FEATURE
Sanggar Bermain, Kedai Kopi Mewah dan Imajinasi Masyarakat Urban
Published
6 years agoon
By
philipsmarx19 Februari 2019
Oleh: Tedi Kholiludin
Pengajar di Univ. Wahid Hasyim Semarang, Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
Peran domestik orang tua dilimpahkan kepada orang lain. Anak-anak dititipkan di tempat penitipan, ditinggalkan di depan televisi atau internet atau tinggal di rumah sendirian.
SABTU, 2 FEBRUARI lalu, saya mengantar Najma mengikuti trial untuk dua potensi; literasi dan motoriknya. Sebuah kelompok bermain di bilangan tengah Kota Semarang kebetulan sedang menggratiskannya. Sepertinya, mereka baru launching sehingga menawarkan beberapa paket promosi.
Meiga memutuskan untuk menyertakan Najma dalam kegiatan ini karena faktor gratis tersebut. Kalau berbayar, perdebatan tentang ikut atau tidaknya Najma mungkin akan berlangsung sekitar 2 x 24 jam. Karena hujan turun, Meiga urung ikut. Bersama Faza, ia menunggui kami di rumah. Hanya saya dan Najma yang berangkat sore itu.
Saya pun penasaran sebenarnya dengan kecakapan Najma berinteraksi dan mengartikulasikan keterampilannya. Selama ini, ia tak cukup punya ruang bersosialisasi. Salah satu penyebabnya, karena tidak ada tetangga di rumah. Yang menjadi lawan bermainnya lebih sering anak-anak eLSA, yang tentu saja partner tak sepadan baginya. Bagi saya, alasan ini sekaligus menggenapi faktor gratis.
Kami terlambat 5 menit dari jadwal yang sudah direncanakan.
Setelah ditempelkan nama di dada kirinya, Najma bergegas masuk ke ruangan pertama, tempat ia dilatih untuk mengenali huruf-huruf. Saya hanya memperhatikannya dari luar. Ia sibuk menyusun bangunan setelah asyik bergumul dengan pasir-pasir. Sesekali, Miss -panggilan untuk gurunya memperlihatkan kertas-kertas kecil bertuliskan huruf-huruf. Dan seterusnya.
Sembari menunggu Najma, saya berjalan perlahan mengelilingi tempat bermain atau sanggar itu. Pikiran melayang pada sawah, lumpur, sungai, alang-alang, serta tempat-tempat di mana dulu saya menghabiskan waktu semasa kecil. Di usia Najma, saya bermain menyebur ke kolam milik kakek atau di kandang ayam belakang rumah.
Temuan-temuan baru, perkembangan ilmu pengetahuan serta canggihnya teknologi membuat pergeseran dan perubahan. Stimulatornya tak lagi kandang ayam atau kotoran lumpur, tetapi pasir buatan serta lego.
***
Di samping kanan sanggar, ada tiga ruko berjajar. Dua yang terlihat jelas; rumah makan seafood dan kedai kopi. Melihat Najma sedang enjoy di ruangan, saya memutuskan untuk menunggunya di kedai kopi. Meski perut lapar, memilih minum kopi dan menahan untuk tidak masuk ke rumah makan adalah sewaras-warasnya pilihan.
Desain kedai tersebut terkesan mewah. Meski luasnya mungkin tak lebih dari 60 meter persegi, tetapi kursi dan meja ditata dengan sangat baik. Satu ruangan disediakan khusus bagi perokok, tetap dengan dilengkapi dengan Air Conditioner-nya.
Saya mengamati menu yang disodorkan oleh seorang pelayan berkaos hitam. “Ini mbak,” saya menunjuk ke salah satu menu yang dalam harga, tertera angka “23”. Mafhum, artinya segelas kopi itu harus diganti uang 23.000 rupiah.
Di salah satu sudut, ada tujuh anak muda sedang mengobrol santai. Pakaiannya rapi. Enam di antaranya berbatik. Tepat di samping kirinya, tampak sepasang muda-mudi bercakap-cakap. Terkaan saya, mereka sedang mendiskusikan urusan tentang pekerjaan. Ada istilah-istilah akuntansi yang tidak terlampau asing saya dengar. Saya sengaja mengambil posisi duduk di belakang tujuh anak muda tersebut.
Karena handphone hampir mati, saya mengeluarkan buku kecil dan bolpoint untuk mencatat hasil “pengamatan” singkat atas situasi di kedai kopi kekinian tersebut.
Meskipun lamat-lamat, saya bisa dengan cukup jelas mendengar logat anak-anak ini saat berbicara. Pilihan diksi yang digunakan, sisipan “elu” dan “gue” serta konten pembicaraan yang biasa didedah oleh kalangan kelas menengah. Piring-piring yang ada di mejanya sudah kosong.
Terkaan saya, anak-anak ini sudah cukup lama berada di kedai ini.
Amatan saya bergeser 15 derajat, tepat menuju dapur terbuka kedai kopi. Mesin penggiling yang masih sangat baru sedang bekerja untuk memenuhi pesanan saya. Barang mewah ini menjadi jawaban bagi penggila kopi yang menghendaki kebaruan, kehangatan dan orisinalitas.
Ingatan saya mundur 20 tahun ke belakang.
Kala saya sedang duduk di dekat perapian sembari mengayuh pedal sepeda. Tapi, bukan sepeda yang bergerak, melainkan drum berisi kopi mentah yang berputar. Dalam drum itu ada 20 kilogram kopi yang dipanaskan di atas api dari kayu bakar. Kayuhan sepedanya pun ada rumusnya; tak boleh terlalu cepat dan jangan terlampau lambat. Jika pedal diputar dengan kecepatan tidak stabil, matangnya kopi tidak akan merata.
Gilingan yang digunakan pun tak semewah yang saya lihat di kedai kopi modern. Puluhan kilo kopi dalam karung-karung besar, digiling di tempat penggilingan padi milik keluarga kami. Kebetulan ada satu mesin yang dikhususkan untuk menghancurkan kopi. Seperempat abad lalu, gelas-gelas kopi itu ada di tempat hajatan, surau-surau yang baru saja menggelar acara syukuran atau selamatan, dan pos ronda.
Bahan baku yang nyaris sama, diolah sedemikian rupa. Menikmati kopi tak hanya tentang menyeruputnya. Tempat di mana kita menikmatinya, turut berkontribusi sebagai stempel status sosial.
Sanggar anak dan kedai kopi mewah menjadi penanda masyarakat urban edisi kiwari.
Keduanya mungkin datang sebagai paket, meski tak sengaja. Sembari menunggu anak, menghabiskan waktu di kedai mewah. Keduanya juga seperti menjadi jawaban atas kebutuhan orang-orang perkotaan. Apakah ini berarti bahwa ia bisa ditahbiskan sebagai contoh konkrit dari “budaya masyarakat perkotaan”?
***
Masing-masing kota punya ceritanya sendiri.
Tak hanya hadir secara alamiah, warga kota kerap menghadirkan citra kota melalui narasi lisan yang dituturkannya. Identitas kota kemudian dibentuk. Daniel A. Bell and Avner de-Shalit dalam The Spirit of Cities, menyinggung para filusuf Yunani yang turut memberi makna atas kota melalui spirit yang ditunjukkan warganya. Athena dan Sparta misalnya. Athena Kuno, kata Bell dan de-Shalit, menunjukkan tentang iman dalam penilaian orang biasa dengan mengecualikan budak dan perempuan. Sparta berbeda cerita. Ia mewakili model yang lebih oligarkis; para prajurit dan wanita yang berkuasa berjuang untuk kemuliaan negara.
Perkembangan kota zaman sekarang tentu berbeda dengan cerita Plato yang agak condong ke Sparta dan Socrates yang mencoba menyaring nilai-nilai kebaikan dari Atena.
Perubahan di pelbagai sudut, menjadikan identitas kota beririsan dengan jati diri warganya. Apakah kota memengaruhi gaya hidup warganya, ataukah masyarakatnya yang membentuk identitas kota, agak sulit diurai. Ada yang mencoba memberi jawaban moderat; kota dan warganya saling membentuk dan saling memengaruhi.
Namun, rasa-rasanya tidak selalu demikian alur ceritanya.
Warga dan kota tak selalu berinteraksi dan saling memengaruhi. Di satu sudut, ada kelompok masyarakat yang tak mampu mengikuti ritme, perkembangan dan gaya hidup kota, dan di sudut yang tak terlampau berjauhan ditemukan juga kerumunan yang berusaha mati-matian mengikuti cara berpikir dan tindak tanduk yang sesungguhnya mereka sendiri tergopoh-gopoh mengimbanginya.
Imajinasi kelompok urban tentang tanah yang dipijaknya, kerapkali datang dari sebuah “kesadaran semu”.
Menyeruput kopi merk luar negeri, berbelanja barang di mall, berkendaraan mewah, makan di restoran siap saji bukanlah sebuah kesalahan. Tetapi, jika gaya hidup seperti ini kemudian mereka lekatkan dengan citra diri masyarakat kota, saya kira inilah sebuah kekalahan.
Dalam satu fase, masyarakat mungkin merasa memiliki kota lengkap dengan pernak-pernik kebudayaannya, tetapi mereka tak sungguh-sungguh menguasainya. Para pemilik kota sesungguhnya, bukanlah orang-orang yang dipilih di setiap momen politik.
Pemilik kota adalah mereka yang telah dengan baik memfasilitasi ruang bagi pemenuhan kebutuhan eksistensial warganya. Ruang yang memungkinkan ambisi dan imaji warga kota mewujud dalam perilaku.
Terkadang, terhadap kelompok ini, kita bisa merasakan kehadirannya, meski kerap susah menunjuk batang hidungnya langsung. Kita kerapkali merasa terjebak dalam perangkap (gaya hidup) tersebut, tetapi tak mudah untuk keluar darinya.
Dua contoh yang saya jadikan sebagai judul tulisan ini, hanya contoh sederhana. Sembari melihat Najma bermain bersama teman-temannya, saya berefleksi tentang kegagalan saya sendiri.
Saya merasa bahwa tak hanya kota yang berhasil mengokupasi warganya, tetapi juga saya sendiri.
Melakukan refleksi terhadap diri sendiri yang gagal “melawan” kota dan ambisinya. Saya jadi teringat buku Home-Alone America: The Hidden Toll of Day Care, Behavioral Drug, dan Other Parent Substitutes karya Mary Tedeschi Eberstadt.
Buku ini ditulis sebagai upaya untuk menjawab problem sosial yang terjadi di kota-kota besar di Amerika Serikat. Tentang mengapa anak-anak dan remaja Amerika mengalami malaise, obesitas, penyalahgunaan zat, gangguan perilaku, penyakit mental, dan penyakit menular seksual pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya?
Eberstadt adalah seorang Senior Research Fellow di The Faith & Reason Institute, dan Senior Fellow di the Ethics and Public Policy Center Washington, DC.
Saya merasa tersentil oleh Eberstadt. Dia bilang, dulu, sepulang sekolah, anak-anak disambut pelukan hangat oleh ibunya di muka pintu. Bekal yang dibawa anak-anak ke sekolah, berasal dari racikan masakan sang ibu yang tentunya disiapkan dengan penuh kasih sayang. Ibu begitu telaten memantau makanan mereka. Tak perlu membentak dan memukul dengan kasar jika anak-anaknya bertindak tidak sesuai kehendak.
Mengapa? Karena kehadiran ibu menyediakan jaring pengaman emosional dasar.
Namun, kini situasinya tak lagi sama. Peran domestik orang tua dilimpahkan secara sadar kepada orang lain. Anak-anak dititipkan di tempat penitipan, ditinggalkan di depan televisi atau internet, atau seringkali tinggal di rumah sendirian. Inilah cerita tentang apa yang saya sebut sebagai “kegagalan melawan kota dan ambisinya itu”.
Sanggar bermain dan kedai kopi mewah, sepertinya akan tetap menjadi bagian integral dari imaji masyarakat urban dan masih akan bertahan dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Editor: Andre Barahamin