Connect with us

ESTORIE

Riwayat “TJAP TIKOES”

Published

on

29 Desember 2018


Oleh: Denni Pinontoan


Dari tradisi, melewati masa kolonial, ‘tjap tikoes’ mesti menjadi komoditi untuk tetap eksis

ORANG-ORANG Minahasa secara populer menyebut pohon aren (enau) dengan nama seho. Namun sering juga secara khusus disebut akel atau nakel. Pieters Bleeker yang datang ke Minahasa tahun 1850-an dalam buku laporan perjalananya,  Reis Door de Minahassa menyebutkan beberapa nama pohon jenis palem, antara lain pohon enau atau seho dan pohon woka.

Jenis palem yang lain, yaitu pohon sagu, tulis Bleeker, kebanyakan ditemukan di daerah Ratahan dan Passan, bagian tenggara Minahasa. Orang-orang di sana memanfaatkan sagunya untuk dikonsumsi. Pohon seho, menurut Bleeker sudah lama dimanfatkan orang Minahasa sampai kedatangannya, yaitu menyadap air niranya untuk dibuat tuak.   

Sidney Hickson, naturalis asal Inggris yang datang ke Kepulauan Melayu (Malay Archipelago) dan tinggal beberapa bulan  di Minahasa pada akhir abad 19 menuliskan, pohon aren umum terdapat di kepulauan ini, China hingga Filipina. “Di Minahasa itu sangat umum terdapat di lembah-lembah dan hutan,” tulis Hickson dalam buku laporan perjalanannya, A Naturalist in North Celebes, terbit 1889.

Pendeta Nicolaus Graafland pada bukunya berisi laporan perjalanan di Minahasa sekitar tahun 1850-an menggambarkan bentuk pohon seho itu. Kulit pohon ini tertutup oleh ijuk berwarna hitam, orang Minahasa menyebutnya gomutu, ijuk, yang di sana-sini terlihat lidinya, yang sama seperti lidi mumu.

Jika pohon itu berbunga, maka pada sejenis jorokan tergantung setundun buah, yang disebut buah batu, yang jika masih muda, bagaikan sejumlah deretan buah ara berwarna emas tergantung merupakan satu-satunya yang menghiasi pohon itu, tetapi yang akan memberikannya suatu pemandangan yang jelek, jika buah itu lambat-laun menjadi tua dan terjatuh,” tulis Graafland di tahun 1869 dalam De Minahasa: Haar Verleden en Haar Tegewoodirge Toestand.

Sudah sejak dahulu orang-orang Minahasa mengolah pohon seho. Mitos yang didengar oleh Graafland dari orang-orang Minahasa menyebutkan, saguer olahan dari pohon seho ditemukan oleh opo (leluhur) bernama Kiriwaerong. Ada juga mitos lain, saguer ditemukan oleh dua orang wanita di hutan.

“Sementara pohon itu sedang bergesekan dengan pohon lain sehingga muncullah cairan yang berharga itu keluar, meniris. Di tempat lain tempat lagi maka beberapa anak piatulah, yang memberikan makanan kepada adik perempuan mereka dan bertahan hidup dengan ditemukannya pohon tersebut,” tulis Graafland.

Hickson menuliskan, selain dibuat anggur atau saguer dan gula aren pohon seho juga dapat dibuat untuk macam-macam produk yang berguna. Ijuk hitam atau gomutu dapat dibuat tali.  Kayu pohon seho yang keras dan kuat sering digunakan untuk  lantai rumah. Tunas muda bisa juga dimakan sebagai sayuran. Pohon seho tua yang tidak lagi menghasilkan air nira dapat dibuat sagu dengan mengambil isi pohonnya untuk dimakan. Tapi menurut Hickson, sagu bukan makanan khas orang Minahasa. Orang-orang Minahasa lebih menyukai beras atau jagung (milu).

 “Getah anggur sagoweer  – yang dikenal sebagai minuman para dewa di Kasendukan –  manis dan menyenangkan ketika diminum masih segar, tapi pahit dan memabukkan ketika telah difermentasi,” tulis Hickson menggambarkan rasa saguer.

Hingga sekarang, pekerjaan menyadap air nira atau saguer dari pohon seho masih dilakukan oleh banyak petani di Minahasa. Cara pengolahan agaknya tidak banyak berubah dibanding tahun 1850-an. “Pekerjaan tiap hari pada pohon untuk mendapatkan saguer disebut makehet, bahasa Alifuru, dalam bahasa Melayu lokal disebut batifar,”  tulis Graafland. Dalam penyebutan yang lazim di wilayah Tontemboan, sub etnis di bagian tengah dan selatan Minahasa, disebut make’et atau kume’et. 

F.S. Watuseke dalam The Origin of The Dutch Word ‘Tijferen’ And The Portuguese ‘Tifar’” yang dipublikasikan pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 148 (1992), no: 2, Leiden, menemukan bahwa kata ‘tifar’ dan ‘batifar’ umum dipakai di bagian timur kepulauan nusantara ini, yaitu Halmahera, Ternate dan Minahasa. Kata ‘batifar’ umumnya dipakai untuk pekerjaan menyadap air nira dari pohon enau. Artinya, tradisi menyadap air nira dari pohon enau yang menghasilkan tuak  atau saguer sudah cukup lama di wilayah ini sebelum perjumpaan mereka dengan bangsa Barat (Portugis dan Belanda).

Dari make’et atau batifar itu maka dihasilkan air nira. Pertama, air nira yang bening dan manis. Kedua, air nira yang sudah difermantasi secara alamiah, rasanya asam-pahit dan mengandung sedikit alkohol, dahulu disebut tuak atau sekarang umum disebut saguer.

P.A.F. van Veen dan N. van der Sijs dalam Van Dale Etymologisch Woordenboek ((1997) menuliskan, kata sagoweer atau saguweer diartikan sebagai palmwijn atau tuak. Kata ini sendiri sudah masuk dalam perbendaharaan kata Portugis sejak kira-kira tahun 1724-1726.

S.T. Palar, tua-tua kampung Rurukan, Tombulu dalam Pelbagai Keradjinan Orang Minahasa, buku suntingan S. Pangemanan terbitan Balai Poestaka  tahun 1919, menceritakan mengenai cara orang-orang Rurukan membuat gula merah. “Bermoela orang-orang di-Hindia ini semoeanya tahoe peri bagaimana menjadap air enau (nira). Nira itoe djernih laksana air bersih yang sangat manis rasanja. Maka adalah biasanja nira itoe didjadikan toaek akan menjadi minoeman, warnanya poetih sebagai air soesoe, keasaman-asaman,” cerita Palar.

Catatan Palar ini memberi informasi bagaimana orang-orang Minahasa membedakan antara air nira yang bening dan manis untuk dibuat gula merah dan air nira yang sudah difermentasi untuk diminum sebagai tuak. Penjelasan ini rupanya mau mengatakan juga tradisi make’et itu umum di Hindia Belanda dan itu sudah lama dilakukan oleh orang-orang di kepulauan ini.

 

Dari  Saguer Hingga Cap Tikus

Saguer adalah minum kesukaan orang-orang Minahasa. Saguer yang sudah difermentasi menjadi asam-manis atau kecut mengandung kadar alkohol. Di acara pesta makan-makan saguer selalu tersaji. Orang-orang Tomohon (Tombulu) hingga sekarang ini masih menggemari saguer. Di hampir setiap acara makan-makan, saguer selalu tersedia.

Di kemudian hari, cap tikus juga menjadi minuman kesukaan orang-orang Minahasa. Cap tikus diolah dari cuka saguer dengan cara disuling. Cara ini rupanya mengikuti teknologi di beberapa tempat lain yang sudah lama dilakukan di sana.

Teknik menyuling saguer menjadi alkohol berkadar tinggi yang menghasilkan cap tikus agaknya nanti diperkenalkan akhir abad 19 di Minahasa. Laporan-laporan zendeling maupun naturalis yang menetap maupun yang hanya datang meneliti di Minahasa dari abad awal sampai pertengahan abad 18 tidak menyebutkan teknik penyuligan saguer. Nama jenis minuman alkohol cap tikus, juga belum disebutkan.

Pieter Bleeker yang datang ke Minahasa tahun 1850-an, Graafland, juga Hickson dan Wallace hanya menyebut adanya banyak pohon aren di Minahasa dan tradisi make’et atau batifar dan kebiasaan minum-minum pada masyarakat Minahasa. Di masa itu, kata tuak dan saguer kebanyakan digunakan untuk menunjuk pada hasil dari batifar atau lebih khusus di Minahasa disebut dengan makehet atau make’et, bukan dari proses penyulingan.

Waktu berkunjung ke rumah seorang mayor di Tomohon pada tahun 1850-an, Graafland disambut dengan jamuan makan. ”Tengoklah, mayor itu suruh membawakan minuman. Ada dapat memilih antara anggur Madeira, brendi, jenewer,” tulis Graafland. Ia  tidak menyebut adanya jenis minuman alkohol lokal yang disuling dari saguer dalam laporannya itu.

Lalu, sejak kapan teknik ini diperkenalkan di Minahasa? Mengenai hal itu tidak terlalu jelas. Konon nama “cap tikus” mulai dikenal di Minahasa pada akhir abad 19.  Jessy Wenas dalam Kebudayaan Minahasa menyebutkan, nama “cap tikus” muncul ketika pasukan marinir Belanda mulai ditempatkan di Manado jelang tahun 1900. Karena mereka kekurangan minuman beralkohol asal Eropa seperti Bols, Jenever, maka pedagang Cina-Manado membeli minuman beralkohol dari penduduk lokal lalu dijual dalam botol dengan gambar seekor tikus.

Nama cap tikus nanti disebut dalam laporan-laporan pemerintah kolonial, jurnal dan koran pada awal abad 20. Jurnal hukum Indisch Weekblad van het Recht, Volumes 49-50 tahun 1912 menyebutkan, jenis minuman alkohol yang diproduksi oleh masyarakat Minahasa yang sedang menuai banyak permintaan adalah “cap tikus”. Pada tahun 1918, pemerintah kolonial membentuk Alcoholbestrijdings-commissie. Alasannya, alkohol adalah biang keresahan dalam masyarakat.

Kasijanto Sastrodinomo, Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia berdasarkan risetnya mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap alkohol menyebutkan, tugas komisi itu adalah untuk menyelidiki dan memerangi penggunaan dan penyalahgunaan alkohol di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Komisi tersebut diketuai oleh pejabat pribumi, yaitu PTA Koesoemo Joedo, Bupati Ponorogo. Anggotanya terdiri dari berbagai unsur pemerintah dan masyarakat, seperti inspektur, priayi, zending, militer, dan organisasi sosial

Di Jawa, ”sasaran utamanya adalah minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi, seperti arak, badèg, ciu, dan sejenisnya, yang menurut polisi digolongkan sebagai ‘gelap’ alias tidak berizin,” tulis Kasijanto pada artikelnya Mabuk-mabukan dalam Sejarah yang dimuat pada harian nasional Kompas edisi Sabtu, 18 Maret 2006.

Namun, menurut Kasijanto, usaha pemerintah itu tidak berjalan baik. Terlalu banyak kepentingan yang bermain di lapangan. Polisi, baik mereka sebagai bekas tentara Belanda maupun yang pribumi, tidak menjalankan tugasnya secara baik. “Repotnya lagi, masih menurut laporan Komisi, para pemilik dan pengunjung kedai lama-kelamaan “kenal” dengan agen-agen polisi yang bertugas di situ,” tulis Kasijanto.

Sebuah artikel berjudul Alcoholgebruik dalam Indisch Verslag edisi 1, 1 Januari 1933 melaporkan kondisi masyarakat Hindia Belanda kaitan dengan konsumsi alkohol produk lokal. Umumnya minuman alkohol tersebut diproduksi dari air nira pohon kelapa dan aren. Beberapa nama minuman yang disebutkan adalah toewak (tuak), sopi dan tjap tikus (cap tikus). Khusus di Minahasa, disebutkan bahwa cap tikus telah merambah sampai ke kampung-kampung. Menurut laporan ini, meningkatnya produksi dan konsumsi cap tikus di Manado, Minahasa dan daerah sekitarnya justru terjadi di tengah gencarnya pemerintah Hindia Belanda melarang penjualan minuman alkohol.

J. A. Oostwoud Wijdenes dalam tulisannya di Tropisch Nederland edisi Volume 7, nomor 20, 21 Januari 1935 menceritakan pengalamannya ketika berkeliling di Minahasa, salah satunya di Airmadidi. Wijdenes terkesan dengan kadar tinggi alkohol pada cap tikus yang dapat membuat orang tertawa lepas ketika alkohol mulai bekerja pada tubuh.

Wijdenes lalu menjelaskan bagaimana cap tikus itu dibuat. Cap tikus, tulis Wijdenes dibuat secara tradisional sebagai ‘industri rumah tangga.’ Alat penyulingannya menggunakan bambu dan saguernya dimasak dengan api. Cairan hasil penyulingan, cap tikus itu, kemudian dimasukan ke dalam botol-botol bekas bir. Menurut Wijdenes, penyulingan cap tikus masih bebas dilakukan oleh orang-orang Minahasa di tengah kebijakan pembatasan yang dikeluarkan pemerintah.

Di Manado cap tikus dijual dalam kemasan botol. Koran Nieuwe Leidsche Courant edisi  5 Februari 1938 memberitakan peristiwa kebakaran sebuah toko pada malam 17 Januari. “ Terdengar ledakan kaleng minyak tanah dan botol Tjap Tikoes (semacam Minahassaische gin),” tulis koran itu.

Larangan tersebut rupanya masih berlangsung hingga Indonesia menyatakan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945. Pemerintah mengawasi pengiriman cap tikus dari Minahasa ke luar daerah, antara lain dalam bentuk pembatasan jumlah. Sebuah kartu pos tertanggal 20 Oktober 1947 berisi tentang informasi dari sebuah keluarga di Koya Tondano yang mengirimkan cap tikus sebanyak 5 kg kepada saudara mereka di luar Minahasa.

“Juga kami sudah dengar dari mereka, bahwa di sana tidak ada minuman keras Tjap Tikoes (Sopi), sedangkan kamu suka sekali dan bersama ini kami ada coba kirim sopi cap tikoes melalui pos pakket. Semua itu ada lima botol  dan dibagi pada dua pakket, menginggat pos pakket tidak boleh lebih dari 5 kg, berhubung dengan peraturan yang berlaku yang mana  minuman keras dilarang untuk dikirim dari sini, kami cuma bilang yang dikirim obat saja. Kami harap bahwa pakket itu tidak rusak  di tengah jalan dan sampai pada kamu dengan betul, sebab pembungkusnya cukup kuat. Tidak tahu lagi si pusat kantor pospakket, jika mereka buat kirim terus,“ demikian bunyi kartu pos yang dipublikasi oleh kolektor Iwan Suwandi.

 

Cap Tikus dalam Geliat Opium

Hingga abad 19, opium telah menjadi masalah bagi masyarakat di kepulauan Melayu. Di Jawa, pedagang-pedagang Tionghoa memanfatkan politik monopoli perdagangan opium oleh pemerintah. Pribumi Jawa banyak yang menjadi korban opium. Opium juga dikenal umum di sejumlah pulau di luar Jawa, seperti di Sulawesi dan Sumatera.

Tahun 1894, pemerintah memperkenalkan jawatan opium regie yang mengatur perdagangan opium. Pabrik opium besar berdiri di Batavia. Dari sana opium siap pakai diedarkan ke seluruh wilayah Hindia Belanda.

Laporan L. Dee Scheemaker, seorang kontrolir di Sumatera bagian utara pada tahun 1865, menyebutkan kebiasaan orang-orang Batak masa itu mengkonsumsi opium. Suatu siang, sesudah kesibukan memasak dan makan, Scheemaker melihat seorang laki-laki hanyut dengan kenikmatan opium.

“Seorang pria berbaring di tikarnya, dan mengeluarkan asap opiumnya secara perlahan-lahan. Pertama anda mendengar suara  dari dia, kemudian mengucapkan sepatah kata; sedikit demi sedikit, tiba-tiba histeris, kemudian tertegun, dan jatuh ke dalam tidur yang nyenyak,” Scheemaker menggambarkan pengalamannya. Laporan itu diterbitkan pada Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde vo. XVII tahun 1869.

Meski alkohol dilarang, tapi pemerintah kolonial dan zending mengakui ia tidak lebih berbahaya dari opium. Ini yang aneh. Sebab, sampai tahun 1926 di Batavia masih berdiri sebuah pabrik opium yang besar. Monopoli perdagangan opium di zaman kolonial sudah dilakukan sejak VOC bercokol di kepulauan ini tahun 1676. W . Ph. Coolhaas dalam De Strijd Tegen Opium en Alcohol in Nederl. Indie, artikel yang terbit tahun 1944 menuliskan, monopoli perdagangan pertama-tama dilakukan VOC dengan Kerajaan Mataram, kemudian menyebar hampir seluruhnya di Jawa Timur dan Cirebon.

VOC mendatangkan opium dari Bengal. Tahun 1742 VOC menjual sendiri kepada para pengusaha yang memiliki izin. Pedagang yang memiliki lisensi kebanyakan adalah orang-orang Tionghoa. “Sampai sekitar 1740, penjualan di VOC untuk sekitar 0,2 juta pon per tahun,” tulis situs kenniscentrum.

Ketika VOC bangkrut tahun 1799, seiring peralihan kekuasaan, monopoli perdagangan opium beralih ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Namun, dari akhir abad 18 hingga awal abad 19, Pemerintah Hindia Belanda justru berhadapan dengan masalah penyeludupan opium. Sementara akhir abad 19, tepatnya tahun 1887, di Belanda, seorang politisi berlatar belakang wartawan dan sastrawan Pieter Brooshoft, yang juga tokoh penting Politik Etis menyampaikan sebuah petisi anti opium. Rupanya, Brooshoft melakukan itu setelah dia pulang dari perjalanan kelilingnya di Jawa.

James Rush dalam Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 menulis, di akhir tahun 1887 di Belanda Brooshoft menyampaikan sebuah petisi yang ditandatangani oleh 1.255 orang dan 12 politisi berpengaruh di parlemen Belanda. Petisi itu mengenai permintaan dibuatnya semacam komite untuk memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan rakyat Hindia Belanda di parlemen Belanda. Dalam catatan panjang berjudul Memorie over den toestand in Indië, Brooshoft mengkritik pemerintah Belanda.   

Hingga tahun 1930-an, opium telah menjadi masalah serius dalam masyarakat Hindia Belanda. J. F. Scheltema dalam artikelnya berjudul “The Opium Trade in the Dutch East Indies” yang diterbitkan pada American Journal of Sociology, Vol. 13, No. 1 (Jul., 1907) mengutip sebuah ungkapan Melayu yang sering didengar pada masa itu. “Pertama orang itu makan opium, dan kemudian, setelah beberapa saat, opium makan orang itu,” demikian ungkapan itu.

Masyarakat di kepulauan Sulawesi, utamanya di bagian selatan dan tengah, seperti Makassar juga tidak luput dari opium. Pieter Bleeker, dalam laporannya menuliskan, opium telah menjadi masalah bagi masyarakat di Celebes, misalnya orang-orang Gorontalo. Dia membandingkan kondisi rumah-rumah orang Garontalo yang dia lihat, memprihatinkan. Dinding rumah warga kebanyakan, kesannya tidak terpelihara. “Sebagian besar modal mereka telah diserahkan untuk penggunaan amfioen,” tulis Bleeker.

Di pulau ini, menurut Bleeker, perdagangan opium dikuasai oleh pedagang-pedagang Bugis. Mereka menjual opium secara diam-diam, dan mungkin jumlahnya melampaui jumlah penjualan pemerintah. Secara umum, opium adalah bahan perdagangan penting di kepaulauan Melayu.

Buku Celebes yang terbit tahun 1919 menuliskan, penerapan perdagangan monopoli opium di Sulawesi mulai diberlakukan tahun 1907. Terutama di Makassar, penjualan terbuka untuk masyarakat. Di Manado lain ceritanya. Opium bukan bahan dagangan penting di sini. Salah satu sebabnya, di wilayah ini opium dilarang dijual kepada semua kalangan di Manado dan penduduk asli  di pegunungan.

Coolhaas dalam artikelnya menuliskan, di Hindia Belanda, alkohol tidak  lebih penting dari pada opium. Bagi masyarakat, opium memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan alkohol. Dalam hal ekonomi, alkohol tidak terlalu memberi keuntungan dibanding penjualan opium. Di sejumlah daerah, fermentasi dan penyulingan alkohol dilakukan secara tradisional. Minuman lokal di daerah-daerah hanya mengambil pasar terbatas.

Coolhaas mengatakan, “Pemerintah berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan konsumsi alkohol di Hindia Belanda.”

M . J. A. Oostwoud yang datang berkunjung ke Minahasa tahun 1935 mengatakan, di sini penyulingan “tjap tikoes’ masih banyak dilakukan sebagai industri rumah tangga. Menurut dia, penyulingan tersebut dilakukan justru di tengah pembatasan import alkohol yang diterapkan oleh pemerintah.

Opium memang tidak menarik di daerah ini. Penyebabnya, bisa karena aturan yang melarang penjualan di wilayah ini. Bisa juga karena zendeling dan kekristenan yang mengharamkan hal yang memabukkan. Atau sebab lain, orang-orang Minahasa lebih tertarik dengan minuman ‘leluhur’ mereka, saguer dan kemudian tjap tikoes. Namun, satu yang cukup jelas, bahwa dampak mematikan opium tidak cukup mempengaruhi masyarakat Minahasa di periode abad 18 hingga jelang pertengahan abad 20.

 

Nasib Cap Tikus di Era Indonesia Merdeka 

Di era Indonesia merdeka, Cap Tikus mendapat statusnya dalam perdagangan alkohol. Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 63/M-IND/PER/7/2014  tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri dan Minuman Beralkohol mengkategorikan Cap Tikus sebagai minuman beralkohol tradisional.

“Minuman Beralkohol yang dibuat secara tradisional dan turun temurun yang dikemas secara sederhana dan pembuatannya dilakukan sewaktu-waktu, serta dipergunakan untuk kebutuhan adat istiadat atau upacara keagamaan,” demikian definisi Permen tersebut untuk jenis minuman alkohol ini.

Permen ini menegaskan pula,  minuman beralkohol tradisional tidak untuk diperjualbelikan. Kata lainnya, jika diperjualbelikan maka ia mendapat status barang dagangan ilegal. Inilah yang membuat Cap Tikus dilarang diperdagangkan secara luas. Umumnya, para petani Cap Tikus hanya dapat berharap kepada pengumpul untuk memasarkan produknya ke pabrik-pabrik alkohol di Manado.

Tapi di tiga kabupaten di Sulawesi Utara yang dikenal sebagai daerah produsen cap tikus, Minahasa, Minahasa Tenggara dan Minahasa Selatan punya kebijakan sendiri tentang jenis alkohol ini. Pemerintah Kab. Minahasa mengatur pemberian ijin untuk pengusaha penampung cap tikus melalui Perda No. 11 tahun 2005 tentang Retribusi Izin dan Penampung Minuman Beralkohol. Dalam Perda ini, cap tikus dikategorikan sebagai minuman alkohol golongan C. Pemerintah Kab. Minahasa memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. Di dalamnya mengatur izin industri, penampungan dan peredaran minuman beralkohol, termasuk Cap Tikus. 

 Pada Rabu, 2 Maret 2016, bupati dari dua kabupaten tersebut, juga dari kabupaten Minahasa Tenggara hadir dalam rapat dengar pendapat yang digelar oleh Panitia Khusus RUU Larangan Minuman Alkohol. Rapat ini membahas masukan dari pemerintah daerah untuk RUU  tersebut. Ketiga kepala pemerintah ini sepakat menyatakan kritik terhadap RUU tersebut. Pokok pikiran yang diajukan mereka memperhatikan dampak ekonomis cap tikus bagi masyarakat.

Di tiga daerah ini,  melalui peraturan yang tersedia, sepertinya Cap Tikus adalah bahan dagangan. Hal ini jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 63/M-IND/PER/7/2014 yang mengkategorikan Cap Tikus sebagai minumam beralkohol tradisional yang tidak diperjualbelikan. Pemerintah daerah dapat melakukan itu karena Cap Tikus tidak lagi semata dianggap sebagai minuman alkohol tradisional. Ia mesti menjadi komoditi, barang dagangan untuk dapat melanjutkan riwayatnya.

“Suatu kebanggaan jika Cap Tikus menjadi legal dan dapat dipasarkan sampai ke luar negeri,” kata Bupati Minahasa Selatan, Tetty Paruntu kepada wartawan akhir November 2018 lalu.

 

Cap Tikus dalam Praktek Religi-Kultural

Di Minahasa, selain dikosumsi untuk bersenang-senang, saguer dan tjap tikoes digunakan juga sebagai minuman ritual. Alb. C. Kruijt dalam Het animisme in den Indischen archipel yang terbit tahun 1906 menyebutkan, minuman (saguer) dipasangkan dengan sirih-pinang dan tembakau dalam ritual ‘tiga malam’. Ritual tiga malam itu semacam peringatan secara simbolik terpisahnya jiwa dan tubuh dalam kepercayaan orang-orang Minahasa. Pasangan sirih-pinang, saguer dan tembakau adalah unsur penting dalam hampir semua ritual Minahasa. Sekarang ini, dalam pelaksanaan ritual-ritual agama tua Minahasa yang dipimpim oleh seorang walian (imam), kebanyakan yang digunakan adalah cap tikus. 

 Namun ritual-ritual adat di Minahasa sekarang ini tidak lagi dominan dibandingkan ibadah-ibadah Kristen. Gereja terbesar di Tanah Minahasa adalah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang anggotanya berjumlah kurang lebih 789.425 jiwa. Banyak anggota gereja ini berprofesi sebagai petani cap tikus. Wilayah penghasil cap tikus, terutama di bagian selatan Minahasa, yaitu Motoling dan sekitarnya, wilayah Tareran dan beberapa desa di Langowan.

“Kita boleh jadi pendeta, lantaran cap tikus,” ungkapan yang sering terdengar di masyarakat Minahasa mengenai dampak positif cap tikus bagi masyarakat. Tidak hanya menjadi pendeta, banyak yang mengaku, bisa berhasil menjadi polisi atau tentara karena semasa sekolah dibiayai oleh hasil penjualan cap tikus.

Minuman alkohol sangat penting dalam pelaksanaan perjamuan kudus di gereja. Dalam tradisi gereja, minuman beralkohol itu adalah anggur yang secara simbolik dipahami sebagai darah Kristus. Petani Minahasa tidak menanam pohon anggur. Sebagai gantinya adalah minuman alkohol yang disuling dari saguer.

Sekarang ini, wine import sudah semakin sering ditemukan di rumah keluarga-keluarga dari kalangan atas pada saat Natal maupun Tahun Baru. Namun, perjamuan kudus di gereja, misalnya pada Jumat Agung, peringatan Penyaliban Yesus, jemaat lebih mudah menggunakan minuman alkohol berbahan dasar cap tikus.

Di masyarakat Minahasa kata ‘perjamuan’ dapat bermakna ganda. Bisa berarti perjamuan kudus di gereja, bisa pula berarti acara minum-minum cap tikus di warung atau di tempat tertentu. Bagi masyarakat Minahasa, cap tikus sangatlah penting untuk ritual kehidupan dan keagamaan: minum leluhur di ritual adat, minuman pengganti anggur sebagai simbol darah Kristus, dan minuman kebersamaan dalam pergaulan.

Gabriele Weichart, antropolog dari University of Vienna, Austria, tahun 2002-2004 datang ke Minahasa, terutama di wilayah Tonsea untuk meneliti kuliner di daerah ini. Pada laporan penelitiannya, ia menuliskan tradisi minum saguer, cap tikus dan anggur, terutama di Tonsea. Wichart menyaksikan bagaimana orang-orang di sana menikmati ketiganya dalam pesta-pesta keluarga atau komunitas yang rupanya menggambarkan kelas sosial pula. Dari saguer muncullah cap tikus. Hasil akhir dari rantai pasarnya adalah anggur, minuman alkohol berlabel dan legal. Ia diolah di pabrik-pabrik dengan bahan dasar cap tikus.

“Pada skala komodifikasi, saguer akan berkisar sebagai ‘hadiah’, cap tikus sebagai ‘semi-komoditas’ dan anggur sebagai ‘komoditas penuh’,” tulis Wichart.

Itu kesimpulan Wichart tentang perjalanan cap tikus. Masyarakat Minahasa punya ungkapan sendiri yang merangkum riwayat Cap Tikus dalam lintasan sejarah:

Satu grem tambah darah

Dua grem mulai bicara

Tiga grem cari perkara

Ampa grem tumpa darah

Lima grem maso penjara

 


Editor : Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *