FEATURE
Seandainya Saya Fans Manchester United
Published
6 years agoon
By
philipsmarx11 Maret 2019
Oleh: Mahfud Ikhwan
Buruknya Manchester United pasca-Fergie adalah hilangnya sosok seperti Cantona atau Keane di dalam tim. Musim 2010-2011 bisa jadi pelajaran.
1/
Teman baik saya, Darmanto Simaepa, adalah seorang Mancunian yang gigih. Oleh karena itu, tak seperti saya dan seorang lain pecinta Munchen (dan itu artinya pembenci United), ia tak terlalu antusias menunggu Hari Perhitungan itu: Sunderland vs MU; City vs QPR. Meskipun termasuk fans yang terlalu fanatik untuk ukuran seorang pembaca The Guardian, ia tampaknya masih cukup jernih untuk membuat penilaian bahwa di musim 2010-2011, MU bukan tim yang paling pantas untuk mendapatkan gelar liga ke-20-nya. Karena itu, ia terlambat menonton saat kick-off dimulai.
Tak ada yang berubah dari mimiknya saat ia dikabari bahwa MU telah unggul atas Sunderland di Stadium of Light, sementara City masih belum mencetak gol. Namun, ia juga tak memberi reaksi apa-apa saat Zabaletta membuat gol pertama untuk City pada pengujung babak pertama di Etihad. Ia balik lagi ke kamarnya untuk memenuhi panggilan akademiknya—mungkin, lebih tepatnya, menyembunyikan diri dari kenyataan.
Dan ia tak kembali ke depan layar televisi saat kick-off babak kedua; saya pun terlambat mengembalikan saluran, sehingga melewatkan gol Cisse—gol yang memberi harapan kepada jutaan penggemar United di seluruh dunia sekaligus membuat kecut para pembencinya. Usai Mackie membuat gol mengejutkan, yang membuat QPR akan mendapatkan tiga poin pertamanya (dan terakhir) di kandang lawan musim ini dan, sebaliknya, City kehilangan poin tiga di kandang untuk pertama kalinya sekaligus sangat mungkin gelar juaranya, sang Mancunian yang sudah berhenti berharap itu kembali ke depan televisi.
“Ada SMS, katanya 1-1,” katanya dengan menyeringai.
Ia melonjak ketika melihat grafik skor di pojok kanan atas malah sudah menunjukkan angka 1-2. Keajaiban di menit-menit terakhir yang pernah direngkuh MU di Camp Nou tahun 1999 tampaknya membayang di pelupuknya. Bayangan yang sama pula menghantui saya dan—terutama—penggemar Munchen di sebelah saya. Joleon Lescott akan memukul-mukul lapangan dengan wajah banjir tangisan, sebagaimana sebelumnya Samuel Kuffour melakukannya. Si Munchen itu bahkan agak terlalu jauh dengan mengatakan, kini tugas Mancini bukan hanya memenangkan gelar liga Inggris petamanya, tapi juga menyelamatkan nyawa Lescott.
Sepuluh menit terakhir Liga Inggris musim 2010-2011 adalah neraka bagi para pembenci United, apalagi jika di depan anda ada yang siap-siap merayakan pesta. Sembari tertawa mengejek untuk setiap peluang City yang gagal, juga tepisan Paddy Kenny yang malam itu tiba-tiba tampak seperti Gianluigi Buffon, Si Mancunian itu sudah mulai mengoceh tentang tulisan yang akan dibikinnya jika United juara.
Tapi, tentu saja, sebagai seorang “pengamat sepakbola yang tinggal di Leiden” —begitu label yang didapatnya saat itu— ia tak kehilangan kejujurannya bahwa City adalah tim yang paling layak juara, lebih dari tim mana pun di Liga Inggris.
Jika City gagal jadi juara, maka “ketidakadilan sepakbola” yang kedua setelah gagalnya Barca ke final Liga Champions akan terulang kembali. Karena itu, sembari menertawakan sepakan-sepakan ke arah gawang pemain tengah City yang mulai ngawur, ia mempertanyakan tak adanya Kolarov di sisi kiri City. Juga terlambatnya Mancini memasukkan Dzeko dan Balotelli. Ketika Dzeko membuat gol penyama kedudukan pada menit ke-91, ia memujinya sebagai buah kerja keras. Tapi, sekali lagi, ia mengkritik Mancini yang terlambat ambil keputusan, terutama untuk mamasukkan Balotelli.
Tak peduli dengan pendukung MU yang mulai kuatir itu (kecuali bahwa ia akan membanting benda di depannya jika gol ketiga City terjadi), saya dan si pendukung Munchen kembali bersemangat.
Seakan para pemain City ikut duduk bersama kami di depan TV, kami ingatkan kepada mereka bahwa gelar terhebat United didapatkan lewat dua gol telat. Jadi, itu mungkin juga satu-satunya cara untuk memberi “kekalahan paling telak dalam dekade ini” bagi United. Ketika dua menit kemudian sodoran Balotelli sembari menjatuhkan diri mencapai kaki Aguero, lalu dengan dua sentuhan, nama terakhir itu menghantamkan bola ke arah tiang dekat QPR, dan gol. Saya meledak, meneriakkan salah satu teriakan “gol!!!” paling keras yang pernah saya lakukan— yang jelas lebih keras dibanding saat merayakan gol hebat Cristian Gonzales ke gawang Filipina langsung di Senayan. Gol yang berhasil mengantarkan Indonesia menuju final Piala AFF di tahun 2010.
Sang Mancunian terdiam sebentar, untuk kemudian manggut-manggut dan memberi tepuk tangan kecil bagi gelar Liga City yang ketiga. “Bagus, bagus,” katanya.
2/
Seandainya saya fans United, tepuk tangan kecil pasti akan saya berikan di akhir pertandingan itu. Untuk gelar City yang ketiga, dan tentu untuk tim saya, United, yang kehilangan gelar hanya oleh selisih gol. Tapi, terutama, untuk “hal-hal baik” (dalam bahasa agamanya biasa disebut hikmah) yang mungkin akan muncul usai musim tanpa gelar ini.
Kalau saya fans United, saya paling tidak memiliki tiga hal yang patut disyukuri atas gagalnya gelar Liga ke-20 United ini.
Pertama, United terhindar dari gelar yang tak seharusnya diraih. Menang meski bermain buruk atau mendapatkan gelar walau dengan performa amburadul biasanya menjadi ciri tim-tim dengan tradiri juara. Mental kuat, arogansi, dan kepercayaan diri seringkali mengalahkan teknik dan taktik—itu sulit dibantah. Brazil 1994, Jerman 1996, dan Italia 2006 adalah contohnya.
Juga, mungkin saja United 2010-11.
Tapi, jika saya fans United, saya tak akan mengijinkan itu terjadi lebih banyak, apalagi lebih sering, terjadi pada klub saya. Saya tak akan terlalu senang jika klub yang saya dukung memperoleh gelar lebih karena lawan kehabisan bensin, dilanda cedera pemain, apalagi sial. Ya, memang itu masih menjadi bagian dari sepakbola—jika mengutip Mou. Tapi, United bukanlah sekadar bagian dari sepakbola, tetapi bagian yang sangat istimewa dari sepakbola. Dan, Anda boleh katakan, hal istimewa tak boleh terlalu banyak dicampuri hal-hal biasa.
Kejar-kejaran angka dalam kompetisi tentu saja biasa dalam sepakbola. Kita menyaksikannya sepanjang tahun. Namun, menyalip rival dari ketinggalan lima angka untuk kemudian memimpin delapan lalu tersalip lagi bukanlah tabiat United. Jalan mereka untuk menjadi salah satu, kalau bukan yang nomor satu, klub Inggris Raya terbesar sepanjang masa bukan seperti itu. MU menjadi yang terhebat selama 20 tahun Liga Inggris terutama karena cara mereka merengkuh juara. Mengejar 12 angka dari Newcastle pada musim 1995-96 atau 8 angka dari Arsenal pada musim 2002-03 kemudian mengunci gelar, itulah trade mark United.
United adalah tempat keajaiban diciptakan, dan bukannya ditunggu.
Karena itu, jika saya fans United, saya akan sedih ketika mendengar Sir Alex, dengan sedikit melankolis (dan melupakan bahwa belum lama ini ada pertengkaran di antara mereka), mengharapkan Mark “Sparky” Hughes, bekas kaptennya yang kini menukangi QPR, membuat keajaiban di Etihad. Ya, ia dulu membuat keajaiban bersama Aberdeen saat mengalahkan Real Madrid di final UEFA Cup 1986. Tapi, sekali lagi, keajaiban itu dibuatnya sendiri, bukan diberikan oleh orang atau tim lain.
Setan (Merah) tak perlu mengharapkan nasib baik dari Tuhan, bukan?
Juga, kebesaran, gelar-gelar, kekaguman yang didulang United, paling tidak sejak pertama mereka mendapatkan piala bersama Fergie, selalu ditumpukan di atas pundak kokoh pemain-pemain dengan karakter hebat seperti Bryan Robson, Eric Cantona, atau Roy Keane, dan Vidic untuk yang terakhir. Karena itu, sedikit sulit membayangkan jika titel dan mental juara United akan ditentukan dan dipimpin oleh seorang pemain sayap yang larinya sempoyongan macam Ashley Young.
Ya, jika gol Mackie di Etihad tak berbalas dua, mungkin gelar akan digengam United. Tapi, di akhir musim, atas komentar pembelaannya terhadap Young, para kritikus MU mungkin akan mencari-cari hubungan —meski dengan ngawur— antara Fergie dan Moggi.
Kekalahan dua kali dari rival sekota, salah satunya dengan angka yang tak terbayangkan sebelumnya, boleh saja dianggap tak ada. Juga gol Wigan yang tak disahkan, penalti Fulham yang tak diberikan, penalti-penalti aneh yang diganjarkan pada QPR dan Villa (yang hampir saja mendepak keduanya dari EPL), ada baiknya lupakan saja. Tapi, disamai Everton 4-4 setelah memimpin dua gol, di Old Trafford lagi, menunjukkan hampir semuanya: tahun ini bukan waktunya United.
Kedua, Sir Alex akan bertahan lebih lama
Sebuah tulisan di The Guardian menyatakan bahwa kehancuran United akan menjelang segera. Sir Alex tak akan selamanya di bangku cadangan United, karena ia sudah begitu lama melakukannya. Dan, semua penggantinya, siapa pun dia, akan dihantui oleh sejarah kebesaran Sir Alex yang tampaknya hampir mustahil diulangi.
Hal ini terbukti dengan gagalnya David Moyes, dan tragedi yang menimpa Jose Mourinho baru-baru ini.
Tapi, jika saya fans United, saya akan bersyukur karena pergantian itu tak terjadi pada musim usai kekalahan sengit itu. Kekalahan dari City pada musim 2010-2011 adalah salah satu faktornya.
Jelas tak seperti Guardiola yang mundur dari Barcelona dan pergi melarikan diri selama setahun, Fergie bukan tipe yang akan mundur saat ia menderita kekalahan. Karena itu, United diberikannya 20 gelar Liga, 4 gelar Eropa, dan 2 juara dunia.
Sesumbarnya bahwa United tak akan belanja gila-gilaan sebagaimana City dan tetap mengedepankan pemain muda adalah psywar paling awal Fergie untuk musim depan. Itu bukti bahwa setelah dipermalukan City, Fergie tak ke mana-mana. Ia menerima tantangan Mancini, yang pernah disemprotnya, agar tak buru-buru meninggalkan Premier League.
Seandainya saya fans United, tentu saja melihat Fergie mengunyah permen karet di pinggir lapangan, semacam jadi jaminan kesuksesan. Sejauh ini, bertaruh atas United dengan Fergie berada di dalamnya tetaplah pertaruhan yang paling aman. Sebab, seperti yang sudah-sudah, para penerus Fergie tidak lebih dari gerobak nasi goreng yang hanya singgah sebentar. Hanya memuaskan lapar, tapi tanpa rasa, tanpa prestasi.
Kekalahan dari City di musim 2010-2011 juga menjadi awal dari reformasi untuk hadirnya gelandang elegan atau pemain berpengaruh di dalam tim. Bisa menengok bagaimana pada awal musim 1995-96, komentator sepakbola Alan Hansen, mencemooh skuad remaja United yang baru saja menjual para bintang berumurnya seperti Paul Ince, Andrei Kanchelskis, dan Mark Hughes.
“Anda tak akan memenangi apa pun dengan sekawanan bocah,” begitu kata Hansen.
Namun Fergie, dengan pemain macam Giggs, Beckham, Butt, Scholes, Neville bersaudara, menjawabnya dengan gelar juara, juara, dan gelar juara. Dan, sejak saat itu, United, bersama Ajax dan Barca, dianggap sebagai klub-klub teladan yang membangun tulang punggung timnya dari pemain binaan sendiri.
Tapi, yang mungkin banyak dilupakan oleh fans United, termasuk mungkin oleh Fergie sendiri, apa yang dikatakan Hansen ada benarnya. Selama berada di bawah asuhan Fergie, para bocah produk dari akademi di Carrington itu mungkin memenangkan gelar lebih banyak dibanding pemain-pemain akademi sepakbola manapun di dunia. Tapi, selama itu pula, di antara kerumunan kawanan bocah itu, Fergie, sengaja atau tidak, selalu menempatkan beberapa “pria matang” dengan karakter yang amat menonjol—dan yang pasti bukan produk Carrington.
Hal inilah yang tampaknya lalai dibenahi oleh United pasca-Fergie. Jika saya fans United, kegagalan pada musim 2010-2011 seharusnya jadi pelajaran dan pelecut.
Sembari sedikit mengesampingkan banyak gol para striker yang biasanya dibeli jadi oleh Fergie macam Andy Cole, Dwight York, Teddy Sheringham, Ole Sokjeaer, Van Nistelroy, hingga yang terakhir Rooney, paling tidak kita bisa tunjuk dua nama asing yang jadi tulang punggung United.
Eric Cantona untuk dekade pertama, kemudian Roy Keane di 10 tahun berikutnya. Pada King Eric, seorang lelaki berwajah pantai Mediteran namun memiliki mata ala istana Versailles, bocah-bocah binaan Fergie itu mendapatkan panutan dan juga pengatur serangan. Pada Keano, bekas petinju dari Cork itu, Beckham dan teman-teman memperoleh rasa aman, baik dalam arti sepakbola maupun dalam arti sesungguhnya. Hal yang sempat mereka temukan untuk sementara waktu di dalam sosok Paul Scholes dan Michael Carrick. Sayangnya, kedua orang tersebut tidak awet muda dan akhirnya pensiun setelah menyerah dengan umur.
Membeli pemain berpengaruh, sudah jadi, disegani, dengan harga sedikit mahal, sejatinya tak akan membuat United tampak seperti City. Namun, membeli Pogba yang masih labil dan egois dengan harga mahal, atau membeli Herrera yang pendiam dan cenderung terlihat penakut, justru adalah kesalahan fatal. Juga tentu saja, investasi yang buruk untuk tim.
3/
Sayangnya, saya bukan fans United, dan sepertinya tak akan bisa. Bahkan jika Andrei Kanchelskis dan Eric Cantona kembali ke Old Trafford sebagai pemain berusia 23. Bahkan jika Carrington menemukan formula kimia yang bisa membuat Giggs membelah diri menjadi lima dan tidak bisa tua.
Seperti yang pernah saya katakan, saya termasuk orang yang paling bahagia saat yang mengangkat tropi Liga Inggris di musim 2010-2011 bukanlah Evra melainkan Kompany. Rasanya, saya merayakan gelar juara City layaknya Indonesia meraih Piala Asia.
Karena itu, bagi United dan para fans mereka sesungguhnya, lupakan saja tiga “hikmah” versi fans United gadungan itu. Bolehlah itu dianggap olok-olok, meski itu cuma sedikit dari tujuan tulisan ini. Ya, saya pun berharap tiga hikmah itu tak pernah benar-benar diperhatikan oleh United dan para pendukungnya. Karena, menyenangkan melihat mereka menyesali kekalahan itu berlama-lama. Juga, pengalaman luar biasa ketika menemukan para penggemar United membuat teori konspirasi tentang dua gol telat di Etihad—sebab, selama ini, United-lah yang selalu jadi objek teori konspirasi.
Fergie telah pergi dan bagi saya tampak tidak ada harapan gelar juara Liga Inggris berikutnya akan segera mampir di Old Trafford. Keluarga Glazer memang sudah mengeluarkan uang. Atau menghambur-hamburkan lebih tepatnya. Sebab yang mereka lakukan bukannya menemukan Cantona atau Keane baru, tapi justru menemukan Bebe berikutnya.
Editor: Andre Barahamin