Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 Januari 2019
Oleh: Juan Y. Ratu
kelung.com – Pemberedelan buku oleh militer terus berulang. Paling anyar, penggeledahan dan penyitaan buku oleh tim gabungan Komando Rayon Militer (Koramil) 01 Padang dan Kejaksaan Negeri Padang terhadap toko buku Nagareboshi di Padang, Sumatera Barat, pada Selasa 8 Januari 2019. Alibi yang digunakan dalam penyitaan adalah tuduhan bahwa buku-buku tersebut menyebarkan paham komunisme. Tuduhan ini jelas tidak masuk akal menurut ELSAM dan tindakan penggeledahan disertai penyitaan buku jelas merupakan perbuatan yang menyalahi undang-undang.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melalui rilisnya mengecam hal tersebut. Menurut ELSAM, tindakan penyapuan dan pelarangan buku secara konstitusional tidak sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyebarkannya dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. ELSAM merujuk kepada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, yang menegaskan bahwa pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum (rule of law). Tindakan itu, sama juga dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang, yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap hak milik.
Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut disebutkan bahwa tindakan pelarangan atau pembatasan terhadap suatu kebebasan—termasuk buku sebagai pengetahuan dan informasi, tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki adanya due process of law. Dengan demikian tindakan pembatasan yang demikian, bertentangan dengan kaidah pembatsan yang diatur oleh Pasal 28J UUD 1945. Dengan pertimbangan tersebut, MK kemudian membatalkan UU No. 4/PNPS/1963, yang secara otomatis pula membubarkan tim pelarangan buku (clearing house) yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung.
Dengan demikian, menurut ELSAM segala tindakan penyapuan dan pelarangan terhadap buku-buku “kiri”, sesungguhnya telah kehilangan legitimasi dan dasar hukum, serta menyalahi prinsip-prinsip due process of law. Putusan MK di atas menghendaki setiap tindakan pelarangan, haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui suatu proses peradilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Tegasnya, setiap tindakan pelarangan harus melalui suatu proses penegakan hukum, untuk menentukan ada tidaknya unsur pelanggaran hukum di dalamnya. Artinya, tindakan penyapuan dengan alasan pengamanan, yang dilakukan oleh aparat militer, dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang melampau wewenang (abuse of power). Sebab, mengacu pada UU No. 34/2004 tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum.
Senada dengan hal tersebut, melalui akun Facebook-nya, Pemimpin Redaksi Majalah Online Historia, Bonnie Triyana mengatakan dari antara sejumlah buku yang disita, terdapat salah satu karyanya yang secara resmi memiliki ijin edar.
“Salah satu buku yang disita adalah karya kami yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan diluncurkan 30 November 2017 di Museum Nasional. Buku tersebut, ‘Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Terhadap Bung Karno’ diberi kata pengantar oleh Megawati Sukarnoputri, berkisah tentang aksi-aksi percobaan pembunuhan Sukarno yang berhasil digagalkan, mulai Cikini sampai Maukar. Ibu Megawati sendiri memberikan pidato kunci peluncuran buku,” ungkap Triyana.
Triyana sangat keberatan buku-buku yang secara hukum sah memiliki ijin edar disita secara serampangan oleh tentara dan pihak kejaksaan. Ia menunjuk bahwa penyitaan tersebut dibasiskan pada dugaan yang tak berdasar serta merupakan aksi yang tidak bermutu dan tidak terpuji.
“Tentu kami keberatan buku-buku tersebut disita. Apalagi kisah yang kami tulis berdasarkan fakta-fakta hasil riset dan reportase selama berminggu-minggu bahkan berbulan lamanya,” lanjut Triyana.
Di tempat lain, editor Marjin Kiri Publisher, Ronny Agustinus, juga ikut menyuarakan kekecewaannya. Melalui laman Facebooknya, Ronny mengaku sangat kecewa dengan tindakan sewenang-wenang dari TNI dan Kejaksaan Negeri Padang. Tindakan tersebut menurut Ronny merupakan aksi militerisme yang justru makin membuat masyarakat semakin dungu. Apalagi, tindakan teror penyitaan buku tersebut berefek negatif dengan rencana penutupan toko buku oleh sang pemilik Yessy Loren.
“Pemilik toko buku di Padang yang dirazia kemarin akan menutup toko fisiknya karena syok dengan peristiwa kemarin. Koleksinya diobral jual rugi. Puaskah kalian, hai tentara, membuat negeri ini tambah dungu dan menambah jumlah orang yang kehilangan pekerjaannya? Semoga Jokowi dan para investornya melihat di negeri ini orang buka usaha baik-baik malah direcoki.” tulis Ronny Agustinus.
Kepada viva.co.id, Yessy Loren menegaskan bahwa buku yang dijual di toko buku miliknya adalah buku resmi. Di setiap buku yang dirazia oleh pihak TNI dan Kejaksaan Padang di toko buku Nagareboshi, terdapat International Standard Book Number (ISBN). ISBN sendiri adalah cara identifikasi unik buku komersial yang digunakan secara internasional. Sistem ISBN diciptakan di Britania Raya pada tahun 1966 dan diperuntukkan bagi penerbitan buku. Nomor ISBN tidak bisa dipergunakan secara sembarangan dan rilis setiap nomor diatur oleh sebuah lembaga internasional yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Untuk mendapatkan nomor ISBN, setiap pihak wajib menghubungi perwakilan lembaga yang telah ditunjuk oleh ISBN di negara masing-masing. Di Indonesia, Perpustakaan Nasional RI adalah institusi nasional yang menjadi perwakilan resmi ISBN sejak tahun 1986.(*)
Editor: Andre Barahamin