Connect with us

CULTURAL

Selamat datang Era Informasi Tanpa Berita

Published

on

14 November 2019


Oleh Denni Pinontoan


Inilah era orang-orang mengkonsumsi informasi yang melimpah tapi bukan berita

 

WINSTON sedang membacakan buku kepada Julia. Buku itu berwarna hitam. Dijilid secara amatiran. Tak ada judul buku atau nama pengarang pada sampulnya. Sebuah buku tua yang halaman-halamannya mudah lepas. Tulisan pada halaman judul setelah sampul berbunyi:

“TEORI DAN PRAKTIK KOLEKTIVISME OLIGARKI

oleh

Emmanuel Goldstein

 

“Julia, kamu bangun?” Tanya Winston.

“Ya, sayang, aku mendengarkan. Teruskan. Bagus sekali.”

Winston pun melanjutkan, dan berkata-kata panjang tanpa henti. Pada satu bagian omongannya itu ia berkata:

“Bahkan Gereja Katolik dalam Abad Pertengahan pun toleran, kalau kita menggunakan tolok ukur modern,” kata Winston membacakan isi buku itu.

“Sebagian alasannya adalah bahwa di masa lampau tidak ada pemerintahan yang mempunyai kemampuan mengawasi warganya terus menerus,” katanya lagi.

“Akan tetapi, penemuan mesin cetak memudahkan manipulasi pendapat umum, lalu film dan radio semakin memperlanjut proses itu. Dengan berkembangannya televisi, dan kemajuan teknis yang memungkinkan penerimaan dan pengiriman pada saat bersamaan dengan alat yang sama, tamatlah riwayat kehidupan privat,” Winston melanjutkan.

Julia dan Winston, juga penulis buku Emmanuel Goldstein adalah tokoh-tokoh fiktif dalam novel karya George Orwell berjudul 1984. Sebuah karya besar sang pengarang yang terbit pertama kali tahun 1949. Dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia, antara lain diterbitkan oleh penerbit Bentang tahun 2003 dan 2004.

Orwell adalah sastrawan, penulis esai dan kritikus asal Inggris. Ia lahir di Motihari, India pada 25 Juni 1903, dan meninggal pada 21 Januari 1950 di London, Inggris, beberapa bulan setelah karyanya itu terbit.

Buku 1984 tersebut adalah bayangannya tentang dunia di masa depan dari masa hidupnya. Orwell membayangkan dunia yang suram, masa di mana negara dan pemerintahnya memiliki kuasa mengontrol dan mengendalikan rakyat. Teknologi informasi dan media adalah salah satu alat kendali itu.

Orwell hidup dan berkarya di masa setelah munculnya dua negara diakuasa yang kuat, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang dengan senjata-senjata modern sangat mengerikan. Teknologi informasi, semisalnya radio dan televisi sedang berkembang di negara-negara maju. Tapi negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia, masih dalam keadaan tertatih-tatih membangun kehidupannya.

Winston, demikian Orwell mewakilkan pemikirannya pada tokoh fiktif itu, berkata lagi, “Setiap warga negara, atau sekurangnya setiap warga negara yang cukup penting, sehingga layak dipantau, dapat diawasi dua puluh empat jam sehari oleh mata polisi terus menerus mendengar propaganda resmi, sementara semua saluran komunikasi lain ditutup.”

Orwell sangat kritis terhadap negara yang selalu berkepentingan dengan kekuasaan. Kontrol dan kendali adalah cara negara menjaga kekuasaanya terhadap semua orang. Negara mengontrol pendapat publik, mengontrol komunikasi. Itu berarti dia mengontrol kesadaran dan laku hidup warga negaranya.

“Kemungkinan untuk menanamkan bukan hanya ketataan sempurna pada kehendak Negara, melainkan juga keseragaman sempurna dalam pendapat tentang semua pokok persoalan, kini hadir untuk pertama kalinya,” kata Winston, seperti yang dipikirkan oleh  Orwell.

Sebelum datang era informasi seperti kini, sudah sejak lama memang tidak semua informasi adalah berita. Ketika masa itu masih era media lama, Orwell telah membayangkan bagaimana kekuatan informasi memiliki kuasa mengendalikan kesadaran, pengetahuan dan laku hidup orang-orang.

Orwell sinis terhadap politik. Politik, menurut dia adalah kumpulan kebohongan.

“Di zaman kita ini tidak ada yang namanya ‘menjauhkan diri dari politik.’ Semua masalah adalah masalah politik, dan politik itu sendiri adalah kumpulan kebohongan, penghindaran, kebodohan, kebencian, dan skizofrenia,” kata Orwell dalam artikelnya Politics and The English Language, pertama kali dimuat pada Horison, April 1946.

Akibat dari kediktatoran rezim, bahasa menjadi buruk atau rusak. Orwell menunjuk pada bahasa Rusia, Italia, dan Jerman, negara-negara pernah hidup rezim diktator, seperti, Stalin, Hitler dan Musolini. Dia mungkin menunjuk pada penggunaan bahasa untuk propaganda yang dipenuhi dengan kebohongan dan manipulasi.

“Jika pikiran merusak bahasa, bahasa juga bisa merusak pikiran,” kata Orwell.

Bahasa yang digunakan oleh pikiran-pikiran yang rusak, dapat merusak bahasa itu sendiri. Tapi, ketika bahasa yang rusak itu sudah menjadi biasa atau telah berulang-ulang digunakan, maka giliran bahasa yang dapat merusak pikiran.

Kita mungkin boleh dapat mengambil contoh istilah ‘radikalisme’ yang kini sangat populer, baik di media maupun dalam keseharian masyarakat Indonesia. Ketika istilah ‘radikalisme’ digunakan berulang-ulang, dipropaganda secara massif untuk menyebut kekerasan, tindakan-tindakan menjahati orang lain berbeda paham  dan identitas, maka terbentuklah kesadaran semu dan mempengaruhi hingga laku hidup sebagian orang. ‘Radikalisme’ tidak lagi sekadar kata bentukan, tapi kini ia telah berubah menjadi semacam anjuran baru atau bahkan metode perlawanan baru.

Demikian jadilah ‘radikalisme’ dalam propaganda massif itu tidak lagi tentang kata yang menunjuk pada arti asalinya, yaitu radix yang berarti ‘akar’ dan ‘isme’ sebagai keyakinan, yang mestinya ia berarti keyakinan dan kesetiaan yang sungguh-sungguh pada nilai-nilai dasar.

Bahasa adalah bagian penting dari komunikasi, penyebarluasan informasi dan media. Bagi Orwell, politik kekuasaan yang dipenuhi dengan kebohongan telah berhasil mengubah bahasa menjadi kekuasaan itu sendiri. Media dalam situasi ini, apakah ia masih menyampaikan ‘berita’? Apakah media masih sebatas sebagai medium?

 

***

Tahun 1999 masyarakat Sulawesi Utara tiba-tiba gempar. Orang tua mewanti-wanti atau bahkan melarang anak-anaknya keluar malam. Setiap orang baru dicurigai. Beberapa rumah yang memuat ornamen unik jadi sasaran tuduhan. Ornamennya dirusak.

Masa itu memang sedang genting. Dua daerah sekitar yang mengapit Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Poso di Sulawesi tengah sedang terjadi konflik berdarah-darah.

Tapi keheboan itu bukan tentang konflik yang merembet ke daerah ini. Sebuah media besar di daerah ini selama berminggu-minggu menurunkan laporan yang memang mengguncang iman, yang berdampak pada psikologi dan sosial. Media ini menurunkan laporan itu secara berseri.  Ada tim peliput khusus. Laporannya selalu dimuat di halaman depan. Ia jadi laporan eksklusif media itu.

Media itu mengatakan, di Manado ada dua perempuan muda pengikut setia Gereja Setan. Mereka, kata media itu adalah dua dari sembilan pengikut Lucifer, pemimpin Gereja Setan.

Namun sesungguhnya, itu adalah hoax. Boleh dibilang hoax terbesar di Sulawesi Utara akhir abad 20. Sebab, tokoh-tokoh yang disebutkan hanya nyata dalam media itu. Dalam kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf dan tulisan dramatis kreatif para penulisnya. Dan, hal yang paling luar biasa tapi sekaligus tidak masuk akal, bahwa ada tim reporter yang memburu setan sebagai narasumber. Bagaimana para wartawan itu dapat mewancarai atau mengambil gambar sang setan?

Tapi hoax itu telah menjadi teror. Masyarakat resah. Keluarga-keluarga khawatir anak gadis atau pemudanya direkrut menjadi pengikuti gereja setan. Cara orang memahami agama ikut berubah. Tapi yang meraih untung besar adalah media itu dengan oplah yang berlipat ganda selama berminggu-minggu.

Sosok setan yang dikhotbahkan pemimpin agama dari atas mimbar kini menjadi nyata dalam teror ketakutan. Setan dari masa purba itu kembali hidup dalam media, dalam informasi yang bukan berita.

Tidak penting bagi pembaca atau konsumen media, apakah, misalnya kasus isu Gereja Setan itu benar atau tidak. Orang-orang percaya itu ada ketika media menyanjikannya sebagai ‘berita’. Jadi, kekuatan yang mengkhawatirkan dan menakutkan bukan pada ‘setan’ itu, melainkan pada media.

Ada kebiasaan orang lebih memilih barang karena nama mereknya. Hal yang menentukkan seseorang misalnya memilih merek A bukan merek B – padahal keduanya memiliki fungsi praktis yang sama – sering sangat ditentukkan oleh nama merek itu sendiri. Nama merek adalah penting karena ia mengandung pesan gengsi.

“Medium adalah pesannya,” kata Marshal McLuhan dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964).

McLuhan berbicara medium apapun, tidak sebatas media massa. Medium apa saja yang ada atau ditemukan oleh manusia untuk membantu mempermudah jangkaun indera dan organ-organ tubuhnya dalam melakukan pekerjaan.

Pada era lisan, komunikasi terjadi secara lansung. Di era tulis, orang mengkomunikasikan sesuatu melalui tulisan sebagai medium. Baru datang era cetak, tulisan-tulisan dapat dicetak lebih banyak.

Di era elektronik, medium sekaligus adalah pesan. Radio, koran dan televisi adalah teknologi komunikasi yang efektif mempengaruhi pemikiran dan perilaku banyak orang. Jadi, media tidak lagi medium, karena dia sudah mengandung isinya sendiri yang memberi dampak dan pengaruh pada manusia.

Medium yang digunakan memberi dampak pribadi dan sosial pada setiap orang. Ia mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku manusia.

“’Medium adalah pesan’ karena merupakan medium yang membentuk dan mengendalikan skala, bentuk asosiasi dan tindakan manusia,” kata McLuhan.

Orang-orang kampung di masa lalu menebang pohon dengan menggunakan kapak. Mereka memilih pohon yang sudah berusia tua. Ia menebang pohon untuk kebutuhan membangun rumah. Kapak membatasi orang untuk menjadi serakah terhadap hutan. Namun, teknologi mesin pemotong kayu, meski ia adalah juga alat sama halnya kapak, tapi ia memiliki kekuatan untuk membuat orang menebang lebih dari yang dibutuhkan untuk membangun rumahnya sendiri.  Sama halnya, senjata api mesin dibuat untuk membunuh lebih banyak orang, bukan untuk menyelamatkan sedikit orang.

Setiap perubahan teknologi informasi ia membawa pula perubahan pola komunikasi. Ia lalu berpengaruh pada cara berpikir dan berperilaku manusia. Di era mesin, tenaga manusia masih dominan, membentuk kelas buruh pabrik dan kultur pekerja. Di era otomatisasi, manusia dibantu oleh komputer. Di era kemudian manusia bermitra dengan robot dalam melakukan pekerjaan. Demikian dalam berkomunikasi, penggunaan teknologi baru membutuhkan bahasa dan cara menyampaikan dan menerima pesan yang baru pula.

Dalam masyarakat yang mewarisi identitas beragam, dan politik kemudian mempolitisasinya untuk tujuan-tujuan berkuasa, media benar-benar adalah pesan itu sendiri. Media tanpa berita, yang ada adalah propaganda-proganda. Media adalah pesan ideologis.

Berita adalah informasi yang dikumpulkan dengan metode dan teknik khusus. Reporter atau wartawan mengumpulkan informasi, suara dan gambar tentang peristiwa-peristiwa faktual. Reporter atau wartawan lalu menulisnya dengan prinsip-prinsip dan disiplin jurnalisme yang ketat. Fakta-fakta dipastikan oleh redaktur. Tulisan sang reporter atau wartawan diperiksa teliti. Prinsip dan etika jurnalistik menjadi acuan redaksi. Tim redaksi memproses tulisan informasi di ruang redaksi secara demokratis. Setiap tulisan disidang terlebih dahulu sebelum dipublikasi.

Itulah proses terbitnya berita secara tradisional. Di era ini, proses itu terasa begitu rumit. Omongan basa-basi seorang tokoh atau seorang yang yang sedang populer dapat menjadi berita tiga atau empat paragraf. Bahkan, kegemaran cewek-cewek Manado mengenakan celana pendek di atas lutut ketika shoping pun dapat dibuat jadi berita.

Menonton berita perang di melalui televisi (tv) hitam putih di zaman orde baru bagi orang-orang Indonesia, tentu berbeda membaca atau menonton video-video streaming laporan-laporan informasi tentang perang internasional di media-media online. Di masa televisi hitam putih, misalnya siaran dunia dalam berita TVRI adalah tontonan orang dewasa, dan ia masih sangat terbatas pada keluarga-keluarga yang memiliki perangkat tv. Namun, video-video streaming online dapat ditonton serentak oleh jutaan orang Indonesia untuk beragam usia.

Setelah menonton siaran itu, orang-orang Indonesia di masa orde baru mendapat informasi untuk jadi bahan obrolan di pos-pos ronda malam, atau di mana ada sekelompok orang dewasa berkumpul menikmati waktu senggang. Tapi, orang-orang Indonesia di masa media online akan mereproduksi informasi itu menjadi ‘pesan’ darinya untuk disebarluaskan di media-media sosial.  Teks berita dipilah, dipotong, diubah, ditambah, lalu dibagikan. Jadilah ia bukan lagi ‘berita’.

Di paling ujung perjalanannya, ia menjadi hoax untuk propaganda. Inilah situasi di era informasi tanpa berita.

Inilah era sepenggal informasi dapat menggerakkan orang (-orang) untuk membunuh sesamanya manusia. Mengerikan! (*)

 

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *