Connect with us

BERITA

Silakan Berdebat, Tapi Maaf Pilihan Sudah Ditetapkan

Published

on


Oleh:
Denni Pinontoan


Pilihan sudah ditentukan, debat Capres-Cawapres untuk tontonan saja

 

kelung.com – Fransiska Manatar seperti generasi milenial lainnya, sangat akrab dengan medsos dan media berita online lainnya. Berbekal smartphone yang mesti berisi pulsa data, ia selalu berupaya mengikuti perkembangan politik nasional. Pun ketika liburan akhir tahun ke kampung halamannya di Desa Nagha 1, Kecamatan Tamako, Kabupaten Sangihe, ia tetap aktif berinternet. Termasuk mengikuti keramaian jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini.

Fransiska, mahasiswa semester akhir Fakultas Teologi UKIT. Tahun ini ia akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali.

“Ini pertama kali saya memilih,” ujarnya ketika dihubungi kelung.com, Rabu, 16 Januari 2019.

Meski pemilih pemula, tapi Fransiska sudah punya pasangan Capres-Cawapres yang akan dia pilih pada tanggal 17 April nanti. Baginya, Pemilihan Umum (Pemilu) penting bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia. Termasuk memilih presiden dan wakil presiden.

Jauh-jauh hari, karena aktif mengikuti perkembangan politik nasional melalui media sosial dan media online, di masa jelang pelaksanaan Pilpres, Fransiska tak lagi susah-susah-susah menentukan pilihannya. Fransiska sudah punya calon pasangan capres-cawapres yang akan dipilih nanti.

“Sudah. Saya sudah punya calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih nanti,” katanya.

Namun, untuk debat nanti, Fransiska masih akan meluangkan waktu untuk menonton debat yang akan disiarkan langsung oleh televisi nasional. Bagi dia menonton debat tetap penting. Alasanya, untuk menyaksikan bagaimana para calon menyampaikan gagasannya.

“Saya akan menonton debat nanti. Untuk melihat bagaimana pandangan para calon tentang Hak Asasi Manusia, pemberantasan korupsi dan terorisme,” ujarnya.

Bagi Fransiska, tiga isu ini penting karena sebagai warga negara yang dari segi agama minoritas di Indonesia, hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan beragama masih merupakan masalah krusial di negara ini. Begipula dengan korupsi. Isu terorisme apalagi.

“Karena ketiga isu itu kan masih marak terjadi di konteks Indonesia,” kata Fransiska.

Namun begitu, bagi Fransiska debat ini tidak lagi akan mempengaruhi pilihannya. Ia sudah menetapkan calon presiden dan wakil presiden yang menurut dia layak untuk memimpin Indonesia.

“Calon yang akan dipilih kan sudah ada.  Jadi, argumen, kualitas gagasan dan penampilan para calon dalam debat nanti tidak lagi akan mengubah pilihan saya,” kata Fransiska.

Fransiska mengaku, calon yang akan dipilih nanti sudah ia ikuti track record-nya sejak jauh-jauh hari. Sebagai generasi milenial, Fransiska mengikutinya melalui media internet.

Fransiska adalah satu dari 98.951pemilih berusia 17-20 tahun di Sulut. Jumlah keseluruhan pemilih di daerah ini sebanyak 1.917.999 orang.

Dari segi usia, Fransiska berbeda dengan Garvin Kohdong, lelaki muda asal Malalayang, Manado. Geri, begitu ia biasa disapa, adalah seorang sarjana, lulusan Universitas Samratulangi Manado. Ia sudah mengikuti Pemilu sebanyak tiga kali. Untuk Pilpres kali ini, Geri mengaku sudah punya pilihan.

“Kira-kira, sudah tiga kali mengikuti Pemilu,” kata Geri ketika dihubungi Kelung.com.

Meski aktif mengikuti perkembangan isu-isu politik nasional,  tapi Geri lebih memosisikan diri sebagai warga negara yang ingin demokrasi menjadi lebih baik. Ia bukan pengurus partai. Apalagi caleg. Keseharian Geri sibuk dengan teman-teman pemuda gerejanya. Sejak beberapa tahun lalu ia dipilih sebagai pemimpin pemuda di jemaatnya.  Tentang debat capres-cawapres nanti, Geri mengaku tetap penting meskipun tak akan lagi mempengaruhi pilihan.

“Menurut saya, debat nanti cukup penting untuk mengetahui apakah mereka paham betul tentang program, visi dan misi ke depan,” ujar Geri.

“Tapi apakah hasil debat dapat mempengaruhi pilihan?”

“Kalau menurut saya orang yang jago berdebat belum tentu sama jagonya merealisasikan gagasan,” ujar Geri.

“Jadi, bagaimana?”

“Tidak akan mempengaruhi lagi pilihan. Karena calon saya tidak mungkin kalah dalam debat nanti.”

Edmund Watung, warga Winangun, Manado sudah menggunakan hak pilih sejak pemilu terakhir orde baru tahun 1997. Pilpres sudah beberapa kali ia ikuti. Tahun ini ia akan menggunakan lagi hak pilihnya.

“Saya sudah menentukan pilihan untuk pilpres nanti. Tidak akan berubah lagi,” kata Edmund.

“Jika begitu, apalagi pentingnya debat  ini .”

“Kalau untuk menyampaikan visi misi mereka, itu wajar saja. Tapi, debat dalam arti saling menjatuhkan, saya pikir tidak perlu,” ujar Edmund.

Sama seperti Edmund, Apolos Achpa sudah mengikuti Pemilu sejak Pemilu terakhir orde baru, tahun 1997. Apolos adalah warga kelurahan Pinaras, Kota Tomohon. Ia juga sudah punya calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih nanti. Ia sudah menetapkan pilihannya pada calon tertentu sejak sebelum ramai-ramai lagi Pilpres. Apolos mengaku, cara dia menetapkan pilihan adalah dengan melihat kepribadian dan keteladanan sang calon, baik itu pribadinya maupun keluarganya. Lalu menilai pengalaman kepemimpinan dan kinerjanya selama ini.

Tapi bagi dia, acara debat capres-cawapres adalah yang ditunggu-tunggu. Ia akan meluangkan waktu untuk menyaksikan dari layar televisi bagaimana para pasangan capres-cawapres tampil dalam debat.

“Untuk apa?”

“Untuk mengetahui, sampai di mana komitmen ke dua calon tentang penegakan hokum,” jawab Apolos.

Bagi Apolos, meski acara debat penting untuk disaksikan, tapi itu tak akan lagi mempengaruhi pilihannya. Pilihannya sudah tidak akan berubah.

“Bagi saya debat capres hanya untuk memperdalam keyakinan saja,” tandas Apolos.

Jeasika Tamboto, seorang perempuan karir, warga Kelurahan Talete, Tomohon sudah berapa kali mengikuti pemilihan. Pemilu sudah 2 kali ia ikuti. Pilpres 1 kali dan Pilkada juga 1 kali. Ia sudah punya calon untuk dipilih. Pilihannya itu berdasarkan track record sang calon yang menurutnya menyakinkan.

“Jadi intinya kalo saya pribadi memilih calon karena memang sudah terbukti,”

“Apakah besok menonton debat.”

“Pasti. Apalagi topik tentang HAM,” ujar Jeasika.

“Alasannya?”

“Karena saya penasaran bagaimana tanggapan paslon (pasangan calon, red) tentang HAM yang hingga sekarang belum dapat dituntaskan. Seperti kasus Munir, Novel Baswedan, dan lain-lain,” tuturnya.

“Mengapa isu HAM?”

“Saya mau lihat bagaimana masalah HAM ini masuk dalam visi misi paslon. Jangan-jangan hanya dibahas ketika ada isu,” kata Jeasika.

“Tapi, nda bakal akan mempengaruhi lagi pilihan yang sudah bulat,” lanjutnya lagi.

Silakan Saja Berdebat

Fransiska punya harapan untuk Pilpres tahun ini.

“Harapannya untuk capres-cawapres nanti adalah dapat melaksanakan pembangunan infrastruktur dengan baik, menjadi pemimpin dalam pemberantasan korupsi, melindungi HAM, menjaga toleransi di Indonesia dan bisa menampilkan politik moral dalam kehidupan perpolitikan Indonesia,” jelasnya.

Namun, bagi dia debat bukan sebagai referensi utama untuk menentukan pilihan. Calon yang dia pilih untuk menitipkan harapan itu, telah dia tetapkan jauh-jauh hari. Cara Fransiska menentukan pilihan ini, agaknya tidak jauh berbeda dengan Geri, Edmund, Apolos dan Jesika.

Pendapat Arya Fernandes, analis politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) agaknya menunjuk pada fenomena ini. Bagi dia, debat capres-cawapres hanya penting bagi pemilih ragu-ragu.

“Saya percaya bahwa debat pemilu dapat mempengaruhi pemilih baru dan ragu-ragu pada khususnya. Namun, debat tidak berarti apa-apa bagi pemilih setia kandidat tertentu. Bagi mereka, itu hanya menonton program [TV],” kata Arya kepada wartawan di Jakarta, Selasa 15 Januari, seperti dikutip dari The Jakarta Post.

Hasil survei Indikator Politik menemukan, dari 192 juta pemilih seluruh Indonesia tahun 2019 ini, 25 persen di antaranya adalah pemilih yang masih ragu-ragu. Pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu lebih tinggi. Angkanya capai 32 persen berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2014. Sementara temuan CSIS dalam surveinya untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, 9 April  tahun itu, jumlahnya lebih tinggi lagi, sebanyak 45 persen.

Fransiska dan pemiliih yang lain itu punya alasan untuk memilih pada Pilpres nanti. Mereka sudah menentukan calon. Telah menetapkan kriteria bagi calon yang akan dipilih. Mereka bukan pemilih ragu-ragu.

Fransiska memilih karena punya harapan politis, tentu sebagai warga negara. “Isu-isu terkait HAM dan terorisme memang belum terlalu dirasakan di Sangihe. Tapi korupsi ada. Bentuknya seperti penyalagunaan uang belanja misalnya,” ungkapnya.

Namun begitu, tampaknya lebih dominan adalah figur calon yang akan dipilih. Calon yang kinerjanya yang sudah dapat diukur. Tentu mengikuti ukuran warga kebanyakan.

Arya, analis politik dari CSIS itu juga berpandangan, kinerja kandidat yang disampaikan waktu debat penting bagi pemilih ragu-ragu.

“Jika seorang kandidat dapat unggul dalam dua bidang ini, saya kira debat akan dapat mempengaruhi pemilih,” katanya.

Bagi Ubedila Badrun dari Universitas Negeri Jakarta, ada dua faktor yang mempengaruhi pemilih kaitan dengan debat, terutama bagi swing voter dan undecided voter. Yaitu, argumentasi rasional dan daya tarik personal dari kandidat.

“Ada dua faktor, namun porsinya lebih besar disebabkan karena argumentasi rasional para kandidat. Rasionalitas jawaban kandidat yang membuat mereka pindah atau menjatuhkan pilihan,” kata Ubedilah, seperti dikutip dari Kompas.com.

Jika begitu, agaknya memang benar, debat tidak akan mempengaruhi pilihan bagi para pemilih seperti Fransiska, dan yang lainnya. Setidaknya bagi Fransiska, misalnya faktor yang mempengaruhinya menetapkan pilihan pada satu calon pasangan capres-cawapres sejak jauh-jauh hari adalah cara dia memperoleh informasi dan kemampuan memahaminya. Bagi pemilih lain yang sudah berapa kali memilih, keraguan terhadap calon yang akan dipilih agaknya sangat minim.

Namun tidak seluruhnya debat dapat mempengaruhi pilihan para pemilih ragu-ragu. Belajar dari pengalaman Pilpres tahun 2014, debat tidak berpengaruh secara siginifikan bagi mereka. Hasil pooling Indikator Politik dan Metro TV sebelum dan sesudah debat capres-cawapres pada Pilpres 2014 menunjukkan hal itu. Tidak ada perubahan yang berarti bagi pemilih usai menonton debat.

Mengapa? Menurut Arfianto Purbolaksono, peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institutesebabnya karena, “Masyarakat atau media lebih menyukai aksi panggung para calon, dibandingkan mengangkat perdebatan gagasan yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan di publik.”

Sementara pemilih ragu-ragu ini sering disebut-sebut sebagai kategori pemilih yang penting untuk kemenangan pasangan calon tertentu. Tahun 2014 LSI melakukan survei. Temuannya, mayoritas pemilih pasangan Prabowo-Hatta adalah pemilih ragu-ragu. Hasilnya, pasangan ini kalah. Sebaliknya, pemilih pasangan Jokowi-Kalla waktu itu adalah para loyalis, dan menang.

Iya, sebab yang disebut pemilih ragu-ragu, mereka yang galau itu di hari pencoblosan macam-macam yang bakal akan dibuat. Ada yang akhirnya ke TPS mencoblos salah satu calon yang ragu-ragu dia pilih. Diam di rumah saja. Atau pura-pura sibuk dengan urusan lain. Bagi yang ke TPS, tentu dia hanya akan memilih salah satu, bukan semuanya.

Kategori pemilih ini, tentu berbeda dengan pemilih macam Fransiska atau yang lainnya sekategori.  Tanggal 17 April nanti mereka akan ke TPS.  Apalagi Fransiska adalah pemilih pemula yang baru pertama kali ini merasakan pengalaman menggunakan hak pilih. Baginya, memilih adalah untuk menggunakan hak pilih.

“Memilih kan artinya untuk menentukan pilihan kita kepada satu calon,” tutur Fransiska.

Kepada calon yang dipilih itulah harapan dititipkan melalui secarik kertas yang diberi lubang. (*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *