BERITA
Sebab-sebab Partisipasi Pemilih pada Pemilu Menurun
Published
6 years agoon
By
philipsmarx2 April 2019
Oleh Rikson Karundeng
kelung.com – Salah satu indikator suksesnya Pemilihan Umum (Pemilu) adalah tingkat partisipasi pemilih. Partisipasi pemilih pada setiap Pemilu pascaorde baru menunjukkan angka yang terus menurun. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, partisipasi pemilih hanya mencapai 69,58 persen dari yang ditargetkan sebesar 75 persen. Demikian halnya dengan partisipasi pemilih pada pemilu legislatif 2014 yang hanya mencapai 75,11 persen. Pada Pilpres 2009 partisipasi sebesar masih lebih tinggi, yaitu 71,17 persen.
Penuruan partisipasi pemilih pada setiap Pemilu pasca orde baru juga disebutkan dalam kesimpulan Riset Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2014 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerjasama Komisi Pemilihan Umum. Partisipasi politik rakyat dalam pemilihan umum (pemilu) di era reformasi sejak pemilu 1999 hingga pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung 2014 menunjukkan adanya penurunan yang cukup signifikan.
“Europhia demokrasi yang begitu membahana pada pemilu 1999 dan juga pilpres langsung pertama pada 2004 kini berganti dengan kejenuhan dan juga kelelahan politik rakyat,” demikian argumen yang disebutkan dalam laporan riset tersebut.
Mengenai fenomena ini, dibahas oleh Dr. Ferry Liando, Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNSRAT, ketika berbicara dalam “Konsolidasi Stakeholder, Penguatan Masyarakat Dalam Rangka Pengawasan Pemilu Tahun 2019 di Provinsi Sulawesi Utara” yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia, Rabu 20 Maret 2019, di Manado.
Menurut Liando, partisipasi menjadi salah satu instrumen kualitas pemilu. Menurut dia, adalah sebuah persoalan serius jika partisipasi pemilih diabaikan, meski persiapan penyelenggaraan sudah dilakukan dengan baik atau kesiapan pemerintah hingga aparat keamanan sudah baik. Sebabnya, subjek politik yang paling dominan dalam rangka pemilu itu adalah masyarakat.
Tentang definisi partisipasi dalam pemilu itu sendiri, menurut Liando paling kurang ada dua hal. Pertama, partisipasi dalam hal pemilih untuk datang ke TPS. Misalnya, pihak penyelenggaran memasang target partisipasi mesti mencapai 77,5 persen.
Kedua, partisipasi yang dimaksud dalam proses tahapan. Partisipasi itu menurutnya tidak hanya sebatas orang datang ke TPS. Partisipasi yang dimaksud adalah bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses seluruh tahapan.
“Bagaimana keterlibatan itu, apakah saudara terdaftar dalam DPT, apakah ada masyarakat yang melaporkan misalnya ada yang terlibat bagi-bagi uang, apakah ada laporan soal ASN (aparatur sipil negara) berpolitik praktis. Itu sebenarnya sudah bagian dari tahapan. Partisipasi kita masyarakat dalam setiap tahapan adalah keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahapan. Misalnya juga, melaporkan APK yang melanggar aturan,” papar Liando.
Lalu pertanyaan, kenapa partisipasi dalam proses pemilu masih menjadi persoalan? Kata Liando, itu karena beberapa sebab. Pertama, adalah soal motivasi. Biasanya, orang berpartisipasi terkait motivasi. Apakah partisipasinya memberikan dampak secara politik kepadanya atau tidak. Kalau sesuatu yang ia berikan, yang ia sumbangkan tidak memberikan dampak kepadanya, itu yang bikin orang itu enggan datang ke TPS.
Makanya dalam sejumlah kajian, mengapa orang golput, tidak datang ke TPS, itu karena ketidakyakinan mereka terhadap sistem, ketidakyakinan mereka terhadap penyelenggaraan, ketidakyakinan terhadap calon-calon yang sedang berkompetisi.
“Jadi mereka berpikir untuk apa ia datang ke TPS, toh walau ia datang dan menyalurkan hak suara, tidak akan mendatangkan perubahan,” jelas Liando.
Liando melanjukan, seorang pemilih memang akan berpikir untuk apa dia datang ke TPS. Para pemilih berpartisipasi dalam pemilu karena ada sesutau yang diharapkan. Ada feedback, ada umpan balik.
“Jadi orang tidak mau berpartisipasi karena tidak percaya kepada suatu sistem,” tandas Liando.
Kedua, partisipasi masyarakat dalam proses pemilu masih menjadi soal karena memang tidak diberikan penjelasan sehingga dia tidak tahu. Apa sebenarnya hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Karena kekurangpahamannya tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara itu yang menghambat dia untuk memberikan kontribusi dalam tahapan pemilu.
Sebab ketiga menurut Liando, soal akses. “KPU meminta masyarakat untuk berpartisipasi, Bawaslu minta masyarakat berpartisipasi tapi kalau masyarakat tidak diberikan akses, bagaimana ? Ada atau tidak cara yang yang diberikan pemerintah, oleh penyelenggara, oleh siap saja untuk memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat untuk berpartisipasi? Ini yang jadi kendala. Ada atau tidak aturan yang membuat masyarakat mudah berpartisipasi dalam tahapan pemilu?”
“Misalnya mau melaporkan soal penyalahgunaan jabatan atau penyalahgunaan bantuan sosial oleh aparat pemerintah, atau keterlibatn ASN dalam politik. Masyarakat tidak diberikan informasi kepada siapa dia akan mengadu, kepada siapa dia akan melapor,” urainya.
Sebab terakhir menurut Liando adalah soal umpan balik. Dia mencontohkan, Bawaslu memberikan kesempatan kepada masyarakat yang misalnya melihat dan mengetahui ada kegiatan kampanye melanggar aturan, memberikan uang, untuk melaporkan tentang pelanggaran kampanye. Namun aturan membatasi masyarakat untuk membawa laporan itu ke pihak yang berwenang.
“Selain dibatasi oleh aturan, misalnya lewat tujuh hari kasus, laporan sudah kadaluarsa, ketentuan syarat formil dan materil bagi pelapor itu juga tidak gampang. Kalau dalam aturan Bawaslu, untuk melengkapi sayarat formil dan syarat materil itu ke Bawaslu tidak gampang. Satu saja tidak terpenuhi, dianggap tidak memenuhi syarat,” paparnya.
Kata Liando, itu soal teknis administrasi. Belum lagi dengan materi. “Jadi masyarakat melapor tapi tidak ada umpan balik,” jelasnya.
Fakta, regulasi masih melemahkan warga. Misalnya masyarakat melaporkan ada orang yang melakukan kampanye di tempat ibadah atau ada orang berkampanye dengan membagi-bagikan barang di kampus. Undang-undang mengatakan, ‘barang siapa dengan sengaja membagi-bagikan barang atau uang…’
“Barang siap yang dengan sengaja. Bagaimana mau mengukur soal sengaja dan tidak sengaja. Adakah yang bisa dipakai sebagai ukuran sengaja dan tidak sengaja itu? Undang-undang bilang begitu. Ternyata untuk menemukan sengaja atau tidak sengaja itu adalah pelakunya. Masakkan ada penjahat mau mengaku kalau dia berbuat kejahatan. Mana ada pencuri mau mengaku dia pencuri,” kata Liando.
“Barang siap dengan sengaja. Kalau saya sengaja melempar seseorang dan saat di pengadilan saya mengaku, saya tidak sengaja. Itu refleks. Karena gerakan setan sehingga saya melakukan. Ini yang melemahkan,” sambungnya.
Masih soal “sengaja”. Subjek hukum, siapa pelakunya? Aturan mengatur, pelakunya hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye. “Kalau misalnya relawan membagi-bagikan sesuatu, lihat apakah relawan itu subjek hukum atau tidak? Saya peserta atau calon, kalau istri saya bagi-bagi uang, istri saya bukan subjek hukum karena istri saya bukan pelaksana, bukan calon, bukan tim kampanye,” terangnya.
Ditegaskan Liando, undang-undanglah yang justru bisa melemahkan. Ini yang membuat masyarakat apatis untuk berpartisipasi dalam pemilu. Ia berpikir, untuk apa melapor, toh tidak ada fakta. Saat malam ia ditelepon-telepon, diteror-teror. Tapi pelakunya tidak divonis juga.
“Ini yang saya katakan, ke depan masih banyak persoalan yang kita hadapi yang dibutuhkan penanganan. Persolan-peroalan yang masih membelenggu,” pungkasnya.
Pemilu Sukses Karena Peran Banyak Pihak
“Bagaimanapun kesuksesan itu tergantung dari sub sistem-sub sistem. Kalau sistem itu ada empat kaki, kaki-kaki itu yang disebut sub sistem. Kalau satu tidak berfungsi, yang lain tidak akan berfungsi,” tegasnya.
“Kita bekerja menurut bagian-bagian. Ini kan pesta. Pesta itu kerja bersama. Ada yang dikerjakan sendiri-sendiri tapi ada yang dikerjakan secara bersama. Yang dikerjakan bersama-sama misalnya membangun tenda, bikin kue, memasak. Dalam masyarakat kita itu harus dilakukan secara bersama-sama,” jelasnya.
Dalam penyelenggaraan pemilu, Bawaslu punya bagian-bagian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya bagian-bagian, pemerintah punya bagian-bagian, partai politik (parpol) punya bagian-bagian, masyarakat juga punya bagian-bagian.
“Bagaimana kalau Bawaslu itu hanya sendiri, tanpa ada peran pemerintah. Sementara pemerintah itu ditugaskan untuk supporting pendanaan, prasarana, personil dan lainnya. Ada peran penyelenggara yang bertugas melakukan sosialisasi tapi kalau juga Komisi Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia tidak ambil bagian di dalam, penyelenggaran pemilu tidak akan berjalan dengan baik,” terang Liando.
Pemilu jelas kerja sistem dan bukan hanya tanggung jawab dari para penyelenggara.
Di acara itu, kepada para peserta, perwakilan stakeholder pemilu, akademisi Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ini melempar tanya. Ketika pertama kali membuka pintu di hari itu, apa yang mereka lihat tentang pemilu sekarang?
Ia meyakini, mereka melihat banyak fenomena tentang pemilu hari ini. Banyak persoalan yang kini mendera tahapan pelaksanaan pemilu. Liando kemudian memulai dengan masalah regulasi pemilu. Menurutnya, waktu tak lagi sampai sebulan untuk melakukan pencoblosan tapi kita masih bersoal dengan regulasi.
“Kemarin, energi kita habis cuma karena masalah persepsi soal regulasi itu berbeda-beda. Jangankan kita sebagai awam, lembaga yang mengurus perundang-undangan saja berbeda pemahaman soal sebuah norma. Misalnya kemarin soal MK (Mahkamah Konstitusi) dan MA (Mahkamah Agung). Lembaga tinggi berbeda soal satu norma,” ungkapnya.
“Sekarang yang paling krusial, sementara diuji di MK soal kertas suara. Di pasal lain, satu sisi KPU bisa melayani pemilih pindahan tapi tidak dipikirkan fakta bahwa kertas suara ini hanya kelebihan dua persen di satu TPS (Tempat Pemungutan Suara). Kalau pemilih di TPS itu 300, dua persen berarti hanya enam kertas suara. Sementara pemilih yang belum terdata masih cukup tinggi. Belum lagi status pemilih khusus, tapi kertas suara cuma enam yang lebih di TPS,” bebernya.
Kertas suara yang hanya ditambah enam di TPS diyakini tak akan mungkin menjawab persoalan tersebut. Persoalan itu yang diajukan penyelenggara pemilu untuk dibahas di MK. Di sisi lain, daftar pemilih tambahan sudah ditutup tanggal 17 Maret 2019.
Persoalan kedua yang diulas adalah soal daftar pemilih. Dijelaskan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak mungkin terlepas dari peran pemerintah. “Untuk menetapkan data pemilih, tidak bisa dilepaskan dari pemerintah. Misalnya soal NIK (nomor induk kependudukan), soal KTP (kartu tanda penduduk). Apalagi sekarang di undang-undang kita, syarat terdaftar sebagai pemilih adalah e-KTP atau KTP elektronik. Sementara banyak yang belum dapat e-KTP. Mencoblos harus KTP, bagaimana caranya?” kata Liando.
Ada harapan, surat keterangan (suket) dari pemerintah desa atau kelurahan masih memungkinkan untuk digunakan. Karena persoalan kalau hanya menggunakan e-KTP, sementara banyak masyarakat yang belum mendapatkan e-KTP.
Diketahui, 28 Maret 2019, palu MK telah berbunyi. Sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu terkabul. Tiga hal penting telah diputuskan MK sehingga diharap mampu menutup cela polemik jelang pesta demokrasi 2019.
Pertama, MK memperbolehkan pemilih yang tidak masuk dalam DPT dan belum memiliki e-KTP bisa memilih menggunakan suket. Kedua, memutuskan memperbolehkan penambahan waktu pindah memilih. Ini untuk kondisi khusus yakni bencana alam, sakit, tahanan atau menjalankan tugas pada hari H pemungutan suara. Seperti pilot atau wartawan tetap bisa diurus hingga H-7 pemungutan suara pemilu. Ketiga, MK juga mengabulkan soal penghitungan suara pada hari H diperpanjang hingga 12 jam berikutnya tanpa jeda.
Persoalan ketiga yang diulas Liando, soal kepatuhan peserta pemilu. Menurutnya, regulasi sudah mengatur tentang alat peraga kampanye (APK) namun soal bendera parpol tidak diatur.
“Sudah diatur dalam aturan kampanye soal posisi, ukuran, lokasi APK tapi yang tidak diatur oleh undang-undang itu bendera. Makanya bendera parpol berseliweran dimana-mana. Tidak diatur soal ukuran dan posisi bendera parpol itu,” jelasnya. (*)
Editor: Denni Pinontoan
You may like
-
Perlukah Lembaga Peradilan Pemilu yang Berdasarkan Konstitusi? (Sebuah Analisis Filsafat Hukum Positivistik)
-
Mencoblos Kertas Pandemi
-
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
-
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
-
Setelah Tanggal 17, Apa?
-
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955