BERITA
SINDIKASI Tuntut Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental
Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 Februari 2019
Oleh: Putri Kapoh
kelung.com – Menurut Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), hari ini para pekerja menghadapi kondisi kerja yang menimbulkan stres berat. Kondisi tersebut di antaranya kurangnya waktu untuk istirahat, pekerjaan yang semakin kompleks, dan ketidakjelasan karier di masa depan. Oleh karena itu, SINDIKASI menuntut agar perusahaan atau pemberi kerja untuk mewujudkan tempat kerja yang sehat untuk mental para pekerja.
Kondisi kerja yang paling banyak menimbulkan stres berat bagi pekerja tersebut terungkap dalam hasil Survei Faktor Psikologi Kerja yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Hasil survei tersebut dibacakan dalam sesi diskusi “Kerja Waras untuk Pekerja Lepas” yang menjadi salah satu kegiatan di Work Life Balance Festival 2019 pada Sabtu (9/2) di Cohive D.Lab, Jakarta Pusat. Kegiatan ini sekaligus untuk memeringati bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Peneliti dan Divisi Riset & Edukasi SINDIKASI, Fathimah Fildzah Izzati mengungkapkan survei tersebut menggunakan enam standar faktor psikologi yang terdapat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 (Permenaker No. 5/2018) tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), yakni ketaksaan (ambiguitas) peran, konflik peran, beban berlebih kuantitatif, beban berlebih kualitatif, pengembangan karir, dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Standar tersebut dinilainya belum mencakup risiko kerja yang memengaruhi kesehatan mental terutama pekerja di industri media dan kreatif. Risiko tersebut di antaranya adalah kelelahan karena terlalu banyak lembur dan kekerasan seksual di tempat kerja. Risiko lainnya di luar tempat kerja seperti kemacetan.
“Pekerja juga harus menghadapi victim blaming, kalau mengeluh banyak kerja dianggap banyak mengeluh, tidak siap kerja, tidak siap dengan risiko pekerjaan. Sehingga mereka memilih tidak melaporkan karena takut disalahkan atau takut kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Pekerja yang paling banyak stres berat terkait dengan beban kerja paling banyak di sektor e-commerce, arsitektur, dan pembuat konten media. Sementara, pekerja yang stres berat karena tugas menumpuk dan kompleks paling banyak bekerja di e-commerce, teknologi informasi, desain komunikasi visual, dan pembuat konten. Mereka bekerja sebagai freelance (pekerja lepas), bekerja ganda (kerja tetap dan freelance), dan pekerja harian.
Menyikapi kondisi tersebut, Izzati merekomendasikan untuk mempertimbangkan risiko-risiko yang memengaruhi kesehatan mental pekerja untuk manajemen stres. Selain itu, Izzati juga menekankan agar perlu ada langkah lanjutan baik dalam penanganan maupun pencegahan dengan memperbaiki kondisi kerja dan mewujudkan kerja layak demi kesehatan mental pekerja.
Hasil riset tersebut ditanggapi Praktisi Kesehatan Mental, dr Jiemi Ardian, yang mengakui bahwa kondisi kerja yang tidak sehat bisa menjadi pencetus stres. Pencetus dari pekerjaan tersebut meningkatkan ambang stres pekerja.
“Puncaknya adalah mental breakdown, depresi, dan gangguan kesehatan mental. Untuk mengenalinya cukup dengan melihat apakah ada gangguan tidur,” ujar Ardian.
Oleh karena itu, dia menilai perusahaan atau pemberi kerja perlu memberikan pelatihan menangani untuk mengurangi stres bagi pekerja. Selain itu, perlu menciptakan sistem baru untuk menciptakan kerja sehat untuk mental.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Pengawasan Norma Ergonomi dan Lingkungan Kerja Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Muhammad Fertiaz mengungkapkan faktor psikologi telah masuk dalam aspek K3 lewat Permenaker No. 5/2018.
Enam standar faktor psikologi dalam aturan tersebut dinilainya merupakan faktor pencetus yang memengaruhi kesehatan mental pekerja.
“Tools yang kita buat hanya mencakup pencetus stres. Dilihat mana dari enam itu yang paling dominan, dilihat tingkat stresnya. Jadi kebijakan pengendalian perusahaan, kalau beban kerja kuantitatif perlu pembagian jobdesk. Kalau pencetusnya kualitatif, perusahaan beri pelatihan,” ujar Fertiaz.
Penilaian faktor pencetus tersebut, menurut Fertiaz, bukan menilai kondisi pekerja tetapi kondisi yang memicu gangguan kesehatan mental. Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga atau konsultan, bukan oleh perusahaan sendiri.
Pelanggaran atas aturan tersebut diancam pidana kurungan tiga bulan dan denda hingga Rp 100 juta.
Tempat kerja yang sehat untuk mental diakui Head of Corp Communication CoHive, Kartika Octaviana, penting untuk menunjang kerja. Oleh karena itu, fasilitas yang dapat mengurangi pencetus stres dinilainya penting disediakan di tempat kerja. Salah satu tempat yang menyediakan fasilitas tersebut yakni co-working space.
Diskusi membahas mengenai wacana Revolusi Industri 4.0 yang dinilai menjadi modus baru untuk menjerat pekerja. Perkembangan teknologi dijadikan alasan untuk memecat hingga melakukan eksploitasi terhadap pekerja.
Sementara itu, dalam sesi selanjutnya yang bertema “Bolong-Bolong Industri 4.0”, Ketua SINDIKASI, Ellena Ekarahendy, mengungkapkan bahwa pekerja tidak dianggap sebagai manusia tetapi mesin. Apalagi wacana Revolusi Industri 4.0 hanya memfokuskan pada ketakutan berlebih bahwa manusia akan digantikan oleh mesin. Teknologi saat ini menurut Ekarahendy hanya dikuasai oleh segelintir pihak untuk memperoleh keuntungan.
“Pekerja akan seenaknya diganti,” ujarnya.
Selain itu, Ekarahendy juga menegaskan tentang hubungan antar-pekerja yang semakin terpecah dalam Revolusi Industri 4.0. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak munculnya pekerja mandiri. Kondisi tersebut membuat masalah ketenagakerjaan dianggap sebagai persoalan individual.
“Kita dibuat terpisah satu sama lain, sehingga tidak bisa membuat serikat pekerja,” tegas Ekarahendy.
Sementara itu, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah, menggarisbawahi tentang wacana Revolusi Industri 4.0 yang dimunculkan pemerintah yang berubaj jadi hal yang kontradiktif. Wacana Revolusi Industri menjadi anomali saat pekerja atau buruh harus meningkatkan kemampuan (skill) tetapi sekolah semakin sulit.
“Apa yang ditawarkan pemerintah bagi saya tidak akan bisa menghasilkan perkembangan Revolusi Industri yang membawa manfaat umat manusia,” ujar Ilhamsyah.
Pendapat tersebut tak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Syarif Arifin, peneliti di Lembaga Informasi Sedane (LIPS). Arifin mengatakan bahwa pemecatan terus menjadi permasalahan dalam perkembangan teknologi. Selain itu, perkembangan teknologi juga memunculkan jenis pekerjaan baru. Akan tetapi, jenis pekerjaan baru tersebut tidak diakui dan tidak terlindungi oleh negara.
“Pemecatan terjadi karena dikriminalkan, diputus kontraknya, dan banyak modus lainnya. Lalu cari yang segar dan pintar, tapi nanti akhirnya dibuang lagi,” lanjut Arifin.
Sementara itu, pekerja digital yang juga merupakan co-founder Corechain.id, Imanzah Nurhidayat, mengatakan bahwa wacana yang muncul dari Revolusi Industri 4.0 hanya menakut-nakuti. Menurutnya, narasi yang semestinya muncul dalam Revolusi Industri 4.0 bukan mengenai pemecatan dan teknologi menggantikan pekerja tetapi buat apa kerja.
“Bagi saya kita nggak butuh kerja, yang kita butuh edukasi,” ujar Nirhidayat.
Acara Work Life Balance Festival 2019 diinisiasi oleh SINDIKASI. Serikat buruh ini merupakan organisasi yang diinisiasi oleh para pekerja untuk menjadi wadah kolektif dalam mengatasi sejumlah tantangan ketenagakerjaan. SINDIKASI menaungi pekerja dari beragam profesi dan lintas perusahaan dalam sektor media dan industri kreatif, yang oleh Badan Ekonomi Kreatif diprediksi mencapai 16,9 juta pekerja.
Sejak resmi tercatat sebagai serikat pekerja pada Januari 2018, SINDIKASI telah mengadakan berbagai kelas pendidikan ketenagakerjaan, diskusi, forum pertemuan rutin, penyebaran informasi, serta pendampingan dan advokasi masalah ketenagakerjaan.(*)
Editor: Andre Barahamin