Connect with us

CULTURAL

Rayakan HKMAN, Tapaki Jejak Leluhur di Ares dan Wenang

Published

on

17 Maret 2019


Oleh: Rikson Karundeng


Lumales adalah tradisi untuk menziarahi jejak-jejak leluhur yang telah mewariskan nilai-nilai moral, etis, nilai sosial dan kebaikan tentang bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya

SABTU, 16 MARET 2019 di tengah Kota Manado.

Mentari baru mulai condong ke barat. Puluhan tou (orang) Minahasa berjalan menyusuri hiruk-pikuk ibukota Provinsi Sulawesi Utara itu. Mereka bagian dari komunitas-komunitas adat di daerah ini.

Hari itu mereka menggelar lumales, sebuah tradisi ziarah ke makam, jejak-jejak peninggalan leluhur. Kali ini, kegiatan lumales dikordinir Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Utara.

“Lumales kali ini khusus dalam rangka merayakan HKMAN (Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara) dan hari ulang tahun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) kedua puluh. Bersama kita ada kawan-kawan Barisan Pemuda Adat Nusantara, komunitas adat Ares dan Wenang, saudara-saudara penggerak komunitas adat dan ormas adat dari Tonsea, Tondano, Tontemboan, Tonsawang dan tentu makawale, Tombulu,” terang Ketua Badan Pengurus AMAN Wilayah  Sulawesi Utara, Lefrando Gosal.

Manado, wilayah pemukiman Walak Ares dan Walak Wenang sengaja dipilih untuk kegiatan lumales. “Komunitas adat yang mendiami Kota Manado adalah komunitas adat yang kini paling babak belur dihantam gempuran zaman. Tapi kondisi itu mereka alami sejak era Spanyol, Portugis hingga Belanda. Walak Wenang dan Walak Ares Pakasaan Tombulu punya pengalaman panjang bergulat dengan globalisasi,” ujarnya.

Menurut Gosal, dengan menjejaki ulang jejak para leluhur di wilayah Wenang dan Ares, mereka bisa kembali belajar dan merefleksikan bagaimana menghadapi tantangan yang selalu mengancam tanah dan tou Minahasa.


Watu Tinatou Makeret

Ziarah dimulai di Watu Tinatou di wilayah Makeret. Situs yang diperkirakan merupakan peningalan masyarakat Ares dan Wenang. Sebuah pusat pemujaan yang sangat penting bagi komunitas di zaman leluhur.

“Tinatou berarti batu yang ada orang. Makanya di situs ini ada wajah orang. Itu jadi pusat pemujaan orang-orang Wenang dan Ares. Karena itu ada di tengah pemukiman antara Walak Ares dan Walak Wenang,” tutur budayawan Minahasa, Rinto Taroreh.

Dahulu, ketika menghadapi persoalan khusus, para Walian (pemimpin agama) dan masyarakat akan menggelar doa khusus di tempat ini.

“Di watu natou atau tinatou ini, masyarakat di dua walak, Ares dan Wenang biasa menggelar doa. Jadi tempat ini semacam lalalesan. Atau tempat tinggi yang biasa dinaiki untuk memanjatkan doa kepada Sang Kahlik,” terangnya.

Menurut Taroreh, tempat itu sangat terkait dengan nama Makeret. Nama kelurahan di mana situs itu berada. “Di tempat itu orang ja mahkeret atau di Tontemboan bilang Kakeretan. Artinya tempat berteriak tapi bukan berteriak kasar. Dalam pengertian tempat berseru dengan suara nyaring ke ‘atas’ karena ada maksud dan tujuan tertentu,” ujarnya.

“Contoh ada musim panas panjang. Biasa pusat pemujaan itu ada di batu timani. Tapi dalam kondisi luar biasa mereka akan naik ke lalaesan. Mereka berseru, bermohon kepada Empung Wailan Wangko. Karena panas panjang biasa semua tanaman mati. Saat memanjatkan doa, ada harapan cuaca akan balik normal,” sambung Taroreh.

Ritual itu merupakan bagian dari upacara adat mahelur. “Upacara untuk membujuk, menata, mengatur ulang, normalisasi alam. Kalau mau meminta cuaca balik normal di saat musim kemarau panjang, biasa masyarakat datang membawa air dan dan membasahi batu tinatou. Mencuci batu itu sambil memanjatkan doa. Tua-tua dahulu mengisahkan, kesungguhan meminta dan keyakinan mereka luar biasa. Karena itu, biasanya masih sementara proses upacara hujan sudah mulai turun,” tandas tokoh penggerak komunitas adat Wanua Warembungan ini.


Watu Mawuring Sumonder

Para peziarah di Watu Mawuring Sumonder

Usai ziarah di Watu Tinatou, para peziarah bergerak ke Watu Wawuring. Sebuah situs peninggalan leluhur yang berada di wilayah Bumi Beringin. Tepat di samping rumah dinas gubernur Sulawesi Utara.

“Dalam ingatan orang Tombulu, mawuring itu satu kaum, kelompok keluarga dari Sumonder yang boleh dibilang pengelana. Watu mawuring adalah situs, tempat di mana kaum ini biasa singgah saat mereka datang ke wilayah Ares atau Wenang,” kata Rinto Taroreh, tokoh adat yang memimpin langsung lumales ini.

“Contoh, orang Pineleng dahulu kalau mau ke Warembungan, ada kayu besar tempat mereka singgah sejenak. Sebuah tempat yang berada di ujung Warembungan. Mereka istirahat sebelum atau sesudah dari kampung itu. Sebelum atau sesudah mereka mengerjakan kepentingan tertentu di Warembungan. Seperti itulah batu mawuring bagi tou Sumonder,” terangnya.

Watu Mawuring merupakan cikal bakal sebuah pemukiman tou Sumonder di wilayah Wenang dan Ares. “Itu cikal bakal mereka menetap di Manado. Awalnya jadi tempat pemukiman tidak tetap. Lama-kelamaan mereka mulai menetap di tempat itu,” tandasnya.

Daerah Bumi Beringin dahulu merupakan pintu masuk ke pemukiman Walak Wenang. “Itu kan pintu masuk ke daerah Wenang. Berada di ujung, pintu masuk ke pemukiman Walak Wenang. Dekat watu mawuring ada mata air. Dulu kan leluhur kita kalau mau mencari tempat tinggal biasanya melihat sumber air. Posisi watu mawuring ada di punggung gunung, jalan tua. Ke kiri menuju Wenang, ke kanan menuju pemukiman Walak Ares,” tutur Taroreh.

Budayawan Minahasa, Ivan Kaunang menjelaskan, Watu Mawuring juga ada dalam ingatan masyarakat Bantik. Orang-orang Bantik biasa menyebutnya Lrokow.

“Di masa pemerintahan Gubernur H.V. Worang, ia sering mengumpulkan sejumlah tetua adat, baik dari Bantik dan suku Minahasa lainnya di tempat itu. Mereka kemudian menyebut batu tersebut dengan batu Bantik,” kata doktor kajian budaya ini.

“Menurut masyarakat Bantik, batu ini dijaga dan dilindungi oleh leluhur Bantik yang bernama Yopo Makabalrang atau disebut juga Yopo Lrabaidang,” sambungnya.

Di zaman lampau, batu ini oleh orang-orang Bantik dijadikan sebagai tempat persinggahan dan atau pertemuan dari para dotu, leluhur, tua-tua suku Bantik dari berbagai tempat untuk membicarakan berbagai hal.

“Soal-soal yang dipercakapkan terutama mengenai kelangsungan hidup, keamanan, dan apakah ada ancaman dari dalam maupun luar, serta kesejahteraan masyarakat,” papar Kaunang.

Direktur Institut Kajian Budaya Minahasa (IKBM) ini juga menjelaskan lebih lanjut soal Watu Mawuring dalam cerita masyarakat Minahasa. “Dalam cerita rakyat Minahasa, batu ini juga disebut batu mawuring. Batu sebagai tempat persinggahan dari turunan atau taranak Wuring yang adalah bagian dari orang-orang Sumonder sebelum memasuki Wenang,” kata Kaunang.

“Tempat di lokasi batu itu berada sering dijadikan tempat mengadakan ritual lalalesan atau tempat meletakan persembahan weweleten dari tou atau orang-orang Sumonder sebagai wujud terima kasih kepada Kasuruan Wangko  atau Tuhan, yang telah memberikan perlindungan selama dalam perjalanan dari tempat asalnya menuju Wenang atau Manado,” terang Kaunang.


Wanua Ure Wenang

Dari Watu Mawuring Sumonder, para peziarah menuruni punggung gunung hingga tiba di kubur Borgo, Makeret. Daerah bekas wanua ure atau pemukiman tua Walak Wenang. Secara spontan mereka langsung menyebar, membersihkan rumput dan alang-alang yang telah menutupi sejumlah waruga (makam tua) di tempat itu.

Menurut Rinto Taroreh, dahulu makam-makam tersebut berada di daerah barat posisi sekarang. Karena pembangunan kota yang kian pesat, makam-makam itu kemudian dipindahkan ke posisi sekarang.

“Kubur tua Wenang sebenarnya dari bawah kemudian dinaikkan ke atas. Itu karena ada macam-macam pembangunan. Termasuk waruga-waruga yang ada di kubur Borgo sekarang, itu dipindahkan dari bawah. Jadi posisi awal di seputaran SD Tabita sampai jalan Sarapung. Kemudian dipindahkan ke atas, di posisi kompleks makam kubur Borgo sekarang,” jelasnya.

Kata Taroreh, dahulu pemukiman Walak Wenang memanjang dari gereja Sentrum Manado sekarang sampai ke daerah Korem hingga Titiwungen. Dari pesisir pantai hingga  punggung gunung Makeret Timur kini.

“Itu pemukiman Wenang yang pertama. Karena penataan kota, kubur tua, waruga diangkat dan disatukan di kubur Borgo sekarang,” terangnya.

Sejumlah waruga tokoh Minahasa di masa lampau masih berdiri di wanua ure Wenang. Salah satunya Tololiu Supit.

“Salah satu waruga di wanua ure Wenang ini dikenal masyarakat sebagai waruga Tololiu Supit,” ungkap Rinto Taroreh.

Sejarawan Ivan Kaunang menerangkan, Tololiu Supit  merupakan anak dari salah satu “trio legendaris” Minahasa, Sahiri Macex Supit. “Tololiu Supit itu anak Sahiri Supit. Ibunya dari Walak Ares bernama Suanen. Ia Kepala Walak Ares sekitar 1700-an. Sempat diangkat Gubernur Maluku Marthen Lelivelt sebagai Hukum Mayor tahun 1739. Ia meninggal sekitar tahun 1769,” kata Kaunang.

“Sesudah Tololiu Supit, yang menjadi Kepala Walak Ares adalah Lasut. Lasut ini menikah dengan putrinya yang bernama Marawulawan. Anak mereka Londok Kambey Lasut, Kepala Walak Ares dari tahun 1801 sampai ia meninggal tahun 1827. Anak Londok Kambey Lasut yang kita kenal dengan Ruru Ares,” papar Kaunang.


Wanua Ure Ares dan Watu Sumanti Tikala

Selesai menelusiri jejak leluhur di wanua ure Wenang, para peziarah bergerak ke arah timur. Melihat dari dekat bekas wanua ure Ares. Di samping sungai Tondano, di wilayah Tikala.

Waruga-waruga wanua ure Ares banyak yang telah hilang. Digusur karena pembangunan rumah, gedung-gedung hingga bagunan kantor pemerintah.

Makam Johakim Bernard Lasut

Namun jejak anak keturunan Walak Ares masih bisa dilihat di “Pekuburan Adat Keluarga Tikala Ares”.

Makam sejumlah Kepala Walak Ares berdiri tegak di kompleks pekuburan tersebut. Di antaranya, makam Mayor Ares Johakim Bernard Lasut yang sebelum dibaptis bernama Rares atau Ruru Ares, Hukum Besar Ares Umbo O. Lasut dan Hukum Besar S.B. Lasut.

Di kompleks pekuburan ini terdapat juga makam Umboh Kapoyos, yang ditulis sebagai panglima perang Tondano tahun 1808-1809. Ia dibuang ke negeri Ares usai perang. Ada juga makam tokoh pers awal kemerdekaan, O.H. Pantou.

“Dulu bekas makam tua Wanua Ares menyebar di wilayah Tikala, dekat lapangan Tikala. Namun banyak yang dibongkar dan disatukan di kawasan pekuburan Ares sekarang karena pembangunan,” kata Rinto Taroreh.

Tak jauh dari “Pekuburan Adat Keluarga Tikala Ares” terdapat Watu Sumanti. Situs tempat upacara adat di masa lampau.

Makam S.B. Lasut

“Dulu watu sumanti ini memanjang di tengah bangunan samping situs ini. Kemudian ketika bangunan itu didirikan, dipindahkan di posisi sekarang,” jelas Taroreh.

Masyarakat sekitar menceritakan, Watu Sumanti tersebut dipindahkan dari Pondol, wilayah pesisir pantai Walak Wenang. “Orang-orang tua menceritakan, batu sumanti itu ada yang dari Pondol tapi ada juga yang sudah berada di lokasi sekarang. Karena pembangunan di kota, suatu ketika watu sumanti di Pondol milik Walak Wenang dipindahkan dan disatukan di situ,” terangnya.

Ditegaskan, situs tersebut merupakan Watu Sumanti milik Walak Wenang dan Walak Ares. “Kalau kita lihat dengan teliti, jenis batu dan cara penataannya ada dua memang. Jadi watu sumanti ini sebagian milik Wenang, sebagian milik Ares,” tandas Taroreh.

Dari proses pemindahan hingga kini, banyak batu dari Watu Sumanti ini diketahui telah hilang dicuri oleh orang-orang tak bertanggungjawab.

Watu Sumanti

Masyarakat Tombulu mengetahui, Tonaas Sumanti (leluhur yang membuat upacara sumanti di tempat itu) Mamarimbing (leluhur yang biasa memanggil dan mendengar tanda burung dalam setiap upacara), dan se timontani (leluhur yang pertama kali membuka sebuah pemukiman baru) seperti Lolong Lasut, Tuerah, adalah tokoh-tokoh awal pendiri pemukiman Walak Ares pertama kali.

“Para leluhur tumani dari Kali atau wanua ure Lotta. Kemudian mendirikan pemukiman awal dekat sungai Ares. Mereka menamakan tempat itu Pinopoan. Sebab Ares awal memang belum secara resmi jadi kampung tapi baru popo atau pondok-pondok pendek. Dari Pinopoan inilah baru leluhur Wongkar dan Kalangi mendirikan Wenang,” urai Taroreh.

Ivan Kaunang menjelaskan lebih lanjut soal Watu Sumanti. Menurutnya, Watu Sumanti artinya batu tempat memainkan pedang. Dari kata watu yang berarti batu dan santi yang berarti pedang. Batu ini sebelum dikenal dengan nama sumanti, disebut batu pa’lalesan atau pa’lenasan. Dari kata lenas yang berarti suci.  Jadi batu pa’lalesan atau pa’lenasan berarti batu tempat ziarah atau batu suci atau batu tempat penyucian.

“Di zaman Minahasa purba, watu ini merupakan tempat melakukan ritual rumuru. Asal kata ruru atau pinggir atau yang berarti meminggirkan. Ritual rumuru bertujuan untuk mengusir, memisahkan atau mengeluarkan orang yang bermaksud jahat (tou lewo) atau wabah penyakit (orang Minahasa menyebut reges lewo atau ‘angin jahat’) di wilayah pemukiman,” terang Kaunang.

Akademisi Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ini menjelaskan, ritual rumuru diawali dengan mengungsikan penduduk ke tempat yang dirasa aman. Kemudian pemimpin dari ritual yang disebut Walian sambil memegang Rere Ta’as (lidi seho/enau) bersama para waraney (ksatria) pergi ke watu Palenasan sambil mengayun-ayunkan pedang yang disebut sumanti. Mereka kemudian berjalan mengelilingi pemukiman dan mendatangi rumah ke rumah sambil berteriak-teriak dengan maksud mengusir “roh jahat”.

“Selain itu, Watu Sumanti hadir sebagai tanda pendirian wanua (desa) baru dan biasanya di dekat batu itu selalu diletakkan rerumeta’an atau persembahan kepada Opo Empung, Opo Ririmpuruan (Tuhan). Di sekitar batu tersebut, biasanya terdapat tanah lapang yang disebut lezar um banua atau tanah negeri. Lezar um banua inilah yang kemudian ditempati dan menjadi pemukiman awal di Manado.  Pemukiman pertama yang berdiri di Manado adalah Wanua Ares,” jelasnya.

Di era Minahasa purba, melakukan ritual tersebut adalah hal biasa. Dilakukan setiap tahun atau ketika adanya gangguan, baik yang datang dari manusia yang jahat maupun wabah penyakit. Seringnya diadakan ritual ini membuat Watu Pa’lenasan/Pa’lalesan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Watu Sumanti, batu tempat mengayunkan pedang.

Dari ritual inilah muncul gelar Ruru Ares bagi para waraney di Ares, seperti Wongkar, Lolong, dan Matindas. Mereka tiga sekawan dari negeri tua Lotta.

“Wongkar kemudian mendirikan patar un wenang. Dinamakan demikian karena di lokasi itu banyak tumbuh kayu wenang. Sementara Lolong bermukim di sebelah utara yang banyak ditumbuhi kayu aris patarna un aris, dan Matindas menetap di Maadon,” kata Kaunang.


Memaknai Lumales

Diskusi di kediaman Budayawan Dr. Ivan R.B. Kaunang

Lumales berujung di rumah Ivan Kaunang di Tikala. Diskusi hangat menutup rangkaian ziarah menelusuri jalan yang pernah dilalui para leluhur Minahasa.

Ditemani kopi, kue apang khas Minahasa, Ketua BP AMAN Wilayah Sulawesi Utara, Lefrando Gosal, menjelaskan perjalanan AMAN hingga berusia 20 tahun. Bagaimana latara belakang hingga meletup kebangkitan masyarakat adat nusantara 17 Maret dua puluh tahun lalu. Bagaimana organisasi ini berjalan bersama masyarakat adat di nusantara menghadapi berbagai pergumulan dan tantangan hingga hari ini.

Terkait dengan itu, budayawan Fredy Wowor dan Rinto Taroreh mengulas makna lumales yang baru dijalani. Kata Taroreh, dahulu ada ungkapan leluhur Minahasa, “lumales wanang lalalesan”. Maknanya, mau menapaki jalan ka atas (langit). Dulu, setiap kampung ada ‘lalanesan’ atau tampat yang diperuntukan bagi Tuhan dan leluhur.

“Biasanya itu di dekat kampung, pada sebuah tempat  yang tinggi dan rata. Praktek lumales itu dilakukan untuk ‘bersih-bersih’ kampung. Biasa kalau sudah banyak penduduk atau binatang peliharaan yang terkena sakit penyakit, atau ada cuaca hujan disertai angin kencang seperti sekarang. Orang tua bilang, itu wer nda bagus,” tuturnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, lumales adalah kegiatan “bersih-bersih” yang dilakukan di tempat-tempat leluhur, pendahulu yang telah membuka jalan bagi anak keturunannya. “Intinya, di saat melakukan ziarah ini, pengetahuan yang telah mereka tinggalkan, kita ingat kembali, selaraskan agar kita mampu hadapi tantangan sekarang,” ungkapnya.

Menurutnya, tradisi lumales hari ini dibuat kembali paling pokok karena orang mulai lupa akan jati dirinya, siapa yang mendirikan daerah tersebut. Padahal, padangan hidup leluhur dan patokan hidup merekalah yang membuat sehingga tempat itu layak dihidupi.

“Hal penting dari lumales kali ini, kita balik dan melihat secara langsung. Paling pokok bukan hanya pergi melihat situs sebagai benda mati tapi bagaimana melihat nilai-nilai yang menghidupkan, warisan leluhur yang masih tersimpan di tempat itu. Dengan kita ke sana, nilai-nilai itu semakin tertanam, lebih bangkit di dalam hati. Dengan kita melihat situs-situs ini, kita semakin dengat dengan nilai-nilai keminahasaan itu. Dia lebih hidup dalam diri kita,” ucap Taroreh.

“Nilai yang dimaksud adalah nilai moral, etis, nilai sosial, nilai-nilai kebaikan, misalnya bagaimana mau menjadi manusia yang sebenarnya seperti yang diajarkan leluhur. Itu hal terpenting dari lumales. Dengan lumales kita tahu jalan-jalan itu, sejarahnya. Karena walau bagaimanapun kita mau bercerita tentang Minahasa tapi penanda-penanda itu telah hilang, itu jadi mitos. Di satu sisi kan kita perlu bukti nyata, fisik. Bukti fisik itulah bukti peradaban kita di masa lalu. Makanya penting sekali situs-situs itu,” ulas Taroreh.

Budayawan Fredy Wowor menambahkan, lumales lebih bermakna bagaimana manusia menapaki jalan dari Tuhan yang dilalui para leluhur. “Depe bilangan ‘se tua ni sera se makukukung, se puyun, wo se koki makiit’. Artinya, generasi tua hadir sebagai pelindung kita. Jelas karena generasi berikut bertahan karena mereka, warisan pengetahuan dan peradaban mereka,” sebutnya.

Ditegaskan Wowor, makna lumales hari ini untuk mengingatkan bahwa orang Minahasa punya peradaban. “Makna hari ini ‘tumewang  palampangan’. Jadi apa yang kita jalani hari ini ibarat jejak, tapak yang akan mengingatkan generasi yang hidup hari ini bahwa kita punya peradaban,” kunci pegiat Mawale Movement ini. (*)


Editor: Denni Pinontoan


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *