KISAH
Seruput Ilmu di Wale Mapantik
Published
5 months agoon
5 Juli 2024
“Macam-macam cerita dan pelajaran bagai biji kopi sangrai yang digiling menjadi bubuk, kemudian menghasilkan kopi yang beraroma harum. Nikmatnya ketika diseduh dan diseruput, seperti momen tak tergantikan hari ini.”
Penulis: Hendro Karundeng
BELAIAN lembut angin kaki Gunung Lokon menyatu bersama ciuman hangat mentari, memanjakan para teruna yang berkumpul di sebuah rumah sederhana. Dindingnya tampak terang, masih berbau cat, sebab baru dikerjakan pekan yang lalu. Namun tak bisa menyembunyikan usianya. Tampilan bata merah mencolok, menyambut di depan rumah.
Di ruang tamu, terpampang di tembok utama “Wale Mapantik”. Dua kata itu akrab, menyapa setiap yang datang seperti ingin mengantar sukma duduk dan menikmati suasana teduh dalam bangunan itu. Piano klasik di samping ruangan seakan duduk nyaman memandang orang yang masuk, kain tenun Minahasa membalut jendela-jendela.
Suasana mulai ramai, ketika mentari berdiri tegak bagai dewa Apollo yang menantang ribuan musuh di depannya. Sesekali sinarnya tertutup lapisan awan tipis yang menari-nari di langit, di atas tanah adat Tou Mu’ung.
Jejeran ‘kuda beroda dua’ terlihat berbaris di garasi tua bertutup papan tripleks. Luasnya hampir tertutup penuh kendaraan roda empat berbaju kuning bertuliskan Brio.
Sekolah Mapatik, jadi tujuan berkumpulnya teman-teman kali ini. Sebagian besar sumringah, bisa meluangkan waktu di tengah padatnya penghujung hari kerja. Jumat, 5 Juli 2024. Ada yang jauh datang dari Bitung, Manado, bahkan dari bagian Selatan Minahasa. Mereka duduk berdiskusi, bicara mengenai berbagai hal tentang jurnalistik.
Etzar Frangky Tulung, koordinator kegiatan mengatakan, Komunitas Penulis Mapatik melalui kesepakatan bersama dan dalam ikatan persaudaraan, melaksanakan pelatihan menulis jurnalistik. Sebuah ruang berbagi pengetahuan karya jurnalistik yang sering diciptakan.
“Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari. Mulai dari hari ini, Jumat, sampai hari Sabtu besok. Ini akan dilaksanakan setiap minggu sepanjang bulan berjalan di Juli ini. Jadi Jumat dan Sabtu sepanjang Juli,” kata Tulung.
Kegiatan Mapatik seperti ini biasanya dibuka untuk siapa saja yang memiliki minat untuk belajar menulis.
“Kali ini yang menjadi peserta adalah teman-teman jurnalis yang ada di jaringan Komunitas Penulis Mapatik, teman-teman pers kampus dan juga teman-teman lain yang memiliki minat untuk belajar menulis karya jurnalistik. Ini terbuka untuk siapa saja. Siapa saja boleh ikut pelatihan ini,” ujar Office Manager Wale Mapantik yang juga seorang jurnalis asal wanua Taratara.
Sekolah Mapatik memang sudah sering digelar oleh para pegiat Mapatik. Rikson Karundeng yang dipercayakan sebagai director Komunitas Penulis Mapatik, jadi motor penting bagi gerakan liteerasi yang telah ada sejak tahun 2015 ini.
Karundeng mengungkapkan, beberapa waktu lalu para pegiat literasi di Mapatik menggelar diskusi bersama, menggumuli kondisi dunia jurnalistik hari ini. Beberapa persoalan yang disorot, jadi salah satu dorongan besar mereka untuk berkumpul dan saling mengedukasi.
“Jadi kita secara khusus menyoroti teman-teman yang berprofesi sebagai jurnalis. Sebab penilaian publik dan kawan-kawan jurnalis sendiri, masih banyak yang menulis amburadul. Paling parah, ternyata masih ditemui teman-teman yang bukan cuma minim, bahkan nol pengetahuan tentang jurnalisme. Jadi alasan itu kemudian kita membuat pelatihan ini,” jelas Karundeng yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia jurnalistik.
Sembari menikmati secangkir kopi, irisan pisang goroho yang digoreng, serta lintingan tembakau, Karundeng berbagi cerita. Kegiatan ini jadi usaha dalam mengakomodir anggota komunitas atau jaringan Mapatik, agar makin matang menjalani profesi mulia yang mereka pilih.
“Jadi kita bikin pelatihan ini untuk kemudian mengakomodir beberapa teman, terutama jaringan. Ketika kita diskusi, kita melakukan kritik, tentu kita harus memperkuat lebih dulu teman-teman di jaringan kita. Karena teman-teman komunitas Mapatik melakukan kritik kepada teman-teman jurnalis yang memang ternyata banyak tidak melalui proses yang baik dan benar dari awal,” ungkapnya.
Banyak hal dibahas dalam kegiatan ini terkait profesi seorang jurnalis yang sering dianggap kurang penting dalam dunia kerja, bahkan sering dianggap sebagai pilihan terpaksa dalam memilih ruang kerja.
“Jadi hanya karena tidak ada pekerjaan, kemudian pilih menjadi jurnalis. Supaya tidak nganggur. Padahal menurut saya, menjadi jurnalis sudah harus melalui pikiran yang matang. Ini kan profesi mulia. Memilih jadi jurnalis berarti siap memikul tanggung jawab besar untuk kepentingan banyak orang, untuk setiap perubahan penting dalam masyarakat,” ujar Karundeng.
Ia juga menjelaskan, kegiatan ini menjadi solusi terbaik dalam mengatasi isu-isu miring yang terus datang membekap para jurnalis, mengatasi rasa gelisah mereka tentang pandangan orang pada profesi serta tugas mereka.
“Jadi sebenarnya di Mapatik, kelas jurnalistik itu ada beberapa tahap. Kita ada kelas menulis jurnalistik dasar seperti yang kita lakukan sekarang. Di sini kita belajar semua pengetahuan dasar tentang jurnalistik. Bicara dan praktek soal teknis, belajar ilmu jurnalistik, berita, belajar teknik wawancara dan kemudian belajar soal bahasa jurnalistik,” tuturnya.
“Paling penting di jadwal dalam empat minggu ini, di minggu keempat kita akan memperkuat teman-teman lagi dengan informasi terkait prinsip-prinsip jurnalistik, kode etik jurnalistik, baru nanti kita akan membahas secara khusus lagi soal Undang-Undang Pers, biar ini teman-teman boleh dapat wawasan dab penguatan lagi soal itu,” papar Karundeng sembari menyeruput kopi hangat.
Ditegaskan, menjadi jurnalis bukan hanya tahu teknis menulis, tapi dia harus memiliki perspektif, mengetahui tentang apa sesungguhnya tugas dan tanggung jawabnya. Terutama sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik.
Saat hari mulai senja, diskusi para peserta makin hangat. Saling sahut memberi respons, cangkir demi cangkir silih berganti terisi kopi. Bunyi cekrekan kamera telepon genggam ikut menyemarakkan suasana.
Dalam suasana itu, Karundeng kembali menegaskan, Sekolah Mapatik selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin turut duduk belajar bersama.
“Kegiatan pelatihan seperti ini rutin kita gelar. Biasanya dilaksanakan setiap akhir pekan. Kali ini kita memang memilih pelatihan jurnalistik. Pada kesempatan lain, seperti waktu-waktu sebelumnya, kita ada pelatihan menulis sastra, menulis puisi, cerpen, novel, menulis esai. Kita juga ada pelatihan menulis artikel, karya ilmiah, menulis sejarah, karya jurnalistik, pelatihan menulis cerita anak, dan pelatihan sinematografi,” paparnya.
Komunitas Mapatik yang lahir dari kesadaran identitas, orang-orang yang bergumul dengan keterbatasan informasi sejarah dan budayanya serta berbagai konteks persoalan di atas tanah adatnya, Minahasa, kini intens menerbitkan buku. Karya dari anggota komunitas yang mengikuti berbagai pelatihan menulis.
“Mapatik juga membuat pelatihan menulis narasi. Ini sebenarnya ajakan ke teman-teman aktivis, penulis, jurnalis, untuk menulis lebih serius, lebih mendalam tentang berbagai topik menarik, konteksutal, persoalan-persoalan penting. Kita bersyukur, guru-guru kita hanya ada di dekat kita. Mereka yang memberi diri untuk mewali-wali (menuntun jalan) dan anggota komunitas yang telah lebih dulu belajar menulis,” ungkap Karundeng.
Pelatihan rutin yang digelar juga bertujuan menumbuhkan jiwa-jiwa baru yang memiliki semangat dan memiliki kesadaran untuk menjadi seorang jurnalis. Karundeng juga mengatakan, Mapatik menyediakan wadah jejaring bagi para jurnalis. Baik yang sudah berpengalaman, baru memulai, maupun mereka yang ingin mengembangkan potensinya dalam dunia jurnalistik
“Kebanyakan teman-teman yang hadir itu jurnalis, jadi karya yang dibuat di pelatihan bisa dimuat di media masing-masing. Tapi, di jaringan kita juga banyak media. Kalau teman-teman mau, karya itu bisa dimuat di media jaringan kita. Para jurnalis di Mapatik itu ada forum bersama, kita berjejaring dan secara rutin saling berbagi pengetahuan dan saling memberi dukungan,” tegasnya.
Semua peserta yang telah mengikuti pelatihan menulis di Mapatik, biasanya akan langsung bergabung menjadi anggota komunitas. Sesudah itu mereka akan mendapat kesempatan untuk mengikuti kelas jurnalistik lanjutan hingga kelas editor.
“Teman-teman baru tapi berminat dan mau serius, akan ada kelas bimbingan khusus di Mapatik. Kawan-kawan jurnalis lain yang akan jadi teman belajar bersama mereka. Biasanya, usai pelatihan, ada banyak pemimpin redaksi yang meminta teman-teman itu bergabung dengan media mereka,” ucapnya dengan senyum ramah, menambah hangat ruangan diskusi.
Kencangnya putaran jarum detik memutari arloji,tak terasa. Waktu menunjukkan tepat pukul 4 sore. Sapaan senja kini siap menyambut rembulan. Dengan mengalun, pria “bermata empat” itu menuturkan harapnya.
“Harapan kita, pertama teman-teman bisa menulis dengan baik. Itu soal teknis ini. Kemudian nanti punya wawasan, pengetahuan dan perspektif, serta memahami dengan baik aturan main yang menjaga profesi seorang jurnalis. Saya pikir itu yang paling penting,” harap Karundeng.
Usai sang maestro jurnalistik itu bertutur, kisah langsung disambung dengan catatan masukan lain dari seorang jurnalis senior. Sosok yang juga sudah malang-melintang menantang badai dan tingginya ombak lautan jurnalistik. Namanya, Hendra Mokorowu. Salah satu penanggung jawab kegiatan.
Menurutnya, ilmu jurnalistik merupakan amunisi penting bagi para jurnalis di lapangan kerja mereka. Sebuah oase yang bisa menyelamatkan wajah profesi ketika terjun di lapangan dan harus berhadapan dengan beragam narasumber.
“Materi yang dipaparkan Kak Rikson soal ilmu jurnalistik, itu pengetahuan awal yang sangat penting. Dari situ kita memehami dunia itu, tahu bagaimana memosisikan diri di berbagai konteks, hingga gambaran tentang betapa penting peran seorang jurnalis. Bagi teman-teman yang baru, kita sudah bisa dapat gambaran hal-hal apa saja yang akan ditemui nanti. Sebelumnya kita sudah diingatkan, diperkuat agar nanti kuat melaksanakan tugas,” kata Mokorowu, sembari sesekali mengisap sebatang kretek di tangan kanannya.
Sejumlah kisah, pengalaman yang ia alami, cukup mengocok perut hingga semua yang berada dalam ruangan 6×8 meter itu larut dalam tawa. Tak luput, Mokorowu kembali mengingatkan bagaimana jurnalis menjaga kebenaran dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat.
“Kemudian ada hal mengenai materi, saya pikir tidak kalah penting itu erat kaitannya dengan seorang jurnalis. Setiap saat, kemana saja dan di manapun dia berada, dia membawa profesinya. Pahami kode etik, agar kita tidak merusak citra profesi kita yang mulia,” kata Mokorowu mengingatkan kembali.
Berita hoaks kian menggila di era digital sekarang. Media-media sosial jadi sarang informasi berbau hoaks, yang belum tentu kebenarannya. Kondisi itu jadi tantangan sekaligus peluang bagi media massa dan para jurnalis untuk tetap menjaga kepercayaan publik.
“Fakta itu jadi tantangan buat teman-teman, makanya hal inilah yang perlu ditanamkan menurut saya. Apalagi teman-teman peserta yang kini berprofesi sebagai seorang jurnalis. Jangan pernah menulis tanpa data,” tutupnya.
Hari pertama kegiatan telah usai, namun aroma kopi masih memikat. Belum lagi keakraban bersama sahabat kian mengikat. Ada rasa bahagia, bisa menikmati ilmu yang sangat berharga.
“Macam-macam cerita dan pelajaran bagai biji kopi sangrai yang digiling menjadi bubuk, kemudian menghasilkan kopi yang beraroma harum. Nikmatnya ketika diseduh dan diseruput, seperti momen tak tergantikan hari ini,” kata Benhard Holderman, salah seorang peserta pelatihan.
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan