GURATAN
Sajak Vilucchio bagi Minahasa
Published
6 years agoon
By
philipsmarxOleh:
Daniel Kaligis
“Minaesa enteru itu adat budaya identitas dan integritas,” kata Wailan Langkay.
SEPATAH DUA saya petik, terminologi ini jamak digunakan di kampung Minahasa: terung, dan wanua. Terung adalah tempat berteduh dari panas hujan, biasanya ada di tengah huma, atau ada di suatu titik pada hamparan sawah. Di sana, di tepi rimba, di wanua atau kampung, di sana para tou bercengkrama.
Wailan, salah satu dari banyak teman diskusi saya tentang Minahasa. Dialog berdua soal tanah, keyakinan-keyakinan, sumberdaya, dan visi. Kami bersua di berapa lokasi di ibukota. Berdiskusi seraya membayang diri berada di wanua, duduk di terung memandangi rimba, langit berawan menari di biru memancar putih kelabu, dan segala warna tak terdefinisi. Menikmat guyur sejuk hawa pegunungan. Penghujung Agustus 2018 saya mengontaknya, lalu kami bertemu di Ambassador. September, kemudian Desember, bercerita panjang lebar.
Di terung, kisah bermula.
Mendengar dendang di masa kanak-kanak, tahun 1980-an. Hari masih samar, orang-orang menyandang pacul, berderap cepat, mengejar entah, dan tiba di kebun. Berapa jam memacul tanah, membersihkan tiap petak, mengenyah semak. Lalu henti, ngopi, makan, bercanda, duduk, berdiri, ada bertiga, ada berempat, ada sendiri. Mapalus matambarran, kontaminasi sistem orde yang berlangsung di masa itu. Ingatan pada tempat bercengkrama, mendengar obrol orang-orang yang lebih dewasa, tentang diri mereka, pengalaman mereka, tentang teman-teman mereka, tentang leluhur mereka, tentang etos, tentang kepemilikan, kaya-miskin, nama-nama tempat, tentang perdebatan-perdebatan yang saban kali bertemu masih terus dibahas tanpa henti.
Dari orang-orang pengolah tanah itu saya mengenal berbagai nama tempat. Kinetor, Watu Sasapuan, Welong, Lu’usekan, Tangkiuk, Matrong, Tatalootoken, Spangi, Rumorong, Salu Mas, Samberong, Rano Oki, Seseperan, Rendaina, Wowolean. Nama-nama itu mewakili daerah tangkapan air DAS Tondano. Kinetor, adalah batas wanua di lereng Kesa‘, seputar Sasapuan-Welong-Samberong adalah hulu mata air panas dan air dingin yang menyusur hutan rumbia, berbelok ke Nengkol, terus ke Wowolean menuju hilir.
Kampung di tepi telaga, di mana sejuk tak pernah pergi, dan pepohon disanggah bebatu, itulah mengapa dari waktu ke waktu para perantau di sengkotan tetap mengenalnya sebagai Kawatuan, atau tanah berbatu.
Masih ingat manakala kelompok orang kampung membahas pasini – tanah waris. Pagi nan terik. Melewati jalan berbongkah batu dari Weren ni Meong, Kinaris, berbelok ke Patalingaan, lurus ke arah Teneman, ada setapak ke kiri melewati sebatang Royal Poinciana, di kanan-kiri setapak menjalar Mimosa-pudica dan berbagai rumput liar. Di timur Thampati ada dua pohon mangga tumbuh berdamping. Bila senja, Tekukur-hutan dan Sorit beterbangan hinggap di pucuk-pucuknya.
Di sana, membaui aroma belantara. Embun di rumput berpindah ke kaki yang bergegas di setapak. Terompet Mapalus terdengar dari kejauhan. John, mengatur lajur bajak, membentuk bedeng-bedeng. “Ciaaah, ciiaaah,” teriaknya sambil memecut sapi. John itu anaknya teman ayah saya.
Ayah pernah berkisah suatu ketika. Dulu, opa dari John terlibat pertempuran Ratatotok. Katanya, si opa lincah bermain kelewang. “Mereka adalah turunan pemberani, lihatlah anak-anak dan cucunya mewarisi etos dari leluhur mereka, suka bekerja keras dan rajin,” kata ayah. John lahir dari keluarga Manurip-Rumeser, ayahnya dipanggil oom Buang. Saudaranya John yang akrab dan saya kenal Rin Debora Manurip.
Memantau dari terung: Rumput-rumput ditimbun atau disingkir. Benih-benih jagung ditaruh tiga empat butir selubang dan ditimbun tanah gembur, jaraknya selangkah-selangkah, atau sekitar lima puluh centimeter. Jelang siang menabur sudah selesai. Di utara kebun ini ada rumpun bambu, dekatnya ada dua pohon kelapa tidak terlalu tinggi, dan pohon enau. Di bagian selatan ada pohon alpukat dan nangka. Kami berteduh di sisi utara yang rindang, di sana terung berdiri di sisi rumpun bambu.
Saat makan siang memang ditunggu-tunggu. Makanan minuman ditaruh di atas daun pisang di tempat yang rata dekat pondok. Ada Wurukus digoreng garing dibumbu spicy sauce – ala Minahasa, Pinerah, kuah bening, nasi campur beras-jagung, dan dabu-dabu. Ada kelapa muda setandan. Kuah bening penganan favorit saya. Ini menu diolah sederhana: daun kunir, kemangi, serai, cabai hijau, bawang, tomat, ikan roa, dimasak dalam air, setelah mendidih ditaruh sayuran dan garam secukupnya. Aroma bumbu-roa-sayur-nya bikin lapar menjadi-jadi. Kami makan seraya bersila di bawah rindang pohon, ada yang duduk di atas batu. Orang tua membincang visi, mendiskusi masa silam: saya bertanya soal hockerbestattung.
Tilik lagi pada paragraf pembuka: adat budaya identitas dan integritas. Obrolan Wailan dan saya. Cara-cara Minahasa, hockerbestattung misalnya, ketika saya mengkritisi sebuah keyakinan, ‘manusia yang berasal dari rahim dan akan kembali pada rahim bumi’. Wailan memilih bertutur cahaya kosmos menerobos hutan untuk fotosintesis, merasuk jauh hingga ke lumut, ke tanah lumpur, ke dalam batu-batu di inti bumi. Ia menyasar Toarlumimuut hal muasal kehidupan.
Hari ini, manakala mengingat masa itu, saya tertawa sendiri. Alasannya sederhana, hanya menertawai kelucuan sejarah berulang. Orang-orang berdiskusi, masing-masing punya asumsi dan tafsir dalam mindsetnya. Lalu diskusi berulang, di mana saja, dan tetap seperti itu: semua punya asumsi. Tapi masa silam sudah jauh ditinggal. Saya coba mengingat, sejarah kita adalah terbanyak ditulis ala militer, penuh pertikaian perang.
Medio 2018, pada 10 Januari, kawan Sam Elias mengirim sebuah tautan: Treaty of 10 Januari 1679 between the Dutch East India Company (VOC) and the leaders of the Minahassan people, gambar pengingat yang saya sertakan di pada tulisan ini. Gambar itu juga tertera ada di situs Dutch Docu Channel.
Ini dua bait pembuka dari teks di gambar itu: In the second half of the 16th century, both Portuguese and the Spanish arrived in North Sulawesi. The Dutch governor of Maluku, Robert Padtbrugge, visited Manado in 1679. Out of this visit came a treaty with the local Minahasan chiefs, which led to domination by the Dutch for the next 300 years although indirect government only commenced in 1870. The contract was signed on January 10, 1679, in which the heads of the Minahasa declared: “wanting to be the loyal subjects under the East India Company and loyal to them as their Lord and Master and will accept the Dutch as their Sovereign and to obey and respect – The original contract from 1679 is not found back. However, a new contract – Nader Contract – of September 10, 1699 still excist.” Maka, ramailah tanggapan, penggemar sejarah berdiskusi.
Berbagai tafsir, beragam alasan. Bertanya dan mempergunjing, memberi masukan. Di masa perjuangan kemerdekaan orang Minahassa dianggap punya kedekatan khusus dengan se-Walanda. “Memang benar, akhir tahun 1945 dan awal 1946 banyak keluarga Indo-Manado-Ambon yang bekerja di onderneming dibantai laskar bumi datar, dituduh anjing-anjing Belanda. Klimaksnya pada saat tahanan-tahanan istri-istri dan anak-anak Belanda mau dibawa sekutu ke Surabaya untuk naik kapal pulang, konvoi dengan minim pengawalan dihadang laskar dan semuanya dibantai. Pasukan ayah saya terlambat bantu, dan sempat terjadi pertempuran antar laskar di situ. Laskar Hizbullah kalah dan menyerah. Dilucut semua senjatanya. Sabarrudin, komandan laskar lolos lari masuk hutan dengan sisa-sisa anak buah. Ayah instuksikan, kejar terus dan tangkap Sabarrudin. Sekutu ikut marah sebab anak buahnya jadi korban di konvoi itu termasuk beberapa serdadu Jepang yang bantu evakuasi dari kamp tahanan Jepang,” urai Ronald Warouw menanggap postingan Sam Elias terkait Treaty of 10 Januari 1679 between the Dutch East India Company (VOC) and the leaders of the Minahassan people dan hubungannya dengan situasi pergulatan Indonesia pascaproklamasi menuju hari ini.
Bahwa, “Treaty of 10 Januari 1679 between the Dutch East India Company (VOC) and the leaders of the Minahassan people” ada efek positif sehubungan dengan “adat budaya identitas dan integritas” tou Minahasa, itu saya akui.
Sebagaimana ditera dalam perjanjian VOC dan pemimpin Minahasa: “segala persetujuan yang diadakan oleh seluruh ukung dan masyarakat dengan Kompeni dan janji yang diberikan oleh Gubernur Robertus Padtbrugge kepada semuanya, atas nama Kompeni, berdasarkan janji dari kedua belah pihak, akan dipelihara dengan tulus ikhlas, tanpa cidera, tanpa dikurangi dan secara jujur.”
Mari kita ulangi. Sejarah adalah sesuatu yang dominan dengan pertikaian dan perang. Sejarah adalah ingatan yang menjadi luka pada peta yang tercabik-cabik. Tercatat, Eropa, dalam hal ini Portugis dan Spanyol sudah duluan masuk Minahasa, berikutnya se-Walanda. Dan semua ingin menancap benderanya di tanah Minahasa, lalu perang perlawanan meletus.
Dalam perspektif saya, sebuah perjanjian selalu memiliki faedah bila dapat menguntungkan kedua pihak yang bersepakat. Bila tidak, apa guna perjanjian itu? Ingat, Nader Contract – of September 10, 1699, memosisikan para Walak sebagai bawahan tou Walanda.
Ingatan sudah terpatri jauh sebelum 1679. Tahun 1657, se-Walanda membangun Fort-Amsterdam di Manado, pusat pemerintahan dan dagang. Petani Minahasa harus jual beras dan hasil pertanian pada pedagang Eropa. Monopoli menyengsarakan, lalu rakyat melawan. Juni 1661, menyeruak Minawanua, perahu-perahu menderas dari rawa sungai. Perempuan lelaki terbakar marah, baku hajar dengan pasukan kolonial. Sungai darah mengenang nama Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan, Rumambi, Kentei, Tellew, Tarumetor, Wangko, dan siapa saja nama mereka yang tak sempat disentuh tinta sejarah.
Perang dan perang lagi. Lalu perpecahan dari dalam, tafsir, segala drama, kefanatikan: wettich eenig en eeuwing opperheer, diterjemahkan sebagai satu-satunya yang dipertuan agung sah dan abadi. Itulah mereka, membawa pesan damai dalam kasih, namun dengan doa-doa merampasi sumberdaya, meracuni otak rakyat dengan dogma.
Di sisi lain, para suraro Minahasa gagah berani diberi uang dan penghargaan tinggi sebab membela se-Walanda, menangkap petarung-petarung yang dianggap musuh ne-Walanda wana sengkotan. Kisahnya masih menyisa di wanua sampai hari ini, saya turut bangga.
Minahasa di masa lampau, seumpama menyusur jejak penanggalan, dan siapa-siapa yang datang kemudian, menyatu dengan segala realita yang ada di sana. Minahasa, seperti mengenang sebuah sajak vilucchio yang ditera untuk sebuah tanda kelahiran: ketika yang hilang || angin menghentar melody vilucchio bianco || bukit-bukit permai tempat anak-anak bermain menyambut gugur dedaun manakala embun dibasuh cahaya || sukma dirasuk keheningan senja jatuh di pangku-mu.
Sebelum lupa,Vilucchio Bianco disebut sangkakala surgawi, tetumbuhan yang diberi nama Calystegia Sepium, herba abadi yang berbelit-belit berlawanan arah jarum jam di sekitar tanaman lain. Daunnya hijau pucat sederhana, runcing di ujung dan berbentuk panah. Saya sering melihat tetumbuhan itu di pelosok-pelosok hutan Minahasa. Sekitar delapan tahun lalu, saya masuk rimba Gunung Tampusu mencari Vilucchio Bianco, ketika turun dari sana, kawan saya Ven Kaloh, aktivis pecinta lingkungan dari O.M.S, cerita pada saya dan berapa teman tentang orang seorang ‘asing’ yang diantar pergi ke hutan Gunung Tampusu, dan di sana orang itu mengambil semua jenis anggrek untuk diboyong ke Eropa. Tak berselang berapa waktu, kawan penulis KabarIndonesia dari Kendari, Sulawesi Tenggara, bilang pada saya tentang anggrek dari tanah mereka yang dinamai oleh seorang dari Eropa sebagai temuannya, padahal, kata kawan itu, mereka punya nama lokal dari jenis anggrek itu. O iya, Vilucchio Bianco bukan anggrek. Saya di sini menyinggung kembang-kembang liar itu sebab ada di tanah Minahasa, dan luput dari perhatian banyak orang. Bunga, nama, dan sejarah yang terjajah sistem.
Kita punya sejarah perang dan perbudakan yang belum tuntas. Sebab hari ini sistem masih bertahta menista rakyat. Imperialis berganti wajah, dan bertopeng orang-orang, siapa-siapa justru yang mungkin kita kenal dan dekat dengan kita. Mengenai imperialis, saya sepakat dengan apa yang disebut Desmond Mpilo Tutu: “When the missionaries came to Africa, they had the bible and we had the land. They said: let us close our eyes and pray. When we opened them, we had the bible, and they had the land.” Dogma yang dilawan, kita yang tertawan.
Saya suka Desmond Mpilo Tutu. Dia lahir di Klerksdorp, Transvaal Barat, Afrika Selatan pada 7 Oktober 1931. Desmond adalah teolog Afrika Selatan dan aktivis penentang apartheid, terkenal di era 1980-an. Dia dipilih dan ditahbiskan menjadi uskup berkulit hitam pertama di Gereja Anglikan dan ditahbiskan di kota Cape Town. Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan, menyebut Desmond sebagai ‘yang tak pernah takut menyuarakan suara mereka yang tak dapat bersuara’.
Mengulang kejadian yang belum terlalu lama lewat. Tahun 2017, ada diskusi dengan beberapa kawan, yang kurang lebih sama temanya sama dengan apa yang dibahas sehari-hari pada mapalus matambarran: kekayaan, kemiskinan, etos, cara pandang, tou dan berbagai teori yang melingkupinya. Fredy Sreudeman Wowor, Rivo Gosal, dan saya. Kami melintas South Gate, Plaza Indonesia. Di pelatarannya, sesaat saya memetik gambar, mendrive kamera ke bundaran H.I., lokasi di mana para pendemo kerap meneriaki sistem di negeri ini. Dari titik ini kami menuju Kelapa Gading, bersua Janno Pieter, lalu sama-sama menuju Museum National. Dan obrolan dari tempat Janno kembali berulang: adat budaya identitas dan integritas. Boleh jadi diskusi kita adalah tentang suara-suara dari suara yang tak akan pernah didengar. Silakan tertawa untuk kenyataan ini.
Catatan Desember 2018, waktu ngobrol dengan Wailan: tentang imperialisme dan kolonialisme, saya menyebut, “pada mulanya surga adalah sumberdaya, lalu imperialis menaruh kiamat dan neraka dalam dogma, sehingga perdamaian dunia dijaga pasukan bersenjata”. Sejarah boleh jadi adalah peristiwa hari ini, untuk besok dilupa atau berulang, seperti kelahiran yang selalu berulang-ulang mengganti mereka yang terluka, pergi dan menghilang. Cicatrix, parut.
Minahasa saat ini, alir sajak kemilau di deras tak bening; danau berjelaga, ecenggondok merajai bentangan 4.278 hektar area itu. Laut pemikiran kita dilayari berbagai teori bimbang, energi tumpah semahal harga diri; awan menari, lalu kita masih mencinta bunga, aroma belantara, embun, dan utopia. Rentang jarak dan waktu. Di sana obrolan identitas membuncah. Ketika di masa lalu – yang kadang tak terukur – tentang ihwal suatu bangsa. Apa itu? Ada banyak pertanyaan di benak yang belum terjawab. Kau mungkin punya jawabnya.
Kembali ke rahim bumi, seperti itu langkah kita pulang pada kenang, tanah leluhur. Cerita lama yang kerap saya dengar di terung; bertahun-tahun silam di sana, di wanua. (*)
Editor: Gratia Karundeng
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan