FEATURE
Rasialisme dalam Sepakbola dan Mengenang Aksi Langsung Zidane
Published
5 years agoon
By
philipsmarx2 November 2019
Oleh: Andre Barahamin
Aksi menanduk dada Materazzi yang dilakukan Zidane 13 tahun lalu, terasa masih relevan di tengah maraknya aksi rasialisme dalam sepakbola.
BULGARIA AKHIRNYA DIPUTUSKAN bersalah oleh otoritas sepakbola Uni Eropa (UEFA). Negara ini diharuskan menjalani satu laga kandang kompetitif tanpa dihadiri suporter. Bulgaria juga diwajibkan membayar denda sebesar lebih dari satu milyar rupiah akibat aksi rasialisme para pendukung mereka saat berlangsungnya laga kualifikasi Piala Eropa 2020 pada 15 Oktober lalu di ibukota negara, Sofia. Pertandingan saat itu sempat dua kali dihentikan sementara oleh wasit, sebelum akhirnya berlanjut dan diakhiri dengan kekalahan telak tuan rumah dengan enam gol tanpa balas.
Namun hukuman tersebut mendapatkan kritik keras dari jaringan anti-diskriminasi Football Against Racism in Europe (FARE). Kelompok ini menilai bahwa sanksi tersebut masih tergolong ringan dan menyarankan agar Bulgaria seharusnya dicoret dari kompetisi karena telah tiga kali melakukan pelanggaran yang sama di tahun 2019 ini.
Kepada GOAL, Direktur Eksekutif FARE, Piara Powar mengatakan bahwa “mereka kecewa” dan menyoroti “ketidakmampuan UEFA untuk menghadapi masalah terkait diskriminasi”.
Sikap tersebut juga didukung oleh organisasi kampanye penentang praktik rasialisme di industri sepakbola, Kick It Out, yang berpandangan bahwa hukuman ringan yang diganjar kepada Bulgaria membuktikan bahwa UEFA sebagai otoritas sepakbola tertinggi di Eropa, telah gagal. Dalam video singkat mereka di The Independent, organisasi ini menilai UEFA luput mengambil langkah yang tepat dan serius untuk mengirimkan pesan kepada para penggemar sepakbola bahwa tindakan rasialisme tidak memiliki tempat di industri sepakbola modern.
Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) juga ikut merespon keputusan UEFA dan mengulangi seruan untuk memberantas rasisme, meskipun tidak tampak indikasi apakah FA puas dengan hukuman itu atau tidak. Dalam pernyataan singkat di akun resmi Twitter mereka, hanya disebutkan bahwa FA “sangat berharap agar aksi memalukan di Sofia tidak pernah terulang lagi.”
Sikap FA tidak mengejutkan. Inggris sendiri juga tidak luput dari persoalan rasialisme di lapangan sepakbola. Raheem Sterling misalnya, adalah salah satu figur yang paling sering mendapatkan serangan rasialistik dari para penonton. Desember tahun lalu, dalam pertandingan di Stamford Bridge, Sterling menjadi sasaran aksi rasialisme dari enam orang pendukung Chelsea.
Rasialisme memang bukan hal baru. Praktek gila ini merupakan kombinasi mematikan antara ketimpangan relasi kuasa dan prasangka rasial. D. M. Newman dalam Sociology: Exploring the Architecture of Everyday Life (2012) mendefiniskan rasialisme sebagai suatu keyakinan bahwa manusia dibagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda dengan strata yang hirarkis di mana terdapat satu kelompok yang lebih unggul dari yang lain. Rasialisme mengajarkan bahwa perilaku sosial dan kapasitas seseorang atau satu kelompok sangat dipengaruhi oleh latar belakang ras.
Ketimpangan relasi kuasa tentu saja terkait dengan imbalansi struktur kepemilikan kuasa ekonomi yang dengan memukau dijelaskan Karl Marx di tahun 1867 dalam mahakaryanya berjudul Das Kapital. Ketimpangan relasi kuasa ekonomi yang bermanifestasi pada pandangan rasialistik menemukan puncaknya di era merkantilisme saat bangsa-bangsa Eropa berlayar ke berbagai penjuru dunia dan memulai penaklukan terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat di Afrika, Asia dan Amerika.
Kolonialisme sebagai wajah baru perbudakan dan anak kandung merkantilisme dengan gamblang dijelaskan oleh Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks (1952). Buku ini merupakan eksplorasi dan tinjauan kritis Fanon terhadap memorinya sebagai seorang kulit hitam terpelajar yang menemukan kolonisasi atas kediriannya yang asli (colonization of his native selfhood).
Hasil dari “mitos yang tertanam dalam” yang memfetisiskan ras dan tidak mengakui mereka yang terjajah sebagai bagian dari umat manusia. Implikasi langsungnya adalah anggapan bahwa kaum jajahan tidak lebih baik dari binatang. Contoh yang diajukan Fanon misalnya adalah bagaimana segregasi antara orang kulit hitam asli di Afrika dari para penjajahnya yang berkulit putih.
Dalam pendivisian rasialisme a la Fanon antara kaum terjajah dan penjajah, tampak jelas meresonansi apa yang telah diajukan Marx di masa lalu mengenai perbedaan antara pemilik modal dan kaum pekerja. Seperti yang telah dijelaskan Marx, distingsi kapitalisme ini merupakan karakter misterius dari format komoditi. Yang terbentuk melalui pemutushubungan yang nyata antara nilai yang diproduksi melalui proses penghisapan. Nilai ini dianggap sebagai atribut yang melekat pada komoditas, yang menghasilkan ekspresi kapitalisme dalam hubungan-hubungan sosial melalui mediasi atau subtitusi nilai uang yang kemudian memfasilitasi keberlangsungan penindasan pekerja.
Fanon menggunakan fetisisme komoditas Marx sebagai model struktural dan kausal untuk menggambarkan kontruksinya atas ras sebagai mitos yang tumbuh dari kolonisasi terhadap identitas Orang Asli, dan bukan hanya sekedar merujuk pada karateristik biologis. Fanon mengadaptasi fetisisme komoditi dan juga mengambil tesis mengenai hubungan antara kemanusiaan dan kedirian (selfhood) untuk menjelaskan tipu daya ganda kolonialisme melalui fetisisme ras. Yaitu kondisi di mana akibat ketimpangan proses pertukaran dalam masyarakat kapitalis, kolonialisme sebagai anak haramnya berhasil memproduksi relasi sosial yang membasiskan nilai-nya warna kulit dan bukan melalui uang atau barang.
Jika dalam masyarakat kapitalisme hubungan-hubungan sosialnya dimonetisasi sebagai akibat langsung dari fetisisme komoditi, dalam masyarakat kolonial hubungan sosial yang didasarkan pada warna kulit berasal dari fetisisme ras yang muncul inheren sebagai fakta biologis yang diturunkan dari kepalsuan nilai kolonial.
Tanpa komodifikasi kapitalisme terhadap relasi sosial yang dimanifestasikan dalam peng-uang-an segala sesuatunya, relasi dalam masyarakat kolonial hanya akan dipandang sebagai perbedaan warna kulit semata. Hal ini berakibat pada langgengnya eksploitasi yang didasarkan pada pembedaan antara penjajah dan yang dijajah.
Lebih lanjut dalam The Wretched of the Earth (1963), Fanon memberikan elaborasi bagaimana warna kulit yang terang merupakan representasi atas nilai dan mengindikasikan keindahan, kecantikan, keparipurnaan, dan segala sesuatu yang megah yang berkebalikan dengan warna kulit gelap. Fanon misalnya memberikan penjelasan sederhana dengan mengatakan bahwa “penyebab adalah konsekuensi itu sendiri”. Pada akhirnya dalam masyarakat kolonial, ukuran mengenai warna kulit ini juga digunakan sebagai standar untuk menilai segala sesuatu seperti tingkat kecerdasan dan kemampuan fisik.
Menurut Fanon, seseorang memiliki keistimewaan hak (privilege) disebabkan oleh warna kulit yang dimilikinya. Semakin gelap warna kulit seseorang, semakin jauh ia dari segala kemewahan dan keistimewaan dalam masyarakat kolonial tersebut.
Seperti Marx, Fanon juga bersepakat bahwa konstruksi mengenai superioritas ras dalam masyarakat kolonialisme tidak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi yang menjadi pondasi kemunculannya. Namun, perjuangan menentang fetisisme rasial bukanlah sekedar perjuangan ekonomi semata.
Menurut Fanon, fetisisme rasial tidak dapat dihancurkan hanya dengan kesetaraan ekonomi. Perjuangan reformis sejenis ini justru mengaburkan akar masalah dari rasialisme yang tidak lain adalah alienasi terhadap kemanusiaan seseorang di dalam dirinya. Pembebasan masyarakat karena itu harus fokus pada upaya menghancurkan alienasi setiap orang terhadap jati dirinya sebagai manusia.
Perjuangan menentang rasialisme adalah perjuangan yang melampaui doktrin ekonomisme yang ditentang baik oleh Marx maupun Fanon.
Itu mengapa, penentangan parsial terhadap rasialisme yang dilakukan oleh otoritas sepakbola, organisasi pemerhati atau para pemain berkulit hitam menjadi aksi yang sebenarnya tidak lebih dari jalan panjang dalam labirin. Tidak ada jalan keluar dan merupakan aksi tambal sulam yang gagal melihat akar permasalah.
Itu mengapa, saya langsung teringat dengan seorang Zinedine Zidane. Nama yang lebih banyak dikenang karena deretan prestasi dan pencapaiannya – baik sebagai pemain dan pelatih – di era sepakbola modern.
Pembahasan soal Zidane selalu berkutat di soal fakta bahwa iada menjadi manajer sepakbola pertama yang mampu menang kembali ke Liga Champions Eropa di era modern tiga musim kompetisi secara beruntun. Seperti yang ditulis oleh Ben Hayward dalam pembukaan narasi memikatnya untuk GOAL, bahwa “tidak banyak yang meramalkan masa depan cerah bagi Zinedine Zidane sebagai manajer.” Jadi untuk memenangkan tujuh dari sembilan trofi dalam satu setengah tahun seharusnya lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa laki-laki berkebangsaan Prancis ini lebih dari sekedar mampu untuk disejajarkan dengan para pelatih hebat lain.
Dalam waktu dua puluh bulan, Zidane mengubah Real Madrid untuk menyamai kemegahan Barcelona di era tangan besi Guardiola. Periode itu adalah ketika sekali lagi pecinta sepak bola di seluruh dunia terkejut melihat bagaimana klub kaya yang pernah menjadi alat politik seorang fasis dari ibu kota akhirnya bisa keluar dari bayang-bayang saingan Catalan mereka. Zizou mengubah Madrid dari klub besar yang boros dan angkuh menjadi tim paling yang secara ekonomi mengambil langkah cerdas dan menguntungkan selama transfer musim panas.
Dia berhasil “mengusir” para pemain yang dianggap tidak cocok dengan skema permainan dan hanya menjadi beban keuangan klub seperti James Rodriguez ke Bayern Muenchen, Danilo ke Manchester City dan Alvaro Morata ke Chelsea. Total, Zidane hanya menghabiskan 82,5 juta dalam dua transfer musim panas.
Untuk sekedar info, ia hanya membeli Theo Hernadez (19 tahun) dan Dani Ceballos (21) saat berlangsungnya periode transfer di musim panas 2017. Para pemain ini harganya kurang dari 47 juta euro. Itu kurang dari satu dari harga yang dibayar oleh Paris Saint Germain kepada Barcelona untuk memikat Neymar. Mantan kapten Prancis itu juga memanggil pulang para punggawa seperti Jesus Vallejo, Borja Mayoral, Marcos Llorente, dan Achraf Hakimi. Keenam pemain ini memiliki satu kesamaan: mereka semua masih muda. Langkah tersebut membuat Zidane mau tidak mau dibanding-bandingkan oleh para pengamat sepakbola dengan jalan yang pernah ditempuh oleh Barcelona, bertahun-tahun lalu.
Ketika Los Cules memenangkan enam kejuaraan dalam satu tahun di musim 2008-2009, mereka memiliki Valdez sebagai penjaga gawang, Puyol, dan Pique di jantung garis pertahanan mereka, Xavi, Iniesta dan Busquet di lini tengah, Messi dan Pedro di lini depan. Nama-nama ini bermain secara teratur dan berbagi satu kesamaan: lulusan La Masia.
Tetapi hal yang paling menarik dari Zidane bagi saya bukanlah deretan piala-piala-nya. Namun bagaimana latar belakang sebagai putra pasangan imigran Aljazair yang terpaksa bermigrasi menuju Prancis untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sikapnya tidak bisa tidak ikut dibentuk dan dipengaruhi oleh kenyataan bahwa kedua orang tuanya beremigrasi ke Paris dari Aljazair utara setahun sebelum perang revolusi Aljazair untuk kemerdekaan dimulai.
Dikenal publik dengan panggilan, Zizou, ia lahir di Marseille pada tahun 1972 sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dan merupakan generasi pertama imigran Kabilah Berber, kelompok etnolinguistik terbesar kedua yang berasal dari bagian utara Afrika. Ia lalu menjalani masa remajanya di Saint-Dennis yang terletak di bagian utara Paris. Di masa tersebut, Saint-Dennis adalah salah satu kawasan yang dipandang kumuh dan memiliki angka kriminalitas yang tinggi.
Mantan pemenang Ballon d’Or pada tahun 1998 itu lahir dan dibesarkan sebagai Muslim, agama minoritas yang umumnya dipeluk oleh para imigran. Zidane mematuhi dan mempertahankan imannya selama musim yang intens di mana ia harus bermain selama 90 menit selama bulan puasa. Pemain dengan teknik luar biasa dan visi bermain spektakuler ini menjadi pahlawan nasional Prancis setelah memimpin negaranya memenangkan gelar Piala Dunia pertama mereka di tahun 1998.
Meski kita semua tahu dan harus mengakui dengan jujur bahwa kemenangan tersebut sama di kemudian hari sekali tidak mengubah fakta siulan dan cemooh yang dilakukan para pendukung atau pemain lawan yang dialamatkan kepada para pemain migran dan kulit berwarna masih terus terjadi selama pertandingan.
Di Eropa, para pemain sepakbola berkulit hitam dan yang beragama Muslim masih menghadapi diskriminasi meskipun keterampilan mereka di lapangan. Samuel Eto’o pernah dilempari kulit pisang. Daniel Alves sering harus berurusan dengan mereka yang mengejeknya karena warna kulitnya. Moise Kean juga pernah pernah menjadi korban serangan rasialisme semasa masih bermain untuk Juventus FC di Italia.
Di Prancis, hal yang sama juga terjadi meski di gelaran Piala Dunia 2018 yang dihelat di Rusia, negeri ini kembali menjadi juara dengan mayoritas pemain keturunan imigran. Pada April tahun ini, pertandingan antara Dijon dan Amiens di Ligue 1 sempat dihentikan untuk sementara. Penyebabnya tidak lain adalah aksi rasialisme. Saat itu, kapten tim Amiens, Prince Gouano menjadi korban siulan rasial dari pendukung Dijon.
Itu sebabnya, adalah delusional jika kita meyakini bahwa sepak bola hari ini sebagai olahraga paling populer dengan massa dengan jutaan orang yang terlibat dalam berbagai lapisan sama sekali bebas dari rasisme, diskriminasi, eksploitasi pekerja, dan sebagainya. Mantan penyerang Manchester United, Andy Cole, misalnya pernah menyoroti bahwa tidak ada pelatih kulit hitam di Liga Premier menunjukkan bahwa sepakbola masih jauh untuk disebut adil.
Jadi tidak ada yang bisa mengatakan tidak ada rasisme di Inggris karena mereka menemukan sepakbola. Atau mengatakan bahwa kompetisi sepakbola di Prancis bebas dari rasialisme hanya karena mereka melahirkan sejumlah filsuf dan melakukan revolusi yang menggulingkan monarki untuk membuka jalan lahirnya konsep republik. Faktanya, rasisme ada di mana-mana dan nyalahnya tetap hidup dan dijaga oleh ribuan orang bodoh.
Itu sebabnya di Jerman, mereka yang mendukung St. Pauli menjadi sikap yang sangat masuk akal. Atau memiliki kelompok ANTIFA yang menjadi bagian dari kelompok besar pendukung klub seperti yang dilakukan para pendukung West Ham United menjadi teladan yang patut ditiru.
Sepak bola selalu dalam ancaman kudeta oleh para rasis, dan ia berada di kursi tribun penonton dan di dalam lapangan. Contoh paling paripurna dari kombinasi setan ini adalah periode bulan madu antara SS Lazio dan Paolo Di Canio yang merupakan adalah pasangan luar biasa yang mengikat janji suci dengan berlian rasialisme.
Hitler mungkin mati bertahun-tahun yang lalu tetapi gagasan tentang white power atau supremasi mereka yang berkulit putih pucat masih ada. Persoalannya adalah masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab spesifik: apakah Anda ingin berpihak pada orang-orang bodoh itu atau berdiri menentangnya. Pilihan yang sangat sederhana tetapi hampir tidak mungkin dilakukan ketika Anda dibutakan oleh gagasan bahwa sepak bola netral dan semua tentang ideologi harus diletakkan sejauh mungkin dari olahraga.
Itulah salah satu alasan mengapa saya berubah menjadi salah satu pendukung Zidane ketika ia dengan gagah berani menanduk dada Materazzi. Aksi spektakuler yang menjadi buah bibir usai gelaran Final Piala Dunia 13 tahun yang lalu dan mungkin hingga sekarang. Terlepas dari kenyataan bahwa saya tidak pernah menjadi penggemarnya di lapangan karena ia bermain untuk Juventus dan Real Madrid setelah dua kali bermain di Cannes dan Bordeaux.
Bagi saya pribadi, aksi menanduk dada yang dilakukan Zidane membentang jauh melampaui “langkah reaksioner sederhana” seperti yang diulang-ulang para pundit sepakbola dan diyakini banyak orang.
Sungguh perasaan yang luar biasa bagi saya untuk jujur melihat seorang rasis mendapatkan serangan langsung tepat dan disaksikan jutaan orang di seluruh dunia. Aksi menanduk dada yang dilakukan Zidane kemudian terasa sangat heroik secara personal karena menunjukkan bagaimana seseorang dapat dengan mudah mengesampingkan segala sesuatu yang terkait dengan popularitas, kejayaan, hadiah uang dan piala untuk mempertahankan diri melawan aksi rasialisme.
Aksi Zizou sendiri terasa makin sempurna karena mengambil panggung di Berlin, tempat dengan ingatan gelap yang kuat tentang bagaimana di masa lalu orang-orang Yahudi, homoseksual, komunis, gipsi dan orang kulit berwarna menjadi marka brutalitas pandangan supremasi berdasarkan warna kulit.
Aksi tersebut sejatinya, adalah hadiah terbesar yang diberikan oleh Zidane kepada semua pecinta sepak bola di seluruh dunia. Bahwa secara tegas, rasisme tidak punya tempat dimanapun. Bahkan di final Piala Dunia. (*)
Editor: Greenhill Weol
Foto: Zinedine Zidane (Sumber: pinterest.com)