FEATURE
Restoran Italia dengan Kisah India
Published
6 years agoon
By
philipsmarx12 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Kuliner dan restoran sebagai bentuk advokasi dan pemberdayaan masyarakat adat.
Percayalah, sesekali tersesat itu dapat berujung bahagia. Di kota asing seperti Ootacamund, kita tidak pernah tahu kuliner seperti apa yang akan ditemukan.
Ooty, cara orang lokal menyingkat Ootacamund. Kota ini adalah bagian dari Tamil Nadu, satu dari empat negara bagian yang terletak di selatan India. Berjarak 10 jam berkendara dari Chennai, pusat administrasi negara bagian Tamil Nadu. Ooty lebih dekat dengan Coimbatore. Ada bandara internasional di kota ini yang melayani rute penerbangan ke Singapura. Dari Coimbatore, Ooty berada 80 kilometer ke utara. Kota mungil ini adalah ibukota distrik Nilgiris, daerah setingkat kabupaten di Indonesia.
Nilgiris secara harafiah berarti pegunungan biru. Pohon-pohon berdiri rapat di pinggir jalan. Daerah ini adalah tempat di mana dingin udara pegunungan yang menyusup di sela-sela jari, bercampur dengan kenangan tentang masa penjajahan Inggris yang membekas di punggung bukit-bukit mereka. Berwarna dan tak sederhana.
Berada di ketinggian 2.240 mdpl dari permukaan laut, dengan luas tutupan hutan mencapai 32% dari luas wilayah. Di Ooty, kalian akan mudah menemukan barisan pepohonan di kanan kiri jalan.
Selain perbukitan, kota ini memiliki barisan tebing yang menjulang hingga beberapa ratus meter. Doddabetta saksinya. Titik tertinggi di Ooty yang terletak 2637 mdpl. Tebing-tebing batu berumur ratusan tahun yang mencatat sejarah orang-orang Karumba yang hidup di sekitarnya. Komunitas Kurumba, adalah peramu pemburu yang dikenal luas sebagai pakar pengumpul madu hutan.
Ooty, madu dan orang-orang Kurumba adalah kelindan sejarah yang berpelukan erat. Tapi masakan Italia?
Pergilah ke Place to Bee dan kalian akan menemukan relasi antara hal-hal tersebut. Lokasinya, 176/A, Club Road. Dekat Hill Bunk. Gampang menemukan tempat ini. Jika ragu, sila tanya orang sekitar. Mereka akan mengarahkan anda ke sini. Mudah dicari karena Place to Bee adalah satu-satunya restoran spesialis makanan Italia di Ooty.
Place to Bee adalah sebuah bangunan dua lantai.
Bagian bawah merupakan sebuah toko yang menjual berbagai kerajinan tangan buatan komunitas asli di Tamil Nadu. Mulai dari tas, dompet hingga kain sari yang ditenun dari katun. Ada juga berbagai jenis teh hijau. Di sisi rak yang lain, berjejer sabun mandi, sampo, pelembab bibir hingga pewangi ruangan yang semuanya berbahan dasar madu. Toko ini adalah salah satu cabang penjualan dari Last Forest Enterprises, sayap ekonomi yang dibangun oleh Keystone Foundation bersama dengan komunitas-komunitas dampingannya.
Umur toko ini sudah sebelas tahun. Cuma ada dua orang pegawai-aktivis di sini. Keduanya bukan sekedar pencatat alur jual beli barang. Anda dapat bertukar cerita soal bagaimana sebuah item barang diproduksi. Mereka akan menjelaskan bagaimana mata rantai produksi, temali proyek penguatan ekonomi dan kemandirian komunitas orang asli yang sedang berjuang. Juga tentang apa itu Forest Enterprises, hubungannya dengan Keystone Foundation dan sejarah perjalanan mereka dengan para pengumpul madu hutan yang membentang selama 23 tahun di Nilgiris.
Bangunan kayu di lantai atas adalah restoran Italia yang akhir Agustus nanti akan genap berusia empat tahun. Aritra Bose adalah manajer Place to Bee. Lulusan Master Ilmu Komunikasi yang mulai bergabung dengan Keystone Foundation sejak tujuh tahun lalu. Bekerja di lembaga ini sebagai koordinator komunikasi, Bose tidak pernah terpikir bahwa pada akhirnya ia akan mengelola sebuah resto Italia pada akhirnya.
Lokasi Place to Bee, dulu adalah museum madu yang dikelola Keystone Foundation. Museum madu pertama di India. Mulai dibuka sejak April 2006 untuk memperkenalkan madu hutan dan cerita orang-orang Kurumba kepada masyarakat Nilgiris.
Bagi orang-orang Kurumba, madu adalah berkah. Mereka memandang lebah sebagai para pengantar rejeki yang dikirim Maha Adil. Teknik tradisional pengumpulan madu diwariskan dari generasi ke penerus yang tertarik untuk mendedikasikan diri berkawan dengan lebah. Tidak boleh ada sarang yang dihancurkan. Sebab orang-orang Kurumba percaya bahwa tindakan tersebut adalah penghinaan terhadap pemberi berkat.
Menurut Rajalakshmi Misra dalam “The Mullu Kurumbas”, secara tradisional Kurumbu telah hidup sebagai pemburu dan pengumpul. Hidup di hutan di tepi curam Dataran Tinggi, mereka mempraktikkan perladangan berpindah dan mencari makan serta menjebak burung dan hewan-hewan mamalia dan reptil berukuran kecil.
Dalam artikel yang merupakan salah satu bab dalam In Blue Mountains: The Ethnography and Biogeography of a South Indian Region, yang dieditori Paul Hockings (1989), Misra menuliskan bahwa permukiman awal biasanya terisolasi. Orang-orang Kurumba dahulu tinggal di gua, di tempat tinggal di dekat pembukaan hutan, atau di rumah atau gubuk di dusun kecil diselingi dengan tambalan taman. Pisang, mangga, nangka, jagung, dan cabai adalah hasil kebun yang biasa.
Akibat meningkatnya populasi dan deforestasi, Kurumbas telah dipaksa untuk menurunkan ketinggian dataran tinggi dan bertahan hidup terutama dengan bekerja di perkebunan teh atau kopi.
Namun museum madu tak berhasil bertahan lama dan semakin sepi pengunjung. Salah dua penyebabnya adalah pengelolaan yang monoton dan belum terbiasanya masyarakat di Ooty untuk menjadikan museum sebagai sarana rekreasi sekaligus tempat belajar. Namun menutup museum tidak pernah dianggap sebagai solusi.
Forest Enterprises lalu membentuk sebuah tim,di mana Bose terlibat di dalamnya. Tim kecil yang ditugaskan melakukan riset selama setahun di Ooty tentang bentuk ekonomi yang sekiranya potensial sebagai alternatif. Semacam upgrade. Orang-orang di Keystone Foundation dan Forest Enterprises merasa pengetahuan mengenai madu hutan dan kisah luar biasa orang-orang Kurumba perlu disajikan dengan cara berbeda.
“Saya mengunjungi berbagai restoran dan hotel di Ooty. Mencoba sajian Italia mereka. Tidak ada yang fokus menjual makanan Italia di sini. Biasanya hanya satu menu makanan saja. Kalau tidak pizza, maka pasta.”
Bose berbaik hati menjelaskan sembari membiarkan saya menikmati setengah porsi pasta dan sepotong pai Banoffee.
Untuk lidah yang tidak terlalu familiar dengan makanan Eropa, saya jujur tidak punya ukuran yang tepat untuk menilai apakah pasta Place to Bee termasuk kategori lezat atau tidak. Tapi rasa tomat segar yang menjadi bahan utama saus pasta tidak dapat berbohong. Segar dan membekas. Ada sedikit rasa kecut yang berbaur dengan manis. Bose menjelaskan bahwa tomat-tomat tersebut adalah produksi petani sekitar yang bekerja sama dengan restoran ini sejak pertama kali beroperasi. Hingga hari ini, relasi tersebut tetap dijaga.
Sementara pai Banoffee resto ini disajikan dengan campuran daging ayam cincang, saya jelas protes.
Bukan soal rasa, tapi soal klaim dan sejarah di balik jenis hidangan. Sajian ini jelas bukan jenis makanan Italia. Pai tipe ini adalah sajian khas Inggris yang dikreasikan oleh duo Nigel Mackenzie dan Ian Dowding pada tahun 1971. Mackenzie adalah pemilih restoran The Hungry Monk di mana Dowding bekerja sebagai kepala koki. Restoran yang terletak di Sussex Timur ini mengaku mengembangkan pai Banoffee dari resep pai Blum Coffee Toffee ala Amerika. Mackenzie dan Dowding menambahkan pisang sebagai pelengkap krim dan permen karamel yang menyelimuti potongan atas pai.
Pai Bonaffee muncul pertama kali di buku resep Mackenzie dan Dowding berjudul The Deeper Secrets of the Hungry Monk yang terbit tahun 1974. Nama tersebut merupakan pengempesan norak dua kata: banana (pisang) dan toffee (permen karamel).
Ada dua orang pegawai dan satu orang koki yang bekerja di restoran ini. Semua orang lokal. Tumbuh dewasa di Ooty, kecuali Bose. Ia berasal dari daerah otonom di dekat Chennai. Kisah tentang pengumpul madu hutan di daerah ini adalah pesona pertama yang membawa dirinya ke pegunungan Nilgiris.
Dahulu, sebagian dataran Nilgiris adalah wilayah jelajah orang-orang Kurumba, mencari sarang-sarang lebah di lipatan-lipatan tebing. Jenis madu yang dikumpulkan adalah jenis Apis dorsata yang memiliki rasa kecut.
Berbalut kawanan ribuan lebah, orang-orang Kurumba bekerja tanpa perlindungan apapun. Mereka bertelanjang kaki, mempercayakan hidup mereka kepada tambang yang dirakit dari akar-akar pohon yang melewati proses ritual pemurnian yang panjang. Beberapa minggu sebelum panen dimulai di hutan, para pemburu madu akan berhenti menggunakan sabun, berdoa secara reguler, menghindari kontak dengan wanita dan mengikuti diet vegetarian yang ketat.
Madu jenis Apis dorsata diambil langsung dari sisir sarang lebah yang ditemukan di tebing curam atau di pohon-pohon tertinggi di hutan. Orang-orang Tamil menyebutnya sebagai emas cair. Dalam dua puluh tahun terakhir, harga madu hutan asal Nilgiris ini telah meningkat. Jika dulu per liter dihargai hanya sekitar 5 Rupee (Rp. 980), kini Forest Enterprises membeli seharga 760 Rupee (Rp. 150.000) per liter. Harga ini kemudian menjadi semacam standar bagi orang-orang Kurumba ketika ingin menjual kepada pihak lain. Tidak boleh kurang.
Namun, ketika harga jual membaik, orang-orang Kurumba menghadapi ancaman sabotase dari kelompok pengusaha yang ingin memonopoli wilayah-wilayah tertentu yang dianggap memiliki cadangan madu hutan berlimpah. Para pemburu madu dari Nilgiri, adalah bentuk hidup tradisi yang dipaksa menyesuaikan diri dengan peradaban modern. Keyakinan dan ritual kini berhadapan dengan logika pasar yang sama sekali berbeda.
Orang-orang Kurumba, yang berdoa di bawah tebing tinggi sebelum memanjat tali dan mempertaruhkan hidup mereka di antara kawanan lebah raksasa, dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa madu hutan yang mereka kumpulkan tidak bisa langsung ditukar dengan bahan makanan seperti dua dekade lampau.
Inilah salah satu alasan di balik berdirinya Keystone Foundation di tahun 1993.
Tiga orang aktivis muda asal Delhi, memutuskan bermigrasi ke Kotagiri. Tujuannya untuk belajar bagaimana madu hutan dikumpulkan secara tradisional. Ketiganya penasaran dengan stamina orang-orang Kurumba mengarungi tebing-tebing tanpa penunjuk jalan di pegunungan Nilgiris.
Mathew John, salah satunya. Ia kini menjabat Direktur Last Forest Enterprises, badan usaha yang sahamnya dimiliki oleh empat komunitas orang asli di distrik Nilgiris. John bertugas mengurusi strategi pemasaran, membentuk pasar dan menjaga komitmen konsumen, membentuk ciri merek dagang, serta bertanggung jawab atas bentuk kemasan dari setiap produk Last Forest.
Sosok yang merupakan salah satu otak di balik berdirinya toko-toko Last Forest di beberapa kota di Nilgiris. John juga adalah inisiator riset panjang yang melahirkan keputusan untuk mengubah Place to Be dari sekedar museum, menjadi sebuah restoran Italia. Bose menganggapnya sebagai panutan.
Ia juga ada di sana. Duduk menemani ketika saya berbincang dengan Bose. Sesekali ia menimpali.
“Mungkin akan terdengar aneh bagi banyak orang. Bagaimana mungkin sebuah restoran Italia digunakan sebagai alat untuk mempromosikan madu hutan Nilgiris? Bukankah restoran India jauh lebih cocok dan masuk akal?”
Saya paham benar. Pertanyaan tersebut bukan untuk dijawab. John hanya sekadar bersilat agar tuturan kisahnya tetap menarik ku ikuti.
John menceritakan bagaimana lika-liku mereka membangun hubungan dan rasa saling percaya dengan para pengumpul madu hutan. Pengalaman orang-orang Kurumba yang ditipu harga beli madu yang rendah sudah terjadi berkali-kali. Juga bagaimana ia dengan begitu angkuh pernah berupaya memodernisasi cara pengumpulan madu.
“Bagi orang yang datang dari luar seperti saya, tambang yang dirakit dari akar-akar yang ditemukan di hutan bukanlah alat yang aman untuk bergelantungan di pinggir tebing. Selain itu, ada ribuan lebah yang siap menyengat. Satu sengatan dapat membuatmu berakhir di ranjang rumah sakit. Bagaimana jika ada puluhan lebah marah yang kemudian berbalik menyerang?”
Sembari mendengarkan John, saya menyeruput double espresso yang datang tepat ketika makan siang baru saja tandas.
“Tapi saya salah dan itu penting. Menyadari kesalahan itu penting. Sebab dengan begitu, kita jadi paham bahwa pengetahuan kita itu berbatas. Entah ruang, entah waktu.” John masih terus bercerita. Saya hanya tersenyum sedikit. Memberi kode bahwa masih banyak yang ingin saya ketahui.
“Restoran ini misalnya. Menu yang disajikan adalah makanan Italia. Tapi bahan-bahan, koki, para pelayan dan semua detil adalah India. Kau sedang menyantap hidangan Italia yang dimasak oleh orang India, menggunakan bahan-bahan yang ditanam di tanah India dan secara langsung telah ikut berkontribusi terhadap proyek penguatan ekonomi orang-orang asli India.”
Saya menatap John dan Bose secara bergantian. Ada sedikit kebingungan. Pernyataan terakhir seperti menggantung.
“Ya. Restoran ini adalah milik komunitas-komunitas asli Nilgiris. Mereka pemilik saham restoran dan toko di lantai bawah. Mereka, orang-orang yang tinggal di dalam hutan itu adalah pemilik dari Last Forest Enterprises. Mereka adalah bos-nya. Saya? Hanya orang upahan.”
Jujur, saya kaget.
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa
-
Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana