GURATAN
Sajak Natal Pergolakan
Published
6 years agoon
By
philipsmarxOleh:
Daniel Kaligis
kelung.com – Rindu melebihi tetes madu rimba. Berapa lama mengembara. Berapa ketika tinggalkan kampung halaman atas nama tugas, atau memang pilihan jadi serdadu. Dilatih, diuji tangkas, dicoba nyali, berkelahi, menghunus sangkur, lempar belati, bersenapan, adu tangan kosong lawan pedang sudah biasa.
Adalah dua anak manusia menjinjing senjata, mengendap dari hutan belukar mengintai kampung.
“Kita dengan Nick Panelewen maso Remboken voor bakudapa oma-opa. So Desember, somo taon baru,” padahal, kata ayah, ketika itu sesama kesatuan-kesatuan Permesta tidak tau lagi mana kawan – mana lawan.
Seperti dibiasakan dalam adab wanua di Minahassa, akhir tahun adalah ziarah. Menaruh rindu pada kampung halaman, pada sanak saudara tercinta dan teman. Walau perang bergejolak, dua anak manusia bersahabat itu masuk kampung. Bertemu orang-orang yang mereka kasihi, mengunjungi makam, bertutur di sana, mengenang hari-hari silam dengan siapa saja yang masih ada dan mereka yang hanya ada dalam kenang.
Ayah banyak cerita tentang Permesta, karena ia serdadu. Ayah berkisah tentang APRIS, Perbatni yang ada di lembar negara namun issue-nya tak berbekas di masa Orde Baru. Tentang madu dan perang. Kawan ayah namanya Ober. Saya pernah bertemu oom Ober, dia lincah mengambil madu di pucuk-pucuk pepohon. Ada adiknya Illo, di masa pergolakan, kata ayah, mereka menyamar mendadani tubuh dengan ijuk dan dedaun agar tak mudah dikenali musuh. Usai pergolakan, kawan-kawan ayah jadi petani, ayah petani dan jadi guru di sekolah dasar swasta di kampung. Ada syair menderas di obrolan ayah: “Rambutnya panjang e mama, berikat merah dan putih, hidupnya siang malam, hanyalah di rimba raya.”
Cerita perang dibiasakan sejak saya kecil. Obrolan ayah ketika kami pergi ke ladang, tutur guru di ruang kelas, sambung menyambung. Buku-buku sejarah memuat penggal-penggal peristiwa tempur, otak lalu merangkai drama itu dalam benak. Apa yang diperebut dalam perang? Wilayah, pengaruh, kuasa? Sengketa setua umur peradaban.
Hari ini, tajuk menajam tentang damai. Status orang-orang di media sosial melunak, ada meme nyeleneh bikin tertawa, ada ayat-ayat penghiburan. Pertikaian kata, data, teori, asumsi, seperti padam. Semua boleh menikmat macet kota-kota yang sudah tumbuh tanpa prediksi khalayak, boleh hambur uang hasil kerja berbulan-bulan untuk ‘terlihat baru’, tampil terkini, tampil beda dari biasa. Ujung tahun punya lagu. Sajak-sajak lama bergema berirama. Mari berhimpun, malam kudus, natal putih, natal biru, natal berwarna, pokoknya kue dan minuman lancar saja.
Apakah hari ini kita boleh bertanya,’masih adakah orang yang buta huruf di bumi ini’. Mungkin buta huruf sudah dicelikkan, entah yang buta pengertian sudah disembuhkan, dan semoga tidak ada yang tersinggung membaca tulisan ini.
Saya membuka catatan lama, beberapa kutipan laris digubris berita. “No man’s land”, berapa tahun terakhir sering dikutip media. Sadarkah kita, ada tag pemisah dua zaman: before christ – after christ. Kalimat tanya sebelum kalimat ini tak penting diberi tanda tanya. Ribuan tahun bergeser, perang tak terhitung, jutaan pertikaian tak sempat masuk kitab sejarah. Manusia semakin padat mengisi ruang bumi. Kita enggan bertanya, mengapa tafsir historis tak banyak masuk di wilayah pemikiran.
No man’s land menyinggung peristiwa setelah perang dunia memangsa nyawa sia-sia, propaganda pahlawan dipuja-puja, siapa mengalahkan kota anu, si anu menumbangkan negara itu, ini, sana, sini, situ. Kubu beringas berhadap-hadapan, lalu Natal tiba di 1914, ada tembang damai digemakan Jerman sepanjang front Timur – Barat di ladang Perang Dunia Pertama, terdengar serdadu Rusia, Prancis, dan Inggris. Lalu mereka saling menyahut, menyanyikan damai.
Ternyata tembang Natal 1914 belum bikin dunia pulih dari dendam mencari jajahan. Perang global menyala lagi pada 1939 hingga 1945. Ada dua aliansi militer saling berebut pengaruh, Sekutu dan Poros. Text pertempuran berlanjut di 1960-an di tanah Sulawesi – Minahassa. Medio 2 Maret 1957, pascadiproklamirkan Piagam Perjuangan Semesta di hampir seluruh wilayah Indonesia Timur, ada pertemuan di ruang rapat Universitas Permesta di Sario, Manado. Saat itu Permesta putuskan hubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia, Kabinet Djuanda.
Taukah kita proklamasi teringkar mesin perang, membikin para serdadu masuk-keluar belantara, menyusur sungai, masuk-keluar kampung seturut mau strategi perang?
Kesumat politik ditularkan isme Timur – Barat membakar perang demi imperialist sumberdaya. Hanya ada dalam tutur, sebab sudah jamak, text sejarah akan bertingkah lupa pada kawan seperjuangan, kawan sekepentingan ada di kolom lain.
Nyanyi rindu wanua, kangen pada keluarga, sanak kenalan, menepis pekik dukungan pada sebuah narasi juang: “Hidup Permesta! Hidup PRRI.” Berapa lama dalam rimba? Berbulan-bulan, barisan pengungsi, barisan lapar, barisan orang-orang yang terlatih memangsa sesama, adalah sama, sama-sama manusia berhati, dan punya rindu.
Mindset yang sejak belia didikte pertempuran. Kisah orang-orang belajar di rimba, waktu sekolah ada di belantara raya, melapisi diri dengan pertahanan alam, sembilanbuku, melawan text pertahanan semesta kasih karunia. Revolusi dibahas hari ini, kematian sudah ditanggung oleh siapa dimangsa pelor.
Desember tiba di rimba. Kangen menderas. Anak manusia, dua berkawan masa pergolakan, Nick dan A.E.K, serdadu Permesta. A.E.K. bertempur di bawah bendera Tengkorak Liar – Lengkoan. Kuulang sajak bagi: Stop het vuren..!!
berapa kampung dibakar,
nyala-nya menyaru senja,
lebih merah…
ratakan,
to’o-token,
ratatotok…
badan basah peluh di basaan
suraro melintas padang tandus,
tak pernah kembali
hampar ilalang toulour
gerilya politik hari ini
moraya merayu-rayu basaan
Kangen menajam pada kenang. Semua tinggal bekas. Kenang telah pergi seperti disapu badai. Tualang menghentarnya kembali ke bumi sama. “Twilight merah,” kata sang serdadu. Perang berkecamuk, entah kapan usai. Perang selalu dingin kejam merenggut waktu, membantai harap, meregangkan jarak persaudaraan.
Betapa pun, sajak masih menyanyi sama dari belantara. Serdadu, tak ada namanya dalam history negara. Pengalaman tempur bersama I.S.R. di Tulehu bertahun silam itu merasuk. “De beste verdedigibg ligt juist in de aanval,” tulis I.S.R. dalam Pedoman Gerilya I, tertanggal 21 Maret 1949.
Staat van Oorlog en Beleg, larut malam bulan Maret di Makassar, bikin serdadu kembali merimba. Gorela sang gorela, ikat kepala merah-putih ada dalam tembang mereka di belantara Sulawesi.
Natal datang saat itu.
Mengendap dari padang ilalang, menyusur setapak masuk kampung. Bertemu rindu, airmata, dendam punah oleh Natal dan waktu pergolakan yang entah masih akan berlanjut. Di 1914 serdadu Jerman melagukan selamat Natal. Oleh waktu text pertempuran menjalar di ujung 1959, di ujung 1960, serdadu selalu menyempatkan datang ke kampungnya melepas rindu, menyanyikan Natal tanpa disentuh tinta sejarah. Pada 1960 Permesta bersedia berunding dengan Pemerintah Pusat. Medio 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta. Berdamai dan kembali sebagai Indonesia.
Siapa tau, siapa mengerti. Serdadu pernah perucap ia tak pernah bertobat dan akan tetap Permesta sampai waktu merenggut ia kembali ke alam keabadian.
Ai ai, senja di pedalaman punggung Andalas, tak pernah merah. Aku ingin membaca berhayat cerita paendon tua. Para Papo mahir gerilya, menyaru pejuang Moraya. Menyusup ilalang hamparan Toulour. Jangan uapkan epos, menyerak angkasa entah. Leganya telah dimeterai, berharap terlabuh pada nalar para puyun. Di pedalaman punggung Andalas, senja tak pernah merah. Engkau menyaji kisah nan memuncah kaya warna. – Separagraf itu disajikan kawan Samuel Angkouw, bagi kisahku Stop het vuren..!!
Natal terus berulang, dan ada pada hari ini. Akhir tahun para perantau pulang kampung atas nama rindu. Pergulatan hidup di tanah seberang, seakan lupa sejenak. Datang ke kampung halaman, berkumpul keluarga dan teman, membawa seberapa mampu buah tangan dan hadiah bagi orang-orang yang dipilih. Beracara, menghadiri undangan, melepas rindu.
Walau, perang dan ruang menjadi tanah tak bertuan di mana pun tempat di muka bumi. Berdamailah dalam Natal. Tembang hari ini, manakala petasan menyembur ke angkasa, mewarna rindu akan selalu sama di ujung penanggalan saban tahun. (*)
Editor:
Andre Barahamin