Published
7 months agoon
06 Mei 2024
“Sebagai zoon politicoon, manusia memiliki akal dan nalar. Yang kami tahu bersama itulah mengapa ada moral dan rasa tanggung jawab. Rasa yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Bahkan, secara moral juga berbeda-beda diterjemahkan. Namun, secara moral kami terlahir sebagai manusia Minahasa. Sebagai pewaris darah suci Toar-Lumimuut yang mengemban pesan suci Ni Apo Karate Ni Mema wawo in Tana o Langi.”
Penulis: Juan Ratu
ADA HAL yang membuat manusia tetap bertahan dalam hidup, salah satunya mempercayai kenyataan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Konsep Homo Homini Socius layaknya yang dikemukakan Adam Smith, walau konsep ini telah berkembang dari zaman klasik, hanya saja terminologi yang berbeda.
Manusia hidup memerlukan eksisnya manusia lain. Meski dalam pengertian Adam Smith manusia eksis adalah yang lahiriah berwujud. Tapi, dalam beberapa aliran pemikiran apakah itu mistikus atau spiritualis hingga sejenisnya. Lebih luas lagi, yakni manusia bisa eksis dan menjadi hidup dengan campur tangan manusia lain yang lahiriah, cum manusia yang batiniah, cum non manusia, cum wujud yang telah ada bahkan yang akan ada.
Wujud manusia membutuhkan manusia lainnya, adalah seperti saya sebagai manusia tidak bisa berjalan sendiri. Dalam konsep inilah memerlukan keseimbangan dan keadilan dengan bersama seorang entitas manusia. Seperti bersama beliau Injilia Eunike Palar.
Dalam tradisi pemikiran konsep pernikahan telah menjadi satu, namun kesatuan kami juga memerlukan manusia lain bahkan secara penuh kesemestaan. Memerlukan momentum, sebagai pendulum untuk melihat dan merasakan daya hidup di sebelah mana.
Sama seperti ‘zoon’ umumnya, memerlukan energi dan sarang, untuk bisa mengembangkan teknik ‘bertahan’ dan ‘menyerang’ untuk tetap bisa betul-betul hidup. Sebab, bila sekedar hidup, babi di kandang pun hidup. Bila sekedar bersosial, monyet-monyet pun bersosial. Itulah mengapa Aristoteles sebut manusia Zoon Politicoon.
Sebagai zoon politicoon, manusia memiliki akal dan nalar. Yang kami tahu bersama itulah mengapa ada moral dan rasa tanggung jawab. Rasa yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Bahkan, secara moral juga berbeda-beda diterjemahkan. Namun, secara moral kami terlahir sebagai manusia Minahasa. Sebagai pewaris darah suci Toar-Lumimuut yang mengemban pesan suci Ni Apo Karate Ni Mema wawo in Tana o Langi.
Hal itulah mengapa, konsep siri/sumiri (dalam aksen Tontemboan) menjadi moral yang berlaku. Tidak ada yang bisa menghalang ikatan antara anak dan orang tua, dan tidak ada yang bisa mengamputasi jembatan darah antara leluhur kepada keturunannya. Meski dalam banyak hal, para turunan ini tidak bisa meraih lagi citra dan cerita leluhurnya. Tapi, itu bisa digapai dengan membaca niat hati, yang tertuang dalam cerita mite dan simbol-simbol tempat kreasi tangan manusia maupun alam.
Salah satu kreasi tangan yang menyatu dengan kreasi semesta di tanah Minahasa, adalah Watu Pinawetengan dan Watu Kulo (Walelang) dikenal Bukit Kasih, berada di semenanjung pegunungan Tonderukan, samping benar Tana Kelelondey. Yang mana, dalam momen perjalanan mengawali kisah sebagai ‘kapenanaanta’ kami melakukan penghormatan dan penghayatan terhadap leluhur. Yang menjadi wujud sakral karena konsistensi menjadi Minahasa yang sepatutnya dicontohi serta diikuti sebagai nasehat yang menjadi bintang penerang.
Meski dalam beberapa cerita dan cara pandang sebagian manusia, langkah kami ini mendapat kritikan dan unrespecfull feelings, tapi beginilah adanya, sebagai Minahasa sebagai pewaris darah Toar-Lumimuut yang melalui jalur Kinembut atau Tou won Temboan.
Tidak masalah untuk konsekuensi yang dihadapi, sebab, semua ajaran yang menjadi besar menyisipkan kebesaran hati, pengorbanan dan menerima konsekuensi. Seperti dalam ajaran Agama Samawi Abramahamik, Yahudi/Jews, bangsa Israel harus rela disiksa dan menderita demi menantikan kedatangan Messias. Dalam Kristen, Yesus Kristus rela dicaci maki dan diludahi untuk menggenapi karya agung-Nya, yang menjadi dasar citra dan pengikut Kristus yang disebut Kristen. Atau bagi umat Muslim harus mengorbankan kenikmatan dunia, dengan mengikuti aturan Al-Quran, Hadits, Ijma, Qiyas.
Semua kepercayaan yang ada memberikan konsekuensi. Bagi yang bertahan akan menemui hasil yang baik baginya. Seperti ini, sebagai keluarga Kristen yang akan mendapatkan penilaian dari jemaat maupun luar jemaat, serta bukan jemaat pun akan memberikan wacana untuk diuji. Sama seperti saran yang diberikan oleh Paulus, Silwanus dan Timotius kepada jemaat di Tesalonika dalam suratnya yang Pertama tertulis, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”.
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan