BERITA
RUU Permusikan Ancam Para Musisi
Published
6 years agoon
By
philipsmarx30 Januari 2019
Oleh: Rikson Karundeng
kelung.com – Publik negeri kembali ramai mengorek Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan. Nada lantang meletup dari para musisi. Kritikan ramai-ramai menyasar bakal produk hukum yang disodorkan Komisi XI DPR RI itu.
Senin, 28 Januari 2019, sejumlah musikus tanah air, Glenn Fredly, Tompi, Yuni Shara, Andien, Rian D’Masiv, Badai ‘Kerispatih’, Widy ‘Vierratale’, bersua Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan ini, kedua pihak membahas tentang RUU Permusikan yang selama ini sudah dicanangkan. RUU ini nantinya akan menjadi payung hukum bagi para musisi untuk mendapatkan hak-hak komersil atas karya-karyanya.
Meski sudah tertulis dalam Undang-Undang (UU) No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pengaturan khusus mengenai pendapatan hak komersil atau royalti diakui memang dibutuhkan para pekerja seni dan musisi di Indonesia.
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo menuturkan, sosok pekerja seni dan musisi Indonesia adalah sesuatu yang penting bagi pemerintah. Ia berharap agar pertemuan yang dilakukan ini dapat menjadi masukan sekaligus penyempurna Pasal-Pasal yang ada dalam RUU di Indonesia.
Dorong Tata Kelola Industri
Musisi Indonesia yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (KAMI) dan Koalisi Seni Indonesia (KSI) mengusulkan agar RUU Permusikan, membahas tata kelola industri agar memberi manfaat kepada penggiat musik.
Beleid ini dinilai penting sebab selama ini aturan yang mengatur industri musik belum komprehensif. Mereka berpendapat, tiap-tiap pihak harus memiliki visi dan misi yang sama untuk menyehatkan industri ini.
“Sebenarnya pertemuan dengan pihak DPR RI bagus sekali karena ini jadi konkrit. Jadi kami menyikapi tentang draft dari RUU permusikan yang sudah ada dan ini datang dari perwakilan-perwakilan teman pelaku musisi,” kata Glenn Fredly, mewakili para musisi Indonesia yang bernaung di KAMI ketika berdialog dalam acara Profit BNBC Indonesia, Selasa 29 Januari 2019.
Menurut Glenn, tata kelola yang baik dalam dunia permusikan bisa menjadi kontribusi yang besar bagi negara.
“Jika musik dikelola dengan baik maka akan memberikan kontribusi yang baik dan besar untuk negara. Karena kalau kita melihat sampai hari ini, kontribusi musik kepada negara itu masih kecil sekali. Jika kita melihat data yang ada, masih satu persen. Itu artinya belum maksimal untuk pengelolaannya bahkan perlindungannya,” aku Glenn.
Mengandung Pasal Karet
RUU Permusikan ramai-ramai dikritik para musisi. Mereka menilai ada klausul yang rentan menjadi ‘pasal karet’.
Disebut karet karena ia tak memiliki tolak ukur yang jelas. Salah satu aturan karet yang cukup populer di Indonesia adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sudah banyak orang yang dipenjara karenanya, termasuk musisi Ahmad Dhani.
Aturan karet yang dimaksud adalah Pasal 5. Isinya berisi beberapa larangan bagi para musisi: dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.
Vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, adalah salah satu yang mengkritik. Ia menilai jika RUU Permusikan diterapkan maka ia akan mengekang kebebasan berekspresi bukan cuma musisi, tapi setiap orang.
“Ada di dalam Pasal 5, dan 50 untuk ketentuan pidananya. Mungkin saja lagunya Iwan Fals yang Bongkar, yang semua orang tahu (liriknya) ‘kita harus turun ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang’ itu sangat provokatif dan itu memenuhi ketentuan pidana pasal 50. Menurut interpretasi penegak hukum misalnya,” sebut Cholil seperti dikutip dari Tirto.id, Selasa 29 Januari 2019.
Karet karena interpretasi aparat penegak hukum tak selalu sama dengan pembuat lagu, kata Cholil. Padahal, di satu sisi, kreativitas sangat dibutuhkan untuk menciptakan seni.
‘Bongkar’ sendiri punya tempat dan arti bagi masyarakat Indonesia. Lagu tersebut jadi semacam catatan sejarah bahwa kita pernah hidup di zaman otoriter yang anti-kritik dan kita tak boleh lagi kembali ke masa-masa seperti itu.
“Sesuatu yang empower saat itu justru bisa digunakan untuk meredam kekuatan (masyarakat) dengan berbagai macam interpretasi penegak hukum,” jelasnya.
Keresahan juga disampaikan Hafez Gumay dari Koalisi Seni Indonesia. Hafez khawatir efek Pasal 5 RUU Permusikan akan serupa dengan Undang-undang ITE yang telah menelan banyak korban.
“Itu pasal karet. Jika ada lagu yang memang bisa membuat gerakan sosial seperti Superman Is Dead di reklamasi Teluk Benoa, pasal ini bisa dipelintir dan musisi jadi bisa dipidana,” kata Hafez kepada Tirto.
Menurut Hafez, pasal tersebut rentan membuat musisi tidak lagi merasa bebas dan akan melakukan swasensor.
“Itu pasal yang multitafsir. Tafsir pembuat lagu dan tafsir penegak hukum, kan, beda. Dan penegak hukum tidak peduli apa pun alasan musisi di pengadilan nanti,” ujarnya.
Sadar bahwa kepentingan mereka – juga masyarakat luas karena seni dan musik bukan milik segelintir orang – terganggu, Cholil, Hafez, dan beberapa musisi lain mendatangi petinggi DPR RI, Senin, Januari 2019 kemarin.
“Walau masih usulan Baleg (Badan Legislasi), Panja (Panitia Kerja) juga belum dibentuk, tapi musisi harus merespons dan mengawal,” warning Hafez.
Penyanyi Glenn Fredly, yang juga hadir dalam pertemuan kemarin, menilai esensi draf RUU Permusikan salah arah. Alih-alih membuat industri musik maju, jika RUU tersebut diterapkan, justru bakal mempersulit dan merugikan musisi.
“Esensi awalnya adalah tata kelola industri. Tentu kalau bicara dalam konteks tata kelola industri musik, (harus) dari hulu ke hilir dan bisa menangkap semangat zaman. Misalnya, membahas mata rantai industri, membedakan mana musik industri dan non-industri,” kata Glenn kepada Tirto.
Menurutnya, hal-hal seperti inilah yang justru belum begitu kentara dalam RUU ini.
Meski dikritik, anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait, mengatakan RUU Permusikan sudah ada di jalur yang tepat. Ia mengatakan RUU ini bertujuan untuk melindungi hak cipta dan para seniman.
“Pak Jokowi ingin sekali membangun industri kreatif, di sinilah jawabannya. Bagaimana kreativitas anak bangsa bisa diberikan tempat secara legal,” ujarnya.
Ada Ancaman Pidana Bagi Musisi
Kerisauan membekap para musisi. RUU Permusikan diyakini menjadi ancaman serius. Bahkan bisa membunuh para musisi di Indonesia.
Diketahui, RUU Permusikan per Agustus 2018 masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019 menempati urutan 48. Ada sejumlah catatan yang mesti menjadi perhatian pembentuk UU terkait substansi atau materi muatan RUU Permusikan ini yang perlu dikritisi. Salah satunya, adanya potensi ancaman pidana bagi para pelaku musik atau musisi itu sendiri.
Penggagas Konferensi Musik Indonesia (KAMI), Glenn Fredly menilai ada pasal dalam RUU Permusikan yang justru mengancam para musisi ketika berkreativitas dalam bermusik. Padahal, bermusik itu menuangkan rasa dan ide dalam bentuk lirik dan irama secara bebas. Seharusnya kreativitas bagi musisi tak dapat dibatasi dengan aturan yang justru mengekang imajinasinya.
“Sejumlah pasal dalam naskah RUU Permusikan pun berpotensi membelenggu musisi dalam berkarya,” sebut Glenn seperti ditulis hukumonline.com, Selasa 29 Januari 2019.
Ia mengungkapkan larangan dan ancaman pidana bagi musisi tertuang dalam Pasal 5 jo Pasal 50 RUU Permusikan. Padahal, tak tertutup kemungkinan hasil karya musisi dapat disalahgunakan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi sang musisi.
“Karenanya, pasal itu perlu dilakukan perbaikan yang isinya tidak mengancam pidana bagi para pelaku musik berkreasi,” pintanya.
Senada, Peneliti Koalisi Seni Indonesia (KSI) Hafez Gumay menilai adanya Pasal 5 RUU Permusikan menjadi ancaman bagi para musisi yang penerapannya rentan disalahgunakan. Baginya, keberadaan Pasal 5 RUU Permusikan warning keras bagi para musisi ketika membuat karya musik agar tidak menerobos batas-batas yang digariskan ketika UU ini berlaku nantinya.
Menurutnya, pengaturan ancaman pidana bentuk pengekangan sang musisi berinovasi. “Ancaman pidana itu bentuk pengekangan terhadap musisi, seperti ada ‘tembok besar’ ketika membuat karya musik. Dampaknya, para musisi bisa ‘terpangkas’ imajinasinya. Padahal, tanpa imajinasi yang bebas tidak akan ada musik yang menggugah jiwa,” keluhnya.
Vokalis Band Efek Rumah Kaca (ERK), Cholil Mahmud menilai selain persoalan pengaturan ancaman pidana bagi musisi, ada persoalan sertifikasi terhadap para pelaku musik. Dia mempertanyakan pengaturan adanya keharusan sertifikasi terhadap para pelaku musik yang diatur sebanyak empat pasal, Pasal 32-35 RUU Permusikan.
Menurut Cholil, pengaturan keharusan adanya sertifikasi bagi para pelaku musik berpotensi menimbulkan kelas-kelas elit dalam industri musik di Indonesia. Hal ini justru bertentangan dengan cita-cita membuat musik yang bersifat inklusif dan dinikmati banyak orang.
“Pembentukan elite di kalangan musisi ini seolah ada hierarki dalam musik, ada yang jadi pemusik, ada yang jadi pendengar. Padahal kalau musik menjadi nafas orang banyak, pemusik bisa jadi pendengar dan pendengar bisa jadi pemusik,” lanjutnya.
Merespon masukan atau kritikan ini, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta agar para musisi mesti satu suara memandang materi RUU tersebut agar tidak terdapat pertentangan di kalangan musisi dan industri musik. Hal ini agar Panja RUU Permusikan nantinya ketika akan membahas RUU ini dapat mengetahui secara jelas terkait kebutuhan yang diinginkan para pelaku musik.
“Saya meminta KAMI sebagai leader para musisi ketika memperjuangkan RUU ini segera merangkul semua kalangan musisi dan membuat apa saja poin-poin substansi yang diharapkan,” pesannya. (*)
Editor: Denni Pinontoan