REVIEW
Refleksi Masyarakat Adat Lewat Film Seediq Bale (Bag.2)
Published
6 years agoon
By
philipsmarx3 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Insureksi Wushan
Plot utama Seediq Bale: The Rainbow Warriors adalah seputar insureksi Wushan.
Pemberontakan ini pertama kali meletus pada 27 Oktober 1930 sebelum berhasil dipadamkan pada akhir Desember tahun yang sama. Dalam “The Japanese Occupation” yang terbit dalam kompilasi berjudul Taiwan: A Political History, terbitan Cornell Press University, Denny Roy ikut menguatkan bukti bahwa iven penting ini dipimpin oleh Mouna Rudao dari kampung Mehebu, klan Tkdaya, Seediq Bale. Insureksi ini sukses mengumpulkan sekitar 300 pejuang dari tujuh kampung.
Film ini dibuka dengan adegan Chucao ketika Mouna Rudao berhasil mendapatkan kepala orang Bunun yang sedang berburu. Lalu penonton diajak untuk memahami latar belakang sejarah peristiwa Wushan yang ditandai dengan serah terima pulau Formosa dari Dinasti Qing kepada Jepang di tahun 1895 melalui perjanjian Shimonoseki. Menyusul fragmen soal Insiden Tapani di tahun 1915. Poin penting Insiden Tapani direkam dengan baik oleh Paul R. Katz ketika menulis Governmentality and Its Consequences in Colonial Taiwan: A Case Study of Tapani Incident of 1915. Ketika itu kelompok etnis Han di bawah pimpinan Yu Qingfang melancarkan pemberontakan yang berpusat di Kuil Xi Lai.
Lalu disusul dengan adegan perlawanan klan Tkdaya di periode yang sama.
Daerah berburu klan Tkdaya yang tersebar di 12 kampung di pegunungan tengah pulau Formosa memang merupakan incaran kolonial Jepang di masa itu. Sebabnya adalah sumber daya kayu yang melimpah serta potensi tambang yang begitu menggiurkan. Itu sebabnya sejak 1897, Jepang menjalankan program pembukaan jalan agar eksploitasi hutan dan sumber daya alam di pegunungan tengah Formosa dapat maksimal. Program ini dipandang sebagai bentuk invasi oleh klan Tkdaya.
Akibatnya, meletus konflik di tahun 1901 yang mengakibatkan 670 tentara Jepang terbunuh. Wushan diisolasi hingga setahun berikutnya. Menyikapi ini, operasi pembersihan militer dijalankan sejak tahun 1914 hingga 1917. Fakta bahwa Mouna Rudao terlibat sejak periode awal pemberontakan klan Tkdaya tidak dapat ditemukan di dalam film ini. Padahal menurut Dakis Pawan, wibawa Mouna Rudao di tengah klan Tkdaya terutama disebabkan karena kemampuannya mengatur strategi perang di dua momen pemberontakan sebelumnya.
Upaya menaklukkan resistensi Tkdaya awalnya dilakukan dengan pengerahan operasi militer skala besar. Hasilnya? Bertambahnya korban jatuh di pihak tentara dan polisi Jepang serta makin menguatnya kebencian orang-orang Seediq di klan Tkdaya.
Menurut L. Ching dalam Savage Construction and Civility Making: The Musha Incident and Aboriginal Representations in Colonial Taiwan, ini adalah sebab Jepang kemudian memutuskan untuk membawa para kepala kampung dari Seediq Tkdaya ke Tokyo. Tujuannya adalah teror psikologis melalui serangkaian tur militer yang mempertontonkan kecanggihan peralatan tempur negeri Matahari.
Taktik ini di kemudian hari terbukti gagal ketika Insureksi Wushen meletus.
Karena kerasnya perlawanan, Jepang membutuhkan bantuan klan Toda yang bermusuhan dengan klan Tkdaya. Strategi ini tidak lepas dari pembacaan militer terhadap teks Kanori Ino yang membuat pimpinan Kepolisian Jepang di pulau Formosa mengubah strategi. Sayangnya, dalam film ini –baik versi panjang dan versi singkatnya– pengaruh Ino terhadap perubahan taktik militer tidak mendapatkan ruang yang cukup. Hanya ada satu adegan saja. Yaitu ketika salah seorang pimpinan polisi Jepang sedang membaca catatan etnografi Ino sehabis mengusir seorang pedagang Han.
Klan Toda secara efektif digunakan sebagai sekutu. Di Taiwan sendiri, Temu Walis yang merupakan Kepala Klan Toda sekaligus pimpinan kampung Tnbarah, dikenang dengan ingatan yang cukup buruk. Oleh kalangan nasionalis hari ini, ia dianggap kolaborator Jepang.
Pandangan ini sempat memicu protes dan mengurai kembali ketegangan antara keturunan klan Toda dan klan Tkdaya ketika film ini rilis.
Sebabnya, film ini tidak memberikan landasan soal perselisihan wilayah perburuan yang menjadi pangkal sengketa antara klan Tkdaya dan klan Toda. Wei juga luput memberikan ruang bahwa perjanjian kolaborasi antara Jepang dan klan Toda disertai perjanjian mengenai pengambilalihan wilayah berburu orang-orang Tkdaya.
Total, Jepang membutuhkan lebih dari 20 tahun sebelum bisa benar-benar menaklukkan klan Tkdaya di tahun 1935. Karena meski secara umum pemberontakan berhasil dipadamkan pada Desember 1930, masih ada upaya gerilya yang masih dilancarkan oleh kelompok-kelompok kecil Tkdaya yang masih tersisa.
Namun Wei sebagai sutradara setidaknya cukup cerdas dengan menyisipkan adegan dalam film ini untuk membantu penonton mendapatkan gambaran sulitnya masa pendudukan Jepang yang menjadi basis material meluapnya rasa marah orang-orang Tkdaya, Seediq Bale. Alasan-alasan meletusnya insureksi ini digambarkan dengan jelas dalam film ini. Semisal aksi represi fisik yang terjadi secara konsisten serta diskriminasi terhadap mereka yang menolak politik asimilasi ala Jepang. Penonton juga diajak untuk melihat praktik perbudakan melalui praktek perdagangan yang tidak adil serta upah kerja yang murah atau tuturan para tokoh mengenai pembunuhan Jepang kepada mereka yang melawan.
Sayangnya, kisah mengenai pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Seediq hanya hadir dalam bentuk cerita antar tokoh di dalam film ini. Wei tidak menghadirkannya di dalam film. Sesuatu yang aneh karena di masa pendudukan tersebut frekuensi pemerkosaan terhadap perempuan Seediq cukup sering dan ini adalah salah satu alasan di balik kemarahan orang-orang Seediq Tkdaya.
Film ini juga gagal untuk menghadirkan praktek Jepang-isasi melalui agama dan disertai dengan kekerasan fisik dan mental yang dialami anak-anak Seediq di sekolah. Seseorang dapat dengan mudah memahami bahwa hal-hal tersebut menjadi api dalam sekam selama bertahun-tahun sebelum meletusnya insureksi. Film ini anehnya tampak berupaya untuk meringkas dan tergesa-gesa memadatkan berbagai ragam peristiwa yang penting dan signifikan yang bisa membantu penonton untuk menemukan relasi dan pondasi pondasi atas konflik utama dalam cerita. Hal yang aneh mengingat durasi film ini yang tergolong luar biasa panjang seharusnya memberikan Wei ruang yang cukup untuk memberikan konteks mengapa Insureksi Wushan mungkin terjadi.
Pertama adalah adegan sikap melecehkan yang ditunjukkan oleh dua petugas polisi yang ditempatkan di pos pengawasan kampung Mehebu. Adegan tersebut dimulai ketika saat pulang berburu babi untuk persiapan pesta pernikahan, Mouna Rudao dan orang-orang Seediq dari kampung Mehebu mendapati seorang petugas Jepang bernama Sugiari sedang berupaya merayu perempuan Tkdaya dari kampung Mehebu agar mau menukar tubuhnya dengan sejumlah uang.
Kedua adalah tindakan petugas Yoshimaru yang memukuli Tado, anak sulung Mouna Rudao, ketika pesta pernikahan berlangsung sedang berlangsung di Mehebu. Niat Tado Mouna menawarkan minum bersama sebagai simbol berbagi kebahagiaan, ditolak. Bagi petugas Jepang, praktek minum anggur dari cawan bambu yang sama merupakan tindakan barbar dan tidak beradab. Upaya Mouna Rudao bersama dua anaknya yang datang langsung keesokan harinya untuk meminta maaf juga ditolak.
Rasa muak orang-orang Seediq Tkdaya lalu digambarkan dalam adegan di mana anak-anak muda kampung Mehebu mendesak Mouna Rudao untuk memberikan izin dan memimpin insureksi. Pilihan Wei untuk meniadakan bagian soal dua insureksi pendahuluan yang dilakukan Seediq Tkdaya membuat Mouna Rudao tampak seperti orang tua yang hanya putus asa ketikadikerubuti anak-anak muda yang marah.
Alasan-alasan yang dikemukakan Mouna Rudao dalam film tampak lemah karena sutradara Wei mengambil keputusan untuk tidak memberikan porsi mengenai Pemberontakan Seediq Truku.
Perang Truku yang terjadi di tahun 1914 sangat penting posisinya. Perang singkat ini berujung pada pembantaian massal seluruh ksatria yang terlibat bersama seluruh anggota keluarganya. Rumah-rumah dan desa orang Seediq Truku dilalap api dan banyak anak yang menjadi yatim piatu.
Di periode inilah, peran Mouna Rudao cukup menonjol dengan mengadopsi anak-anak Truku, memberikan mereka makanan, tempat tinggal dan rasa aman. Mouna Rudao juga memberikan izin agar perempuan dan lelaki Seediq Tkdaya di kampung Mehebu dapat menikah dengan keturunan Seediq Truku demi menjaga mereka agar tidak punah.
Di film, Mouna Rudao justru tampil sebagai orang tua yang terpaksa harus bersepakat dengan rencana anak-anak muda yang sedang marah. Pertemuan dadakan tersebut kemudian berhasil menyepakati rencana penyerangan. Jadwal ditentukan. Bertepatan dengan perayaan ulang tahun Pangeran Kitashirakawa Yoshihisa. Setelah itu, kita akan melihat para pemuda yang menginisiasi rencana insureksi ini menyebarkan kabar dan menyampaikan undangan.
Tidak semua sepakat. Banyak yang khawatir Jepang akan membalas dan melenyapkan semua orang. Ada yang bersepakat namun tidak akan terlibat secara aktif dalam insureksi. Awalnya, hanya lima kampung yang bersepakat bergabung dengan kampung Mehebu untuk mengepung Wushe. Dini hari sebelum pembantaian Wushe dimulai, Kepala Kampung Hungu bersepakat untuk ikut bergabung dalam insureksi.
Pagi hari, bersamaan dengan kabut tebal yang menyelimuti Wushan dan dimulainya pengibaran bendera dan berkumandangnya nyanyian nasional, perang dilancarkan. Seluruh orang Jepang, laki-laki dan perempuan serta anak-anak dibunuh.
Bagian kedua film ini diawali dengan kelebat sinopsis tentang apa yang terjadi di bagian awal. Sebelum akhirnya berlanjut ke adegan Hanaoka bersaudara yang menuliskan pesan yang ditulis di dinding sekolah mengenai keengganan mereka berdua untuk ikut bertanggung jawab. Film lalu bergeser ke periode gerilya yang berlangsung hingga penghujung tahun 1930.
Anda juga akan menemukan adegan perempuan-perempuan yang membunuh anak-anak mereka yang masih kecil sebelum menggantung diri. Adegan ini sempat memicu protes penonton di Cina daratan karena dianggap terlalu brutal.
Kurangnya porsi dalam film yang mengeksplorasi latar soal ini membuat adegan bunuh diri tampak mengesankan sikap putus asa. Padahal, sikap tersebut dilakukan sebagai upaya langsung para perempuan Seediq Tkdaya mendukung insureksi. Membunuh diri adalah solusi yang diambil untuk menghemat makanan. Gerilya yang berlangsung lebih dari dua tahun, operasi militer yang masif dan terisolasinya Wushen membuat cadangan makanan adalah isu yang serius. Hewan buruan menjadi jarang karena bermigrasi akibat perang berkepanjangan. Sumber air juga tercemar karena bom gas yang dilepaskan Jepang.
Dosa Wei semakin bertambah karena ia tampak dengan sengaja menyangkal peran keterlibatan perempuan-perempuan Tkdaya yang ikut berperang. Tidak ada satupun adegan sepanjang hampir 300 menit yang menggambarkan soal itu. Hal ini dapat dimaklumi jika kita mengamati dengan teliti bahwa sejak awal Wei sudah menunjukkan penyangkalannya. Penonton tidak akan menemukan adegan perempuan Seediq minum anggur, ikut berburu atau menghisap tembakau.
Film ini kemudian ditutup dengan upaya Jepang untuk meminta agar sel-sel yang masih bergerilya, mau menyerah dan melepaskan senjata. Mahung Mouna, anak perempuan tertua Mouna Rudao datang membujuk saudara laki-lakinya Tado Mouna agar menyerah. Ajakan ini ditolak dan dilanjutkan dengan adegan Tado yang memimpin kelompok kecil Seediq Tkdaya yang tersisa untuk melakukan bunuh diri berkelompok.
Di akhir film, penonton akan diberikan informasi mengenai pembantaian orang-orang Tkdaya di kamp penampungan oleh orang-orang Toda. Pembantaian ini kuat dugaan merupakan provokasi Kojima, polisi Jepang yang tinggal di kampung Tnbarah, yang menyimpan kesumat dendam karena istri dan kedua anaknya menjadi korban pembantaian di pagi berdarah 27 Oktober.
Orang Asli di Taiwan
Bagi komunitas masyarakat adat dan orang asli di berbagai dunia, Taiwan jelas menyita perhatian. Hal itu tidak lepas dari permintaan maaf negara kepada kelompok-kelompok orang asli di pulau Formosa. Penyampaian maaf tersebut dilakukan langsung oleh presiden Taiwan, Tsai Ingwen. Ini adalah pernyataan resmi negara yang menyesali segala bentuk tindak represi dan aksi diskriminatif yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun terhadap kelompok-kelompok orang asli di Formosa.
Tsai adalah presiden pertama Taiwan yang memiliki campuran darah orang asli. Perempuan ini memiliki nenek dari kelompok Paiwan, satu dari 16 kelompok suku yang dikenali negara. Selain meminta maaf, Taiwan juga membentuk Komisi Keadilan Historis dan Hukum untuk menangani berbagai persoalan konflik yang meliputi berbagai kelompok orang-orang asli.
Problem yang dihadapi oleh kelompok-kelompok orang asli tentu saja yang paling utama adalah soal klaim atas tanah. Selama lebih dari satu abad, tanah-tanah kelompok orang asli dirampas oleh negara secara paksa atau dengan ganti rugi yang tidak layak. Anthony Kuhn dalam Taiwan’s Aborigines Hope A New President Will Bring Better Treatment menulis bahwa problem tanah memiliki urgensi krusial bagi kelompok orang asli dan keturunan mereka. Seluruh tanah di Taiwan hari ini dikuasai oleh negara dan kelompok orang-orang asli Formosa hanya memiliki sedikit hak pemanfaatan yang lebih sering diacuhkan.
Semisal problem mengenai hak berburu yang menjadi isu serius dalam pembahasan mengenai upaya Taiwan melakukan rehabilitasi. Bagi orang-orang asli, kegiatan berburu adalah kegiatan yang dapat mendukung konservasi lingkungan dan sebagai praktek bernilai religius yang dapat menghubungkan mereka kembali dengan tradisi dan leluhur. Praktek berburu yang dilarang oleh pemerintah Taiwan dengan tuduhan merusak lingkungan, adalah biang kerok dan bentuk nyata diskriminasi terhadap orang-orang asli.
Itu mengapa reformasi undang-undang pertahanan menjadi sorotan penting.
But Wang, seorang pengajar antropologi mengatakan bahwa hal ini adalah kunci untuk mengukur seberapa serius Tsai dan Partai Demokratik Progresif mau mengimplementasikan perubahan yang mereka janjikan terhadap orang asli Formosa. Undang-undang pertanahan Taiwan saat ini oleh Wang dianggap sebagai warisan kolonial yang perlu diubah agar tidak lagi mengacuhkan hak dan peranan komunitas-komunitas orang asli di tempat tersebut. Konflik-konflik pembangunan infrastruktur misalnya, diakibatkan oleh absennya partisipasti komunitas orang asli.
Problem penyusutan populasi orang asli –yang kini berjumlah kurang dari 2% populasi nasional– juga penting untuk disoroti. Menurunnya populasi orang asli tidak lepas dari politik kesehatan yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok ini sejak masa Belanda, okupasi Cina, pendudukan Jepang hingga masa Republik Cina berdiri.
Soal lain adalah bagaimana Tsai menyikapi tuntutan orang-orang asli mengenai kebebasan mereka untuk kembali memeluk keyakinan tradisional mereka. Fakta bahwa ke-Kristen-an yang dibawa oleh Belanda dan Inggris ke pulau Formosa telah sukses mengancam warisan kosmologik dan etik yang sebenarnya adalah jembatan untuk menjaga keberlangsungan identitas kelompok orang asli.
Itu belum termasuk bagaimana Tsai sebagai pemimpin tertinggi di Taiwan menyikapi isu tentang sulitnya timpangnya akses pemberdayaan ekonomi di dalam komunitas-komunitas orang asli yang memaksa terjadinya migrasi ke luar daerah. Ironisnya adalah karena kelompok-kelompok ini merupakan pemilik dari kekayaan sumber daya alam yang hari ini dikuasai negara. Distribusi kesejahteraan yang timpang sejak dulu bersambung dengan kebijakan politik yang diskriminatif telah membuat orang asli menjadi lapisan sosial paling bawah di Taiwan. Juga mengenai politik budaya yang membuat ruang ekspresi semakin mengecil hingga ancaman kepunahan budaya dan warisan tradisi lain adalah masalah yang tidak bisa dianggap sepele. Karena itu, Kuhn mengingatkan bahwa Tsai harus berani melangkah lebih jauh dari sekedar permintaan maaf.
Kuhn menantang pemerintahan Tsai agar berani mewujudkan janji kampanyenya untuk memberikan otonomi pemerintahan kepada kelompok-kelompok orang asli, meningkatkan kembali daya dukung lingkungan dan secara serius mengupayakan perlindungan terhadap produk-produk kebudayaan tiap-tiap komunitas semisal bahasa.
Hal-hal tersebut secara politis memang sangat penting bagi Partai Demokratik Progresif yang berada di belakang presiden Tsai. Jika Taiwan ingin membangun pondasi kebudayaan mereka yang berbeda dengan daratan Cina, maka menjadikan komunitas-komunitas orang asli sebagai sandaran adalah strategi yang tepat. Ia dapat memberikan generasi muda Taiwan sebuah identitas budaya yang baru yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menjustifikasi perbedaan Taiwan dengan Cina daratan.
Seediq Bale Melintasi Ruang
Tahun 2016 ini, ketika masa kampanye Stop Lumad Killings sedang menguat di Filipina, Seediq Bale ikut dirilis.
Ini merupakan bentuk penghormatan dan solidaritas terhadap perjuangan kelompok Lumad yang mendiami daerah pegunungan Mindanao di selatan negeri tersebut. Meski memang perilisan film Seediq Bale di Manila tidak lepas dari momentum pemilihan umum dan digunakan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mendulang suara. Hingga saat ini, orang-orang Lumad masih mengalami ancaman serius tentang penggusuran dan pembunuhan ekstra judisial yang dilakukan oleh militer, polisi, gerilyawan politik hingga kekuatan para-militer.
Di Indonesia?
Sependek pengetahuan saya, Seediq Bale belum dirilis secara resmi. Saya tak tahu kenapa. Namun, distribusi versi bajakan film ini beredar luas. Ada kabar dari seorang pegiat hak-hak orang asli, film ini pernah screening sekali di Kalimantan Barat dan sekali di Papua Barat.
Seediq Bale menjadi relevan dalam konteks Indonesia karena beberapa alasan. Pertama, masih tingginya ketidakpedulian terkait problem-problem yang menimpa kelompok-komunitas orang asli. Perampasan tanah orang asli, penyangkalan hak, diskriminasi, kekerasan negara adalah hal yang berlangsung terus menerus. Kita belum menyoal kemiskinan yang melanda komunitas-komunitas Orang Asli –yang lebih sering disertai dengan praktek penipuan.
Masih ada di daftar tunggu masalah tentang nasib Orang Asli mengenai perambahan hutan gila-gilaan yang membuat menyempitnya lokasi berburu dan berkurangnya sumber pangan lokal. Salah satu penyebabnya adalah merebaknya pertanian monokultur skala besar seperti sawit. Di Jambi misalnya, agribisnis sawit adalah satu dari dua jenis monokultur populer selain karet dengan luas perkebunan mencapai angka 574.514 hektare. Hampir 40% dari luas tersebut daerah jelajah ulayat yang dialihkan secara sepihak oleh negara melalui izin konsesi lahan. Akibat perampasan tersebut, Suku Anak Dalam sebagai kelompok Orang Asli pemilik hak ulayat kehilangan tulang punggung ekonomi, sosial, dan budaya sekaligus.
Mereka kehilangan hutan dan tanah yang menjadi sumber pangan yang berimbas pada buruknya kualitas gizi dan rentannya kesehatan ibu dan anak. Januari hingga Maret 2015, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya ada sebelas orang Suku Anak Dalam yang ditemukan tewas kelaparan karena tersesat di dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI). Ini belum termasuk soal wabah penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang datang setiap tahun karena pembakaran hutan untuk pembukaan perkebunan sawit.
Karena serangan agribisnis, orang-orang Suku Anak Dalam dipaksa untuk beradaptasi secepat mungkin dengan modernisasi kalau tidak ingin punah. Mereka diharuskan segera memeluk keyakinan sosial serta tata nilai yang baru dan meninggalkan keyakinan leluhur mereka yang menghormati alam. Sejak awal dekade 1970-an, banyak kelompok Suku Anak Dalam yang mulai hidup menetap, meski masih ada sebagian kecil lain yang bertahan dengan pola nomaden. Sebabnya?
Terbitnya proyek bernama Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PMKT) yang resmi berlaku sejak tahun 1969 yang dilandaskan pada UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Aturan hukum tersebut melarang siapa pun untuk memasuki, mengambil atau bermukim di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan negara.
Namun memutuskan mengubah pola hidup untuk tinggal menetap tidak berhasil menjauhkan Suku Anak Dalam dari konflik dan pengusiran paksa. Komisi Nasional HAM mencatat bahwa intensitas kasus kekerasan terkait tanah yang menimpa Suku Anak Dalam terus berlangsung dan cenderung meningkat sejak pertama kali muncul di pertengahan tahun 1986. Mereka berkali-kali dijauhkan dari lokasi-lokasi yang bernilai religius dalam kosmologi mereka karena dianggap mendiami tanah secara ilegal.
Pada Desember 2013, misalnya, Mongabay Indonesia memberitakan tentang penggusuran massal yang dilakukan PT Asiatic Persada terhadap Suku Anak Dalam yang membuat lebih dari 2.000 jiwa kehilangan tempat tinggal dan pindah, dituding karena berdiam di dalam area hak guna usaha (HGU) perusahaan. Banyak dari mereka yang akhirnya mengungsi dan mendirikan tenda-tenda tidak layak huni di area perkebunan milik sanak keluarga.
Sebagian lain memilih melakukan aksi okupasi di ibukota provinsi, sebagian lain bahkan hingga ke Jakarta. Suku Anak Dalam menggalang dukungan dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan bersama-sama meminta negara mengambil sikap tegas. Mereka menginginkan tanah ulayat mereka kembali dan perusahaan diberi sanksi tegas karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Itu mengapa problem seperti pengakuan hak orang asli atas tanah bukan urusan mendesak yang harus segera dicarikan solusinya.(*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa