Connect with us

Nasional

Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap

Published

on

21 Oktober 2024


Penulis: Etzar Tulung


MINGGU, 20 Oktober 2024 menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Pasangan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah resmi mengemban tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2024-2029.

Keduanya dilantik berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 504 Tahun 2024, Tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih pada Pemilu 2024.

Akan tetapi, terlepas dari momentum bersejarah bagi bangsa ini, ada tumpukan persoalan yang sedang dialami oleh orang-orang terpinggirkan, kaum minoritas, mereka yang terabaikan, mengalami ketidakadilan, perampasan lahan dan segudang persoalan yang dilupakan.

Seakan negara hanya diam, bahkan justru ikut melakukan pembungkaman, diskriminasi, kriminalisasi bagi mereka yang sedang berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran, tanah leluhur, tanah tempat mereka tinggal.

Seperti yang sedang dialami Masyarakat Adat hari ini, banyak sekali persoalan yang belum bisa diselesaikan oleh para pemimpin yang duduk diam di kursi nyaman gedung rakyat nusantara.

Pada momentum masa transisi pemerintahan ini, beberapa waktu lalu Masyarakat Adat, petani, mahasiswa, perempuan adat, kaum minoritas, dan mereka yang mengalami ketidakadilan, terpaksa turun ke jalan menutut janji manis rezim Joko Widodo (Jokowi)

Dengan menyamakan persepektif dan menyatukan jiwa raga, mereka berbondong-bondong penuh semangat dan tangis yang terpendam, turun memadati jalan raya dan gedung-gedung pemerintahan untuk menyuarakan aspirasi, menuntut ganti rugi, janji-janji palsu dan ketidakadilan.

Seperti yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara (Sulut). Berkoalisi bersama mahasiswa, petani dan pemuda adat, kaum marginal menyambangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut, untuk menuntut banyak hal tentang persoalan daerah dan nasional.

Ketika memimpin masa aksi pada Jumat, 11 Oktober 2024, Ketua Pengurus Harian AMAN Sulut, Kharisma Kurama, mengatakan aksi ini dimaksudkan untuk menyuarakan aspirasi terkait kekecewaan terhadap 10 Tahun pemerintahan Jokowi dan pemerintahan daerah provinsi yang abai akan pemenuhan-pemenuhan hak asasi warga negara dan khususnya hak Masyarakat Adat.

Selanjutnya, terkait penolakan pemerintah terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, serta sebagian besar kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis yang telah menggunakan kekuasaan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.

“Aksi ini juga didasarkan pada penderitaan masyarakat sebagai korban kebijakan selama pemerintahan Joko Widodo yang telah memicu krisis multidimensi. Mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum,” katanya.

Menurut Kurama, selain itu masih banyak sekali persoalan yang terjadi sejak dulu, hingga akhir pemerintahan ini yang belum juga terselesaikan.

“Demikian pula, yang terjadi pada skala lokal di Sulut, terdapat praktik perampasan lahan, pengabaian terhadap hak Masyarakat Adat, petani, nelayan masih terus terjadi, termasuk di dalamnya perusakan lingkungan hidup demi pembangunan yang tidak pro rakyat,” kuncinya.

Fakta hari ini, dalam pemerintahan satu dekade rezim Jokowi telah meninggalkan warisan dosa-dosa kepada Masyarakat Adat. Rezim ini telah berkhianat kepada Undang-Undang Dasar 1945, ingkar pada janji politiknya dan gagal melindungi rakyat.

Tidak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk kepentingan dan keberpihakan Masyarakat Adat. Bahkan sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.

Masalah tersebut dibuktikan dengan adanya berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU CK, UU IKN, pengesahan UU KUHP.

Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut didesain dan disahkan sengaja untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta Masyarakat Adat beserta hak-hak konstitusionalnya (AMAN, 2023).

Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum yang berwatak merampas dan menindas masyarakat adat.

Ini tercermin dari kebijakan pengakuan hukum masyarakat adat dan wilayah adatnya yang rumit, berbelit dan sektoral. Dalam banyak kasus bahkan hendak memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dengan Masyarakat Adat, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari target pemerintah.

Artinya, Presiden Joko Widodo dan kabinetnya memang tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional Masyarakat Adat.

Karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, DPR sendiri sebagai pembentuk undang-undang selama ini telah dikontrol para pengusaha.

Saat ini sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55 persen anggota DPR adalah pengusaha yang 26 persen di antaranya pengusaha skala besar (Marepus Corner, 2023).

Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan yang melegalkan monopoli sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha.

Satu dekade pemerintahan Jokowi adalah wujud dari absolutisme kekuasaan, yang ditandai dengan menguatnya kekuasaan eksekutif, melemahnya fungsi legislatif, dan hilangnya oposisi.

Saat ini kita sedang menghadapi fakta politik. Kekuasaan berlangsung tanpa adanya interupsi. Dampaknya segala hal yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah diabaikan atau bahkan ditolak dengan berbagai modus politik penaklukan.

Akhirnya, satu dekade pemerintahan Jokowi telah memicu krisis multidimensi. Mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum.

Terkait itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, sebagai organisasi yang mewakili suara Masyarakat Adat di seluruh Nusantara, menyampaikan sikap politik atas pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden  dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Dengan harapan, di bawah pemerintahan mereka dapat membawa perubahan yang positif bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk Masyarakat Adat yang selama ini kerap terpinggirkan.

Masyarakat Adat adalah bagian integral dari sejarah dan kehidupan bangsa Indonesia. Memiliki kearifan lokal, adat istiadat, serta sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah terbukti mampu menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam dan budaya selama berabad-abad.

Namun, tantangan yang dihadapi saat ini semakin besar, terutama dalam menghadapi kebijakan dan praktik pembangunan yang kerap mengabaikan hak-hak atas wilayah adat, tanah, hutan, dan sumber daya alam.

Tercatat, dalam 10 tahun terakhir terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar yang mengakibatkan lebih dari 925 orang warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi. 60 orang di antaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat negara, dan 1 orang meninggal dunia (AMAN, 2024).

Oleh karena itu, pada 20 Oktober 2024, AMAN melalui Sekretaris Jenderal-nya, Rukka Sombolinggi, menegaskan beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian serius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka.

Pertama, mendesak Pemerintah Prabowo-Gibran untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahan. Undang-Undang ini adalah amanat konstitusi dan akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.

Kedua, mempercepat pengakuan hak kami atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.

Ketiga, mendesak agar Presiden Prabowo mencabut UU Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Mineral dan Batubara, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Buruh, perempuan, dan kelompok marginal lainnya.

Keempat, mendesak Presiden Prabowo untuk memulihkan Kedaulatan Bangsa Indonesia atas  tanah dan kekayaan alamnya serta mewujudkan kesejahteraan dengan menjalankan  Reforma Agraria yang sejati sesuai mandat Konstitusi, TAP MPR No.IX Tahun 2001 dan UUPA 1960.

Kelima, mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk melakukan pemulihan terhadap Masyarakat Adat yang telah ditangkap, dituntut dan dihukum di pengadilan karena berjuang mempertahankan haknya, dan menjamin perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat dan Pembela Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya. Pemerintahan Prabowo harus menegakkan supremasi hukum tanpa berpihak pada kepentingan modal atau korporasi besar semata.

Keenam, mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memastikan partisipasi secara penuh dan efektif Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan kelompok masyarakat lainnya dalam setiap tahapan penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan perencanaan pembangunan yang akan berdampak langsung.

Ketujuh, mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum terhadap korporasi perusak penjahat lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.

Kedelapan, mendesak kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mendukung upaya pelestarian budaya, dan memberikan akses pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Pendidikan yang menghargai bahasa, nilai, dan pengetahuan lokal akan memperkuat identitas dan memastikan keberlanjutan kebudayaan adat di tengah arus globalisasi.

Dengan sejumlah tuntutan tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menekankan agar pemerintahan baru ini membawa perubahan yang lebih baik, dengan menempatkan keadilan bagi Masyarakat Adat sebagai salah satu prioritas utama, dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan serta bekeradilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *