GURATAN
Setelah Tanggal 17, Apa?
Published
5 years agoon
By
philipsmarx18 April 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Sudahi saja euforia Pemilu ini, toh, setelah ini kita masih akan membaca berita, di suatu tempat ada kelompok-kelompok masyarakat rentan yang berhadap-hadapan dengan regulasi, dan putusan hukum yang tidak adil
SETELAH TANGGAL 17 APRIL, setelah Pemilu yang pasti ada adalah ‘kemenangan” dan “kekalahan”. Entah siapa yang menang, siapa yang kalah, Indonesia tetap sebagai sebuah negara. Ada pemerintahannnya. Ada semua yang sudah ada sebelumnya. Ada kekuasaan yang struktural-birokratis yang terpusat.
Dan, siapapun yang terpilih dari Pemilu kali ini akan diatur dan bekerja untuk sistem tersebut.
Tak akan ada sistem baru. Kalau ada yang baru itu adalah nama-nama elit-elitnya saja. Indonesia adalah negara yang berpusat di Jakarta. Desentralisasi yang dikendalikan dari sentral dijalankan oleh ‘raja-raja’ di daerah-daerah yang setiap Pemilu, terutama pasca orde baru ini giat sekali membangun ‘rezim-rezim’ kecilnya, yaitu melalui cara-cara politik keluarga.
Kemiskinan akan tetap ada. Diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan kelompok-kelompok rentan akan terus terjadi. Eksploitasi alam masih akan terus berlanjut. Birokrasi yang korup akan masih tetap berjalan.
Ini terus berulang selama sekali Pemilu usai dilaksanakan. Negara tetap eksis, tapi pemerintahan yang adil, kuat secara hukum, ekonomi yang memberdayakan rakyat kecil seolah sangat sulit diwujudkan.
Paradigma tak banyak berubah. Rakyat masih saja dipahami sebagai ‘objek’. Seolah, dengan jalan tol, dengan pembangunan waduk, fasilitas transportasi yang modern, semua soal menjadi selesai. Saya melihat dan ikut bergumul dengan kelompok-kelompok budaya di Minahasa yang hampir tidak bisa berbuat apa-apa ketiga waruga (kuburan batu) leluhur mereka kena dampak dari pembangunan bendungan sebagai program pemerintah.
Hal lain adalah situasi yang menegangkan ketika masyarakat berhasil dibuat terpolarisasi dengan isu ‘politisasi agama’. Saya kira beberapa hal ini sudah cukup memberi gambaran kualitas negara ini dalam hal jaminan hak-hak warga negaranya. Cara negara mengelola keragaman agama, etnis, gender, dan ekspresi-ekspresi lainnya masih juga belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Bahkan, dapat dikatakan, problem sejak negara ini hendak berdiri, yaitu soal dasar dan bentuk negaranya, tampaknya perlahan-perlahan akan diselesaikan secara tersamar dengan misalnya penerapan ‘ekonomi syariah’, ‘pariwisata halal”; setelah sebelumnya di daerah-daerah tertentu peraturan daerah bernuansa agama (syariah) telah menjadi bagian dari hukum yang mengatur kehidupan publik.
Sementara “teror” ketakutan yang menggangu ketenangan rakyat mengisi hari-hari hidupnya yang rentan, justru membuat polarisasi itu makin tajam. Tapi, pada setiap jelang Pemilu, ia menjadi lagi komoditi, yang seolah memang sengaja dipelihara untuk membuat pertarungan makin menarik. Lembaga-lembaga keagamaan, moral bahkan pendidikan diseret ke pertarungan elit. Ketika seolah hanya ada dua pilihan untuk Pemilu, lembaga-lembaga agama tampak menjadi tidak lagi memusingkan peran dan fungsi-fungsi etisnya.
***
Mari kita lihat dua masalah penting di negara ini sejak rezim-rezim yang lalu. Masalah kemanusiaan dan masalah ekologis. Sumber dari masalah-masalah ini terus diwariskan dari satu rezim ke rezim yang lain. Dengan begitu, dapatlah dikatakan ia adalah masalah patologis negara ini. Ia adalah penyakit laten Indonesia atau negara mana saja yang lemah secara politik, hukum, dan birokrasi.
Paling tidak ada sembilan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dari masa lalu yang hingga pemerintahan terakhir belum dapat diselesaikan. Pada Februari 2018 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM telah meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti laporan penyelidikan tentang 9 kasus HAM masa lalu yang telah diserahkan. Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga juga meminta pemerintah turun tangan tentang lambannya penanganan kasus-kasus tersebut (Tempo.co, 23 Februari 2018).
“Putusan politik seharusnya dari pemerintah, karena Kejakasaan Agung yang harusnya bergerak,” kata Sandrayati di kantor Amnesty International, Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Februari 2018.
Sembilan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung meliputi peristiwa 1965–1966; penembakan misterius 1982–1985; peristiwa Talangsari 1989; dan penghilangan orang secara paksa 1997–1998. Lalu, peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti-Semanggi I dan II; peristiwa Wasior-Wamena 2003; peristiwa Jambu Keupok di Aceh 2003; dan peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999.
Sementara itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memberi saran, bahwa penyelesaian kasus-kasus tersebut yang paling tepat adalah dengan cara non yudisial, seperti rekonsiliasi. “Kami anggap paling tepat karena ada pengertian diantara semua pihak,” kata Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanudin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 9 Januari 2018.
Deforestasi hutan sebagai masalah ekologis, sejak rezim orde baru hingga reformasi terus menunjukkan hal memprihatinkan. Forest Wacth Indonesia dalam buku terbitannya Silang Sengkarut Pengelolaan Hutan di Indonesia (terbit tahun 2018) menyebutkan, kehancuran signifikan sumber daya hutan Indonesia mulai terjadi di awal tahun 1970-an. Saat dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran.
Pada tahun 1980-an laju deforestasi Indonesia telah mencapai 1 juta ha/tahun. Awal 1990-an meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha/tahun, dan terus meningkat hingga tahun 1996 menjadi 2 juta ha/tahun. Menurut Forest Wacth Indonesia, peningkatan deforestasi itu adalah akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan untuk dieksploitasi bagi kepentingan politik dan keuntungan pribadi (FWI/GFW, 2001). Di periode selanjutnya, laju deforestasi mengalami penurunan menjadi sekitar 1,5 juta ha/tahun selama 2000-2009 (FWI, 2011) dan 1,1 juta ha/tahun pada periode 2009- 2013 (FWI, 2014). Tapi, sesungguhnya penurunan laju ini bukan karena prestasi dari program dan kebijakan pemerintah yang berhasil melindungi hutan, namun karena justru kondisi sumber daya hutan alam yang semakin menyusut.
Forest Wacth Indonesia menemukan dalam penelitiannya, masalah penggunaan hutan dan lahan merupakan akibat dari tata kelola (governance) yang lemah, dan berdampak pada: (1) Meningkatnya laju deforestasi, yaitu menghilangnya luasan hutan alam. Beberapa kasus yang ditampilkan hanyalah sebagian dari banyak contoh lain di nusantara ini yang dengan modus sejenis yang terkait dengan silang-sengkarut/tumpang tindih lahan menjadi penyebab dari deforestasi; (2) Konflik agraria. Semua kasus dalam studi ini menunjukkan bahwa dampak langsung dari silang sengkarut pengelolaan hutan dan lahan adalah konflik berbasis tanah dan sumber daya alam, baik yang bersifat vertikal, horizontal maupun kombinasi keduanya.
“Dampak lanjutan dari deforestasi dan konflik akibat silang sengkarut pengelolaan hutan dan lahan tersebut di antaranya adalah beragam krisis sosialekologis pedesaan, kriminalisasi, kekerasan, pelanggaran HAM, marjinalisasi, dan pengusiran paksa masyarakat dari ruang hidupnya sendiri,” demikian Forest Wacth Indonesia.
Juga disebutkan, “Di seluruh wilayah di Indonesia, ada benang merah antara aktor-aktor utama penyebab silang sengkarut pengelolaan hutan dan lahan. Yaitu rezim investasi rakus ruang dalam bentuk HPH, HTI, perkebunan sawit, dan pertambangan.”
Masalah pelanggaran HAM masa lalu yang belum dapat terselesaikan adalah gambaran dari komitmen negara melalui setiap pemerintahannya terhadap keadilan dan kemanusiaan. Deforestasi hutan dapat menjadi refleksi pada masalah ekologis. Di era pasca orde baru dengan rezim-rezim yang sudah beberapa kali berganti yang dihasilkan dari Pemilu rupanya tidak dapat melakukan hal progresif terhadap masalah-masalah itu.
***
Pemungutan suara Pemilu 2019 sudah selesai dilaksanakan. Masih ada beberapa tahapan memang kaitan dengan penyelenggaraan Pemilu. Hasil resmi Pemilu nanti akan diumumkan oleh KPU. Tapi setidaknya bulan Oktober Indonesia lagi-lagi punya pemerintahan baru, tapi tetap dengan sistem yang lama.
Saya kira dari segi penyelenggaran sudah baik di banding masa orde baru, baik dari segi regulasi maupun hal-hal teknis. Memang ada masalah-masalah tertentu, yang mungkin dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pengalaman pertama menyelenggarakan Pemilu secara serentak untuk memilih calon-calon anggota legislatif, DPD dan presiden serta wakil presiden.
Soal sekarang adalah kualitas atau esensi dari proses berdemokrasi itu sendiri. Kalau subtsansi demokrasi itu salah satunya adalah kebebasan, lalu apa yang kita harapkan dengan mobilisasi massa pemilih untuk mendukung caleg-caleg dari keluarga ‘dinasti kekuasaan’ daerah dengan politik uang atau tekanan birokrasi? Sementara caleg-caleg yang memiliki kualitas tapi hanya mengandalkan tawaran visi-misi harus menerima kekalahannya.
Dengan cara-cara berpolitik yang mengandalkan jaringan kekuasaan birokrasi, politik uang, tekanan politik penguasa-penguasa di tingkat lokal, maka Pemilu kali ini, seperti yang sudah-sudah akan menghasilkan sedikit saja calon pemimpin yang berkualitas, dan lebih banyaknya adalah yang tidak berkualitas secara politik tentu. Maka, merekalah yang dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga nasional yang akan mendesain regulasi, menyelenggarakan pemerintahan, pun pemimpin negaranya dieluk-elukkan oleh karena memang Pemilu kali ini tidak ada pilihan ketiga.
Sudah dapat dibayangkan, negara di lima tahun ke depan akan seperti apa? Pemerintah kabupaten/kota dengan anggota-anggota legislatif yang dihasilkan dari kualitas politik yang memprihatinkan dapat diprediksi tidak akan melakukan hal yang lebih progresif dari yang sebelumnya. Demikian halnya dengan pemerintahan di tingkat provinsi. Secara nasional, karena sistem negara ini masih sangat sentralistik, maka kesemuanya itu akan menjadi jaringan kekuasaan rezim dari pusat. Sebab, Pemilu sejatinya tidak memilih ‘seorang’ tapi ia adalah mekanisme untuk melegimatimasi munculnya sebuah rezim kekuasaan negara.
Maka, setelah Pemilu yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kelompok-kelompok masyarakat sipil makin mantap memainkan perannya. Bersama rakyat yang sudah ditinggalkan oleh mereka yang selama musim kampanye menyebut diri “wakil rakyat”, kerja-kerja pemberdayaan, pendidikan kritis, melatih kelompok-kelompok rakyat mengorganisir dirinya untuk menjadi kelompok-kelompok kritis terhadap kekuasaan, gerakan memperkuat rakyat mesti makin digiatkan.
Perubahan-perubahan ekonomi dan politik global semakin mendesak setiap negara untuk segera berbenah diri. Destruksi kemanusiaan dan ekologi yang terjadi secara global mendesak setiap orang yang berpikir untuk masa depan yang lebih baik memikirkan hal-hal yang lebih prinsip dan ideal terhadap negara. Tapi, jika hasil Pemilu masih saja sebagai pengulangan dari sebelumnya, maka negara yang diharapkan sebagai rumah masa depan bersama bagi setiap setiap orang agaknya sulit dibayangkan.
Jika negara dan pemerintahannya masih dipimpin oleh orang-orang dengan paradigma lama, sebagai hasil dari ‘politik uang’; ‘politik keturunan’; ‘politik agama’; ‘politik kebencian’; ‘politik ketakutan’; ‘politik hoaks’ , maka jangan terlalu berharap datangnya keadilan, keseteraan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama sebagai maksud adanya negara ini.
Regulasi dan teknologi yang menunjang birokrasi boleh saja semakin canggih, sumber daya manusianya boleh saja semakin banyak yang secara kuantitas memiliki gelar akademik tinggi-tinggi, tapi jika sistem dan paradigma kepartaian, birokrasi, pendidikan nasional, hukum dan ekonomi masih ditentukan oleh kekuasaan yang terpusat dan semua itu dioperasikan dengan lebih mengandalkan cara-cara teror kesadaran, maka pemerintahan yang berkeadilan dan menempatkan rakyat sebagai subjek negara, rasanya masih akan sulit terwujud.
Pemilu sejatinya adalah ajang bagi rakyat untuk menggunakan kedaulatannya dalam menentukan perubahan sistem dan paradigma itu . Tapi, dalam negara yang terstruktur dan terpusat, sesungguhnya rakyat hanyalah objek kekuasaan. Pemilu hanyalah cara untuk melegitimasi berlanjutnya sistem dan paradigma pemerintahan yang terus diulang. Sistem dan paradigma yang tidak berubah dari zaman kolonial, yang di era Indonesia merdeka ia hanya diberi nama baru.
Jadi sudahi saja euforia Pemilu ini. Toh, setelah ini kita masih akan membaca berita, di suatu tempat ada kelompok-kelompok masyarakat rentan yang berhadap-hadapan dengan regulasi, dan putusan hukum yang tidak adil. Masih akan terjadi masyarakat sebagai pemilik sah hutan, tanah dari zaman leluhurnya akan dikejar-kejar oleh polisi atau tentara atas nama mengamankan program pembangunan pemerintah. Kita juga mungkin masih akan menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa seseorang atau sekelompok orang yang divonis bersalah hanya karena mengekspresikan identitas yang dimilikinya.(*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Kamisan Manado, Gerilya Kemanusiaan Melawan Penggelapan Kebenaran
-
Memindahkan Nafsu Kekuasaan: Dari Jakarta ke Borneo
-
Ibuisme: Dharma Wanita, Emak-emak hingga Ibu Bangsa
-
Manuel Sondakh, Pendeta dan Politisi yang Kontroversial
-
M.R. Dajoh, Pengarang Syair Mars Pemilu 1955
-
Demokrasi di Minahasa: Tu’ur In Tana’, Pinawetengan, Paesaan In Deken Hingga Pemilihan Ukung