ESTORIE
Sajak 01 Mei dari Wanua
Published
5 years agoon
By
philipsmarx02 Mei 2019
Oleh: Daniel Kaligis
Hujan awal Mei dipercaya menyuburkan. Lalu musim berganti, mengaburkan keyakinan-keyakinan
MEI DI WANUA, anak-anak menatap langit, menatap awan. Tunggu gerimis, tunggu hujan. Kami tersugesti, air hujan akan menyuburkan rambut. Kebiasaan mandi hujan Mei itu sering saya dan kawan-kawan lakukan di wanua, tahun-tahun silam.
Anak-anak bermain di deras hujan sudah biasa, sebab hujan boleh datang kapan saja. Tapi, hujan awal Mei istimewa.
Bermain hujan, lalu mencari magnoliaophyta, canna lily. Di wanua, orang menyebutnya bunga kana. Penyebutan bagi tetumbuhan ini berbeda di tiap wanua, ada yang bilang kontas, tuis im tasic, totombe, wuro, dan kela.
Kami, anak-anak menyebut bunga itu tasikela dan kastela. Padahal, terminologi itu mengacu pada peristiwa perang ratusan tahun lalu antara Minahasa – Spanyol.
Kami mencari tasikela, mengambil pokok buah mentah dari banga itu yang berisi biji-biji putih kenyal. Berikutnya membuat lulutam dari bilah bambu, kemudian main perang seperti tutur leluhur: para penghulu mengusir Portugis – Spanyol dari Minahasa.
Lulutam, adalah senjata penembak dalam bahasa wanua kami, Remboken. Permainan lulutam ini dibikin dari seruas bambu kohoyan tua, diameter sejari, panjang sekitar empat puluh sentimeter. Pendorong mesiu-nya dibuat dari bambu tua juga. Diraut dan diukur pada lubang bambu supaya pendorong itu bebas masuk – keluar menusuk ke dalam si biji tasikela ke ujung laras bambu, memasukan sebutir biji tasikela lagi, dorong cepat, udara yang terperangkap dalam bambu menabrak biji tasikela di ujung laras lulutam. Begitu terus, menembak dan terus menembak sampai bosan.
Hujan awal Mei juga dipercaya menyuburkan benih tetanaman baru disemai, biji-biji jagung, padi ladang, kacang, kedelai, ercis, ditaruh pada jalur-jalur bekas bajak yang ditugal tongkat kayu. Ini kebiasaan, tutur leluhur yang jadi perilaku. Neuro-psikologis dibawa turun temurun peramu hutan dan pengolah tanah, manakala hujan, petani, buruh tani, menyuci cangkul parang di air menderas pada selokan-selokan.
Tapi, kebiasaan itu perlahan sirna. Berkurang anak-anak yang bermain di deras hujan Mei. Benih unggul, pestisida, mengubah cara bercocok tanam petani kampung. Musim berubah.
Mandi hujan Mei akan tinggal sajak sejarah. Orang-orang di berbagai lokasi merayakan hari buruh. Tak ada May Day di wanua.
Lily dari Lembah
Kami punya canna lily di wanua, mengingat perang dan mengenang musim tanam beriring hujan yang jadi tanda kemarau akan datang.
Perancis punya lily of the valley sebagai kenangan sejarah. Raja Charles IX dari Perancis, pada 1 Mei 1561, menerima secara umum lily of the valley, kembang lily dari lembah, sebagai pesona keberuntungan.
Lalu, saban tahun Charles IX memutuskan untuk memberi lily of the valley pada perempuan di istananya. Di tulis pada situs Time and Date, bahwa pemberian itu bunga itu sebagai ekspresi kasih sayang.
Awal abad dua puluh, menjadi kebiasaan untuk memberikan setangkai lily of the valley, simbol musim semi tiba. Pada masa itu, pemerintah memberi izin pada individu dan organisasi pekerja untuk menjual lily of the valley tanpa pajak pada 1 Mei.
Bunga tanda kasih sayang. Seperti juang untuk beroleh ‘delapan jam kerja sehari’, lawan pengurasan, lalu 1 Mei jadi ‘Fête internationale des Travailleurs’, Hari Buruh Internasional.
Lain di wanua, lain di Prancis. Lain lagi kenangan Mei di Uni Soviet dan negara-negara blok komunis. Di sana ada parade pasukan militer, rudal, tank, bendera merah, dan poster-poster besar Marx dan Lenin, berikut panji-panji solidaritas buruh internasional.
Dicatat The Great Soviet Encyclopedia, di negara-negara komunis dan partai-partai komunis merayakan May Day, ‘mereka memobilisasi pekerja untuk membangun sosialisme dan komunisme. Mereka mengumandangkan tekad, gunakan semua kekuatan untuk perjuangan untuk perdamaian dan pembangunan masyarakat komunis.’
Perbudakan, eksploitasi, gaji rendah, pemaksaan kehendak, agitasi, perang dan perang saudara, telah meletupkan gerakan. May Day ditetapkan jadi Hari Buruh Internasional oleh ‘The Second International Communist and Socialists’.
Tuntutan Delapan Jam
Kontroversi buruh, kisah perbudakan seumur bumi. Pemodal bersekutu penguasa, dengan kekuatan sistem dan senjata selalu membungkam para pekerja yang hak-haknya dirampas.
Sejarah yang sekarang mencatat resesi parah di Eropa dan Amerika Serikat. Padahal, orang-orang berkehendak neraca pertumbuhan ekonomi bergerak positif pascarevolusi industri. Tapi, kemakmuran ekonomi ada di istana segelintir orang, dan pengurasan terus terjadi.
Investasi sumberdaya, investasi tambang, perkebunan dan perladangan skala besar, uang dan berbagai soal. Para pekerja ada dalam bingkai itu sepanjang sejarah.
Terkenallah Peter J. McGuire, pada 1872 dia memimpin ribuan pekerja melakukan aksi mogok meminta pengurangan jam kerja.
Seperti dicatat Encyclopædia Britannica, yang mana pada 1881, McGuire sudah mendirikan United Brotherhood of Carpenters. Dia populer dengan sebutan ‘Pengganggu Ketenangan Masyarakat’.
Hari Buruh pertama dilaksanakan di kota New York medio 5 September 1882. Knights of Labor (KOL) mendukung parade yang – menurut data menyebut – dihadiri dua puluh ribu peserta. Encyclopædia Britannica mencatat yang hadir sekitar sepuluh ribu orang.
Gagasan delapan jam kerja, delapan jam istirahat, delapan jam rekreasi ditulis di spanduk-spanduk meramaikan demo. Peter McGuire dan Matthew Maguire memainkan peran penting dalam penyelenggaraan parade ini.
Di situs The Hightower Lowdown, menyebut Matthew Maguire aktivis yang tak henti-hentinya memperjuangkan upah lebih tinggi dan pemangkasan jam kerja. Dia dianggap orang pertama mengusulkan unjuk rasa solidaritas. Gerakannya fokus untuk merebut hak-hak demokratis pekerja dan mendapatkan keadilan.
Pekerja yang diperintah dan diperlakukan dengan ‘tangan besi’, ambil bagian mendukung ‘the dauntless Maguire’, dalam hal ini Maguire adalah sekretaris Central Labor Union di New York. Perlawanannya yang terkenal jadi pada Mei 1882, ia bersama para buruh, gabungan dari lima puluh enam serikat pekerja di sana, mengadakan pertunjukan publik dengan kekuatan yang terorganisir.
Di Amerika Serikat, 1 Mei1886, sekitar empat ratus ribu buruh turun ke jalan meminta agar hak mereka dipenuhi. Demo delapan jam kerja, delapan jam istirahat, delapan jam rekreasi.
Lalu 4 Mei 1886, meletus Haymarket Riot. Protes buruh dekat Chicago’s Haymarket Square rusuh. Awalnya ada pawai besar-besaran, Polisi menembaki para demonstran. Ratusan buruh tewas. Pemimpin demo ditangkap, dan dihukum mati.
Sebelum Haymarket Riot, di berbagai negara, sudah ada pemogokan buruh, menuntut perlakukan adil dari para pemilik modal yang mempekerjakan mereka.
Tentang Haymarket Riot, History mencatat, seorang diduga telah melemparkan bom ke polisi. Setidaknya delapan orang tewas akibat kekerasan hari itu. Walau kurang bukti terhadap para pendemo, delapan aktivis buruh radikal dihukum terkait pemboman.
Haymarket Riot dipandang kemunduran bagi gerakan buruh terorganisir di Amerika. Di titik sama, orang-orang yang dihukum karena kerusuhan gerakan buruh di sana dianggap martir.
Titik temu ada di Haymarket Riot. Mana kala Kongres Sosialis Dunia berlangsung di Paris Juli 1889, menetapkan peristiwa Haymarket Riot di Amerika Serikat, 1 Mei itu, sebagai hari buruh sedunia.
Waktu berputar, buruh masih berpersoalan.
Kita belum menyentuh titik miskin sebab makanan disiapkan bagi hewan-hewan, dengan mempersiapkan perkebunan dan perladangan skala besar. Kita tidak membahas bagaimana peternakan adalah untuk mesin uang, perilaku yang merasuk hingga relung bumi mengusir orang-orang dari tanahnya dari budaya makan dan hidupnya, lalu memanggil mereka dengan aroma bisnis ‘hewan makan tumbuhan, manusia makan hewan’.
Pengetahuan masih disimpan di bawah laci sistem, agar hak-hak yang dibawa lahir jangan sampai meluas jadi pengetahuan umum.
Soal Buruh di Indonesia
Terbit tahun silam di media maya terkait May Day. Dua tajuk menarik menurut saya, ditulis Sarinah di Mojok: ‘Buruh minta naik upah melulu karena masalah dasarnya memang itu’. “
Saya petik dan edit dua alinea dari Sarinah:
“Bagi buruh, upah memang masalah sentral karena menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidupnya. Upah adalah bagian yang diterima buruh dari hasil produksi perusahaan. Kalau bukan upah, lantas apa lagi? Saban tahun, buruh menuntut kenaikan upah minimum sebagai proteksi agar upahnya tidak jatuh ke tingkat terendah upah subsisten – hanya cukup untuk bertahan hidup.”
Berikutnya, masih dari Sarinah di ‘Buruh minta naik upah melulu karena masalah dasarnya memang itu’, bahwa:
“Lembur menjadi candu yang mengalahkan waktu bersama keluarga dan bersosialisasi. Begitu tergantungnya buruh dengan lembur, sampai tidak mau ikut pendidikan dan pelatihan. Inilah salah satu sebab yang membikin serikat sebagai sekolah kaum buruh gagal dipraktikkan dalam kenyataan. Ketika pengetahuan buruh terbatas, ketergantungannya kepada elit-elit serikatnya juga semakin tinggi.”
Mula Mei dua tahun silam. Saya mengedit sepotong sajak bagi teman buruh: “Sang rentah, lahir batas mati. Mana kelamin tak fisika tak biologis? Ada! Kita menamainya jenis kelam.”
Deretan kata itu, sebenarnya sudah ada sejak medio 2009 dengan hashtag:
#Pair #Faction #MayDay.
Saya menyimpannya bersama gambar hasil bidikan 2009. Sudah sepuluh kali penanggalan berganti dari ketika itu. Dan Mei datang lagi.
Ilusi menjalar ke 2010, manakala ribuan buruh ramai berorasi. Mereka memadati jalan-jalan, di depan gedung DPR Senayan, di jalan Sudirman, Thamrin, hingga depan istana negara. Sutrisno Sastromiharjo, dari Serikat Buruh Indonesia Jabodetabek, meneriakan agar buruh dan petani bersatu sebagai gerakan rakyat dan alat perjuangan politik.
Saya, di sana. Kami mengendarai motor. Jepsony Sumual berboncengan dengan seorang jurnalis, saya di motornya Denny Ramagiwa Ratulangi, merambah Jakarta, di titik-titik demo.
Seharian meliput demo, tubuh bau keringat, wajah merah merekah. Depan bundaran HI, di bayang patung perunggu, monumen ‘Selamat Datang Jakarta’ yang dirancang Henk Ngantung dan dikerjakan Edhi Sunarso. Saya duduk di lingkar itu, membuka kamera, melihat hasil bidikan.
Denny Ramagiwa Ratulangi menuju selatan Jakarta, saya menyeberang, tuju Wisma Nusantara dengan seorang kawan. Malam turun. Belantara kota bertabur lampu. Saya menepi di halte, menunggu bus, lalu pulang mengarah Majestic.
Di rumah. Saya masih nyuci sendiri, walau di ruang cuci ada mesin canggih, saya lebih suka mengucek dengan tangan. Membersih lantai, mengatur selimut bantal dan pembaringan, menanam bibit-bibit sayur dan buah, membaca buku, menjelajah internet, tidur hampir pagi dan bangun tengah hari.
Itulah mengapa ada suara halus yang saban berteriak membangunkan bila ada kerja belum beres, atau jika ada kawan saya mampir dan saya masih mendengkur. Tapi, saya tidak pernah mengaku sebagai buruh.
Pernah rasa jadi pengangguran, hidup luntang-lantung, setengah modar cari gawean. Hanya meramu sajak, lalu tidur dalam haus lapar.
Waktu siuman masih tetap haus lapar. Maar, di saat ada uang, ada kerjaan, kita tidak menabung. Uang buat beli alkohol, buat pesta dengan kawan-kawan. Saya punya kelakuan itu, para buruh mungkin ada yang seperti itu, demikian asumsi saya, dan saya turut bersenang walau saya bukan buruh.
Ukuran bahagia siapa yang dapat menilai? Tanya itu tak penting didebat, mungkin juga demo boleh menghasilkan rasa bahagia. Bisa saja!
Pekerja di rumah seberang, tukang batu di proyek bangunan sekolah, penarik becak di ujung gang, penyapu jalan, penjaga tokoh, tukang es keliling, apa mereka pernah demo? Mungkin pernah!
Bertanya pada Azis, kawan saya di depan rumah. Dia buruh bangunan yang bekerja apa saja, dari mengangkat campuran semen, bata, batu, memotong plat besi, menggali tanah, menggergaji balok dan papan, menarik kabel-kabel dari jalan masuk ke dalam ruang-ruang.
“Tidak ikut demo buruh, sob?” Azis senyum.
“Saya dipecat boss kalau sehari saja tidak masuk kerja,” kata dia dengan raut tak terdefinisikan. Tertawanya tertahan.
Saya sering ngobrol dengan boss-nya Azis. Saya sering berbagi kisah dengan Azis dalam banyak kesempatan. Jelang magrib, usai menyapu jalanan depan rumah, kami bercerita di bawah angsana. Saya lebih banyak mendengar keluh-kesahnya.
Azis bertutur tentang istrinya yang dirawat karena sakit. “Waktu sudah mau pulang, saya kaget, semua biaya sudah dibayar boss.”
Ketika bangunan di mana Azis bekerja bagian depannya belum disemen, saya sering melihatnya duduk di lantai tiga menikmati malam, anaknya bermain di sudut lain berapa depa dari jangkauannya.
Bila pagi, Azis memegang selang air, menyemprot halaman, membasahi jalan berdebu, menyiram hingga semua basah. Azis suka menyanyi, suaranya sayup-sayup, headset nempel di kuping, kepala mengangguk-angguk. Tapi, saya tidak pernah sekalipun mengajak dia nyanyi bersama. Suaranya false!
Sekarang, saya hanya membaca dan mendengar berita buruh ibukota, atau berkawan dengan mereka di sudut-sudut kumuh perjumpaan. Lalu membuat syair:
Medio 2011, saya membalas Tangka – Pewaris Bangsa, dikirim kawan Mira dari Amsterdam:
“Dalam hening ingatan lupa, ziarah di pusara tanpa nisan, manakala babad dimodifikasi sistem warisan nista. Musim berganti, dan rakus mengental meliar memangsa rasa.”
Saya memilih demo dengan membaca sajak lama karya sendiri:
Sajak Buruh
subuh samar yang memar
jejak merekah di atas kelopak embun
siapa hitung
keriapmu sunyi
menggambar tapak-tapakmu
hilang di ujung persimpangan regulasi,
setapak basi,
jalan yang dihembus negara
pecut kaki-kaki,
lengan mendayung badai sampai mati
birama kelam,
wahai tapak-tapak luka
sungai sejarah menjadi tinta darah
catatkan kebosanan membiru
di kumuh kota
di sana nyanyian terbunuh
untuk pemantauan buta tuli
adalah dedaun,
rerumput duri
untuk musim kemarau tak pernah berganti
hakmu terbakar
birama kelam,
jejak merekah di atas kelopak embun
siapa memahat kisah jejakmu
di tembok peradaban biadab
semua samar,
sejak jejakmu dibalut marmer
sebagai monumen kalut
comrades,
catatkan,
walau kami dihitung sebagai budak
kami tak terhitung di antara kerumunan organisasi
karena kami adalah diri kami sendiri
penerobos sandiwara peran
yang buyarkan lamunan damai
comrades,
catatkan,
pahlawan hanya skenario dominasi kuasa
untuk membungkam jejak travailleurs
di jejak yang sempat kau catatkan
kami akan tetap menjadi travailleurs
Bongkar-bangkir kisah. Saya mengulangi, masa silam selalu memberi tanda, bekas jejak salah satunya. Masih dengan sajak: journey, memulung senyummu di tebing cakrawala — labour, employment opportunities — history memerintah, her story diinjak berdarah-darah. Tanda yang saya tera bagi Mei 2017.
#Amity #Companionship #Friendship #Life #Love #Togetherness #Thought #Travailleurs.
Buruh di Wanua
Mengenang wanua, seperti mengeja cerita Hindia Belanda, setara terminologi Nederlands Indië, yakni daerah pendudukan Belanda, sekarang tanah dan airnya dikenal dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wanua hari ini adalah bagian dari hasil nasionalisasi koloni-koloni Vereenigde Oostindische Compagnie, dulunya berada di bawah pemerintahan Belanda sejak 1800. Walau kita membantahnya: ‘Minahasa tidak pernah dijajah tou Walanda’.
Pernah tetua bercerita dengan bangga tentang mapalus, baku-baku tulung, seperti itu membangunan wanua sekian waktu dalam sejarah dan mungkin masih ada sampai sekarang. Atau nilainya mulai menipis?
Anda pasti punya pengalaman beda di wanua masing-masing.
Namun, wanua dalam Indonesia, terkait sistem program pembangunan desa yang bercita-cita dapat lebih cepat menyelesaikan persoalan-persoalan di sana, terutama, terkait kemiskinan dan pengangguran.
Sejak dulu, ada banyak tou dan keluarganya yang hidup subsisten, kemandirian ontologis, cari sekarang untuk makan sekarang, bila ada sisa, dinikmati besok tanpa tabungan.
Saya pernah menggabarkannya di KELUNG, 24 Maret 2019, seperti di bawah ini:
Di rumah nelayan dan peramu hutan dapat juga dijumpai pasak-pasak kayu pengait tali yang diikat pada joran bambu untuk jerat burung dan binatang liar di hutan.
Peramu hutan mengenali jalan-jalan burung dan unggas. Mereka mahir memanggil tikus puti’ ipus dengan siulan. Mereka tahu jenis daun yang dapat dimakan, buah dan akar beracun, buah yang dapat dijadikan sabun, kulit kayu pewarna alamiah, getah pohon yang berguna.
Nelayan mengenali sarang ikan, membuat lintasan di air di antara tetumbuhan ceratophyllum demersum yang oleh mereka disebut narakan. Jenis ganggang bertulang alot ini mulai berkurang seiring menebal penyebaran eceng gondok.
Nelayan, walau ada yang tetap sebagai nelayan, namun sebagian ada juga yang meramu hutan, mengolah sawah ladang.
Mereka bertahan hidup mengikut mau musim. Saya memandang fenomena ‘hidup subsisten’ sebagai ‘mengakali persediaan makanan untuk bertahan hidup berdasarkan musim lokal’.
Potret ‘tou subsisten’ masih ada di wanua. Mereka juga produktif.
Bila ada kerja bakti di wanua, ‘tou subsisten’ pasti ikut serta. Bila mereka diberi makan, tentu mereka akan bekerja lebih giat.
Pernah ada program padat karya, ‘tou subsisten’ diikutsertakan, namun, partisipasi mereka dianggap kerja bakti. Tanpa bayaran.
Negara, hingga di tingkat wanua punya program, dengan dua sasaran padat karya tunai, pembangunan infrastruktur dan peningkatan ekonomi masyarakat. Pokok pelaksanaan program padat karya tunai di desa adalah penganggaran kegiatan-kegiatan yang bersifat padat karya ‘skema cash for work’, yang diwajibkan negara untuk didanai dengan dana desa dalam anggaran pendapatan belanja wanua. Sudahkah ini dicermati?
Adakah buruh di wanua? Tentu ada, dengan segala macam keberadaan mereka.
Ruang tiap orang di wanua mestinya dibuka, bagi akses pembangunan berbasis perdesaan atau wanua bercermin pada kearifan lokal kawasan di sana, mencakup struktur demografi masyarakat, karakteristik sosial budaya, karakterisktik geografis, pola kegiatan usaha pertanian, pola keterkaitan ekonomi wanua-kecamatan-kabupaten-kota, sektor kelembagaan wanua, dan karakteristik kawasan pemukiman.
Sajak mereka masih sama.
Cerita lama tasikela dan lulutam, bunga maaf dan rela bila perang lulutam mendentum-dentum marah.
Hal hak tiap orang sudah dibicarakan negara, namun, belum sampai di kuping semua orang di wanua, apalagi sampai ‘tou subsisten’ untuk menjadi pengetahuan bagi semua orang Indonesia.
Di wanua tak ada parade perayaan hari buruh yang mewah oleh ‘tinta dan cahaya gambar jurnalis’ untuk dibaca pada media terkini.
Mudah-mudahan hari buruh juga menyentuh isu wanua, di mana model intervensi terhadap proses pembangunan perdesaan bertumpu pada pandangan yang menganggap bahwa pengkotaan perdesaan wanua oleh berbagai sebab, dan berdasar pengembangan perkotaan dan perdesaan sebagai kesatuan ekonomi dan kawasan serta pengembangan kegiatan pertanian secara modern melalui mekanisasi dan industrialisasi pertanian dan penerapan standar pelayanan minimum yang sama antara desa dan kota, yang sudah ditetapkan pemerintah, dapat terus dimantapkan.
Dari Wanua, mengucap selamat hari buruh, terus berjuang untuk kenangan yang musnah di jalan-jalan. (*)
Editor: Denni Pinontoan
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan