BERITA
RUU Masyarakat Adat Tak Disahkan, Berarti Abaikan Hak 70 juta Warga Masyarakat Adat
Published
6 years agoon
By
philipsmarx16 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
kelung.com – Pada momen perayaan 20 Tahun Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 17 Maret 2019, AMAN Wilayah Sulawesi Utara kembali menagih janji pemerintahan Jokowi untuk mengesahkan Rancangan Undang-undangan (RUU) Masyarakat Adat. Pengurus AMAN Wil. Sulawesi Utara (AMAN Sulut) menilai, penundaan pengesaan RUU Masyarakat Adat sama dengan mengabaikan amanat Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Lefrando Gosal, Ketua Badan Pengurus AMAN Sulut mengatakan, dengan belum disahkannya RUU Masyarakat Adat berarti pula mengabaikan hak 70 juta warga masyarakat adat menjadi warga negara kesatuan republik Indonesia seutuhnya.
“Itu pula sama dengan membiarkan masyarakat adat terus kehilangan hak tanpa perlindungan hukum,” kata Gosal di Rumah AMAN Tondano, Sabtu (16/03/2019).
Gosal menegaskan, penundaan pengesahan RUU Masyarakat adalah hutang konstitusional negara. Dia menegaskan, sudah saatnya DPR RI dan presiden Jokowi membayar hutang konstitusi tersebut.
Rinto Taroreh, tokoh masyarakat adat Sulut menegaskan, jika negara ini ingin merawat Bhineka Tunggal Ika, maka negara harus mengakui dan melindungi masyarakat adat di nusantara.
“Pengakuan dan perlindungan itu adalah dengan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang lama tertunda,” kata Taroreh.
Di UUD 1945 pengakuan dan amanat perlindungan terhadap masyarakat adat tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3). Pasal ini memandatkan pula untuk membentuk UU turunan khusus yang melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan independen yang berdiri pada 17 Maret 1999. AMAN bekerja dengan visi mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera bagi semua Masyarakat Adat di Indonesia.
AMAN adalah organisasi masyarakat adat terbesar di dunia. AMAN bekerja di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mewakili dan melakukan advokasi untuk isu-isu Masyarakat Adat. Anggota komunitas AMAN sebanyak 2.332, secara individu sejumlah 17 juta jiwa. Setiap komunitas adat menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai komunitas adat.
Jalan Panjang Perjuangan Konstitusional Masyarakat Adat
Dalam sejarah Indonesia merdeka, untuk pertama kali RUU terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat diakomodasi dalam program legislasi nasiona terjadi pada periode DPR 2009–2014
“Sayangnya, gagal menjadi Undang-Undang. Kegagalan ini karena pemerintah tak serius dalam rapat-rapat pembahasan mendalam mengenai kesepahaman dan substansi pada RUU Masyarakat Adat,” tulis Yayan Hidayat, Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat (P3MA) PB AMAN pada artikelnya ‘Penantian Panjang RUU Masyarakat Adat’ termuat di detiknews.com, Selasa 17 April 2018.
Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, diskursus RUU Masyarakat Adat ini kembali hadir. Kata Hidayat, tuntutan di masa Jokowi adalah komitmen pemerintah untuk mendukung hak-hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam Nawa Cita. Pada 2016, draft yang dibahas di DPR sudah hampir masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi kemudian tidak berjalan lebih jauh, jelas Hidayat.
Tahun 2017 dan 2018 RUU Masyarakat Adat masuk tahap pembahasan dengan pemerintah setelah melalui proses yang panjang pula di DPR. Presiden lalu mengeluarkan Surat Perintah Presiden dan memandatkan 5 (lima) Kementerian yang ditunjuk untuk membahas ini secara mendalam dengan DPR, yakni Kemendagri, KLHK, Kementrian ATR, Kemendes, dan Kemenkumham.
“Alih-alih mengakui, draft RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini justru tersirat mengandung semangat untuk menghapus keberadaan Masyarakat Adat dengan munculnya beberapa ketentuan. Antara lain kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi Masyarakat Adat, dan adanya prosedur penetapan Masyarakat Adat yang sulit dijangkau oleh Masyarakat Adat dengan ketentuan bahwa penetapan Masyarakat Adat dilakukan oleh Menteri, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri,” ungkap Hidayat.
Menurut Hidayat terdapat beberapa kekeliruan logika hukum yang tercermin dalam RUU Masyarakat Adat. Pertama, hadirnya ketentuan Evaluasi pada Masyarakat Adat. Pemerintah akan mengevaluasi keberadaan Masyarakat Adat; jika dalam jangka waktu 10 tahun Masyarakat Adat tidak lagi memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pengakuan hak dan keberadaannya dapat dihapus. Hal ini adalah bentuk kekeliruan berpikir.
“Masyarakat Adat itu merupakan subjek hukum alamiah. Ia bahkan hadir sebelum negara ini dideklarasikan. Masyarakat Adat tidak dibentuk oleh pemerintah atau negara, karena dia bukan lembaga. Tidak ada satu pun lembaga pemerintah yang berhak untuk mengatur keberlangsungannya; hanya cukup mengakui, dan menghormati keberadaan hak Masyarakat Adat sebagai manifestasi kehadiran negara di tengah setiap elemen masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi,” tegas Hidayat.
Kedua, prosedur penetapan Masyarakat Adat yang sulit dijangkau. Hidayat mengatakam, dalam draft RUU Masyarakat Adat, prosedur penetapan menjadi kewenangan Menteri.
“Ketentuan ini disinyalir akan mempersulit Masyarakat Adat untuk mendaftarkan dirinya. Di sisi lain memberikan kesan bahwa negara tak memiliki niat untuk menghormati dan melindungi Masyarakat Adat,” lanjut dia.
“Prosedur penetapan sebenarnya dapat dibuat dengan mekanisme pendaftaran yang sederhana dan efektif, cukup menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Hal ini juga cerminan dari komitmen pemerintah mewujudkan prinsip otonomi daerah.”
Ketiga, RUU Masyarakat Adat ini harus menjadi instrumen menyelesaikan permasalahan masa lalu dengan menambah bab tentang Restitusi dan Rehabilitasi. “Masyarakat Adat berhak mendapatkan asas restitusi dan rehabilitasi atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang pada masa lalu diambil alih, dikuasai, digunakan, atau dirusak tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat. Asas restitusi dan rehabilitasi ini kemudian berperan menjadi instrumen dalam memulihkan hak-hak Masyarakat Adat. Namun, di dalam RUU Masyarakat Adat ini belum diatur secara spesifik mengenai asas tersebut,” urai Hidayat.
Keempat, kelembagaan negara yang ada sekarang dirasa belum mampu untuk mengurusi prosedur pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat karena mereka bergerak secara parsial dan sektoral.
“Jika dibiarkan maka akan menghambat pemulihan hak Masyarakat Adat. Perlu ada Komisi Nasional Masyarakat Adat yang memiliki fungsi pendataan, pengkajian, konsultasi kebijakan dan pengembangan standar pendidikan, penyuluhan, pemantauan, penyelesaian sengketa dan konflik yang terjadi pada Masyarakat Adat,” jelasnya.
Hidayat mengatakan lagi, Presiden Joko Widodo sebenarnya telah berkomitmen menghadirkan kelembagaan ini sebagai manifestasi Nawa Cita sebagai visi-misi andalannya. Namun hingga sekarang belum ada realisasi. Maka dari itu, RUU Masyarakat Adat perlu menindaklanjuti komitmen ini sebagai cerminan keseriusan pemerintah mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat.
“Utamanya selain dari empat substansi krucial di atas, RUU Masyarakat Adat ini harus menegaskan pula bahwa pengakuan Masyarakat Adat adalah sebagai subjek hukum, serta pengakuan wilayah dan sumber daya Masyarakat Adat sebagai objek hukumnya,” tegas Hidayat.
Masyarakat Adat, kata Hidayat, sudah cukup tersiksa dengan kekosongan hukum yang terjadi.
“Jika kemudian nasib RUU Masyarakat Adat di tahun ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dapat kita tarik kesimpulan bahwa politik kolonialisme pengelolaan sumber daya alam masih hendak dilanggengkan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini,” tandas Hidayat. (*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
-
Tanjung Merah Jadi Saksi Papendangan Pinaesa’an Ne Kawasaran Tonsea
-
Lumekep Sana Ta’un, Refleksi Akhir Tahun Pinaesaan Ne Kawasaran
-
Membaca Bencana: Relasi Manusia, Sang Khalik dan Alam Semesta dalam Kosmologi Minahasa
-
Mencerahkan Isu Sepi Lingkar Tambang