Connect with us

CULTURAL

Rumokrok: Memperluas Ruang Hidup, Menghargai Alam

Published

on

29 November 2022


Tradisi rumokrok, sekilas hanya proses membuka lahan biasa. Tapi jika dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan yang benar, akan ditemukan betapa dalam makna yang terkandung di dalamnya. Setiap prosesnya melambangkan kesungguhan hati manusia dalam memuliakan Sang Khalik. Semua proses yang dilalui dalam tradisi rumokrok, menunjukkan bahwa tou Minahasa adalah orang-orang yang religius dan sangat menghargai alam sekitarnya.


Penulis: Rafael Taroreh


CA TUMAWOI, CA KUMAN, sebuah ungkapan tua tou (orang) Minahasa. Ungkapan ini memiliki makna filosofis yang dalam. Artinya, “Tidak bekerja, tidak makan”.

Dalam siklus keseharian orang Minahasa zaman dulu, pekerjaan mereka sebagian besar dilakukan dalam hutan dan kebun. Menanam padi, berburu, mengumpulkan hasil hutan seperti buah-buahan, dan memasang  dodeso (perangkap khas Minahasa).

Semua itu adalah aktivitas sebagian besar masyarakat Minahasa pada masa lampau. Dalam persoalan berkebun, tou Minahasa memiliki tata cara tersendiri untuk membuka lahan perkebunan baru.

Proses membuka lahan perkebunan pada umumnya disebut rumokrok. Dalam bahasa Tombulu kata rumokrok berarti membuka hutan atau lahan. Hal ini merujuk pada proses membuka hutan untuk dijadikan lahan bercocok tanam.

Rinto Taroreh, budayawan Minahasa yang masih menghidupi foso (upacara) tradisi warisan leluhur dalam membuka lahan perkebunan, menyebutkan jika dalam tradisi masyarakat Minahasa, rumokrok terdiri dari empat tahap penting. Dimulai dari tradisi tumalinga, rumorok, rumuru dan tumutung.

Tumalinga secara etimologi berarti ‘mendengarkan’. Tradisi tumalinga merupakan sebuah kebiasan tou Minahasa dalam memulai suatu pekerjaan baru dengan cara mendengarkan tanda-tanda alam. Pada umunya tou Minahasa mendengarkan tanda dari burung manguni atau burung mengenge’ke’, serta siklus pergerakan bulan.

“Pengetahuan ini berasal dari hasil pengamatan leluhur Minahasa dahulu, dan diwariskan turun-temurun secara lisan,” kata Taroreh.

Dalam cerita turun-temurun masyarakat Minahasa, tradisi tumalinga berkaitan dengan leluhur tua yang ahli dalam menafsirkan bunyi dari suara burung. Leluhur ini dikenal dengan nama Opo Mamarimbing.

Cerita mengenai sosok dan keahlian Opo Mamarimbing dicatat J. G. F. Riedel dalam bukunya Toumbulusche Pantheon (1894). Riedel menuliskan, Mamarimbing, seseorang yang akrab dengan burung dan berpengalaman dalam mendengar, serta menafsirkan suara burung kembaluhan dan tontobara. Sebagai walian (pemimpin agama) menalilinga dia dipercayakan dalam kerja penting untuk persiapan pendirian desa dan penanaman ladang.

Opo Mamarimbing disebut lahir di Tu’ur in Tana’, sebuah tempat yang dianggap menjadi titik pangkal peradaban Minahasa. Di kemudian hari ia berangkat ke daerah Karondoran. Istrinya bernama Tinatalan, memberinya tiga orang putera: Matulandei, Tasumondak dan Tarumampen. Ketiga anaknya ini sama dengan ayahnya, memiliki kemampuan dan berpengalaman dalam menafsirkan bunyi burung.

Sebelum memulai tradisi tumalinga, orang Minahasa biasa lebih dahulu mengalei (berdoa), meminta izin kepada Sang Khalik untuk memulai prosesi ‘ba buka kobong’ (membuka lahan perkebunan baru).

“Cara untuk mengetahui apakah izin telah diberikan atau tidak adalah dengan mengamati suara burung manguni dan mengenge’ke’,” ujar Taroreh.

Prosesi tumalinga dapat dilakukan pada siang hari maupaun malam hari. Lokasi tumalinga harus di area yang akan dijadikan lahan pertanian nantinya. Jika tumalinga dilakukan pada siang hari, maka yang akan diamati adalah suara burung mengenge’ke. Jika dilakukan pada malam hari, maka suara burung manguni yang harus diamati.

“Suara yang menandakan bahwa doa telah dikabulkan, maksud untuk memembuka kebun direstui, disebut ma’api,” kata Taroreh.

Rumokrok dan Patu’tul

Rumokrok dalam bahasa Tombulu berarti ‘merombak’. Dapat dimaknai sebagai teknik membuka lahan baru, dengan momaras (teknik memotong rumput sampai rata dengan tanah), menebang pohon-pohon yang tidak diperlukan, dan kayu-kayu kering.

Rinto Taroreh menjelaskan, sebelum memasuki tahap rumokrok, orang Minahasa biasanya mencari satu batang kayu yang tumbuh paling panjang dan kuat di tengah lahan yang akan dibersihkan. Kayu ini disebut kayu patu’tul (pendahuluan). Kayu patu’tul tersebut diberi tanda khusus. Kayu ini akan ditancapkan ke tanah sampai seluruh proses selesai.

“Ketika lahan telah bersih, orang Minahasa memberi tanda berupa pagar di sekitar kayu patu’tul, di mana dalam tanda atau patok tersebut akan ditanami benih dan disirami air terlebih dahulu,” kata Taroreh.

Hasil penanaman di dalam patok tersebut yang akan digunakan dalam ritual ulu hasil di tahap panen. Setelah penanaman di sekitar kayu patu’tul telah dilakukan, orang yang nantinya akan menjadi pemilik lahan perkebunan diharuskan untuk memotong kayu tersebut semampu tinggi tangannya.

“Proses memotong kayu ini dilakukan calon pemilik lahan sambil berucap dalam bahasa daerah kita, yang artinya ‘Sebagaimana tinggi kayu patu’tul ini, maka setinggi ini pula tanaman yang akan bertumbuh nanti’,” ucap Taroreh.

Rumuru dan Tumutung

Rumuru berarti ‘mengumpulkan’. Istilah rumuru dapat berarti mengumpulkan kotoran-kotoran berupa rumput dan kayu hasil rumokrok. Kotoran itu tidak dibuang ke luar lahan tani, tapi dikumpul dalam lahan perkebunan. Rumuru tidak dilakukan hanya di satu titik lahan yang dibersihkan, tetapi kotoran-kotoran hasil rumokrok dikumpulkan di beberapa tempat, selama masih berada di lahan perkebunan.

“Ini dilakukan dengan maksud efisiensi tenaga dan waktu. Karena jika kotoran tersebut hanya dikumpulkan pada satu titik, maka akan menghabiskan lebih banyak tenaga dan waktu,” kata Taroreh.

Tumutung, berarti ‘membakar’. Istilah tumutung dapat diartikan sebagai membakar kotoran-kotoran hasil rumokrok yang telah di kumpulkan dalam proses rumuru. Pembakaran dilakukan di beberapa titik yang telah ditentukan dalam proses rumuru. Pembakaran ini bertujuan untuk mengantisipasi serangan binatang-binatang pengganggu yang berkeliaran di hutan sekitar lahan pertanian, seperti monyet dan babi hutan.

Masyarakat Minahasa percaya bahwa proses pembakaran ini akan menakut-nakuti binatang pengganggu dan tidak akan kembali lahan tani tersebut. Hasil pembakaran berupa arang tidak dibersihkan atau dibuang ke luar lahan tani, namun dibiarkan tetap di lokasi pembakaran.

“Arang ini nantinya akan ditimbun dan diratakan dengan tanah agar tercampur merata. Hasil pembakaran berupa arang dipercaya dapat membantu menyuburkan lahan perkebunan,” jelas Taroreh.

Membangun Popo

Sebelum bercocok tanam di lahan baru, orang Minahasa biasanya akan mendirikan popo (bangunan tempat tinggal sementara di hutan berupa pondok). Popo kemudian hari lebih dikenal dengan nama sabuah dalam bahasa melayu Minahasa.

“Orang Tombulu menyebutnya popo. Hari ini, karena pengaruh bahasa Melayu, kita sudah menyebutnya sabuah,” kata Bitu Koraag, tetua Minahasa asal Wanua Warembungan.

Pendirian sabuah ini bertujuan untuk dijadikan tempat beristirahat, sekaligus pos jaga. Karena dalam proses bercocok-tanam, harus selalu dijaga dan diawasi. Hal ini disebabkan banyaknya hama seperti, yaki (kera endemik Minahasa) dan burung-burung liar.

“Orang tua kita dahulu tak khawatir soal ancaman manusia lain. Sebab mereka yang menanam di sekitar kebun kita juga akan saling menjaga. Paling masalah itu binatang seperti tikus dan yaki. Maknya dibuat popo untuk tempat tinggal sementara di kebun. Itu untuk memastikan tanaman kita aman,” ujar Koraag.

Benda Kuning dari Kayangan

Lahan hasil dari proses rumokrok biasanya dijadikan lahan menanam padi ladang. Karena pada masa-masa awal peradaban tanaman, yang biasa ditanam adalah padi ladang.

Dalam cerita-cerita tua masyarakat Minahasa, menjelaskan bagaimana munculnya padi ladang pertama di tanah Minahasa. Ada beberapa versi cerita yang hidup di masyarakat, namun memiliki banyak kemiripan. Seperti beberapa cerita yang berhasil didokumentasikan J.A.T.  Schwarz dalam bukunya Tontemboansche Teksten yang diterbitkan tahun 1907.

Menurut Rinto Taroreh, salah satu cerita tentang asal mula hadirnya padi di Tanah Malesung, hidup hingga kini di daerah Tonsea. Cerita tutur ini mengisahkan, pada suatu masa hidup seorang bernama Tumi’deng. Ia adalah orang yang gemar bermain sabung ayam. Bahkan ia biasa mengelilingi dunia hanya untuk mencari lawan tanding.

Tumi’deng mempunyai dua orang teman. Ada yang ahli dalam menggunakan santi (pedang khas Minahasa), ia bernama Sumanti. Kawan satunya lagi terkenal dengan perawakannya yang tinggi dan besar seperti raksasa. Ia disebut sebagai Siowkurur, sang penguasa perbukitan.

Suatu saat dalam perjalanannya di Tanah Tonsea, Tumi’deng menemukan sebuah tangga. Tangga ini terbuat dari batu dan menuju ke langit. Ia pun menaiki tangga itu. Setelah cukup lama menaiki tangga, Tumi’deng sadar bahwa tangga ini membawa ia ke Kainawaan (kayangan).

Sesampainya di Kainawaan, Tumi’deng melepas ayamnya sembari berjalan-jalan melihat keadaan sekitar. Dalam perjalanannya, Tumi’deng melihat ada benda menyerupai biji berwarna kuning berserakan di pinggiran jalan. Sambil berjalan ia memungut benda-benda itu dan berusaha memikirkan benda apakah itu.

Di saat Tumi’deng memungut benda-benda itu, datanglah seorang perempuan bernama Lingkan Bene. Menurut cerita, Lingkan Bene ini seorang yang tidak bisa melihat dan dipercaya sebagai pelindung padi.

Lingkan Bene menegur Tumi’deng yang sedang asik memungut benda-benda kuning itu. Tapi Tumi’deng hanya mengacuhkan teguran itu. Akhirnya, Lingkan Bene marah dan murka karena telah diacuhkan. Ia pun memanggil pasukannya dan menyuruh mereka untuk menyerang Tumi’deng.

Terjadilah pertarungan antara Tumi’deng dan pasukan dari kayangan itu. Awalnya Tumi’deng bisa menangkis semua serangan dan bahkan memberi serangan balik. Tapi semakin lama semakin banyak pasukan yang datang menyerang.

Hal ini memaksa Tumi’deng untuk mundur. Ia mengambil ayam yang dilepas tadi dan mundur perlahan ke arah tangga batu. Saat Tumi’deng tiba di tangga yang di naiki tadi, ia memanggil kedua temannya, Sumanti dan Siowkurur. Mereka pun datang membantu Tumi’deng, tapi lagi-lagi mereka kelelahan karena jumlah pasukan lawan semakin banyak.

Sadar akan hal ini, Sumanti memotong tangga yang menghubungkan bumi dan kayangan sampai putus. Anak tangga yang putus ini jatuh ke tiga tempat di tanah Tonsea, yakni Tumaluntung, Kokole dan Tonsea Lama. Tangga batu ini kemudian diberi nama watu tandeng oleh masyarakat Tonsea.

Setelah tangga batu terputus, tiga orang sahabat ini pulang ke tempat asal masing-masing. Dalam perjalanan pulang, Tumi’deng merasakan ada benda tajam yang menusuk-nusuk kakinya. Ia pun memeriksa telapak kakinya dan menemukan benda kuning yang ia lihat di kainawaan tadi.

Tumi’deng teringat kalau ayamnya juga sempat mematuk-matuk benda itu. Ia pun mengambil ayamnya dan memotong embungan (tembolok) ayamnya. Dari tembolok ayam keluarlah benda-benda kuning itu. Tumi’deng kemudian mengumpulkan dan menghitung benda itu. Ternyata benda yang ia dapatkan ada sembilan biji. Angka yang merupakan pertanda baik.

Sambil meneruskan perjalanan, Tumi’deng melempar-lemparkan benda yang ada di genggamannya. Kebetulan benda itu jatuh ke tanah yang subur, dan mulai bertumbuh dengan baik.

Beberapa saat kemudian, Tumi’deng kembali melintasi tempat di mana ia melempar benda-benda kuning. Saat itu ia melihat benda-benda tersebut sudah tumbuh, dan mendekati masa panen.

Tumi’deng kemudian mengambil biji itu dan menanyakan pada para tua-tua. Para tua-tua menjelaskan bahwa benda itu adalah padi ladang. Inilah awal mula masuknya padi ladang di tanah Minahasa.

Memperluas Lahan Kehidupan

Budayawan Minahasa, Fredy Wowor, menuturkan makna dari tradisi ‘buka kobong. Menurutnya secara filosofi membuka perkebunan baru itu sama dengan memperluas lahan kehidupan.

“Membuka kobong itu membuka ruang hidup, memperluas tu hidop. Karna depe hakekat di situ adalah tumawoy ato bakerja. Tumawoy itu sebenarnya depe dasar tawoy. Tawoy itu punya pemahaman ‘meminta petunjuk dari Sang Pencipta’. Jadi ibaratnya torang punya rencana, torang baminta, kalo direstui torang kerja. Jadi depe pengertian tu kerja,” tutur Wowor.

Fredy juga menjelaskan, saat membuka perkebunan baru, berarti manusia mengolah kehidupan. Agar bisa lebih membesarkan nama Sang Pencipta.

“Karena kita hidup dalam dunia ini ada mandatnya. Tidak mungkin kita hidup di dunia ini tanpa tujuan. Untuk mengetahui itu kita harus bekerja. Dalam proses bekerja ini kita sedang membesarkan kemuliaan dari Tuhan,” ucap Wowor.

Dalam proses manusia bekerja, wujud dari kemuliaan Sang Khalik itu adalah karunia dan talenta yang dimiliki masing-masing. Kemampuan merencanakan pekerjaan, mewujudkan rencana tersebut dan kemampuan mengakses pekerjaan.

“Semua itu dapat kita bagikan kepada orang lain seperti dalam konsep mapalus. Jadi kita mengolah kemuliaan dari Sang Pencipta, yang dipercayakan pada kita. Agar supaya kepercayaan yang diberikan untuk keberlangsungan hidup kita ini juga boleh ikut meluaskan kehidupan di sekeliling kita,” papar Wowor.

Tradisi rumokrok, sekilas hanya proses membuka lahan biasa. Tapi jika dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan yang benar, akan ditemukan betapa dalam makna yang terkandung di dalamnya. Setiap prosesnya melambangkan kesungguhan hati manusia dalam memuliakan Sang Khalik. Semua proses yang dilalui dalam tradisi rumokrok, menunjukkan bahwa tou Minahasa adalah orang-orang yang religius dan sangat menghargai alam sekitarnya.

Para tetua Minahasa mengingatkan, sangat penting untuk melestarikan tradisi rumokrok. Demi kelangsungan kebudayaan Minahasa. Di sisi lain, tradisi ini menunjukkan betapa besar penghargaan yang tou Minahasa berikan bagi kehidupan alam sekitar. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *