INDEPTH
Sejarah Kelelondey dan Drama Saling Klaim TNI Versus Rakyat
Published
5 years agoon
By
philipsmarxOleh: Donny Rumagit
______________________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________________
PARA PETANI yang sudah puluhan tahun berkebun di lahan Kelelondey, Kecamatan Langowan Barat, Minahasa, tak berdaya ketika lahan pertaniannya diambil alih oleh pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jumat (11/4) lalu. Sebanyak enam buah plang yang bertuliskan berbagai jurusan pendidikan TNI seperti Kebun Mako Rindam, Kebun Secata, Kebun Dodikjur, Kebun Dodiklakpur, ditancapkan di atas lahan Kelelondey.
“Ada dua tentara datang kong bilang ini kobong samua torang so mo kerja, so nda usah Om bakobong di sini, (Ada dua tentara datang dan katakan, ini kebun semua akan diolah oleh TNI, jadi Bapak tidak usah berkebun lagi di lahan ini),” ujar Welly Manampiring, salah satu petani yang dengan pasrah tanpa perlawanan ketika lahannya diambil alih oleh TNI.
Tak terima lahan mereka dirampas, para petani yang digerakkan oleh anak-anak muda Desa Raringis, Kecamatan Langowan Barat, melakukan protes dan menggalang dukungan untuk melawan tindakan kesewenang-wenangan pihak TNI. Sejak itu, di tengah pandemi Coronavirus Desease-19 (Covid-19) sedang mengancam, situasi di lahan Kelelondey memanas. Saling klaim antara pihak TNI dan petani terus terjadi sampai hari ini.
Siapa sebenarnya pemilik sah lahan Kelelondey? Sejarah panjang dicatat berbagai sumber tentang lahan itu.
Asal Usul Kelelondey
Kelelondey adalah lahan pertanian yang berada di bawah kaki gunung Soputan dan kaki Gunung Manimporok. Letaknya di belakang empat desa yaitu, Noongan yang saat ini sudah dimekarkan menjadi tiga desa, Raringis yang sudah dimekarkan menjadi tiga desa, Desa Ampreng dan Tumaratas yang sudah dimekarkan menjadi dua desa. Desa-desa ini berada di wilayah pemerintahan Kecamatan Langowan Barat, Kabupaten Minahasa.
Berdasarkan buku sejarah berdirinya Desa Noongan, Kelelondey berasal dari bahasa Tontemboan yang terdiri dari dua kata yaitu, Kele yang artinya seperti dan Londey yang artinya perahu. Kelelondey diartikan seperti perahu karena daerah yang luasnya sekitar 500-an hektar itu apabila dilihat dari ketinggian, bentuknya seperti perahu. Ketika musim hujan, daerah ini digenangi oleh aliran air dari tiga sumber mata air. Orang Tontemboan menyebut air yang datang dari tiga sumber itu ranotelu.
Adanya aliran air sungai dari ranotelu ini membuat Kelelondey jadi tempat air tergenang atau wenong/pabenongan. Kelelondey adalah lahan yang subur karena berada di daerah pegunungan dengan bahan organik hasil dari aktivitas vulkanis gunung berapi Soputan. Abu dan material yang dikeluarkan oleh gunung Soputan akan terkumpul dan menyebar di lahan Kelelondey.
Zaman Pra Kolonial
Terbentuknya suatu perkampungan penduduk, biasanya diawali dengan pembukaan lahan oleh sekelompak masyarakat atau tumani. Awalnya sebagai tempat untuk berkebun. Para leluhur Minahasa, selain suka berkebun dengan sistem pertanian berpindah-pindah, juga senang berburu binatang. Kelelondey bagi para leluhur adalah tanah yang diberkati dan sangat memenuhi syarat untuk menetap, karena tanahnya subur, sumber air melimpah dan bisa menyalurkan hobi berburu di hutan gunung Soputan dan gunung Kawatak.
Sejak itu, para leluhur “menguasai” tanah Kelelondey. Mereka terus tinggal di sana sampai lahirnya Desa Pebonongan pada tahun 1810. Perkampungan yang saat ini dikenal sebagai Desa Noongan.
Buku Sejarah Berdirinya Desa Noongan mengisahkan, penduduk awal wilayah ini adalah rombongan yang dipimpin Turangan dan Korua yang berasal dari Tompaso. Ini bisa dibuktikan dengan adanya makam tua di atas lahan Kelelondey.
Seiring waktu, jumlah penduduk terus bertambah. Apalagi ketika rombongan yang dipimpin Soriton, Walean, Ticoalu, Sumual, datang dan ikut membuka ladang-ladang pertanian di atas lahan Kelelondey.
Masa Kolonial Belanda
Sejak tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria yang memberikan hak erfpacht atau hak guna usaha (HGU) kepada para pemodal asing untuk megelola tanah. Sejak itu, para pemodal dari Eropa datang ke Indonesia untuk menyewa tanah yang luas, dengan membuka perkebunan sampai 75 tahun.
Hak erfpacht yang diberikan ini mengakibatkan tanah rakyat didigusur dengan menggunakan asas domein verklaring, yang artinya tanah yang tak bisa dibuktikan milik seseorang dianggap tanah negara. Kelelondey adalah salah satu korban kebijakan itu. Walau telah ditanami berbagai tanaman hortikultura oleh penduduk setempat, pada tahun 1872 mereka harus tergusur dengan ditekennya kontrak kerjasama antara pemerintah Belanda dan seorang pengusaha yang dikenal dengan Tuan Right. Pemodal asal Inggris itu kemudian mengelola lahan Kelelondey selama 75 tahun. Ia menyulap lahan itu menjadi perkebunan kopi.
Pada tahun 1881, atas desakan dari Tuan Right kepada pemerintah Belanda, penduduk kampung Pebenongan dipindahkan ke sebelah timur dan membentuk kampung baru. Masa itu diperingati oleh penduduk sebagai tahun berdirinya Desa Noongan.
Para buruh di perusahaan onderneming (perkebunan yang diusahakan secara besar-besaran dengan alat canggih) Tuan Right berasal dari penduduk setempat, tapi ada yang didatangkan dari Tondano, Tomohon, Remboken dan Langowan. Mereka dipekerjakan dengan sistem upah murah, namun lama-kelamaan perusahaan sudah tidak membayar upah para buruh.
“Awalnya buruh di perkebunan Kelelondey upahnya lancar, tapi lama-kelamaan perusahaan sudah tidak membayar, karena hasil perkebunan kopi kalah bersaing dan manajemen yang tidak baik. Tapi oleh pemerintah Belanda, tetap memperkejakan buruh tani secara paksa tanpa upah,”cerita Joke Moniung, salah satu tokoh masyarakat Raringis yang mengaku mendengar kisah itu dari para tua-tua.
Perusahaan onderneming yang dikelola Tuan Right yang berjalan sekitar 48 tahun dari masa kontrak 75 tahun, dikabarkan mengalami kebangkrutan. Maka pada tahun 1920, datanglah pengusaha asal Jepang, yaitu Tuan Kobayasi, dengan bendera perusahaan Konamengka. Ia meneruskan kontrak atas seizin perusahaan onderneming Tuan Right dan pemerintah kolonial Belanda.
Lahan Kelelondey yang telah ditumbuhi ribuan pohon kopi, oleh Tuan Kobayasi semuanya ditebang dan diganti dengan tanaman pohon kapas dan pohon murbey (morus alba). Pohon yang menjadi tempat tumbuhnya ulat sutra (bombyx mori), ngengat yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai penghasil serat atau benang sutra dari spesies ulat yang menghasilkan kepompong (pupa) sutera. Serat ini digunakan sebagai bahan kain sutera. Kala itu sangat berharga karena teksturnya yang halus, warnanya yang berkilau cerah dan tahan lama.
Para penduduk yang tadinya bekerja sebagai orang upahan di perusahaan onderneming Inggris, beralih menjadi orang upahan dari perusahaan Konamengka Jepang. Bukan saja orang-orang dewasa yang dipekerjakan tapi anak-anak yang sudah mampu bekerja, turut bersama untuk memetik dan memisahkan kapas.
Masa Orde Lama
Pada tahun 1945 ketika Jepang hengkang dari Indonesia, lahan Kelelondey kembali dikelola oleh penduduk dari Desa Noongan, Walewangko (tahun 1947, Desa Raringis dimekarkan dan tahun 1948 Desa Ampreng dimekarkan dari Desa Walewangko) dan Tumaratas. Menurut Hans H. Maki, Hukum Tua (Kepala Desa) Desa Raringis tahun 1975-2001, lahan Kelelondey telah diukur dan dibagikan pada rakyat setempat pada tahun 1961.
“Selesai perang Permesta, ekonomi masyarakat sangat terpuruk dan mungkin prihatin dengan rakyatnya, Presiden Sukarno lewat pemerintah Kabupaten Minahasa memberikan perintah agar tanah Kelelondey diukur dan dibagikan kepada seluruh penduduk yang ada di Desa Noongan, Raringis, Ampreng dan Tumaratas sama rata. Jadi Raringis waktu itu mendapatkan 80-an hektar tanah di Kelelondey. Masing-masing keluarga mendapat 8 waleleng sampai 1 tetek. Ketua tim pengukur waktu itu adalah Ayah saya, yaitu Harmen Maki,” ujar Maki.
Masa Orde Baru
Menurut Hans Maki yang waktu itu masuk dalam tim pengukur perwakilan dari Desa Raringis, tanah Kelelondey yang telah diukur pada tahun 1961, oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa pada tahun 1967-1968, zaman orde baru berkuasa, kembali diinstruksikan untuk diukur.
“Ketua tim pengukur waktu itu adalah Bapak Rull Massie. Ia tinggal di Desa Paslaten dan saya termasuk di dalam tim mewakili Desa Raringis. Hasilnya dibagi sama pada empat desa yaitu, Noongan mendapat 80-an hektar, Raringis 80-an hektar, Ampreng 80-an hektar dan Tumaratas 80-an Hektar. Baru setiap desa membagikan kepada penduduk berdasarkan jumlah kepala keluarga pada waktu itu. Jadi semua keluarga mendapatkan tanah di Kelelondey,” ungkap Maki.
Tahun 1982, Pangdam Rudini yang juga pernah menjabat Mendagri, bersama dengan Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Letjen Gustaf Hendrik Mantik, berkunjung di lahan Kelelondey. Rudini kala itu meminta izin pada Gubernur Mantik untuk membangun fasilitas barak militer di Kelelondey. Namun dengan tegas Gubernur Mantik menolak karena ia melihat Kelelondey adalah daerah perkebunan yang sangat potensial, penghasil hortikultura terbesar di Sulut dan daerahnya padat penduduk. Jadi hanya diperbolehkan untuk pinjam sebagai tempat latihan menembak saja.
Pada tahun 1984, atas perintah Gubernur Mantik lewat biro agrarian, bersama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan 1.200 buah sertifikat hak milik (SHM) untuk para petani yang menggarap lahan Kelelondey yang tersebar di empat desa yaitu, Noongan, Raringis, Ampreng dan Tumaratas.
Era Reformasi, TNI “Kuasai” Lahan Kelelondey
Pengambilalihan lahan Kelelondey oleh TNI dimulai pada akhir Desember 2018 lalu. 6 hektar tanah dengan panjang 600 meter dan lebar 100 meter yang adalah lahan pertanian, dialihfungsikan sebagai lapangan latihan menembak. Lapisan tanah humus dan lapisan tengah tanah dikeruk memakai alat berat hingga tertinggal lapisan tanah bawah bebatuan.
Kemudian pada awal April 2020, pihak TNI mengambil enam buah lahan produktif yang dikelola petani dengan memasang plang bertuliskan identitas sekolah TNI dan langsung mengolah dengan traktor. Menurut Amington Manurung, Komandan Resimen Induk Daerah Militer (Danrindam) XIII/Merdeka, di hadapan pemerintah dan warga setempat, Kamis (16/4) lalu, ia berujar Kelelondey adalah milik TNI dan akan segera dibangun bangunan sekolah militer, asrama dan fasilitas lainnya.
“Waktu pertemuan di markas TNI di Noongan, Pak Amington menegaskan Kelelondey adalah milik TNI dan akan dibangun beberapa fasilitas seperti sekolah, asrama,” beber Iren Manaroinsong, salah satu warga yang ikut pada pertemuan tersebut.
Kaum Tani Melawan
Klaim dari TNI langsung mendapat reaksi penolakan para petani yang ada di Kelelondey. Dimotori anak-anak muda Desa Raringis yang tergabung dalam “Aliansi Kelelondey Memanggil”, kaum tani langsung mengadakan perlawanan. Gerakan penolakan disuarakan lewat media sosial dan menggalang dukungan dari masyarakat dengan menggandeng Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Manado.
Tak hanya itu, spanduk dan baliho yang bertuliskan penolakan dibentangkan di berbagai sudut kampung yang ada di Langowan. Melihat kondisi lapangan yang memanas, Rabu, 6 Mei 2020, pemerintah kecamatan melaksanakan musyawarah di Balai Desa Ampreng. Hadir Asisten I Pemerintah Kabupaten Minahasa, Kepala BPN Kabupaten Minahasa, pemerintah dan petani yang ada di wilayah Kelelondey, minus TNI. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan sampai saat ini. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan