Connect with us

BERITA

Retribusi di Bukit Kasih Kanonang Timbulkan Polemik

Published

on

15 Januari 2019


Oleh: Juan Y. Ratu


 

kelung.com – Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara (Perda Sulut) Nomor 5 Tahun 2018 mengenai Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Sulawesi Utara Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi, yang disahkan pada tanggal 28 September 2018, kemudian diterapkan pada awal Januari 2019 di Tempat Wisata Bukit Kasih Kanonang menimbulkan polemik. Ketua Ikatan Pemuda Kanonang (IPKAN), Israel Moniung, menilai Perda Sulut yang diperbarui tersebut tidak serta-merta merangsang Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara (Sulut) untuk merenovasi fasilitas yang sudah tidak layak di Bukit Kasih.

“Masih kurang baik dalam hal respon pemerintah. Kalau melihat dari keadaan sekarang, terlihat kalau dari pihak provinsi seperti tidak ambil pusing dengan keadaan tempat, dan pendapatan dari pengunjung dan penjual yang ada,” katanya.

Moniung mengkritisi keberpihakan Pemprov yang terkesan mengedepankan retribusi daerah dan mengesampingkan usaha yang membantu perekonomian masyarakat sekitar Bukit Kasih.

“Tentang jumlah tagihan sekarang menjadi pedang bermata dua bagi perkembangan Bukit Kasih. Hal tersebut mengurangi pendapatan bagi para pelaku usaha yang notabene adalah saudara kita di sana. Andaikan dana itu masuk demi infrasturktur tempat pariwisata sendiri, harusnya perumusannya mengundang berbagai stakeholder,” lanjutnya.

Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ini, menyayangkan kenaikan retribusi tidak diiringi dengan perbaikan dan peremajaan infrastruktur.

“Keliru bila memandang Bukit Kasih yang punya nama besar sehingga harus adanya kenaikan biaya pajak. Harusnya dikaji dari pendapat masyarakat setempat. Apakah ini menguntungkan bagi kedua belah pihak atau hanya berat sebelah,” ujar Moniung.

Salah seorang penyewa pondok di Bukit Kasih, Inggrid Bujung, mengatakan Perda Sulut tentang Retribusi tersebut diterapkan pada Jumat (11/01).

“Aturan mulai berlaku hari Jumat. Mereka melakukan rapat di Bukit Kasih, tapi tidak mengikutsertakan penjual yang ada. Selesai rapat langsung aturan diumumkan lewat corong,” ujarnya.

Audi Sondakh, warga desa Kanonang yang juga berjualan di Bukit Kasih saat ditemui di lapangan, membeberkan bahwa mayoritas pelaku usaha tidak sepakat bila retribusi naik. Menurutnya, yang terkena imbas paling besar adalah para pelaku usaha kecil.

“Ya, kalau kami pelaku usaha di Bukit Kasih, terus terang tidak mau untuk tagihan ini naik. Karena jika tarif tinggi, yang paling kena imbasnya adalah kami yang menggantungkan hidup di Bukit Kasih. Semenjak diterapkan aturan ini, pendapatan kami langsung berkurang. Tiga hari belakangan, pendapatan hanya 30 ribu rupiah. Sebelum itu bahkan tidak dapat apa-apa,” terang Sondakh.

Sondakh menjelaskan bahwa kejanggalan yang terjadi di Bukit Kasih. Banyak fasilitas pariwisata yang tidak dirawat dan malah terkesan dibiarkan oleh pengelola dalam hal ini kewenangan dari pemerintah provinsi.

“Contohnya sana ada rumah sumbangan PLN. Sampai rusak dan akhirnya rubuh karena angin. Belum lagi ada proyek yang katanya kawasan kuliner. Ada pondok yang sudah selesai, tapi belum digunakan, cuma dibiarkan begitu. Terus kolam di Monumen Kasih. Airnya sudah keruh dan bau busuk di salah satu area monumen. Waktu musim kampanye, hari-hari banyak program pembangunan. Ukur-mengukur ujung ke ujung, tapi sampai hari ini tak ada terlihat pembangunannya,” ungkapnya.

Di sisi lain, Hukum Tua desa Kanonang Dua, Welly Rawis, menilai kenaikan tagihan di Bukit Kasih masih dianggap wajar.

“Kalau melihat dari regulasi retribusi itu bagus. Sebenarnya masyarakat tidak perlu protes. Menurut saya (retribusi) itu tergolong kecil. Saya berharap pendapatan itu kembali untuk pemeliharaan di kawasan Bukit Kasih. Melihat dari jumlah (retribusi) masih dalam kewajaran,” kata Rawis.

Rawis menambahkan, bahwa status pengelolaan Bukit Kasih seutuhnya berada di tangan Pemprov. Hal itu dianggap menyulitkan bagi desa untuk masuk melakukan serangkaian realisasi gagasan pembangunan di sana. Tapi Rawis melihat masih ada celah, untuk pemindahtanganan pengelolaannya. Namun semuanya harus mengikut aturan.

“Sebenarnya bisa saja pemerintah desa Kanonang Dua untuk mengelola, karena memiliki wilayah terbesar. Tapi tidak enak dengan empat desa Kanonang lain. Karena waktu Bukit Kasih berdiri, Kanonang belum terbagi jadi lima desa administratif. Wakil Gubernur sudah pernah bilang, bila tidak mampu dibangun oleh badan pengelola, bisa dibangun lewat anggaran APBD Provinsi atau Kabupaten agar (pengelolaannya) bisa diserahkan ke desa,” lanjutnya.

Hukum Tua Kanonang Dua ini mengungkapkan, yang menjadi kendala dalam hal mengelola lokasi wisata religi ini, adalah aturan yang tumpang tindih. Akibatnya, sulit menilai pihak mana yang paling bertanggungjawab atas pengelolaan Bukit Kasih ini.

“Yang menjadi kendala dalam kami pemerintah desa melihat dari aturan teknis yang masih tumpang tindih. Sehingga memerlukan siasat untuk koordinasi dari pemerintah lima desa administratif di Kanonang, Pemprov, pihak gereja. Apalagi tanah masuk wilayah desa Pinawetengan,” tambah Rawis.

Rawis mengaku sudah sempat mengusulkan kepada instansi terkait menyangkut pengelolaan tempat pariwisata Bukit Kasih. Ia bertujuan membentuk Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) bersama antar desa-desa yang wilayah adminstratifnya berada di wilayah Bukit Kasih Kanonang. Tujuannya agar pengelolaan Bukit Kasih menjadi jauh lebih baik.

“Saya sempat usul untuk bentuk Bumdes bersama, Kanonang Raya. Karena dalam aturan UU Desa, di mana ada destinasi wisata, desa penyangga bisa memberikan menganggarkan sebagian dana desa perawatan dan peremajaan tempat wisata tersebut,” jelas Rawis.

Bukit Kasih Kanonang secara administratif dikelola langsung oleh Pemprov Sulut sejak tahun 2000 di bawah pemerintahan Gubernur A. J. Sondakh. Bukit Kasih Kanonang dahulunya dikenal dengan nama Bukit Doa Toar-Lumimuut. Bagi pemerintah Sulut, Bukit Kasih adalah destinasi Wisata Religi, sebagai simbol kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara.(*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *