Connect with us

CULTURAL

Sasapuan, Rendaina, Tarumetor, Waruga, dan Adat diberhalakan

Published

on

7 Februari 2019


Oleh: Daniel Kaligis


Bagi saya, kemewahan itu sederhana di tanah leluhur. Memetik gitar seraya menikmati angin sore bersama tembang tua: Esa Mokan Genangku Wia Nikow.

KLAK KAU PERGI jauh ke seberang lautan, ada yang kau bawa: itulah identitas!

Saya diskusi dengan Rio Valentino, isunya identitas. Bertanya kopi, mengumbar asap seraya menikmat malam berpendar cahaya dari simpang sebuah lobi hotel. Medio 2016 di Karebosi Condotel, di Jl. Jenderal M. Jusuf Nomor 1, Gaddong, Makassar.

Rio, teman dari kampung. Kami kenal dan bersua kali pertama di Jakarta bertahun silam. Waktu itu ia liburan usai ujian sekolah dan kami sama-sama menumpang kapal laut ke tanah Minahasa untuk kuliah. Lalu, pada sebuah rentang waktu kami berada di jalan yang dipilih masing-masing. Tetap saling menyapa dengan kepedulian sama, tentang identitas Minahasa.

Batu Penanda, Goa Batu, Waruga, dan Air

Bahwa, diskusi dengan kawan, siapa saja – adalah upaya pencarian. Tentang identitas, kami berdua mengutip kisah tua Kawatuan dari kampung, Remboken.

Masa Belanda ada di Minahasa, menurut tutur para tetua, Remboken tertata rapi. Tiap kilometer ada penanda batu diwarnai hitam. Selain lokasinya juga memang berbatu-batu. Akar-akar pohon bersilang kokoh menembus bumi. Karena berbatu maka di-rename Remboken itu oleh perantau Remboken sendiri, disebut Kawatuan. Tou Kawatuan, orang dari tanah berbatu.

Batu disebut Watu. Salah satu penanda terkenal di sana adalah Watu Sasapuan. Area ini adalah batu tempat berembuk para Tonaas dan Walian sebelum tuju Watu Pinawetengan. Sasapuan sering disebut-sebut karena pada sekitar tahun 1600-an ada orang bertubuh kekar besar beritual di sana, namanya Retor, atau Tarumetor.

Nama Tarumetor dipahat pada relief Perang Tondano Pertama, dikenal sebagai Parepei. Di Watu Sasapuan tak ada teks. Watu itu berada pada gugus serancang astrolog ‘beruang besar’ di kawasan Welong – Samberong. Pada dua lokasi itu ada sumber mata air panas dan air dingin, keduanya meliar di antara pepohon, melintas belantara rumbia, bermuara di danau Tondano. Di sekitar Welong, ada Watu Kadera, Watu Meja, dan Watu Loyang.

37740337_10213547685458986_2621816718023983104_o

Monumen Moraya (Foto: Daniel Kaligis)

Kami bercerita pula tentang Goa Rinembok, di sana gelombang telaga menghambur ke dalam gua membentur dinding tanah batu, memberi suara seperti dengkur babi, yang dalam bahasa tua ne tou Kawatuan disebut marembok.

Di media online, saya dan Rio bicara tentang Watu Sinu’i. Kenang legenda para Waraney menghalau sepasang Mapupuis di batas selatan antara Remboken-Paso, Kakas. Lokasi itu kemudian dikenal sebagai wanua Sinuian, yang berarti para Waraney membalik keadaan, membantai pengayau. Mapupuis yakni pemenggal kepala manusia yang ingin masuk Remboken untuk mengayau, mencari kepala, justru kepala Mapupuis itu yang tertinggal di batas wanua.

Di Remboken ada Waruga dan tutup Waruga misterius di bekas gudang kopi VOC.

Apa itu Waruga? Terminologi Minahasa yang berarti ‘kubur batu’ tempat simpan jazad – atau entah apa definisi yang ditera para ahli, bahasa lainnya menyebut sarkofagus. Tutup Waruga misterius itu pula kami bahas.

Dari kisah-kisah itu obrolan kami mengunjing, siapa dan seperti apa pendahulu di Kawatuan. Nama, ditera sejarah, kadang tanpa penjelasan, namun dapat dicarikan value-nya.

SEMASA KECIL saya pernah diajak ayah ke Palamba, tahun 1980-an waktu itu. Di mata saya ketika datang ke sana, Palamba pemukiman kuno vis a vis pantai Rumbia. Tiba di sana, batu penanda Toar-Lumimuut diwarugakan, belum lama ditemukan.

Tak banyak data saya peroleh di sana. Hanya yang ada dalam ingatan yang direkam kembali. Berkunjung ke Palamba juga hanya sekali itu saja, tak pernah ke sana lagi hingga hari ini. Kejadian itu sudah lama berlalu, puluhan tahun lewat.

Ada sedikit kisah membekas.

Di sana, di Palamba. Di rentang waktu panjang abad 13, perang urung berhenti. Perompak Moro dan bajak laut merajalela. Mereka masuk dari seberang samudera dan pulau-pulau menyasar pedagang di pesisir Bentenan, Mandolang, Rumbia. Dan sekitar tahun 1450-1500 Palamba adalah salah satu ladang perang. Para Waraney enggan angkat kaki dari sana, mereka-lah penempur gagah berani dari zaman Neolit yang hidup turun-temurun mengusahakan tanahnya di seputar rimba Topinesang, Soputan, Manimporok, Kelelondey, Papalumpungan.

Gambaran Waruga di batas kampung Palamba dari arah kampung Wiau jadi samar dalam ingatan hari ini. Di sana kami beralan melintas kampung, mampir di rumah Hukum Tua Sumual untuk menanya tanah warisan leluhur. Hanya bertanya dan ingin melihat lokasinya saja, tak lebih.

Ingatan yang tak utuh. Tugu meninggi bertopi, berbagai bentuk. Memang harus datang lagi ke Palamba, lalu melihat modelnya. Gambarannya hanya dapat saya lihat dari gambar-gambar dari internet, salah satu foto di situs Bodewyn Talumewo.

Padahal, pada peta peradaban dunia, Waruga sudah dikenal sejak zaman Megalithikum. Namun di Minahasa, Waruga nanti dikenal sekitar tahun 1700-1800, dan ada sampai terbit larangan dari pemerintahan Belanda, tahun 1860-an. Dengan berbagai alasan, antara lain menyebarnya berbagai bibit penyakit yang diduga bersumber dari celah batu Waruga yang berada di atas tanah, sehingga dibuat aturan mengubur mayat dalam tanah.

37672598_10213547701859396_8189661245083746304_n

MAPALUS Mera-Waruga Mawale, Tonaas Rinto & Waraney Wuaya, dengan HukumTua Kolongan Kalawat, Minawanua Watukuse Kolongan Kalawat, 11-03-2012 (Foto: Charlie Boy Samola)

SEKALI WAKTU di era 2.000-an, saya dan beberapa teman melakukan praksis pemetaan partisipatif salah satu titiknya di Kawangkoan-Airmadidi, utara Minahasa. Jika tidak salah, ketika itu Kawangkoan masih sekecamatan dengan Airmadidi, kemudian pada 2004 mekar bersama Kalawat.

Nah, di sana, dari kediaman kawan Hence Rotinsulu, pada saat pemetaan itu saya melihat Waruga. Ada bangunan Waruga menonjol tak menjejak tanah karena didorong beringin yang tumbuh dari bawahnya, batang dan carang beringin mendongkrak bongkah Waruga ke atas. Ada banyak Waruga di area itu.

Waruga Kawangkoan tercatat pada situs Kemendikbud, dipublikasikan tahun 1999 oleh Balai Arkeologi Manado. Entah sekarang masih ditemukan situs itu karena beredar kabar ada proyek waduk Kuwil-Kawangkoan menggeser Waruga di sana.

Medio 2008, di Sulawesi Utara pernah diadakan Seminar Waruga, kerjasama Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi dan Pakasaan Tombulu. Di sana, saya berbincang dengan DR. Ivan R. B. Kaunang tentang penanda budaya.

“Sebelum seminar, sudah ada yang bertanya, apakah Waruga itu sebagai penanda budaya,” kata Ivan. Dan dalam pada itu, kita sepakat, Waruga salah satu penanda budaya.

Pada seminar itu, saya menggarisbawahi makalah Drs. Fendy E.W. Parengkuan, “Waruga Sebagai Penanda Budaya Minahasa.” Saya mengutip sesuatu dari Parengkuan: “Tidak ada satupun Waruga sama, seperti halnya tak ada seorang pun yang sama dan sebangun. Waruga sebagai sebuah fenomena budaya masih terselubung kabut misteri kapan munculnya serta bilamana dan mengapa ia tiba-tiba lenyap dari tradisi Minahasa.”

ZIARAH BUDAYA yang dilakukan saban tahun dalam kurun berapa tahun terakhir oleh gerakan Mawale, menjangkau beberapa situs Waruga di tanah Minahasa. Dicatat, dicari nilainya, didiskusikan, menjadi bahan ajar sekolah Mawale.

Waruga atau makam batu sesungguhnya tak selalu berbahan batu, ada juga yang dibuat dari campuran logam dan ada di banyak tempat di bumi. Pada peradaban tua di Mesir, ada Waruga yang dilapisi emas.

Di Indonesia, Waruga ada di Sulawesi, di kepulauan Maluku, di Bali, di Nusa Tenggara, di Jawa, di Sumatera, di Kalimantan dan di beberapa lokasi lain. Di Pulau Samosir, Sumatera Utara, Waruga oleh referensi lain dibahasakan Sarkofagus disebut Podom atau Parholian, maknanya adalah tempat jazad mati atau tulang-belulang.

Lisung dan alu batu, tempat duduk batu, meja batu, pisau batu, rumah batu, kubur batu bersusun dengan motif khas. Situs lisung dan alu batu, setahu saya ada di Kinamang, Minahasa Selatan.

Meja batu, kursi batu, loyang batu sudah lihat langsung di banyak tempat, salah satu yang saya sebut di atas, di seputaran perkebunan Welong-Samberong. Pisau batu pernah saya lihat pada suatu ritual di rumah panggung tua Paslaten-Remboken.

Perkara Waruga

Saya membaca berita Waruga di Tribunnews: Pemerintah Provinsi lewat Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara menegaskan yang mana mereka sudah mengambil langkah tepat untuk relokasi Waruga menghindari dampak pembangunan waduk Kuwil, di Minahasa Utara. Kemudian, Balai Sungai Sulawesi Utara sebagai Satuan Kerja Pelaksana Pembangunan telah sepakat menyiapkan lahan untuk relokasi. Sejak dimulai pembangunan bendungan pada tahun 2016, pemerintah telah membentukan tim Makasiou yang ditetapkan oleh tokoh masyarakat dan tokoh adat Minahasa raya.

Pembentukan tim Makasiou digelar di Kantor Hukum Tua Desa Kawangkoan. Jumlah Waruga yang direlokasi 47 buah dengan cara adat sesuai permintaan organisasi adat yang hadir waktu itu.

Kepala Dinas Kebudayaan, Ferry Sangian, di Tribunnews, Selasa, 31 Juli 2018, menyebut, bahwa masyarakat adat di sekitar area pembangunan bendungan tidak keberatan pelaksanaan pembangunan di lokasi yang ada Waruga. Mereka yang tidak keberatan meminta Pemerintah Povinsi dan Balai Sungai sama-sama mengawal tahapan pembangunan bendungan sampai selesai.

Obrol punya omong, Waruga rusak dan pecah, diduga dijarah isinya. Atau rusak ketika proses pindah, ada prosedur terabai. Pemindahan melibatkan arkeolog, dan diawasi katanya. Tajuk itu sudah dingin sekarang.

Waruga ada di mana-mana, walau selalu unik di lokasinya masing-masing. Salah satu ciri yang saya sebut di atas mencirikan Hoabinhian.

Sebelum lanjut, dari sini menjalar tanya: ‘Mungkinkah kita kembali ke masa silam? Mengejar mencari tiada? Boleh jawab masing-masing. Karena kita punya view beda. Kita punya alasan sendiri-sendiri. Hanya, apa yang sudah punah, sudah pasti tidak pernah akan kembali, karena peradaban selalu bergantung pada ‘perubahan’ dan ‘baru’, sebab sesuatu yang abadi di semesta hanyalah perubahan.

Tanya berikut: Apakah benar peradaban di tanah kita pernah melewati masa Hoabinhian? Kebudayaan Hoabinhian merujuk kepada satu industri peralatan batu kerikil (pebble) yang diserpih pada satu atau dua sisi permukaan batu tersebut. Kebudayaan Hoabinhian dikenali sebagai kebudayaan hunters and gathers.

Defenisi ‘hunters and gathers’ diberikan ahli kongres arkeologi selepas Medelline Coloni memperkenalkan istilah Hoabinhian buat kali pertama pada tahun 1932 dalam persidangan ‘Kongres Ahli Arkeologi Timur Jauh’. Hoabinhian dikenali sebagai zaman Mesolitik di Eropah. Istilah itu saya salin dari situs Course Hero.

Dan, misteri itu ada dalam tanya. Menurut catatan, barang kerajianan Hoabinhian berkembang luas terutama di Semenanjung Malaysia dan di bagian Timur Laut Sumatera.

Katanya, kerajinan model seperti itu tidak ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia. Apakah penelitian tentang Hoabinhian belum lengkap? Sesuatu yang unik tak selamanya klasik, sesuatu penemuan tak selamanya baru! Lisung dan alu batu itu produk Hoabinhian. Sudah sempat disinggung di paragraf di atas.

Thailand, Vietnam dan Myanmar kaya situs Hoabinhian. Saya pernah memasuki beberapa situs di Asia, melihat artefak-nya, beberapa memiliki ciri sama, walau tidak persis seperti yang ada di tanah leluhur saya di Minahasa. Bedanya, artefak di sana dirawat dan dijadikan sesuatu yang menghasilkan uang.

Di ruang kita, artefak budaya kadang dianggap mengandung setan-setan. Silakan tertawa pada kenyataan ini: Petinggi dan wakil-wakil kita melancong ke luar negeri lalu bangga mengambil foto di situs-situs negeri seberang, walau di tanah leluhurnya situs-situs itu terkadang dianggap berhala.

Tercatat, sejak era 1970-an Waruga sudah dijarah pemburu harta karun, siapa peduli? Jika hari ini mata pembangunanisme tak mampu memetakan situs budaya, maka semua identitas akan ditendang atas nama pembangunan dan proyek.

Kisah Tutur dari Ndano-Paso Rendaina

Coba menguak cerita dari kampung sendiri. Gudang Kopi dengan tutup Waruga depan tangga bangunan yang kemudian dikenal sebagai gedung SD GMIM 1 Talikuran, Remboken, mengingatkan kejayaan kopi Minahasa di masa Kompeni Belanda. Kini situs itu telah hilang.

Walau ada yang hilang, jangan sampai hilang mata air. Ndano-Paso Rendaina adalah lokasi yang elok. Hutan rumbia, di bagian selatannya ada rawah yang disebut Rewo. Sekitar lima puluh meter dari situ ke arah hulu, dua aliran air dingin dan air panas bersua.

Di musim kemarau, air bening mengalir dari mata air Rendaina. Pertemuan dua alir dingin-panas menghanyutkan air panas dari utara dari mata air Welong dan Samberang melalui saluran yang sisinya katanaan yang lembab basah. Alir dingin berasal dari mata air Kulo di Parepei, melewati petak-petak sawah, mata air-mata air yang tersebar di Rano Oki, Seseperan, berbaur di Rendaina hanyat di Wowolean menuju telaga Tondano.

Musim hujan, Rendaina biasanya ramai.

Para pemancing ikan berjudi keberuntungan. Ikan-ikan dari telaga melawan deras mencari hulu, memakan umpan cacing terkait mata kail di alat pancing, lalu tiba di tangan pemancing. Kaki-kaki berlumpur, ketika senja turun dan hampir gelap, orang-orang berendam di Rendaina.

Ada batang rumbia direbah dan di beri lobang pada ujung, tengah, dan pangkal batang itu, ditusuk bambu masuk dalam lumpur agar batang rumbia yang disebut nibong itu tidak hanyut dibawa alir kuala. Di batang itu orang-orang duduk membasuh badan, menggosok kaki mengenyah lumpur dan daki.

Bila saat sepi datang di Rendaina, anda dapat melihat bongkah-bongkah lumut hijau tua menempel di akar tanaman dan dinding-dinding tanah di dasar dan dinding mata air, juga di sepanjang saluran menuju pembuangan Wowolean. Rumput-rumput air, di sana rumput itu dibilang parasinen dan sarawet, tumbuh liar di sekitar Rendaina.

Parasinen hampir sama dengan rumput gajah, sering dipanen untuk makanan kuda dan sapi. Sama dengan sarawet, hanya daun rumput sarawet lancip memanjang, sisi-sisinya tajam, bila tak hati-hati dapat melukai kaki tangan dan badan, sarawet juga dimakan ternak kuda, sapi. Di rumput-rumput dan tanah pula lumpur, bekas pembungkus sabun, bekas bungkus shampoh, plastik-plastik, dan materi kertas berserakan.

Dekat Rendaina ada dua mata air, di sebut Ujung. Pancuran bambu diselip di pematang, batas mata air supaya air terkumpul tidak menyebar. Ini tempat orang-orang kampung menimba air panas sejak zaman lampau. Mata air yang tidak pernah kering. Tempat ini ramai sampai tahun 1990-an, kemudian PDAM membangun jaringan dari mata air Kering, dan membaginya berbayar di rumah-rumah penduduk. Agak sepi, tapi warga dari utara, yaitu dusun Patalingaan, dusun Perum Thampaty, masih ada yang datang menimba di Ujung.

Terminologi Rendaina ada di dialek tua Remboken. Diterjemahkan bebas sebagai ‘lurusnya’, atau ‘lurus ke arah yang ditunjuk’.

Waktu kelas satu sekolah menengah pertama, kami sering mandi di Rendaina. Jemmy, Army, Audi, Yan, dan saya. Kami berenang dalam air mengikut arus dari hulu dekat pertemuan air dingin-panas. Bertaruh siapa lebih jauh menyelam ke arah belokan Wowolean. Kalau ada yang menyelam, kawan lain mengamati dari tepi. Ada saat ramai-ramai menyelam menyusur alir sungai, berlomba siapa paling jauh jarak tempuhnya di dalam air tanpa mengangkat kepala mengambil nafas. Biasanya, dalam waktu kurang dari satu menit, pada jarak dua tiga mater sebelum kelok sungai, kepala-kepala sudah bermunculan di permukaan, kemudian berjalan ke tumpukan batu yang disusun berfungsi sebagai tangga naik-turun sungai.

Giliran Audi menyelam solo. Kami memperhatikan dari atas Audi melintas di air yang dasarnya tak rata, ada yang se-perut, ada yang se-leher, bahkan ada yang lebih dalam lagi. Audi mulai. Dia terkenal jago berenang, tangguh menyelam jauh, kuat menahan nafas. Gerakannya di bawah air terlihat pada debar air yang menggelombang oleh gerak tubuh dan dayungan kaki tangannya.

Mendekat enam meter dari belokan, empat meter mendekat, satu meter dekat batu. Ada sekitar dua tiga detik menunggu, lalu Audi keluar dari air. Telapak tangan kirinya menutup pelipis, telapak tangan kanannya menyeka air di wajah.

Hari Minggu saat itu. Audi kepalanya sobek menabrak batu di tangga turun Rendaina. Ia naik ke daratan, kepala berdarah. Yan mencari rumpu putih, gulma yang dikenal bernama bandotan berbunga putih mungil. Kemudian Yan mengucek rumpu putih ingin diberi ke pelipis Audi, dan Audi menolak. “Cari maletok,” katanya sambil meringis.

Tumbuhan maletok juga adalah obat herbal bagi luka baru. Di tempat lain di Minahasa rumput ini dikenal sebagai tenggara. Kawan lain sudah berhambur menuju rumah Audi. Ibunya Audi datang. “So itu ngana, hari Minggu nyanda maso greja cuma pigi bapontar, pigi kuala. Ngana rasa, sedap toh kapala picah,” teriak tante Ritje. Sepanjang jalan menuju rumah Audi diomeli habis-habisan oleh ibunya.

Ada dua hari tidak muncul di sekolah, pada Rabu Audi muncul, kepalanya diperban melingkar. Dia tertawa lebar, saya ikut tertawa. Tidak kapok, setelah luka di pelipis Audi kering, kami main lagi ke Rendaina. Mata air yang deras jadi sungai itu selalu menarik didatangi. Mengingat hari-hari susah, atau saat-saat bahagia masa kecil yang tak pernah dapat didaur. Ingat kenakalan dan segala kekonyolan.

Mengingat Rendaina, seperti mengulang masa di mana berjalan empat lima kilometer seakan hanya sekejap.

Pergi ke kebun Pinontol, di kaki gunung Kesa’. Di sana saya dan Audi meniru gerakan-gerakan di film silat atau meniru gerakan yang dipelajari dari buku beladiri pemberian pamannya-nya Audi. Melatih berkelahi, dengan tangan kosong, atau menggunakan bilah bambu yang kami tebang dari rumpunnya.  Pilih bambu lurus, nyaman digenggam, dianggap sebagai toya atau cambuk. Gerakan dirembuk dulu, lalu berlatih gerak refleks. Terkadang kena pukulan dan menjerit kesakitan, mengira tongkat bambu akan melayang ke kepala, sudah menunduk ternyata sasarannya dialih ke perut. Jadi, bambu membentur kepala menunduk dan tangan yang menangkis.

Begitulah, selang berapa lama. Pulang sekolah, sesudah makan siang, berdua atau dengan kawan lain kami pergi ke kebun. Bermain, berlatih, bekerja jika ada yang dipesan dari orang tua kami untuk dilakukan di kebun. Pulang membawa buah, jagung, lidi daun aren, dan lain-lain. Mampir mandi di Rendaina, lalu kembali ke rumah jelang malam.

Kami – Audi dan saya terpisah ketika saya pindah sekolah di luar daerah, beberapa bulan setelah kenaikan kelas. Lama tidak ada kabar. SMA saya di Jakarta. Waktu kuliah kembali di Manado. Kerap saya menanyakan pada teman di kampung perihal Audi. Dapat kabar dia kerja di perusahaan penebangan kayu di daerah Maluku. Katanya, di sana dia meninggal sebab kena malaria.

Pamannya Audi namanya Notji, dia pernah melatih silat. Pernah menjadi Mandor pasar. Sekali waktu di tahun 1990-an, karena berselisih paham, Notji berkelahi dengan lelaki tetangganya. Sama-sama berani, lawan tanding Notji jauh lebih muda bersenjata parang. Orang-orang di kampung Paslaten dan Talikuran menonton perkelahian itu. Belum ada yang berani melerai, yang berkelahi sudah dipengaruhi captikus. Hingga Jep – lelaki tetangga yang jadi lawan Notji menebas, Notji menangkis. Kelingking dan jari manis Notji jatuh di lantai rumah. Jep menjauh dan lari. Dengan kendaraan orang-orang membawa Notjii ke R.S. Bethesda di Tomohon.

Saya akrab dengan oom Notji. Dulu, sering bersua di Rendaina. Dia berkisah pengalaman masa remajanya di Jakarta. Ayahnya Notji namanya opa Renz Mantik. Di masa muda, opa Renz adalah penari Kabasaran di kampung Paslaten. Rendaina juga adalah tempat paling gampang untuk bersua dan ngobrol dengan opa Renz. Dia banyak menyimpan cerita tua Kabasaran dan kisah tutur Kawatuan. Kadang saya bertandang ke rumahnya. Saat itu datang ke opa Renz dengan Audi, atau saya ikut ayah yang punya keperluan dengan sang Opa itu.

Opa Renz sehat dan kuat, hingga usia 70-an masih terlihat pergi ke kebunnya di kaki gunung Kesa’. Ia kembali ke rumah manakala matahari miring di langit barat, sambil memikul hasil kebun, atau mendorong gerobak berisi berbagai panen. Di Rendaina itu saya ngobrol tentang Waruga dengan opa Renz.

Orang-orang tua mengenal Rendaina sebagai permandian ndano-paso. Nah, ndano paso artinya air panas.

Di Remboken ada sejumlah permandian ndano-paso. Paling banyak ada di wanua Leleko: Sawa, adalah permandian berdekatan dengan Sumaru Endo, di sebut Sawa merujuk pada ular Sawa atau Phyton. Berikutnya Kelembahuan, ada dalam lokasi Sumaru Endo, kemudian Kering, Wolo Wangko, Wolo Oki, Bak, Pancurang, dan Wale Wangko.

Opa Kasenda di Leleko, pernah bercerita di permandian ndano-paso Rendaina sekitar taon 1980 tentang Gudang Kopi GMIM 1: “Waktu kai masekolah-pe, kai sempat limoho rookos ni Ramokion wana mbale-sela ntawi Gudang Kopi.” – Ketika bersekolah dulu, kami pernah melihat kepala Ramokion di rumah besar dekat Gudang Kopi.

Begitu kiranya kisah opa Kasenda mengenai Gudang Kopi VOC dan pertalian dengan tutur tetua tentang perang Minaesa dengan kerajaan Bolaang Mongondouw, di mana Retor, Waraney Remboken – mengalahkan Ramokion, sang Panglima Perang Bolaangmongondouw, dan Retor membawa kepala si Ramokion ke Remboken. Oleh para walak kepalanya ditaruh di rumah besar dekat Gudang Kopi VOC, Tihimu, Remboken.

Kabarnya, kepala Ramokion dipindah ke Loji Langowan, dan pada Perang Dunia Kedua, Loji itu dibom Dai-Nippon Teikoku Kaigun Kōkū-tai – lengan pasukan udara Angkatan Laut Jepang pada Perang Dunia Kedua. Organisasi ini bertanggungjawab terhadap operasi pesawat angkatan laut dan mengadakan serangan-serang tempur udara pada Perang Pasifik.

TENTANG RAMOKION, ada catatan menyebut namanya Ramokian, dengan versi cerita berbeda. Historische verhalen en Legenden van de Minahasa, halaman 281 – tahun 1916, ditulis J.E. Jasper, menyebut, Perang Pertama Minahasa Bolaang Mongondouw terjadi tahun 1606.

Saat itu orang-orang Bolaang Mongondow di bawah kepemimpinan Ramokian – anak Rama Polei, dengan iparnya Panulogon, kalah dalam perang di Langowan. Mereka meminta bantuan Bolaang dan menyerang negeri Kakas dan Toudano. Namun kepala walak Dotu Gerungan dari Toudano dan Dotu Wengkang dari Kakas memukul mundur musuh sampai di Mangket (sekarang wilayah Kombi), dekat negeri Makalisung – Tondano.

Ketika kabar didengar di Remboken tentang serangan atas Kakas dan Tondano maka kepala walak Tarumetor, anak tiri Kaät – kepala walak Tountemboan, bersama Kambil, Pakele, Sumojop, Kawengian, Koagouw, Sumarauw, Kowaas, dan Sendouw berangkat menyerang Mangket di mana laskar Bolaang telah membangun kubu pertahanan di sana. Terjadi pertempuran, depan pintu benteng yang dibangun Bolaang, Tarumetor menusuk mati Ramokian. Dalam benteng, Panulogon juga terbunuh. Pedang Ramokian disimpan di Remboken.

Sejauh ini saya tidak menemukan cerita tutur atau pun catatan serupa di Remboken mengenai pedang Ramokion atau Ramokian seperti yang disebut dalam buku J.E. Jasper. Saya cenderung percaya tutur Opa Kasenda, sebab bukan cuma Opa Kasenda yang menyebut – dulu – kepala Ramokion disimpan rumah besar dekat Gudang Kopi VOC, lalu di pindah ke Loji Langowan ketika Perang Dunia Kedua. Ada Koagouw yang menyebut, berikutnya Kindangen dan Tumembouw.

Tinggal obrolan beberapa orang, kenang leluhur, Waruga, situs kampung, memanas bila disinggung. Lalu mendekam dalam badai angin musim yang terus berganti membawa ‘baru’.

KISAH TERTIMBUN cerita. Hari ini menjadi catatan untuk besok, entah dicatat, entah dikenang, entah diabaikan. Apakah orang Minahasa masih menyimpan penggalan-penggalan kisah itu?

Sedari bocah, saya sudah melihat tutup Waruga di depan tangga SD GMIM 1 Remboken – Ex Gudang Kopi VOC. Itulah mengapa saya menyebut misteri yang oleh mata dunia melihatnya, tapi kita sendiri masih mengharap ‘baru’ dari seberang lautan datang menyapa bersama modernism. Tutup Waruga di depan tangga SD. GMIM I Remboken itu pun sudah lenyap diterjang ‘baru’.

Bila sempat, kembali pada rindu. Kisah lama sudah diterbangkan visi-visi ajaib, pergulatan politik dan semacam lupa akut.

DARI DERMAGA Than Thien tuju Wat Arunratchawararam Ratchaworamavihara, di buritan saya melamun, membaca rilis Mawale 2011, dikirim teman ke e-mail saya. Pada poin tiga menyebut: “Meminta kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, dan kepada Pemerintah Kabupaten Minahasa untuk membuat program yang dapat tumbuhkan kesadaran masyarakat agar mencinta warisan budaya leluhur.”

Interupsi seperti sepi, dan tak ada gerakan berarti dari pemangku kepentingan di daerah. Kabasaran – menurut kabar – pada pemerintahan yang lalu pernah dilarang meramaikan acara daerah di Minahasa karena dianggap terpengaruh sihir dan okultisme.

Di Than Thien menuju Wat Arunratchawararam Ratchaworamavihara. Di sana, saya menulis Wanua Ure, sajak lama dalam kenang: “Menggambar awan langit gelombang, pucuk belantara Grasberg dihalau typhoon, North Pacific nan biru.” Bait berikutnya: “Musim bercinta, sepasang angsa melintas Silverlake, sajakmu menjelma hujan, luruh di front of Fahrenheitsuites.” Hanya sajak, merekam musim beringas memangsa identitas.

Situs dan Apa itu Kedaulatan Adat?

Apa sisa di Minahasa? Sisa apa di kampung? Kopi Wangker, hutan Masarang, Seho, Minahasa Koya dan lain-lain hanya akan tinggal memori bila tak dibangkitkan. Padahal, peta kopi dunia yang dibuat Amerika dan ditulis dalam bahasa Jepang merujuk dua lokasi terrekomendasi bagi kopi, Minahasa dan Enrekang. Berikutnya batu-batu, Waruga, atau mata air yang kini amat sering lebih dikenang menjelma banjir membumi, menjadi ada saban tahun.

Kita kaya situs, pula kaya mimpi-mimpi belum jadi realita. Situs adalah kekayaan di depan mata yang enggan kita petakan. Itulah identitas kita.

Bagi saya, kemewahan itu sederhana di tanah leluhur. Memetik gitar seraya menikmati angin sore yang singgah bersama tembang tua, Esa Mokan Genangku Wia Nikow.

Genang itu kenangan, satu sloki sopi, lalu sloki berikutnya memacu nyali, beranilah kita bernyanyi tentang awan-awan, tentang gunung-gunung yang semakin tandus. Ladang dan sawah pula sungai, lautan masih elok, juga telaga meski ditebari eceng gondok. Surga kita hari ini, di sana, di ruang-ruang hati yang damai.

Tentang kalimat pembuka di atas, kita tak akan pernah sepakat, tapi kita selalu punya beberapa persamaan dan memberinya tanda: identitas. Langit pagi berawan di atas Chao Phraya River, seperti mengeja nama kawan di kampung halaman. Berapa ketika silam di depan Fahrenheit lagu romansa mengalun pelan sekali: Opo wana natase, temboney se mengale-ngale.

Manusia membangun peradaban, lalu ada semacam tangan merontokkannya dari buah-buah pohon pemikiran: Pembangunan, entah tanpa identitas. Tata ruang, entah di mana dokumennya dan di mana studi kelayakannya. Uang terbakar upacara gunting pita, lalu bencana tiba dan kita mendoakan setan-setan petaka, mengakrabinya dalam mimpi-mimpi sunyi yang tidak diketahui siapa pun.

Di masa lalu, bajak laut menyerbu pesisir Bentenan, Mandolang, Rumbia, dan Palamba dari samudera, apa disasar? Portugis, Spanyol, Belanda, pendaratan di Kema, Perang Tondano, apa yang mereka cari di wanua kita? Kekayaan kita? Entah! Itu juga yang saya diskusikan dengan Rio. Desember 2018 silam duduk berhadapan, masih berbincang dan tanya belum terjawab: Pembangunan, entah tanpa identitas. Atau segala sesuatu sudah diberhalakan untuk mengusir kedaulatan adat atas sumberdaya?

Silakan baca regulasi tentang perlindungan adat di negeri ini, dan anda punya asumsi masing-masing untuk menafsirnya.

Hari ini pembangunanisme modernisme menyerang ‘peta’ kita, entah kita punya materi sebagai bargaining power and negotiation tactics menjawab peradaban itu: silakan jawab masing-masing apa yang disasar dan apa yang masih tersisa pada kita sebagai misteri sebuah identitas. (*)


Editor: Denni Pinontoan


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *