BERITA
Remisi Presiden untuk Pembunuh Jurnalis Diprotes AJI Manado dan LBH Manado
Published
6 years agoon
By
philipsmarx28 Januari 2019
Oleh: Juan Y. Ratu
kelung.com – Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 yang mencakup pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama menuai protes. Susrama adalah otak sekaligus pelaku pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa. Susrama dihadiahi pemotongan masa tahanan, dari putusan penjara seumur hidup menjadi hukuman kurungan 20 tahun. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menyayangkan pemberian remisi tersebut dan menilai keputusan tersebut tidak memiliki kepastian hukum.
“Kalau dari kami (LBH Manado -red) menyoroti pada pemberian remisi dari pemerintah kepada hukuman penjara seumur hidup ke hukuman penjara, kami menganggap ini tidak memiliki kepastian hukum,” kata Pascal Wungkana akvitis YLBH Manado saat diwawancarai di tengah aksi.
Wungkana menambahkan dasar argumentasinya mengenai tidak memiliki kepastian hukum adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa hukuman penjara ada dua jenis, hukuman penjara seumur hidup dan hukuma penjara berjangka waktu.
“Kenapa ini tak memiliki kepastian hukum, pertama dalam pasal 12 KUHP menyatakan ada dua jenis hukuman penjara, penjara seumur hidup dan pidana penjara dalam waktu tertentu, seumur hidup ini tidak ada ketegasan mengenai berapa jangka waktu seumur hidup, oleh karena itu ditafsirkan bahwa seumur hidup ini adalah putusan diketuk sampai pada terpidana meninggal, sedangkan dalam hukuman penjara dalam waktu tertentu dia ada 15 tahun pun 20 tahun,” terangnya.
Aktivis LBH Manado ini mengatakan bahwa tidak ada Undang-Undang sebagai acuan hukum tertinggi (lex superiori) yang mengatur pergantian pidana dari pidana seumur hidup ke pidana penjara.
“Kemudian dalam aturan Keppres 174 tahun 1999 menyatakan bahwa remisi dapat diberikan kepada terpidana penjara seumur hidup dengan berupa remisi pidana penjara sementara sebagaimana yang diberikan kepada terpidana Susrama ini, aturannya bahwa maksimal 5 tahun telah menjalani pidana seumur hidup, maka dia mendapat remisi sebesar 15 tahun, ini Susrama telah menjalani selama 10 tahun jadi dia mendapatkan 10 tahun, kami merasa ini adalah ketidakpastian hukum karena kenapa, karena UU sebagai acuan lex superiori tidak mengatur adanya pergantian pidana dari pidana seumur hidup ke pidana penjara,” jelas Alumnus Fakultas Hukum Unsrat ini.
Wungkana melanjutkan bahwa bentuk aturan berupa Keputusan Presiden (Keppres) tidak mengikat secara hukum dan sulit untuk menerima keputusan remisi terhadap Susrama ini.
“Nah ini adalah bentuk aturan lewat keputusan presiden yang mana sebenarnya tidak mengikat secara hukum pidana, oleh karena itu kami merasa tidak adanya suatu kepastian di mana pidana penjara seumur hidup itu diganti menjadi pidana penjara dalam waktu tertentu,” jelasnya.
Mantan Ketua Lembaga Advokasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ini menuturkan bahwa Keppres 174 tahun 1999 tentang Remisi harus diuji materi. “Jadi LBH Manado merasa bahwa ini adalah bentuk ketidakpastian hukum dan ini harus diuji materi, Keppres 174 tahun 1999 karena bertentangan dengan KUHP ,”
Wungkana menilai remisi yang diberikan, Presiden tidak memandang keadilan dari sisi keluarga korban yang masih memendam luka akibat pembunuhan sadis yang terencana rapi ini.
“Kami (LBH Manado -red) melihat ini bentuk ketidakadilan bahwa presiden tidak memandang keadilan kepada keluarga korban, kenapa, 10 tahun berlalu keluarga berusaha menghilangkan luka lama dari pembunuhan yang kejam terhadap kepala keluarga mereka kemudian tiba-tiba ada remisi dari Presiden, ini kembali membuka luka lama dari keluarga, karena kejadian ini pelaku melakukan pembunuhan berencana dan juga merupakan keluarga pejabat,” tuturnya.
Wungkana menilai aksi yang dilakukan oleh AJI Manado ini adalah bentuk solidaritas akan mahalnya keadilan belakangan ini terutama bagi keluarga besar jurnalis.
“Kami (LBH Manado -red) melihat tindakan teman-teman wartawan adalah bentuk solidaritas jadi ini adalah bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh keluarga dan bentuk solidaritas dari para wartawan bahwa pemerintah harus memperhatikan keadilan bagi korban,” tukasnya.
Di waktu yang bersamaan Ketua AJI Manado, Lynvia Gundhe mengatakan aksi solidaritas ini dilakukan sebagai aspirasi penolakan remisi yang diberikan Presiden kepada terpidana penjara seumur hidup Susrama.
“Ini adalah aksi solidaritas Aliansi Jurnalis Independen Kota Manado yang juga tergabung dalam AJI se-Indonesia, kami memperjuangkan dan menyuarakan aspirasi untuk menolak remisi yang diberikan Presiden kepada Susrama terdakwa pembunuh Prabangsa wartawan Radar Bali,” kata Gundhe.
Menurut Gundhe, bila Presiden tidak mencabut remisi yang diberikan kepada Susrama yang adalah dalang pembunuhan Jurnalis di Bali, berarti menandakan kemunduran kebebasan pers di Indonesia.
“Ini akan menjadi perjuangan kita semua bahwa presiden harus mencabut remisi yang akan diberikan karena jika remisi ini tetap dilakukan ini adalah kemunduran atau langkah mundur kebebasan pers yang berlaku di Indonesia,” semburnya.
Gundhe mengungkapkan saat ini AJI mencatat ada 8 kasus yang didiamkan, antara lain, Fuad Syarifuddin wartawan Harian Bernas Yogya tahun 1996, pembunuhan Herliyanto wartawan lepas harian Radar Surabaya tahun 2006, kematian Ardiansyah Matrais wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV tahun 2010, dan pembunuhan Alfrets Mirulewan wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Maluku Barat Daya tahun 2010, dan harus secepatnya diproses pihak berwajib,
“Sampai sekarang AJI mencatat ada 8 kasus yang belum tuntas dan bahkan belum tersentuh polisi, dan ini yang terus akan diperjuangkan AJI Manado bersama dengan AJI Indonesia,” katanya.
Untuk langkah selanjutnya, bila penolakan remisi terhadap pembunuhan jurnalis hanya dipandang sebelah mata, Gundhe mengatakan AJI Manado dan AJI di daerah lain seluruh Indonesia akan langsung mengirimkan sikap ke Presiden.
“Kami masih berkordinasi dengan AJI Indonesia sebelumnya remisi ini dikabarkan sudah dicabut namun ketika dikonfirmasi ke AJI Indonesia belum ada tanda-tanda remisi ini dicabut, karena itu kami AJI Manado dan beberapa AJI di kota lain melakukan aksi untuk rasa serupa, bahkan AJI Yogyakarta mengirim langsung sikap mereka ke presiden Jokowi,” tukas Gundhe.
Sesuai pers rilisnya pada tanggal 25 Januari 2019, AJI Manado menyatakan sikap menanggapi Keppres Nomor 29 Tahun 2018 yang di dalamnya termuat keringanan hukuman terhadap Susrama.
Pertama, AJI Manado mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis. Kedua, AJI Manado menilai kebijakan Presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan, tidak hanya keluarga korban, tapi juga jurnalis di Indonesia. Ketiga, AJI Manado meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama, dengan menilai kebijaka itu tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia.(*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik