, cabai telah menyebar dan digunakan luas di sebagian besar Asia, di sepanjang pantai Afrika Barat, melalui negara-negara Maghreb di Afrika Utara, di Timur Tengah, di Italia, di Balkan dan melalui Eropa Timur sejauh Georgia saat ini.

Cabai sebagai tumbuhan menyebar begitu cepat sebagian karena mereka mudah tumbuh di berbagai iklim dan kondisi, dan karena itu murah dan selalu tersedia. Paul Bosland, direktur Chile Pepper Institute di New Mexico State University, Santa Fe mengatakan “Cabai adalah tanaman pertama yang mengalami globalisasi.”

***

“Marisa Kokoak adalah jenis cabai yang dianggap tertua di Minahasa,” terang Fredy Wowor, budayawan Minahasa.

Menurutnya, kultur Minahasa telah mengenal konsumsi cabai sejak nenek moyang. “Cabai jenis ini ditemukan di pedalaman hutan. Caranya menyebar adalah lewat bantuan burung Kokoak (gagak)  yang mengkonsumsinya, sehingga benihnya terbawa dan tumbuh di tempat-tempat lain,” tambahnya.

Menanggapi sejarah cabai menurut sumber-sumber barat yang menyebutkan bahwa Spanyol – Portugislah yang pertama mengintroduksi tanaman ini ke wilayah Asia, Wowor berargumen bahwa tidak ada rekaman sejarah, baik sumber tertulis maupun lisan, yang pernah ditemukan memuat informasi tentang adanya perkenalan spesies tanaman cabai di Minahasa.

“Jika memang pernah terjadi, pasti ada sumber yang mengatakan secara spesifik, sebab hari ini kita masih menemukan catatan-catatan yang jelas ketika, misalnya, tomat, sapi, kuda, dan banyak lagi yang lain pertama kali dibawa masuk ke Minahasa”, tandas Wowor.

Rupanya bukan hanya untuk urusan makanan, dalam peradaban Minahasa cabai digunakan untuk banyak fungsi lain seperti untuk mengusir roh-roh jahat.

“Untuk menghindari gangguan Reges Lewo (roh penggangu) anak-anak yang akan memasuki kebun atau hutan akan dibekali beberapa biji cabai”, kata Tonaas Rinto Taroreh menjelaskan fungsi cabai dalam kultur Minahasa.

Taroreh juga menjelaskan, secara tradisional leluhur Minahasa sering menggunakan cabai sebagai bahan pewarna merah.

“Selain itu, cabai adalah bahan terpenting dalam banyak kuliner khas kita, ada anggapan bahwa jika tidak pedas, maka itu bukan makanan,” katanya sambil tersenyum.

“Tetapi yang terpenting adalah bahwa cabai telah menjelma menjadi ‘bilangan tua’, falsafah hidup di Minahasa.”

Taroreh menyambung pembicaraan, “Disebutkan bahwa hendaklah mereka yang memiliki pengetahuan menggunakan pengetahuan mereka dengan lurus dan jujur, sebab keadilan alam itu tak seperti pedasnya cabai yang langsung terasa, namun perlahan balasan pasti datang bagi mereka yang tidak hidup jujur dan lurus.”

Rupanya seorang Christopher Colombus perlu belajar falsafah jujur dan lurus ini.

Ia mengaku telah terlebih dahulu “menemukan” daratan. Faktanya Rodrigo de Triana lah yang lebih layak mendapatkan pengakuan. Ia juga mengklaim telah tiba di “India.” Faktanya, mereka berlabuh di sebuah pulau yang oleh penduduk asli disebut Guanahani, sebuah pulau kecil di kawasan Karibia.

Colombus menyebut para penduduk asli sebagai “indian.” Faktanya, kelompok-kelompok penduduk asli ini berasal dari suku Lucayan, Taíno, dan Arawak, dan mereka telah hidup di kepulauan ini semenjak seribuan tahun silam ketika nenek moyang mereka mulai menyebar dari daratan benua Amerika.

Apakah klaim bahwa cabai “ditemukan” oleh Colombus dari benua Amerika dan kemudian diperkenalkan ke seantero bumi perlu pula diluruskan?

Pada tahun 1995, archaeobotanist Hakon Hjelmqvist menerbitkan sebuah artikel di Svensk Botanisk Tidskrift yang melaporkan tentang penemuan bukti keberadaan cabai di Eropa pada masa pra-Colombus. Menurut Hjelmqvist, arkeolog pada sebuah penggalian di St Botulf di Lund, Swedia, menemukan jejak cabai jenis Capsicum frutescens dalam sebuah lapisan dari abad ke-13.

“Saya yakin, cabai yang terdapat pada penemuan ini asalnya dari Asia,” jelasnya.

Hjelmqvist juga mengatakan bahwa sejenis Capsicum telah dideskripsikan oleh Theophrastus (370–286 SM), seorang filsuf Yunani, dalam buku Historia Plantarum-nya, dan juga dalam sumber-sumber lain. Sekitar abad pertama penyair Romawi beranama Martial juga pernah menyebut Piperve crudum (lada mentah) pada karyanya.

“Sejarah Cabai Colombus” juga mendapat “pelurusan” dari fakta-fakta penggunaan cabai di Asia Tenggara yang ditemukan pada prasasti batu dari periode Bagan di Myanmar sebelum abad ke-13. Kemudian ada prasasti batu Pagoda Shwe-Kun-Cha (1223 M) dari Raja Nadoungmya (1234 – 1254 M) yang mencatat lima keranjang cabai dalam daftar persembahan sang raja ke pagoda dan kemudian pada 1248 M tercatat masuk lagi persembahan dari Putri A- Saw-Kyaum berupa cabai, beras, pinang, dan garam.

“Benar bahwa ada jenis cabai yang dibawa dari Amerika oleh orang Eropa dan kemudian jenis ini diperkenalkan di tempat-tempat lain, sebab memang ada catatan sejarah tentang ini,” Wowor menjelaskan. “Tetapi kita juga sudah memiliki varietas lokal, jenis yang memang sudah tumbuh di tanah ini lama sebelum kedatangan bangsa Eropa 400-500 tahun silam.”

Taroreh berpesan, “Cabai adalah bagian dari kebudayaan kita, bangsa Minahasa. Tetapi rupanya cabai juga adalah bagian dari kebudayaan-kebudayaan lain di berbagai sudut dunia. Cabai adalah milik peradaban manusia, sebab ia hidup dan menghidupi kita semua.” (*)


Editor: Denni Pinontoan


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *