ESTORIE
Sandi Senopati, Ayat Setan, Pemberontakan 14 Februari 1655, dan Campania
Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 Februari 2019
Oleh: Daniel Kaligis
Pengalaman, perang, drama Campania sudah sekian lama menyetubuhi bumi dan sistem, tanpa banyak dimengerti umat manusia
TERMINAL kedengarannya mewah dan megah sekarang. Mobil berbagai ukuran, alat transportasi antar kota, antar wilayah berjubel di sana. Orang-orang berseliweran berbagai aktivitas, menunggu jam keberangkatan. Ini terminal agak berbeda, hanya berapa mobil kecil mangkal di situ, penumpang datang satu-satu, masuk dan duduk di mobil, bila mobil lama penuh penumpangnya, si sopir membawa kendaraannya keliling kampung untuk ‘cari penumpang’, dirasa cukup, kemudian menuju terminal berikutnya. Itu dulu, sekilas situasi terminal di depan rumah saya di kampung. Terminal ini juga adalah tempat nongkrong dengan kawan-kawan sepantaran. Terminal di kampung itu hanyalah pos kamling alih-fungsi di perempatan jalan Paslaten – Remboken, berhadapan dengan gereja Immanuel.
Mobil-mobil ST20 dan mikrolet jurusan Remboken – Tondano, menunggu penumpang di pos kamling itu. Ada yang jaga di terminal, namanya Damri Wowiling. Panggilannya Damri, marganya Wowiling. Saya tidak tahu nama aslinya, tapi dia dipanggil Damri karena lama sebelum jaga terminal dia adalah sopir angkutan Damri.
Di pos kamling itu bersama kawan aktivis membincang hutan Minahasa yang semakin tandus, data pada tahun 2000, area tutupan hukan yang direkomendasikan bagi area DAS Tondano adalah tiga puluh persen, sementara tutupan hutan sudah kurang dari dua puluh persen di saat itu. Di pos kamling yang jadi terminal itu kami bertukar cerita peristiwa yang terjadi di Monte Verde. Situs arkeologi di sana disebut Llanquihue, Chili selatan. Katanya situs ini berusia hingga 14.500 tahun yang lalu. Katanya situs ini pertama kali diduduki sekitar dua puluh orang atau tiga puluh orang pada tahun 12.800 hingga 11.800 sebelum masehi. Situs ini ditemukan pada 1975 ketika rombongan pelajar mengunjungi wilayah Monte Verde, saat area itu dihantam erosi akibat penebangan hutan.
Di situ pula menggambar visi, mengumbar cerita orangtua-orangtua yang kami dengar, sambil berteriak seperti jagoan. Pernah duduk minum captikus, berseloroh kampanye pada musim itu, seraya mengkhayal pergi menyeberang laut, saksikan atraksi Campania – Gua Siby di Cumae, sebuah kuil Yunani di Paestum, reruntuhan Romawi di Pompeii dan Herculaneum, gunung berapi Vesuvius dan Solfatara, Costiera Amalfitana dari Sorrento sampai Salerno, dan kepulauan Capri dan Ischia.
Mengenang itu membawa saya pada suatu ruang, tiga lelaki membincang pengalaman perang: Jopi Tumimomor, A.E.K., A.Sumajouw. Bersandar di dinding bambu, Jopi memeragakan bagai mana ia memasang peluru 81 milimeter ke senapan artileri. “Pelor paseleten leos witu lulutam, tia kow tena’en – (Masukan peluru secara benar ke moncong senapan, jangan sampai melukai diri),” ujar lelaki berjambang tipis mulai memutih itu. Dia mengulas bagai mana meletak peluru secara pas pada depan laras mortir, dan segera mengambil posisi tepat sebelum menembak.
Februari berawan di 1985, ketika itu. Hujan angin mengguyur rumpun bambu di belakang terung, menyirami hampar ladang jagung dan petak-petak sawah Rano Oki – Seseperan di batas Paslaten – Talikuran. Terung adalah rumah kecil di ladang dibuat dari campuran batang kayu dan bambu, atapnya anyaman daun rumbia pada bilah bambu diikat tali gomutu, yakni serat di batang enau yang dipelintir-lipat menjadi tali. Di bagian depan terung itu tiga lelaki ngobrol, bersenda-gurau, menunggu hujan reda. Saya mendengar obrolan mereka sambil mengunyah ketela bakar, dimakan dengan rawit dan garam. Kami duduk setengah lingkaran di depan perapian. Asap perih di mata, bara menyala ungu merah jingga.
A.Sumajouw, petani di lereng Tangkiuk. Ia hanya mengangguk-angguk mencermati kisah dua bekas serdadu beradu pengalaman. Sesekali Sumajouw mendorong batang kayu kering di perapian, menjaga bara tetap menyala.
Obrolan tentang perang memang hal biasa pada lelaki di kampung saya pada era 80 – 90-an. Ada semacam rasa bangga di raut mereka mengulang cerita masuk keluar rimba menempu pengembaraan bertarung nyawa. Jopi, seingat saya – disebut ketika mereka berkisah waktu itu – di usianya yang masih belia, ‘katanya’ dia sudah tergabung pada pasukan pemuda Permesta, medio 1959. “Kutaretumou-pe oki ni’tu, ta’an mahali-hali mong lulutam – (Saya masih usia belasan ketika itu, tetapi sudah memanggul senjata).”
A.E.K., serdadu Batalyon Worang. Bergabung dengan Permesta, lalu pernah menjadi Wakil Kepala Bagian III pada Komando Tengkorak Liar – SWK Lengkoan. Manakala usai perang, menjadi petani dan mengajar sebagai guru di sekolah swasta.
Sisa-sisa semangat perang membuncah ketika bersua kawannya. Terpicu cerita mortir-nya Jopi, A.E.K., angkat bicara tentang ‘Merah Putih 14 Februari 1946’. “So dorang Jus Mamusung yang pigi serang tangsi Teling, kase turun tu bendera Belanda kong kase Nae Marah Putih,” kata bekas serdadu ber-NRP 25280 itu.
Ini kisah masa silam, diulang berulang-ulang saban ada waktu senggang. Seperti perjalanan Kamis, 14 Februari 1985, cerita pulang sekolah dan berlanjut ketika pergi ke kebun, hujan, dan mampir di terung kawan A.E.K.
Tak banyak tentang ‘Merah Putih 14 Februari 1946’ dibeber A.E.K. Ia seperti tersihir semangat anak-anak muda dari kampung menyambut proklamasi Indonesia merdeka yang sudah beberapa bulan dikumandangkan. Dan hanya sepotong itu dia berkisah tentang Jus Mamusung, warga Leleko, yang katanya dengan berani memimpin barisan pemuda. Lebih jauh A.E.K. menutur sandi Senopati membawa mereka menyusur Amahai, Buru island, Masohi. Dengan Landing Craft Infantery tuju Ambon bersama batalyon Worang. Medio 28 September 1950 mereka mendarat di Tulehu.
Di jalan pulang, A.E.K. menyinggung tentang disipilin, seraya membanggakan serdadu gerak cepat, Campania, dan sejumlah terminologi pertempura.
Ada waktu A.E.K. menutur panzer, tank, vickers, berbagai mesin pembasmi muntah mesiu. Cataluna, mustang, meraung-raung mendebar taifun di atas gelombang Pacific, di atas rimba, di atas tanah rusak. Entah berapa lama dia belajar dari Korps Speciale Troepen. Pernah berlayar jauh ke Novorossiysk, kota pelabuhan di Krai Krasnodar — Rusia, dan terapung-apung berhari-hari di atas samudera hitam, mesin kapal rusak, stok makanan habis, maka, kopra pun dilahap mengganjal lapar.
Pandangnya menerawang bila saya bertanya. “Apa itu RPKAD, apa itu Commando Battle, Campania dalam militer.” A.E.K. tak kurang bahan obrolan tentang perang. Padahal, saya mempertanya, mengapa perang? Kenapa sesama prajurit-sapta-marga saling serang? Tanya ini juga yang tak hendak dijawab history negeri ini. Hanya berkali A.E.K. menyebut, “So torang tu Permesta yang nyanda pernah menyerah.”
A.E.K sering sekali menyebut sandi Senopati. Dia begitu terhisap pada situasi mengarung rimba Tulehu, melihat kubur-kubur kawan-kawannya sebagai ‘pahlawan tak dikenal’. Pengalaman tempur bersama I.S.R. di Tulehu seperti merasuk ketika dia menghafalkan “De beste verdedigibg ligt juist in de aanval,” yang ditulis I.S.R. dalam Pedoman Gerilya I, tertanggal 21 Maret 1949.
Di masa itu saya tidak mengerti, dan bahkan – boleh jadi A.E.K. sendiri, dalam posisi kepangkatannya di saat bertempur di Tulehu, dia tak mengerti apa artinya sandi itu. Saya sendiri nanti membaca sejumlah buku, membuka tajuk ‘RMS: Palagan Penebusan Eks KNIL dan Tentara Kiri’ di Tirto, kini beroleh sedikit ‘pencerahan’ tentang perang berikut sandi-sandi perang. Di bawah ini saya pertikan tiga paragraf itu:
Menurut sejarawan Salah Djamhari, setelah pemberontakan RMS meletus setidaknya hampir satu divisi tentara dikirim ke luar Jawa. Di antara pasukan itu ada tentara yang dekat dengan orang-orang Murba (partainya Tan Malaka) dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ada Batalion Abdullah yang dekat dengan Tan Malaka, lalu ada batalion yang isinya adalah mantan Hizbullah.
Slamet Riyadi, salah satu pimpinan operasi penumpasan RMS, tadinya adalah komandan batalion dari Divisi Penembahan Senopati yang dianggap kiri. Sementara itu, Slamet Sudiarto, pimpinan penumpasan yang lain, adalah bekas sersan KNIL yang menjadi salah satu komandan brigade di bawah komando divisi sama.
Pada masa revolusi, Divisi Penembahan Senopati dianggap komunis karena dekat dengan tokoh-tokoh PKI seperti Alimin, Musso, dan Amir Sjarifoeddin. Divisi ini adalah musuh bebuyutan Divisi Siliwangi yang pernah dipimpin Nasution, perwira tinggi anti-kiri. Ketika ada gencatan senjata dengan Belanda, kedua divisi ini pernah saling culik-culikan sampai meletusnya Peristiwa Madiun 1948.
A.E.K. bertutur Rendezvous di malam buta. Ia dan kwannya menghitung asensio-rekta, menatap langit bertabur cahaya. Cygnus, menurutnya berada di atas Tampusu, sekitar lima-belas derajat ke kiri adalah Lengkoan.
Bila ia bertutur, pertanyaan dalam benak saya terus saja berulang “Mengapa perang? Kenapa sesama prajurit-sapta-marga saling serang?”
Bersandar pada kenang, dan semua tak mungkin terjawab sampai A.E.K. berpulang. Dia Albert Eduard, ayah sekaligus teman yang membikin saya suka sejarah dan matematika perang.
***
Apa kabar sejarah. Ini sekilas pertikaian ideologi yang membuat perang memanjang beritanya.
Ayat-ayat setan, medio 14 Februari 1989, pemimpin besar revolusi Islam Iran, Imam Khomeini, mengeluarkan fatwa hukuman mati atas dasar kemurtadan yang dilakukan Salman Rushdi. Penulis muslim asal Inggris itu dinilai telah murtad akibat menulis novel berjudul Ayat-Ayat Setan.
Media menuduh pencetakan dan pendistribusian besar-besaran buku Ayat-Ayat Setan secara jelas mendapat dukungan dari pemerintah Barat, sehingga membuktikan adanya konspirasi budaya yang dilancarkan oleh Barat terhadap kaum muslimin. Lebih dalam mereka menyebut pemerintah Barat malah memberi perlindungan kepada Salman Rushdi dengan alasan melindungi kebebasan penulisan.
Salman Rushdie, pengarang Inggris berdarah India yang pada tahun 1988 menulis buku Ayat-Ayat Setan. Dia menghabiskan bertahun-tahun perjalanan nasibnya dalam perlindungan dan selamat dari sejumlah percobaan pembunuhan.
Di negeri kita, pemberitaan rancu memanggang api pertikaian supaya terus menyala di sekam peradaban. Kisah Ayat-Ayat Setan tak setahun-dua membara lalu hilang. Sentimen terus dikipas-kipas pada tungku perang ideologi.
Pada Juni 2010, Republika mengabarkan Ketua Tim Senat Partai Buruh Demokrasi (DLP) –Queensland, Tony Zegenhagen, naik pitam sebab mengetahui Australia membuka pintu kepada Yusuf Islam yang akan berkonser di negeri kanguru itu. Alasan Tony Zegenhagen mempertanyakan keputusan pemberian visa oleh pemerintah Federal kepada Yusuf Islam, sebab penyanyi asal Inggris itu pernah menyerukan hukum bakar sampai mati terhadap Salman Rushdie, pengarang buku Ayat-Ayat Setan.
Karena itu, Tony Zegenhagen menyarankan warga Queensland mengeluarkan uang untuk penyanyi lain yang menghormati kebebasan berbicara dan kehidupan manusia.
***
Mari menilik sejarah perang yang terjadi hari ini di masa silam.
Campania dalam ilmu militer istilah ini menggambarkan sebuah gerakan mengejar sasaran strategis, dikerjakan dengan durasi yang lama dan dalam skala besar. Sebenarnya, istilah Campania dipetik dari nama tempat yang mengacu pada operasi perang tahunan oleh tentara Republik Romawi.
Campania juga adalah sebuah regione atau wilayah di Italia Selatan, berbatasan dengan Lazio di barat laut, Molise di utara, Puglia di timur laut, Basilicata di timur, dan Laut Tyrrhenia di barat. Wilayah ini memiliki luas 13.595 km² dan memiliki populasi 5,7 juta. Ibu kotanya adalah Napoli.
Terminologi Campania diambil dari bahasa Latin, disebut bangsa Romawi sebagai Campania felix yang bermakna ‘desa beruntung’. Campania juga adalah sebuah nama provinsi Prancis, Champagne.
Apa pertalian antara Campania dengan sejarah perang? Justru, Campania terhubung erat dengan pertempuran 14 Februari yang jarang dibahas.
Tersebutlah perang Arauco, yakni konflik panjang antara Spanyol melawan suku Mapuche di wilayah Araucanía, Chili. Konflik dimulai pada pertempuran Reynogüelén, yang meletus pada tahun 1536 antara ekspedisi Diego de Almagro melawan tentara Mapuche. Mapuche tetap merdeka hingga pendudukan Araucania tahun 1883.
Itulah yang disebut sebelumnya tentang pertalian perang Arauco dengan Campania, gerakan Spanyol mengejar sasaran strategis, dikerjakan dengan durasi yang lama dan dalam skala besar.
Perang Arauco terjadi pada 14 Februari 1655. Ketika itu suku Mapuche di bawah pemimpin militer terpilih mereka, yaitu Clentaru, bangkit melawan Spanyol dalam pemberontakan di negeri yang sekarang menjadi Chili bagian tengah. Mapuche atau Mäpfuchieu adalah penduduk asli di Chile Tengah, Chile Selatan, dan Argentina Selatan. Mereka dikenal sebagai suku Araucania, orang Spanyol menyebutnya Araucanos. Namun, istilah Mapuche paling sering digunakan. Data berapa tahun lalu menyebut Mapuche membentuk empat persen populasi Chili, mereka kebanyakan tinggal di Region Araucania.
Padahal orang-orang Araucania hidup nomaden, mereka berburu dan mengumpul makanan. Terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Mapuche, Picunche, dan Huilliche. Mereka berbicara dengan bahasa sama dan bergabung untuk tujuan militer. Walau, sebaliknya mereka memiliki sedikit kesatuan politik dan budaya.
Encyclopædia Britannica menulis, perang Arauco sebagai rangkaian konflik antara suku Indian Chile dan penakluk Spanyol di abad enambelas, dan suatu pertempuran antara orang-orang Araucania dan Chile merdeka pada abad sembilan belas.
Rentang waktu yang lama, pertempuran Reynogüelén hanya alasan, lalu tiba perang Arauco 14 Februari 1655.
Nah perang Arauco sudah membuahkan pendudukan Araucanía pada 1861 – 1883. Hal ini dimungkinkan oleh Campania: kampanye militer, persetujuan dan penetrasi tentara Chile dan penetap yang berujung pada masuknya Araucanía ke dalam wilayah nasional Chile.
Tentang penaklukan Chile, situs Spanish Wars History menulis, bahwa pada tahun 1531, Don Diego de Almagro, sang penakluk dari Spanyol tiba di Chile dalam misi pengintaian. Sejauh ini penaklukan imperium Inca di Peru dan imperium Aztec di Meksiko telah membuktikan yang mana orang Indian tidak sungguh-sungguh berjuang mempertahankan kemerdekaan di wilayah mereka, dan mereka percaya bahwa hal itu akan sama di seluruh benua.
Keunggulan Spanyol dalam hal senjata dan efek kejut. Pasukan penunggang kuda efektif pada awal konfrontasi militer yang terjadi pada 1531 di Reynogüelén. Dalam perang itu, orang-orang Mapuche yakin mereka didatangi makhluk aneh, setengah kuda, dan setengah manusia. Dan ternyata dengan mudah kemenangan diraih Diego de Almagro dan pasukannya. O iya, Reynogüelén nama asli dari sungai Perquilauquén.
Di balik itu suku Inca telah sekian lama berusaha menaklukkan Mapuche, jauh sebelum orang-orang Spanyol menjejak Tanah Selatan, yang kemudian dikenal sebagai Chile. Mapuche lama berperang, hingga akhirnya imperium itu mengalah dan menetapkan batas kekuasaan mereka di utara sungai Maule.
Misteri Beku Toponimi Chili
Walau tak ada yang mengetahui toponimi Chile secara pasti, terdapat beberapa hipotesis tentangnya. Sejarawan Agustín de Zárate dan Jerónimo de Vivar menyebut bahwa nama ini berasal dari ungkapan Quechua, chire atau chiri, yang berarti ‘dingin’, atau tchili yang berarti ‘salju’. Toponimi merupakan pembahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya. Toponimi merupakan bagian dari onomastika, pembahasan tentang berbagai nama.
Menurut dua penulis sejarah, Antonio de Herrera y Tordesillas dan Vicente Carvallo y Goyeneche, kata Tchili diturunkan dari Chille, nama kuno sebuah sungai di Lembah Akonkagua. Senada dengan Herrera dan Carvallo, seorang antropolog, Ricardo E. Latcham, meyakini kata tersebut adalah milik sebuah kelompok Suku Indian yang berasal dari suatu wilayah yang di dalamnya terdapat sebuah sungai yang bernama Chili, kata tersebut dibawa ke Chili oleh Suku Inka.
Menurut Diego de Rosales, penulis sejarah dari abad tujuh belas, kata tersebut diperkenalkan oleh Inka dari Peru yang menyebut lembah Akonkagua sebagai ‘Chili’, yakni bentuk cacat dari nama kepala suku ‘cacique’ Picunche yang disebut Tili, yang menguasai kawasan tersebut ketika penaklukan oleh Sapa Inka pada abad lima belas, sebelum kedatangan bangsa Spanyol.
Menurut seorang Yesuit, Miguel de Olivares, asal mula kata Chili berasal dari onomatope bahasa Mapuche yang menirukan kicauan burung trile, agelasticus thilius, cheele-cheele, kata ini digunakan untuk menyebut burung yang bernoktah kuning pada sayapnya. Sejarawan yang bernama Miguel Luis Amunátegui dari Urugay mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Aymara, Chilli, yang bermakna ‘ujung daratan’ atau ‘tempat berujungnya segala tanah’.
Catatan Garcilaso de la Vega – Inca 1609, berikutnya Alonso de Ercilla – La Araucana 1852, menyebut yang mana sebelum kedatangan bangsa Eropa ke benua Amerika, pribumi setempat telah terbiasa menyebut daratan di selatan Gurun Atacama sebagai Chili. Setelah digunakan oleh Jajahan Spanyol di Peru, para penakluk Spanyol meneruskan penggunaan sebutan ini, kadang-kadang sebagai ‘Lembah Chili’, penggunaan istilah itu masih digunakan sampai sekarang.
Deklarasi 12 Februari 1818
Abad enam belas, sebelum kedatangan bangsa Spanyol, Chile bagian utara berada di bawah kekuasaan imperium Inka, sedangkan penduduk asli Mapuche mendiami Chile bagian tengah dan selatan.
Chile mendeklarasikan kemerdekaannya dari Spanyol pada 12 Februari 1818. Dalam perang di Pasifik tahun 1879 – 1883, Chile mengalahkan Peru dan Bolivia dan memenangi teritorial utara. Suku Mapuche takluk sepenuhnya pada sebelum dasawarsa 1880-an.
Walau relatif terbebas dari perebutan kekuasaan yang mengacaukan Amerika Selatan, Chili mengalami tujuh belas tahun kediktatoran militer pada 1973 – 1990 di bawah Augusto Pinochet. Nama lengkapnya Augusto José Ramón Pinochet Ugarte jenderal Chile politisi dan diktator yang didukung Amerika. Jenderal yang naik tahta karena kudeta militer ini disebut menghilanglenyapkan tiga ribu dua ratus nyawa manusia.
Sekarang, Chile menjadi salah satu negara paling makmur dan paling stabil di Amerika Selatan. dan diakui sebagai kekuatan menengah di kawasan itu. Chil3 memimpin bangsa-bangsa Amerika Latin dalam hal kedamaian, daya saing, kebebasan ekonomi, dan persepsi korupsi yang rendah.
Laste
Pengalaman, perang, drama Campania sudah sekian lama menyetubuhi bumi dan sistem, tanpa banyak dimengerti umat manusia.
Khotbah kiamat menakut-nakuti rakyat dengan segala setan. Padahal, di belah bumi lain, orang-orang sudah menyeberang ke langit ilmu pengetahuan dan disiplin tinggi. Mereka menggagas kota-kota, menempatkan pemukiman dan pembangunan lingkungan untuk masa mendatang yang damai.
Masih tersisa banyak pertanyaan, anda salah satu yang akan menjawabnya. (*)
Editor: Denni Pinontoan