FEATURE
Rindu Takbir di Ujung Lailatul Qadar
Published
4 years agoon
24 Mei 2020
__________________________________________________________________________________
Oleh: Rikson Karundeng
__________________________________________________________________________________
Bulan Ramadan hingga Idul Fitri memang selalu dinanti. Bukan hanya oleh umat Muslim tapi oleh umat beragama lain di Kotabunan. Ada tradisi yang memelihara, mengikat erat hubungan antar umat beragama di momen itu.
_________________________________________________________________________________
SENJA SELALU menggiring keceriaan menuju malam. Ada banyak riang yang bisa direngkuh pada detik-detik perpisahan bersama sang surya. Banyak tawa dari kalbu terdengar dari anak-anak yang sedang bermain di jalan, pekarangan rumah, atau di tanah lapang.
Di pesisir timur ‘Tanah Totabuan’, ada sebuah pemukiman indah yang tersimpan. Dipeluk erat barisan pegunungan, dilindungi Kumeke, pulau yang berdiri gagah di depan, menghadapi terjangan ganasnya ombak laut Maluku. Lukisan indah di kala senja itu tergurat jelas di tempat ini.
Kotabunan, begitu orang-orang mengenalnya sejak era bajak laut, masa kejayaan pertambangan emas di era kolonial, hingga ia menjadi bagian dari Kabupaten Bolaang Mongondow Timur kini. Masyarakatnya sangat majemuk. Selain suku Mongondow, ada juga warga keturunan Sangihe, Talaud, Gorontalo, Minahasa, Bugis, Jawa, Buton, hingga Arab dan Tionghoa. Mereka menyatu di tempat ini.
Senja memang selalu menjadi momen terbaik bagi anak-anak di Kotabunan. Bukan sekedar nikmatnya pemandangan langit yang dihiasi warna orange atau jingga yang menenangkan, tapi panas terik memang mulai berkurang sengatannya di kala itu. Cuaca ini akrab dengan waktu bermain anak-anak pesisir.
Sepanjang tahun, ada bulan khusus yang paling menyenangkan. Senjanya pun menjadi spesial. Ketika Ramadan tiba. Biasanya, ria saat berenang atau keseruan bermain bola bersama para sahabat, akan dihentikan beduk magrib. Tanda waktu berbuka telah tiba.
“Hen, mari sini. Napa kukis, bawa ka rumah ne. Ambe jo, kawanua kwa torang,” ujar seorang bapak kepadaku.
Masih kuat dalam ingatan, pengalaman menyenangkan itu saya alami di bulan puasa 1986. Om dari sahabat saya bernama Utung, membagi roti pangko (pancake ala Kotabunan) dan kueku isi talas dan gula merah. Penganan yang hedak ia nikmati saat berbuka puasa.
Saya pulang dengan hati gembira, membawa pemberian itu. Menceritakan pengalaman ini ke orang tua di rumah. Mungkin itu memori bahagia yang membuat hati ini sangat senang ketika melihat roti pangko dan kueku hingga hari ini, di usia hendak menyentuh angka 40.
Om itu menyebut kami kawanua (sekampung halaman). Rasanya tak bisa diungkapkan, ketika mendengar kata kawanua di tanah rantau. Walau dalam benak masih ada sedikit tanya, apa mungkin keluarga muslim ini seperti kami yang datang dari Minahasa ? Belakangan saya paham kenapa ia menyebut kami kawanua. Keluarga sahabat saya keturunan campuran Mongondow dan Watuliney Minahasa Tenggara.
Pengalaman senja di bulan Ramadan itu selalu terjadi. Sampai-sampai saya jadikan ‘senjata’ ketika kembali ke rumah setelah seharian tak pulang-pulang. Takjil menyegarkan itu selalu menjadi teman keluarga saya yang Kristen di saat saudara-saudara Muslim berbuka puasa. Barangkali, ini yang membuat keluarga kami tidak merasa seperti pendatang di Kotabunan. Mungkin kisah ini bisa menjadi pintu masuk saya untuk memahami kenapa ayah dan ibu kini berhasrat akan tinggal di tanah itu sampai unjung usianya.
Tidur di Masjid Menyambut Sahur
Di masa usia memasuki remaja, beduk buka puasa bukan akhir dari kisah indah di bulan suci Ramadan. Biasanya, selesai mandi, anak-anak akan berkumpul di rumah salah satu dari sahabat yang Muslim. Tak jarang, ada ‘ritual’ makan malam bersama dengan menu spesial.
Memasuki malam, kami harus bergegas menuju masjid. Mengantar sahabat-sahabat menunaikan salat isya hingga salat tarawih. Sambil menunggu salat sunah di bulan suci itu berakhir, biasanya kami duduk di pelataran masjid. Tidak ada warga yang tampak heran melihat sekelompok remaja Kristen duduk di serambi masjid, apalagi megusuir kami dari tempat suci itu.
Lepas pukul 20.30 Wita, tarawih tuntas, petualangan malam bulan puasa pun berlanjut. Dermaga Kotabunan jadi tempat duduk santai sembari nenikmati angin malam pesisir pantai. Cerita-cerita lucu, menghibur, mewarnai. Gelak tawa sekelompok remaja terdengar jelas menyeruak di antara bunyi pecahan ombak.
Jelang pukul 22.00 Wita, satu per satu mulai saling mengajak untuk bergegas kembali ke masjid. Kami akan tidur bersama di dalam masjid. Diiringi lantunan indah ayat-ayat suci Alquran, tubuh mulai melepas lelah sejenak. Di malam turunnya Alquran ini, biasanya di masjid memang setiap malam ada yang memanfaatkan waktu untuk membaca kitab suci. Kata ustaz Buang, umat Islam meyakini pahalanya akan menjadi cahaya di langit dan terlihat oleh Allah sehingga ia mendapat perlindungan dan keselamatan dari Allah.
“Hei, bangun jo samua.” Suara itu akrab di telinga. Sotak langsung membangunkan gerombolan remaja yang tidur di masjid itu.
Jou Buang, ayah sahabat kami Masita Kolopita. Guru mengaji yang sangat dikenal. Sosok yang biasanya membangunkan kami ketika waktu menunjukkan pukul 1 pagi.
Saatnya untuk beraksi. Keliling kampung sambil membangunkan penduduk. Sepanjang jalan teriakan sahur diiringan bunyi kaleng, botol dan segala macam yang bisa dibunyikan.
Usai keliling kampung, ‘ritual’ makan sahur di rumah sahabat tak pernah ketinggalan. Waktu imsak, sebelum azan subuh bekumandang, kami akan berpisah. Istirahat sejanak di rumah masing-masing sebelum kembali berjumpa di sekolah.
Salah satu hal menyenangkan bagi anak-anak, liburan sekolah. Di Kotabunan, biasanya seminggu awal puasa dan seminggu jelang Idul Fitri hingga seminggu sesudahnya, sekolah akan diliburkan. Sementara, dua minggu di antara pun sekolah akan berahkir lebih cepat. Biasanya pukul 11 siang, lonceng tanda sekolah usai akan berbunyi.
Masa 80-an hingga 90-an belum ada alat komunikasi secanggih telepon seluler namun waktu ‘baku dapa’ selesai sekolah tak pernah ada yang terlambat. Tempat untuk bersua pun seperti sudah terprogram dalam otak. Agenda lanjutan pun didiskusikan.
Jalan-jalan ke kebun mencari buah segar untuk dimakan saat berbuka, biasanya jadi pilihan selanjutnya. Panas matahari tak begitu terasa jika berada di bawah pohon. Buah paling gampang di dapat di Kotabunan adalah kelapa. Maklum, di masa itu daerah ini merupakan kecamatan dengan penghasil kopra terbesar di Indonesia. Untuk buka puasa tentu harus mengambil yang masih muda. Dicampur gula merah, sangat pas untuk jadi minuman buka puasa.
Dalam ingatan, di kebun tempat mengambil buah kelapa, saya sering menyaksikan ustaz Buang Kolopita beraktivitas di kebun. Ia terlihat menanam, mencangkul dan melakukan kegiatan lain yang biasa dikerjakan para petani. Saya paham dari sosok ini, puasa bukan berarti menghentikan aktivitas dan tidur bermalas-malasan di rumah. Jou Buang memang teladan hidup.
Keriangan Menyambut Monuntul
Babak menyenangkan selanjutnya di bulan Ramadan ketika malam lailatul qadar datang. Di momen 10 hari jelang lebaran ini, ada tradisi yang biasa dilakukan orang Mongondow dan kemudian semua umat Muslim di Kotabunan. Monuntul atau tradisi ‘malam pasang lampu’.
Beberapa hari sebelum memasuki malam lailatul qadar, warga akan beramai-ramai pergi ke kebun untuk mencari bambu. Dari bambu, masyarakat biasanya mengkreasikan macam-macam lampu minyak. Tugas tak kalah penting lain adalah mencari bulu taki untuk dibuat lantaka (meriam bambu). Bambu jenis ini terkenal paling tahan dan bisa menghasilkan bunyi mengglegar jika dibuat lantaka.
Kala itu, ada juga yang berkreasi membuat lampu minyak dari buah pepaya mentah yang dibelah dua. Setelah bijinya dikeluarkan, diisi dengan minyak kelapa, dan ditaruh sumbu. Di akhir 1990-an, perubahan mulai terlihat. Lampu-lampu mulai terbuat dari kaleng susu sampai botol-botol minuman berenergi.
Jelang magrib, lampu-lampu pun mulai dinyalakan di depan rumah. Biasanya, orang menyalakan lampu sesuai jumlah penghuni rumah. Usai azan magrib berkumandang, tak berselang lama bunyi lantaka mulai bersahut-sahutan di berbagai tempat. Di balik letupan-letupan menggelegar itu, terselip riang anak-anak yang memainkan lantaka.
Di kampung ini, ada aturan main yang tak pernah tertulis namun harus dipatuhi. Bermain lantaka bisa jelang berbuka, sebelum tarawih dan sesudah tarawih. Jangan coba-coba bermain di waktu yang tidak tepat kalau tidak ingin didatangi orang tua yang membawa cambuk sapi. Kalu kedapatan, harus siap-siap lari pontang-panting dan cari bulu taki baru untuk besok.
Malam lailatul qadar selalu sangat menyenangkan. Kampung benar-benar ramai. Ceria dihiasi lampau-lampu menarik. Kian indah karena rata-rata rumah telah bersolek menyambut ‘hari kemenangan’.
Rumah Umat Kristen Sibuk di Bulan Puasa
Memasuki bulan Ramadan, aktivitas di rumah-rumah umat Kristen meningkat. Ada banyak pekerjaan yang harus dikejar untuk dituntaskan sebelum kumandang takbir bergema di malam Idul Fitri. Pemandangan itu juga tersaji di rumah saya.
Ibu harus bekerja keras untuk membuat kue kering khas hari raya. Stoples-stoples yang dibawa saudara-saudara Muslim di waktu perayaan Natal, harus dikembalikan. Tentu dengan isinya. Kami harus membalas kebaikan yang sudah dinikmati di saat Natal.
Sementara, Bapak sibuk menyiapkan minuman ringan. Minuman itu harus dibeli dan diatur sebaik mungkin untuk dibawa ke semua saudara-saudara Muslim yang telah membawa minuman yang sama ketika perayaan Natal. Umat Muslim dan Kristen di sini memang punya tradisi ‘balas pantun’ di hari raya. Saling berbalas-balasan, saling memberi bukan saling menyerang satu dengan yang lain.
Di malam takbiran, semua stoples berisi kue dan minuman-minuman ringan itu sudah harus ada di rumah-rumah saudara-saudara yang akan ber-Idul Fitri. Kami sekeluarga beramai-ramai mengatar satu-persatu. Khusus para tetangga, biasanya Ibu membuatkan kue tart special yang akan dibawa pada malam takbiran.
Gembira Meneriakkan Takbir
Kecamatan Kotabunan punya tradisi takbiran di malam Idul Fitri. Masyarakat akan berkumpul dalam pawai bersama mengelilingi sejumlah desa sambil mengumandangkan takbir. Tak sedikit umat Kristen yang biasa ikut terlibat. Ada yang berusah ikut membantu menjaga keamanan kegiatan itu, ada juga yang sekedar menikmati keramaian ‘hari kemenangan’.
Sejak SMP sampai SMA, saya beserta sahabat-sahabat jarang ketinggalan ikut pawai ini. Sepanjang jalan saya pun ikut meneriakkan takbir, tanda kemenangan. “Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd.”
Kumandang takbir itu tidak menakutkan. Tidak seperti teror. Suara itu menyejukkan. Sangat mendamaikan setiap hati yang mendengar. Termasuk hati umat Kristen seperti saya.
Pawai akan sangat ramai. Bunyi beduk bersahut-sahutan menambah kemeriahan malam Idul Fitri. Semua orang yang bersua di jalan, akan saling memberikan salam dengan tulus satu dengan yang lain. “Minnal aaidiin wal faaiziin (termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang). Mohon maaf lahir batin”.
Di sana-sini terdengar ucapan, “Taqabbalallahu minna waminkum” (Mudah-mudahan Allah menerima (amal ibadah) kita dan kalian.”
Menjadi Keluarga
Tradisi saling memberi salam dan memberi maaf terus berlanjut. Usai solat Idul Fitri di pagi hari, para tetangga akan mengajak keluarga kami datang untuk makan bersama mereka. Walau ikat pinggang sudah mengencang, kami sekeluarga harus berusaha untuk memenuhi semua undangan.
Ada tradisi, di hari raya pertama, setiap keluarga akan berkumpul di rumah masing-masing bersama sanak-saudara terdekat. Kami merasa bangga, merasa damai, ketika menjadi bagian dari saudara-saudara yang Muslim di hari raya pertama itu. Kami merasa dianggap sebagai keluarga oleh mereka.
Saat hari raya ke dua, rute perjalanan sudah diatur. Semua rumah kerabat, kenalan, harus dikunjungi. Beruntung, di Kotabunan hari raya tidak hanya berlangsung dua hari. Sepanjang minggu berjalan, orang-orang akan ramai saling mengunjungi. Makanya, kami punya waktu cukup untuk bisa bersilaturahmi dengan semua kerabat dan kenalan. Ini ‘wajib’ dilakukan kalau tidak ingin menanggung ‘dosa’ sepanjang tahun hingga Idul Fitri berikutnya.
“Io e, sombong. Nda pasiar di rumah.”
Kata ini akan selalu kita dengar ketika bersua dengan kerabat yang tak sempat kita kunjungi di waktu hari raya. Sungguh akan berat menanggung itu sepanjang tahun.
Bagi anak-anak seperti saya dan sahabat-sahabat sebaya, mungkin belum akan menggung ‘dosa’ itu. Kalimat tersebut akan mulai terdengar langsung ketika kita sudah mulai memasuki usia SMA.
Lepas SMA, saya mulai melanjutkan pendidikan di luar daerah. Bertemu jodoh di Kota Tondano hingga harus menetap di Kota Tomohon karena tuntutan pekerjaan. Namun ingatan kuat tentang bulan Ramadan dan Idul Fitri di Kotabunan selalu kencang memanggil.
“Hen, mo datang ka Kotabunan toh? Jang lupa mo pasiar raya. Musti datang pasiar di rumah!”
Ajakan itu selalu sampai ke telinga jelang Idul Fitri. Seperti panggilan rindu seorang saudara kepada saudara yang ia kasihi. Sulit untuk menolaknya.
Bulan Ramadan hingga Idul Fitri memang selalu dinanti. Bukan hanya oleh umat Muslim tapi oleh umat beragama lain di Kotabunan. Ada tradisi yang memelihara, mengikat erat hubungan antar umat beragama di momen itu. Ini yang kadang membuat saya menitikkan air mata jika tidak berada di Kotabunan, saat malam lailatul qadar berujung dan kumandang takbir mulai mengalun. (*)
Penulis, Desainer Grafis & Sinematografer