Connect with us

CULTURAL

Santi: Pembuka Jalan Kehidupan

Published

on



28 Januari 2022


Santi dapat berarti “pemisah”. Maknanya, untuk memisahkan yang baik dari yang buruk.


Oleh: Rafael Wuaya Taroreh
Editor: Rikson Karundeng


DI UJUNG utara Pulau Sulawesi, hidup dan berdiam orang-orang Minahasa. Secara historis, dan dalam ingatan masyarakatnya, kata Minahasa sebenarnya berasal dari mahasa. Kata ini menunjuk pada persatuan suku-suku yang kini lebih dikenal dengan subetnis Minahasa. Ada Tombulu, Tontemboan, Tolour, Tonsea dan lain-lain.

Setiap subetnis ini memiliki kebudayaan, adat dan tradisi yang khas di daerahnya masing-masing. Meski memiliki perbedaan, ada banyak tradisi dan budayanya yang sama. Salah satunya tarian perang yang secara umum disebut kawasaran.

Leluhur orang Minahasa mengajarkan sebuah tradisi untuk melindungi negeri. Anak keturunan mereka kemudian mengikuti teladan itu. Cara untuk menyatu dengan orang-orang tua (leluhur), mengikuti apa yang dilakukan orang tua pelindung negeri ini disebut maasar.

Asaran berarti menjiwai. Itu kata awal kawasaran. Kata kawasaran itu dipahami dari dua kata. Kawak yang berarti melindungi dan asaran yang bermakna menyatu, mengikuti, meniru, atau berlaku seperti leluhur.

Jadi, kawasaran bisa dimaknai sebagai cara untuk mengikuti atau “ba aju” sama seperti leluhur sebagai pelindung negeri. Di tari kawasaran inilah orang Minahasa sejak dahulu menyimpan tradisi melindungi negeri itu.

Kawasaran pada dasarnya adalah tarian perang yang umum dimainkan di tanah Minahasa. Setiap daerah di Minahasa memiliki sastra kawasaran yang berbeda-beda. Para sejarawan, budayawan dan pelaku seni tradisi kawasaran kini percaya, tarian ini sebenarnya berasal dari tradisi mahsasau.

Berawal dari “Tarian Bayangan

Budayawan Minahasa, Rinto Taroreh menjelaskan jika mahsasau dapat diartikan sebagai “tarian bayangan”. Mahsasau berisi berbagai teknik dan seni perang Minahasa kuno. Di sebut “tarian bayangan” karena gerakan dalam mahsasau dilakukan secara cepat dan lincah, diibaratkan secepat bayangan.

Proses tradisi mahsasau berubah dalam bentuk tarian kawasaran seperti sekarang ini terjadi sejak perjumpaan dengan bangsa Belanda. Pada suatu masa, bangsa Minahasa bertemu dengan bangsa Belanda di masa-masa ekspedisi Belanda ke Nusantara. Dari pertemuan itu kemudian Minahasa membangun ikatan kerja sama dengan Belanda. Salah satunya di bidang militer. Minahasa membantu Belanda dalam beberapa misi ekspedisi di Nusantara.

Saat para waraney (ksatria) Minahasa bergabung dengan pasukan Belanda, mereka diminta untuk mengikuti dasar-dasar barisan militer Belanda. Alhasil para waraney membuat susunan perintah dasar baris-berbaris dengan menggunakan bahasa daerah. Di kemudian hari gerakan-gerakan ini digunakan untuk menjemput pasukan-pasukan yang baru saja kembali dari peperangan. Inilah yang menjadi awal mula dari sastra tari kawasaran masa kini.

Sebagai tarian perang, kawasaran tidak lepas dari perlengkapan perang yang biasanya digunakan untuk bertempur. Mulai dari perisai yang disebut kelung, pedang yang disebut santi dan tombak yang disebut wengkou. Meski memiliki banyak pilihan senjata, namun santi sering menjadi pilihan utama para waraney untuk digunakan.

Simbol Pemisah Baik dan Buruk

Santi sebenarnya memiliki beragam bentuk dan fungsi. Pada umumnya bilah santi berukuran kecil di pangkal dan melebar di ujungnya. Tujuannya untuk mempermudah santi diayunkan dan digunakan untuk memotong.

Santi yang memiliki bilah pendek disebut wengkou. Wengkou biasa diimpit di pinggang, dan digunakan untuk keperluan sehari-hari atau berkebun. Ada juga yang berukuran panjang dan hanya disebut santi. Jenis panjang biasa digunakan dalam duel, atau perang terbuka. Jenis itu pula yang kemudian digunakan dalam tarian kawasaran.

Dari segi makna, Rinto Taroreh menjelaskan, kata santi sendiri dapat berarti “pemisah”. Maknanya, untuk memisahkan yang baik dari yang buruk. Santi awalnya digunakan untuk aktivitas berkebun. Momaras (memotong menyamping, rata di atas tanah) rumput tinggi, memotong kayu bakar, melindungi diri dari hewan buas, juga untuk berburu.

Santi yang biasa digunakan untuk momaras rumput, suatu waktu akan diangkat untuk melawan ancaman dari luar. Ketika ada orang atau bangsa lain yang mengancam kehidupan masyarakat di wanua (kampung), tanah tempat mereka hidup, di saat inilah santi berfungsi sebagai senjata “pemisah”.

Orang Minahasa percaya bahwa kejahatan manusia berasal dari pemikirannya, dari kepalanya (otaknya). Maka jika manusia melakukan kejahatan keji, kepala orang itulah yang harus dipisahkan dari tubuhnya. Itulah makna dari “pemisah yang baik dari yang buruk” dalam alam berpikir orang Minahasa.

Bahan Mentah Turun dari Langit

Orang Minahasa menyimpan cerita tua tentang santi dan cara pembuatannya pertama kali. Dalam “Raranian ne Totokai” yang diwariskan turun-temurun kepada para walian (pemimpin spiritual) di Minahasa, dikisahkan jika bahan mentah pembuatan santi pertama berasal dari langit. Bahan mentah itu disebut watu tulus. Bahan yang dimaksud adalah batu petir.

Batu petir itu kemudian ditempa oleh ahli pembuat senjata yang disebut Empung Tingku’lendeng dan Empung Marentek. Kisah tetang sosok dan keterampilan dari dua tokoh ini ikut ditulis J. G. F. Riedel dalam bukunya Toumbulusche Pantheon (1894).

Dikisahkan, santi pertama ditempa Empung Marentek di kawah Tompaluan. Kawah gunung berapi aktif yang terletak di Gunung Lokon, kota Tomohon kini. Santi yang pertama dibuat adalah milik dari Empung Toktokai, sang penghulu perang Malesung (sebutan untuk Minahasa di zaman lampau). Empung Toktokai bisa dikata sebagai “dewa perang” Minahasa, juga sebagai pelindung Minahasa.

 

Pembuka Jalan, Pemelihara dan Pelindung Kehidupan

Minahasa adalah suku yang kaya budaya dan adat istiadat. Keseharian orang Minahasa dipenuhi dengan nyanyian syukur, doa, dan berbagai ekspresi religiusitas lainnya. N. Graafland pada bukunya De Minahasa: Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand (1869), mengisahkan jika kondisi itu ia saksikan secara langsung saat mengelilingi Minahasa sekira tahun 1850.

Setiap aktivitas religius itu dipenuhi dengan simbol-silbol, dan setiap simbol yang dipakai sarat makna. Setiap benda yang digunakan dalam upacara memiliki makna filosofinya masing-masing. Santi termasuk benda yang memiliki makna filosofi mendalam.

Ada tiga filosofi utama yang terkandung pada santi.  Sesuai dengan kebutuhan dan situasi, ia punya makna filosofi sendiri. Pertama, santi sebagai pembuka jalan kehidupan, awal mula peradaban. Dikatakan demikian, karena pada zaman dahulu leluhur Minahasa menggunakan santi untuk membuka jalan, membersihkan hutan untuk dijadikan kebun dan mendirikan wanua atau roong (desa).

Kedua, santi sebagai pemelihara kehidupan. Hal ini terkait fungsi santi dalam keseharian orang Minahasa. Digunakan untuk mencari kayu bakar, membuat rumah, momaras rumput, berburu dan melindungi diri dari hewan buas.

Ketiga, santi sebagai pelindung kehidupan, penjaga peradaban Minahasa. Santi yang biasa digunakan momaras rumput, untuk membuka jalan, suatu waktu akan diangkat dan diayunkan untuk melawan ancaman dari luar, dari bangsa dan suku lain, untuk melindungi kehidupan bangsa Minahasa.

Ada sebuah kalimat luhur Minahasa yang berbunyi “i yayat u santi”. Kalimat itu berarti angkat pedang dan mainkan (ayunkan). Kalimat ini biasanya diucapkan pada saat leluhur Minahasa melakukan perlawanan terhadap ancaman dari luar. Sebuah aba-aba pembuka perang dan seruan penyemangat.

Seruan “i yayat u santi kemudian digunakan dalam tarian kawasaran. Kalimat itu berfungsi sebagai aba-aba pembuka tarian, penyemangat bagi penari, sekaligus seruan sukacita.

Hari ini, santi masih tetap digunakan. Terutama oleh para penari kawasaran. Ia masih tetap memiliki makna yang dalam bagi orang Minahasa. Ketika melihat santi, apalagi menggenggam santi, tou (orang) Minahasa tetap diingatkan bahwa ketika ia berada di atas tanah adat warisan leluhurnya, tempat ia berpijak, di situ ia memiliki tanggung jawab penting sebagai seorang pembuka jalan kehidupan, pemelihara kehidupan, pelindung kehidupan, penjaga peradaban Minahasa, dan bukan sebaliknya. Kata “i yayat u santi” tentap menjadi penyemangat agar ia selalu penuh gairah dan yang terdepan dalam menjalankan tanggung jawab penting itu. (*)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *