GURATAN
Sampah Peradaban
Published
6 years agoon
By
philipsmarx5 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
“DILARANG BUANG SAMPAH
CUMA BINATANG YANG BOLEH BUANG SAMPAH”
Sebuah instruksi! Ditulis dengan huruf-huruf kapital. Berwarna merah, tanda marah. Tapi kontras! Di bawah plang instruksi itu sampah-sampah berserakan. Seekor BINATANG anjing, terekam. Temannya berada di sisi yang lain. Menikmati entah apa di dalam kantong plastik. Siapa yang membuat instruksi itu? Tidak tahu.
Kosong empat, bulan 01 tahun 2019. Pemandangan yang menggelikan. Pesta baru saja usai. Rayakan Natal dan Tahun Baru orang-orang makan-makan dan bersolek diri. Pesta tahunan yang menyisahkan sampah. Sebagian tak tinggalkan bukti. Terurai di dalam jamban. Sampah yang banyak: plastik, botol, kardus, jadi bukti kemajuan peradaban homo sapiens.
Ada hukum tertulis di kitab-kitab negara. Ada aturan yang tak wajib ditaati. Hanya manusia yang punya hukum dan aturan tertulis. Binatang, tidak punya barang itu. Mengapa?
Manusia punya moral, etika, estetika, hak, dan kewajiban hukum, sosial dan politik. Binatang hidup dalam kawanan. Manusia hidup dalam perkauman dan society. Di masa dan di ruang hanya ada satu darah, satu silsilah dan satu Tuhan, manusia membentuk komunitas atau panguyuban. Orang-orang masih dapat saling bersepakat secara lisan. Tapi, begitu peradaban berkembang, ruang menjadi majemuk. Ada banyak faksi, kepentingan, mimpi, kebiasaan dan keyakinan di dalamnya. Inilah masyarakat yang mesti bersepakat dan menuliskan aturan dan hukumnya pada kitab-kitab berisi bab dan pasal-pasal itu.
Binatang tidak menghasilkan sampah. Dunia binatang tidak menetapkan dan mengajarkan kesadaran moral: ‘kotor’, ‘bersih’, ‘benar’, ‘salah’, ‘indah’, ‘buruk’, ‘saleh’, ‘berdosa’. Binatang tidak punya peradaban. Dengan begitu mereka tidak menghasilkan sampah. Dan, tidak membuang sampah.
Di era primitif manusia, sampah nol persen. Para leluhur kita itu mengkonsumsi semua yang disediakan oleh alam yang dapat segera diurai oleh alam pula. Di era modern, populasi meningkat tajam. Pemukiman mesti diperluas. Ladang pertanian merambah hutan. Pabrik-pabrik dibangun di tanah-tanah bekas perkebunan atau hutan. Berdirilah kota-kota besar yang menawarkan mimpi kemajuan. Terjadi urbanisasi. Maka, mesti ditemukan teknologi untuk mensiasati kebutuhan konsumsi umat manusia yang sedang bergerak maju.
Tahun 1910 Leo Hendrik Baekeland menemukan plastik untuk digunakan bagi banyak keperluan masyarakat. Setelah tak berguna, dibuang. Jadilah ia sampah. Lainnya, sampah berupa botol, metal, kayu dan kardus. World Bank merilis, pada 2016, kota-kota di dunia menghasilkan 2,01 miliar ton limbah padat. Ini dari sampah 0,74 kilogram per orang setiap hari. Dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang tinggi, timbunan sampah tahunan diperkirakan akan meningkat 70% dari tahun 2016 menjadi 3,40 miliar ton pada tahun 2050.
Waw….Inilah capain peradaban modern manusia: timbunan sampah!
Ini ada pada manusia, bukan pada binatang. Binatang tidak menghasilkan sampah. Jadi, instruksi ‘DILARANG BUANG SAMPAH
CUMA BINATANG YANG BOLEH BUANG SAMPAH’ tidak kena. “Cuma manusia yang menghasilkan sampah, dan boleh buang sampah”. Kira-kira begitu logisnya. Membandingkan manusia dengan binatang dalam urusan sampah, ah sungguh tidak lucu. Manusia punya nalar untuk membuang sampah, baik pada tempatnya maupun bukan. Cuma nalar tidak cukup. Ada moral, etika dan estetika yang membuat hanya manusia yang dapat mengolah sampah, termasuk membuang sampah pada tempatnya.
Tapi, manusia yang memiliki nalar, moral, etika dan estetika inilah yang kemudian merasa resah dengan timbunan sampah. Plang instruksi buatan seorang atau sekelompok orang itu juga bagian dari keresahan itu. Ia pertama-tama tidak menyoal mengapa ada sampah, tapi perilaku orang mengolah sampahnya. Jadi, seperti lazimnya, ketika yang disasar adalah perilaku buruk, maka binatang jadi perbandingan. Meski ini perbandingan yang tidak dapat dibandingkan, namun sesungguhnya ia mengungkap soal yang mendasar, perilaku.
Pada titik ini, plang menyasar manusia, bukan binatang. Katakanlah nalar telah menjadi relatif. Tapi, yang sungguh khas pada manusia, selain nalar tentu adalah kemampuan moral, etis dan estetis. Pada negara-negara modern, yang justru penghasil sampah terbesar dari pabrik-pabrik dan rumah-rumah tangga yang pada hal nalar sudah selesai, sampah berusaha dikelola dengan kemampuan moral, etis dan estetis. Di Jerman misalnya, pengelolaan sampah dilakukan secara kreatif. Warna-warni menjadi kode untuk kebiasaan memilah sampah.
Di negara kita, regulasi, dan teknologi belum selaras dengan moral dan etika, apalagi estetika. Makanya, Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia. Dari riset Sustainable Waste Indonesia (SWI) ditemukan bahwa terdapat 1,3 juta ton sampah plastik per tahun yang tidak dikelola.
SWI menyebutkan, dari sekitar 65 juta ton sampah yang diproduksi di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan karena tidak ditangani. Tujuh persen lainnya didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sebabnya, menurut SWI ada beberapa hal. Pertama, terkait sistem yang belum memadai. Kedua adalah perilaku dan kebiasaan masyarakat membuang sampah bukan pada tempatnya. Tapi hal lain adalah hambatan infrastruktur pelayanan sampah, antara lain terkait dengan ketersedian tempat pengumpulan sampah atau TPA yang dapat dengan mudah dijangkau. Soal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah.
Jadinya, ini urusan semua. Warga negara atau masyarakat pada umumnya dan pemerintah. Kesadaran moral, etika, kemampuan nalar dan estetika mesti selaras dengan regulasi yang terkait dengannya adalah penyiapan perangkat dan fasilitas serta teknologi. Sampah berserakan di pinggir jalan misalnya, bukan hanya karena nalar masyarakat tidak jalan, atau moral bobrok, tapi karena mereka tahu bahwa ada kebijakan pengelolaan sampah oleh pemerintah.
Masalah sampah meski tidak secara langsung tapi rupanya ia memang mesti dihubungkan dengan tingkat kecerdasan, moral, etika dan estetika pada manusia. Ini tidak sekadar bicara ada Perda yang mengatur tapi anggarannya lupa diketuk oleh DPR misalnya. Atau, ada kampanye baliho di sana-sini, tapi tidak tersedia tempat pembuangan sampah. Juga prestasi yang membanggakan pada pihak pemerintah misalnya soal prestise capaian ‘wajar tanpa pengecualian’ (WTP) tapi masih sulit menemukan cara yang efektif untuk mengurus sampah. Sampah akhirnya dapat menjadi ukuran kualitas kemajuan peradaban negara.
Produksi dan konsumsi informasi-informasi sampah (informasi palsu atau hoax) misalnya dapat merefleksikan tingkat kemampuan sebuah masyarakat dalam hal nalar, moral, dan etika. Bayangkan, menurut survei Centre for International Governance Innovation (CIGI) tahun 2016, bahwa sebanyak 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia mudah percaya pada informasi yang tersebar di dunia maya tanpa cek dan ricek. Kominfo merilis, 800.000 situs di Indonesia terindikasi sebagai penyebar hoax. Hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menemukan, bahwa jenis hoax yang diproduksi dan dikonsumsi masyarakat Indonesia tertinggi adalah isu-isu seputar politik, menyusul isu yang berbau SARA.
Ah, apa hubungan antara isu sampah plastik, botol,metal, kardus dengan hoax? Tidak langsung berhubungan, kecuali dihubung-hubungkandengan misalnya menyebut hoax adalah sebentuk informasi sampah. Tapi, hoax yang tiba-tiba dimasukan di sini oleh karena berangkat dari asumsi bahwa semua hal terkait dengan masalah sampah berurusan dengan manusia atau masyarakat yang bernalar, bermoral, beretika, dan berestetika.
Ada angka-angka yang memberi petunjuk masalah sampah berkaitan dengan tingkat kemajuan peradaban masyarakat. Angka sampah yang tidak dapat diolah tinggi, produksi dan konsumsi hoax juga tinggi. Sepertinya, ini hendak mau memberi petunjuk tentang hal mendasar dalam masyarakat kita, yaitu kecerdasan, pengetahuan, moralitas, dan etika serta kemampuan estetis. Maka, masalah sampah sepertinya juga merefleksikan kadar pengetahuan yang diperoleh dari sistem dan paradigma pendidikan, dan keimanan yang diperoleh dari pengajara agama-agama. Hal lain yang penting adalah mutu politik dari para elit.
Dengan demikian, sungguh tidak masuk akal ketika kita mengatakan bahwa peradaban negara ini sudah maju, jika lebih banyak orang percaya hoax kiamat, kepunahan atau keruntuhan ketimbang kebenaran faktual tentang pentingnya tidak membuang sampah sembarangan karena ia berhubungan dengan kesehatan dan keindahan. (*)