GURATAN
Sebelum Oxyuranus jadi Naga
Published
6 years agoon
By
philipsmarxOleh:
Daniel Kaligis
MANUSIA terjajah teks. Teori tak dimengerti, diskusi tak kelar, tak paham, lalu berbagi. Kemudian berkisah pada lawan bicara. Tersebarlah teks, dan jadi keyakinan.
Argumen sungguh banyak mendukung tesis. Namun, banyaklah juga pertanyaan tentang teks dalam tesis. Mengapa dunia membagi diri dalam dua narasi besar, lalu sederet debat mengangah: mengapa ada yin-yang, putih hitam, besar kecil, kuat lemah, dan seterusnya. Semua menyasar terminologi selaras dan imbang.
Dunia membidik equilibrium. Teks-teks disebar, kekuasaan takut bila ada banyak kelompok punya keyakinan sendiri. Terciptalah tuhan-tuhan. O Lord, mengapa petaka tuan menjadi tuhan tak pernah diperguncing, atau ketika bapakisme mendominasi gender, kaum perempuan tetap mau ditata ‘wani piro’, dibeli dengan mas kawin lalu ditendang istri-istri muda.
Perang teramat mudah jadi bisnis. Penjajahan mengubah praksisnya sebagai virus dan bakteri merugikan. Mari telisik sejarahnya. Medio 2003, gonjang-ganjing issue merebaknya avian influenza. Setelah avian influenza marak di luar negeri, Indonesia kebagian dampak. Ketika itu, avian influenza mulai terdeteksi karena terdapat ayam mati tiba-tiba di berapa daerah. Peternak alami kerugian, produksi terhenti. Setelah avian influenza dikabarkan masuk, beberapa bulan kemudian pemerintah umumkan bahwa Indonesia positif terdampak avian influenza jenis H5N1.
Ini bioterorisme, katanya pemerintah tanggap. Pada 13 Maret 2006, Kepala negara luncurkan Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI). Cepat tanggap, bela rakyat, ada solusi?
Tapi, ada isu miring. Kuasa yang bertenger dengan tag membela rakyat ‘katanya terlibat dengan sengaja’ memasukan avian influence ke dalam negeri. Media kobarkan ngeri, rakyat yang punya ayam, bebek, burung, dan babi, terancam. Ternak rakyat disasar gusar.
Di laman Berita Satu, 11 Januari 2013 menyebut, ada epidemik ratusan ribu itik mati tertular flu burung di Brebes, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, Banten dan Sulawesi Selatan, yang selanjutnya diteliti akademisi Unari, CA Nidom. Dia menyatakan bahwa virus baru itu bukan hasil mutasi, melainkan buatan manusia. Nidom menduga bahwa ini merupakan bioterorisme.
Masih dari sumber sama, beritasatu: Varian baru flu burung pertama ditemukan di Danau Qinghai, Tiongkok. Padahal, Indonesia bukan tempat migrasi burung dari Tiongkok, tetapi ketika masuk ke Indonesia, daerah pertama yang terjangkiti adalah Sumatera kemudian secara bersamaan merambat langsung Brebes dan dalam waktu cepat menyebar ke dua puluh empat kabupaten di Indonesia. Sekertaris Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis, Emil Agustiono, mencium aroma tidak sedap, dan mengatakan, bahwa terdapat pihak yang sengaja memasukkan jenis varian flu burung, H5N1 clade 2.3.2, untuk disebarkan ke Indonesia. Hal ini dapat dimasukkan dalam kejahatan bioterorisme.
Keyakinan hari ini dibangun atas sejumlah pengalaman. Tahun silam, manakala neraca dagang miring dan berat di impor —menurut kabar media— pemerintah mempertemukan empat puluh taipan di Istana Bogor. Tujuannya untuk menupuk cadangan devisa. Presiden mengajak para pengusaha kakap itu untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Saya kira, upaya pemerintah itu positif. Memperkuat ketahanan ekonomi nasional memang harus dikerjakan dalam ‘kerja kerja kerja’. Namun, terminologi yang menarik perhatian dari pertemuan itu bagi saya adalah soal taipan. Manakala infrastruktur tumbuh pesat, harga bahan bakar seragam di seluruh tanah air, tak salah kita memuji keuletan sistem dalam membenah perekonomian dan hak rakyat.
Walau, taipan-taipan di daerah masih coba ‘nakal’. Saat mengunjungi berapa daerah, saya menjumpai kelangkaan. Antrian mengular tunggu bensin solar. Harga tidak seperti biasa. Gas masih sering langka. Komoditas pertanian bermain pada elastisitas yang kadang tak terkontrol. Tapi, nanti dulu. Bicara taipan setelah dua bait berikut ini ya. Sekarang mari sedikit lagi mengusik dan menengok pergulatan pasar.
Ketika harga kopra anjlok, mencibirlah kita tentang harga diri identitas. Buruh tani bergaji per hari kurang dari sembilan puluh ribu apa terusik ketika issue harga minyak goreng melambung? Tentu terusik! Namun dia tidak beroleh keuntungan apa-apa atas issue harga kopra anjlok. Bila harga kopra membaik, tentu pemilik usaha perkebunan sekala besar yang mendulang untung.
Dolar menguat value-nya terhadap berbagai mata uang di dunia, kampanye miring pasti nyaring ‘katanya’ bela rakyat. Tapi, rakyat seyogyanya menjadi tidak penting didengar ketika saya duduk di kursi kuasa, sebab saya hanya butuh mereka mencontreng angka-angka.
Membuka beberapa referensi, saya menemukan kata ‘oxyuranus’, nama latin dari seekor ular gesit berekor tajam dan sangat berbisa. Bila anda berkesempatan ke Australian Museum, anda boleh mendalami lebih jauh tentang oxyuranus microlepidotus. Oxyuranus ada di Australia dan Papua. Digambarkan dalam legenda Aborigin tentang seekor ular yang merentangkan badannya di langit seperti pelangi. Oxyuranus adalah salah satu dari lima ular paling mematikan di dunia. Dia-lah taipan itu.
Walau, di jagad maya saya juga beroleh pengertian lain tentang taipan. Istilah Taipan, dikisahkan pertama digunakan untuk menyebutkan pebisnis asing di Cina atau Hong Kong abad sembilan belas dan awal abad dua puluh satu. Orang Kanton dewasa ini menggunakannya lebih umum untuk beberapa pemimpin bisnis pribuminya. Arti literal-nya adalah kelas atas, yang dapat dibandingkan dengan Big Shot dalam isilah slang Inggris.
Dulu istilah ini secara umum digunakan mengacu kepada pemimpin bisnis senior dan pengusaha di Hongkong ketika di bawah kendali Inggris. Istilah ini pertamakali masuk dalam bahasa Inggris dalam register Kanton 28 Oktober 1834. Sejarah variasi speliling memasukkan taepan, typan, dan tai-pan. Taipan diartikan seorang pengusaha besar yang punya imperium bisnis luas.
Istilah Taipan menyebarluas keluar Cina dan mendunia setelah terbitan cerita pendek ‘The Taipan’ oleh Somerset Maugham tahun 1922 dan novel Tai-Pan oleh James Clavell tahun 1966.
Tilik saya berikut ini bukan soal taipan, namun tentang kegigihan. Perekonomian Cina tumbuh pesat karena kerja smart dan mampu menjadi pesaing Amerika dan banyak negara di Asia dan Eropa.
Saya ngobrol dengan kawan di Singapore tentang tanah air. Tentang kekuatan bisnis yang kian meraja dan inovasi. Dia bilang, “Kerabat saya di kampung berternak, sukses atau tidak sukses bukan ukuran, yang saya tau mereka itu tekun dan setia menjalankan usahanya dengan belajar dari pengalaman.” Kata dia, orangtuanya dulu punya banyak kepunyaan, tetapi musnah karena tidak dimanage dengan baik. Ini jadi pelajaran.
Tajuk di Sindo News, 30 Juni 2018 menarik perhatian saya: Kekuatan ekonomi Cina saat ini telah mendekati Amerika Serikat, bahkan di beberapa tempat, produk-produk Cina telah menggeser produk Amerika di kancah global. Profesor bisnis kenamaan, Zhang Weining, menjelaskan mengapa Cina saat ini dapat mengambil-alih ekonomi global dari tangan Amerika. Hal ini, kata Zhang, terjadi karena perbedaan besar cara pandang masyarakat di antara negara tersebut yang telah membuat ekonomi Cina meningkat tajam.
Ini saya petik dari kata Zhang yang ditulis sindonews, bahwa, orang Cina hanya peduli siapa yang bisa menjadi lebih kaya, dan bagaimana cara untuk menjadi kaya tanpa melanggar norma. Orang Cina lebih banyak berdebat tentang model bisnis dan teknologi baru. Sementara, orang Amerika Serikat masih terobsesi pada politik sehingga menyedot energi dan waktu. Padahal energi dan waktu tersebut dapat digunakan untuk bekerja mengembangkan teknologi dan bisnis baru.
Teks, tesis, dan keyakinan. Bagaimana menggambarkan kondisi perekonomian dan kebijakan dalam negeri bila tanpa pembanding. Sementara obrolan kita masih di situ-situ saja. Kafir-kafiran, ular-ularan, hoax-hoaxan. Value tercipta dari inovasi, kerja smart dan terus tekun. Saya sendiri masih jadi penonton terhadap kemajuan dunia.
Pernahkah anda mendengar kubu Blok Barat dan kubu Blok Timur perang secara terbuka? Hanya teori, perang dingin, perang teknologi, bumi bulat bumi datar tetap kabur pemahamannya, walau dunia dan jagat sudah jadi saksi bahwa tidak ada wajah yang persegi, seperti itu juga wajah bumi. Semua mencari keuntungan ekonomi dari sumberdaya yang terbatas dan harus diakali.
Saya lanjut obrolan dengan kawan di Singapore itu seraya bertanya, “Bagaimana menyaingi kapitalisme kalau mindset rakyat tak dicerahkan? Kapan rakyat dikapitalisasi, diberi suntikan modal agar dapat berdaya hadapi pasar bebas?” Dia dan saya tak punya kata sepakat, masing-masing punya argumentasi sendiri. Bagi dia, bagaimana terus bekerja, berinovasi dan cari peluang. Saya masih berkutat pada perubahan mindset dan menertawai kotbah-kotbah.
Lalu, kami sama-sama tertawa.
Orang-orang terjajah teks. Namun, kami harus terus mengkapitalisasi diri sendiri, walau saya masih banyak hutang. Anda punya hutang? Bila punya, tertawa saja. Tapi, berusahalah melunasinya. Jangan tunggu pemerintah melunasi hutang anda, jangan tunggu kiamat. Jangan tunggu oxyuranus microlepidotus menjadi naga.
Di negara lain khotbah tentang kiamat sudah tak laku. Mari perhatikan seksama: begitu banyak manusia bergiat, berinovasi, mencipta berbagai kemudahan, menumbuhkan damai sejahtera, menziarahi surga-surga yang indah di bumi. Kita di negeri ini cuma kebagian surga dari bom panci dan berbagai issue palsu yang membuat otak terus melarat. (*)
Editor: Andre Barahamin