REVIEW
Refleksi Masyarakat Adat Lewat Film Seediq Bale (Bag.1)
Published
6 years agoon
By
philipsmarx2 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Film asal Taiwan yang layak jadi refleksi masyarakat adat di Indonesia
“APAKAH SEKOLAH, rumah sakit dan kantor pos membuat hidup kita lebih baik? Tidak! Hal itu justru membuat hidup kita terlihat lebih melarat.” Itu kata-kata yang dilontarkan Mouna Rudao, Kepala Kampung Mehebu sekaligus tokoh utama dalam Insureksi Wushen yang digambarkan dalam “Warriors of the Rainbow: Seediq Bale”.
Film ini pertama kali saya tonton di akhir tahun 2013. Seorang teman membawa potongan film ini. Kualitasnya tidak begitu bagus. Dengan bahasa yang belum pernah saya dengar sebelumnya, dan tanpa terjemahan. Berdurasi sekitar 15 menit yang menceritakan menit-menit konsolidasi orang-orang asli di pulau Formosa hingga meletusnya tragedi Wushan.
Sejak menonton kutipan tersebut, saya berjanji untuk mencari potongan utuh film ini. Butuh hampir setahun hingga akhirnya punya seluruh koleksi film ini. Sangat sulit karena film ini pada awalnya tidak memiliki terjemahan teks dalam bahasa Inggris.
Film ini sendiri ada dua versi.
Yang pertama terdiri dari dua film yang jika digabungkan akan memakan waktu 276 menit. Empat jam lebih. Bagian ini diberi subjudul “The Sun Flag” (Bendera Matahari). Menunjuk kepada periode awal masuknya Jepang di Formosa. “The Rainboow Bridge” (Jembatan Pelangi) adalah subjudul bagian kedua. Pemberian subjudul ini merujuk pada kosmologi orang-orang Seediq soal kehidupan setelah kematian. Panjang durasinya 132 menit.
Sementara versi yang kedua, jauh lebih pendek. Alasannya lebih bersifat komersil sewaktu film ini diikutkan dalam kompetisi-kompetisi internasional. Film ini ditayangkan pada Festival Film Internasional Venezia yang ke 68. Durasi yang terlalu panjang membuat sutradara dan produser film memutuskan untuk menghadirkan versi yang hanya 150 menit saja. Di perayaan Academy Award ke 84, Seediq Bale masuk sebagai satu dari sembilan film asing terbaik.
Ada sedikit keberuntungan karena film ini digarap langsung oleh orang Taiwan. Jika ia diserahkan ke tangan industri macam Hollywood, kita hanya akan menemukan orang-orang Seediq saling berbincang dalam bahasa Inggris. Bahasa yang digunakan dalam film ini ada tiga. Selain bahasa Seediq dan bahasa Jepang, beberapa dialog berlangsung menggunakan bahasa Mandarin. Hal ini merujuk pada keberadaan orang-orang Han di pulau Formosa.
Seediq Bale sendiri secara harafiah secara harafiah berarti Seediq Sejati. Film ini mungkin bisa dipadankan dengan Apocalypto-nya Mel Gibson. Yang mungkin bagi banyak orang, film macam ini dianggap terlalu mengumbar adegan kekerasan dan darah. Sikap yang aneh karena Insureksi Wushan adalah penceritaan sebuah periode perang. Tentu saja tidak ada perang yang tanpa menyertakan kekerasan dan darah.
Wei Te Sheng, sang sutradara dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa ide mengenai cerita –yang mencatatkan sejarah sebagai film dengan ongkos produksi termahal di Taiwan– insureksi orang-orang Seediq melawan Jepang mulai muncul di tahun 1996. Berawal dari ketika Wei menonton sebuah berita mengenai sebuah kelompok orang asli di Taiwan yang menuntut negara mengembalikan tanah ulayat mereka. Ide ini makin menguat ketika suatu ketika Wei mengunjungi sebuah toko buku dan mendapati Qiu Ruolung, komik yang bercerita tentang peristiwa tersebut.
Ide ini kemudian mulai dituangkan dalam bentuk naskah yang mulai ditulis Wei di periode tahun 1997-1999.
Naskah ini selesai utuh di tahun 2000 dan memenangkan perhargaan The Excellent Film Screenplay Award dari Kantor Informasi Pemerintah. Tahun 2003, Wei memutuskan untuk meluncurkan penggalangan dana sebesar 2.5 juta dolar Taiwan. Kira-kira setara 1 trilyun rupiah. Dana ini digunakan untuk membiayai proses syuting demo film berdurasi lima menit. Demo ini kemudian tayang perdana November 2003 sebagai bagian dari kampanye penggalangan dana dengan target 250 juta dolar Taiwan.
Upaya ini gagal. Namun Wei tetap berkeras bahwa film ini hanya dimungkinkan produksi jika memiliki minimal 200 juta dolar Taiwan. Tahun 2008, akibat ambisi ini Wei terancam kebangkrutan. Hutang menumpuk.
Tahun 2008, strategi diubah agar ada investor yang tertarik mendanai produksi film ini. Wei memproduksi Cave No. 7 yang sukses total. Pertengahan 2009, rekrutmen dan seleksi artis dimulai. Targetnya film dapat rilis pertengahan 2010. Namun masalah baru kembali muncul. Sangat sulit mendapatkan figuran dari kalangan orang asli yang bisa terlibat dalam film.
Agustus 2009, film ini kembali menemui kendala serius. Banyak peralatan syuting hancur karena serangan badai Morakot yang menyerang negeri itu. Anggaran film kembali membengkak hingga angka 600 juta dolar Taiwan. Pemerintah Taiwan kemudian menyumbang 130 juta dolar sebagai subsidi dan bentuk dukungan.
Film akhirnya mulai pengambilan gambar di bulan Oktober 2009.
Wei berupaya sekeras mungkin mereplikasi kondisi pegunungan Taiwan dekade 1920-1930. Mereka membangun 36 unit rumah orang asli Seediq di Studio Arrow yang terletak di Linkou, Taipei Baru. Untuk pekerjaan ini, anggaran yang disedot mencapai 80 juta dolar Taiwan. Ada 1.500 orang yang terlibat sebagai teknisi. Beberapa properti yang digunakan dipinjam dari koleksi museum.
Penggarapan musik menelan biaya hingga 7 juta dolar. Lagu-lagu awalnya ditulis dalam bahasa Mandarin lalu diterjemahkan ke dalam bahasa asli orang Seediq. Artis-artis yang kebanyakan merupakan keturunan suku Atayal diharuskan belajar bahasa Seediq. Dakis Pawan disewa sebagai konsultan untuk film. Ia adalah seorang keturunan Seediq Tkdaya dan bertanggung atas riset yang menjadi dasar film ini.
Kerja keras Wei akhirnya terbayar ketika film ini rilis.
Pada 4 September 2011 – dua hari setelah tayang perdana di Venezia, film ini diputar di Katagalan Boulevard yang terletak persis di depan istana presiden Taiwan. Tiga hari kemudian, sebuah pemutaran tertutup diadakan di Qingliu, Nantou di hadapan keturunan orang-orang Seediq Tkdaya. Qingliu dahulu adalah kamp penampungan sisa-sisa insureksi Wushen yang menyatakan diri menyerah atau tertangkap. Wei menyatakan bahwa ia berupaya menetapi janji untuk mengembalikan film ini kepada mereka yang memiliki hak atasnya.
Di Taiwan sendiri, film ini pertama kali rilis pada 9 September. Bagian kedua film panjang ini kemudian mulai resmi bisa disaksikan publik pada tanggal 30 bulan yang sama. Film ini menyapa publik USA pada April 2012. Lalu pada April 2013, film ini tayang global.
Orang-orang Seediq
Orang-orang Seediq – juga ditulis Sediq atau Seejiq – yang menjadi titik berangkat film ini adalah kelompok orang asli yang mendiami daerah provinsi Nantou dan Hualien di pulau Formosa. Wilayah ini adalah daerah pegunungan yang terletak di bagian tengah hingga ke pesisir pantai barat Taiwan modern hari ini.
Pengakuan pemerintah Taiwan terhadap eksistensi kelompok Seediq terhitung cukup terlambat. 23 April 2008, mereka diakui sebagai Kelompok Orang Asli ke 14. Keterlambatan ini tidak lain karena bias kultural yang dahulu memandang bahwa orang-orang Seediq sebagai bagian dari kelompok orang asli Atayal.
Bias ini dimulai oleh antropolog Jepang bernama Kanori Ino. Ia mengunjungi Formosa sejak pulau ini diserahkan Dinasti Qing kepada Kerajaan Jepang. Pada masa itu, catatan-catatan perjalanan Ino dianggap memberikan gambaran yang cukup mengenai mengenai suku-suku asli yang mendiami daerah tersebut. Laporan-laporan itu kemudian diterbitkan tahun 2012 dengan tajuk Research trips among the Plains Aborigins: Selections from Ino Kanori’s Taiwan diaries.
Dalam laporan perjalanannya, Ino membagi kelompok orang asli ke dalam dua kategori khas kolonial. Pertama, dengan menyebut Jukuban untuk mereka yang sudah melewati periode domestikasi dan menetap dalam kampung-kampung yang dibangun Jepang. Terakhir, adalah kelompok Seiban yang berarti mereka yang secara harafiah dapat diartikan sebagai liar. Kelompok terakhir ini adalah suku-suku asli yang masih berburu dan meramu meski telah menetap dan memiliki kampung permanen.
Hasil-hasil studi Ino selama bertahun-tahun kemudian oleh James W. Davidson dikumpulkan dan dituliskan kembali dalam bentuk laporan bernama The Island of Formosa: Past and Present. Ini adalah catatan pertama mengenai kelompok orang-orang asli di Formosa dalam bahasa Inggris. Dalam buku yang terbit tahun 1903 ini, Davidson mencatat delapan suku yaitu; Vonum, Tsou, Atayal, Tsalisen, Paiwan, Amis, Puyuma dan Pepo.
Di periode ini, orang-orang Seediq dimasukkan ke dalam bagian suku Atayal. Meski sebenarnya bahasa yang digunakan keduanya jelas berbeda. Orang-orang Seediq sebenarnya lebih memiliki kedekatan dengan Suku Truku – di masa lalu kedua kelompok orang asli ini dimasukkan dalam rumpun suku Atayal. Jalur migrasi yang berbeda membuat keduanya kemudian terpisah. Jika orang-orang Seediq mendiami daerah perbukitan dan mendiami daerah di sekitar hulu sungai, orang-orang Truku memilih menghuni dataran rendah hingga menyebar ke pesisir pantai timur.
Sementara orang-orang Atayal –terkadang disebut Tayan atau Tayal– adalah mereka yang hari ini berdiam menyebar di lembah sungai Liwu di bagian utara pulau Formosa.
Orang-orang Seediq –seperti juga orang-orang Atayal– memiliki tradisi untuk merajah wajah yang terkait erat dengan pemisahan periode akil baliq dengan masa kanak-kanak. Hanya mereka yang memiliki rajah di wajahnya yang dapat menikah. Para lelaki Seediq akan mendapatkan rajahan di bagian dagu dan jidat jika telah melewati inisiasi Chucao, yang dibuktikan dengan membawa pulang kepala musuh dari medan perang.
Perempuan-perempuan Seediq mendapatkan rajahan di bagian mulut yang membentang hingga ke bagian pipi di bawah telinga. Berbentuk seperti huruf V dengan ujung yang lebih rendah dan lebar. Rajahan ini akan dilangsungkan jika seorang perempuan dianggap sudah mampu membuktikan diri menyulam dan mengurus pekerjaan domestik lain.
Proses merajah wajah untuk laki-laki tergolong cepat dan tidak terlalu memakan waktu. Namun untuk perempuan, proses merajah dapat berlangsung hingga sebelas jam. Simbol rasa sakit berkepanjangan ini tidak lepas dari keyakinan orang-orang Seediq mengenai simbolisasi akan rasa sakit yang akan dilewati perempuan ketika melahirkan nanti.
Kebiasan berburu kepala musuh yang membuat suku Seediq dikenal sebagai tempat lahirnya para ksatria pemberani. Senjata mereka yang disebut Lalaw Behuw sangat tajam dan mampu memenggal kepala dalam sekali tebas. Berukuran tidak terlalu panjang dan memiliki bentuk melengkung dengan sisi tajam di bagian luar. Lalaw Behuw, menemani panah dan tombak ketika turun berburu.
Perburuan kepala musuh untuk dibawa pulang, dipercaya oleh orang-orang Seediq sebagai tiket bagi seorang lelaki untuk dapat masuk ke nirwana. Semakin banyak darah musuh yang tumpah di tangan seorang lelaki Seediq, semakin lapang jalan menuju surga. Terpilihnya seseorang sebagai kepala suku juga sangat erat terkait dengan kriteria ini. Hanya pemburu terbaik yang layak memimpin kampung dan suku.
Sementara para perempuannya, diterima tidaknya bergabung dengan para leluhur setelah meninggal ditentukan oleh seberapa kasar kulit tangan mereka. Hal ini dimungkinkan dengan kegiatan menyulam dan pekerjaan domestik lainnya yang dilakukan terus menerus.
Dalam mitologi Seediq, di gerbang surga para Kaiya (roh leluhur) akan memeriksa tangan dan wajah mereka sebelum memutuskan apakah seseorang layak diterima masuk atau tidak. Orang-orang Seediq meyakini bahwa nirwana terletak di ujung pelangi dan pelangi adalah jembatan menuju ke sana. Tempat di mana terletak ladang perburuan subur, sungai-sungai yang mengalir membelah pegunungan dengan hutan-hutan yang lebat.
Keyakinan ini misalnya dapat dilacak pada ragam motif sulam perempuan-perempuan Seediq. Didominasi warna merah dengan gaya geometris dengan garis-garis horizontal dan argil –yang komposisinya membentuk permata dengan sisi-sisi simetris.
Anak-anak Seediq biasanya akan mulai diajarkan berburu dan menyulam pada umur sepuluh atau sebelas tahun. Mereka kemudian memperdalam kemampuan itu selama bertahun-tahun. Seorang anak lelaki Seediq yang dianggap telah menguasai hutan wilayah perburuan sukunya kemudian akan diajak perang. Jika ia pulang dengan selamat dan membawa kepala sebagai bukti, maka seseorang dianggap layak untuk menikah. Di hari pernikahannya, seorang lelaki akan mengganti kain sulaman ibunya dengan kain sulaman istrinya.
Seumur hidup seorang laki-laki Seediq hanya diperbolehkan mengenakan kain sulaman kreasi ibunya atau istrinya. Hal ini terkait dengan kepercayaan suku Seediq yang monogamus.
bersambung ke Bagian 2.
You may like
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa
-
Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana