OPINI
Social Distancing: Pelanggaran HAM Demi Melindungi HAM
Published
4 years agoon
By
philipsmarxOleh: Donny Rumagit
Mahasiswa Semester 4 Program Studi Hukum, FIS UNIMA
SEORANG TEMAN yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), mengeluhkan kebijakan Bupatinya yang melarang semua ASN, Tenaga Harian Lepas (THL) dan pegawai swasta, untuk keluar Mitra. Kebijakan ini disebut guna memutus penyebaran Corona Virus Desease-19 (Covid-19). Bagi yang melawan, langsung diberikan sanksi nonjob atau dipindahtugaskan di daerah terpencil.
“Kebijakan pemerintah, Bupati sudah tidak masuk akal. Kami harus tinggal di wilayah Mitra sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan sudah ada beberapa teman yang kena hukuman. Mereka dipindahkan di Toluan Selatan. Bagi yang tetap ‘kumabal’ akan dinonjobkan, padahal anak-anak mereka terlantar di rumah. Ini penyanderaan dan sudah menyangkut HAM (hak asasi manusia),” keluhnya via whatsapp (WA), sambil memohon untuk kiranya diteruskan pada sang bupati.
Hal lain, viralnya video warga yang marah dan mengamuk saat aparat ingin membubarkan mereka yang sedang mandi pantai di “Jangkar Sandar”, kawasan Mega Mas, Manado, Minggu (12/4) lalu. Video viral yang tren dengan istilah meme Manado “mandi pante adalah obat corona” itu akhirnya berujung tiga warga diciduk polisi dan diproses pidana karena melawan petugas yang melakukan imbauan social distancing.
Ini hanyalah dua contoh bentuk protes dari sekian protes warga ketika pemerintah Indonesia merespon pandemi Covid-19 dengan mengambil beberapa kebijakan dimulai dari pembatasan sosial, kemudian ditingkatkan menjadi pembatasan jarak fisik, hingga yang paling mutakhir adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang telah diterapkan di beberapa daerah. Kebijakan ini oleh sebagian kalangan dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap HAM, sebab mengangkangi hak dan kebebasan individu, baik untuk bergerak, berkumpul, termasuk dengan beribadah bersama di gereja, mesjid, pura dan wihara.
Benarkah pembatasan sosial adalah pelanggaran HAM? Tulisan ini untuk merespon protes warga tersebut dari sudut pandang Hak Asasi Manusia.
Apa itu Hak Asasi Manusia?
Menurut John Locke, filsuf dari Inggris, HAM adalah hak-hak yang langsung diberikan Tuhan kepada manusia sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuatan apapun di dunia yang bisa mencabutnya. HAM ini sifatnya mendasar (fundamental) bagi kehidupan manusia dan pada hakikatnya sangat suci. Menurut Miriam Budiarjo, HAM adalah hak yang dimiliki setiap orang yang dibawa sejak lahir ke dunia. Hak itu sifatnya universal sebab dipunyai tanpa adanya perbedaan kelamin, ras, budaya, suku, agama dan sebagainya.
Berdasarkan literatur yang penulis baca, HAM terdiri dari beberapa jenis. Di antaranya, hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubung dengan kehidupan pribadi setiap individu. Contohnya, kebebasan untuk bepergian, bergerak, berpindah ke berbagai tempat, kebebasan dalam menyampaikan pendapat, kebebasan dalam berkumpul dan berorganisasi, kebebasan dalam memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaannya sesuai keyakinan masing masing individu. Kedua, hak asasi politik, yaitu hak asasi yang terkait dengan kehidupan politik seseorang. Ketiga, hak asasi hukum, yaitu hak mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Keempat, hak asasi ekonomi, merupakan hak masing-masing individu terkait dengan kegiatan perekonomian. Kelima, hak asasi peradilan. Keenam, hak asasi sosial budaya.
HAM merupakan nilai-nilai universal yang telah diakui secara universal yang dideklarasikan 10 Desember 1948 lalu. Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan perlindungan HAM, lewat gerakan reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa, berhasil menumbangkan rezim otoriter orde baru. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 diamandemen dan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak warga negara dalam konstitusi, dimasukkan. Seperti yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, dimana negara menjamin hak atas kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak bebas memeluk agama dan beribadah serta hak-hak lainnya.
Social Distancing
Penyebaran Covid-19 sejak 2 Maret 2020 lalu. Ketika itu, satu pasien positif pertama di Indonesia diumumkan dan trennya pun terus meningkat. Menurut data terakhir yang dipublikasikan oleh pemerintah lewat gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, pada hari Minggu (10/5), tercatat 13.645 orang positif terinfeksi virus corona dan yang sembuh 2.607, serta meninggal dunia 959. Khusus di Sulawesi Utara, positif 53, sembuh 17 dan meninggal dunia 4 orang.
Pemerintah di bawah komando Presiden Joko Widodo, terus menggencarkan sosialisasi agar setiap individu menerapkan social distancing guna memutus mata rantai penyebaran virus corona. Lantas, apa yang dimaksud dengan social distancing ?
Wikipedia menulis, social distancing atau pembatasan sosial atau menjaga jarak adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular.
Social distancing adalah istilah asing yang telah akrab di telinga rakyat Indonesia dan menjadi bahasa dalam percakapan shari-hari, baik di rumah maupun komunikasi media sosial. Pada penerapan social distancing, seseorang tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dan harus menjaga jarak setidaknya 1 meter saat berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang sedang sakit atau beresiko tinggi. Penerapan social distancing dalam masyarakat yang kita kenal saat ini, seperti bekerja dari rumah (work from home), belajar di rumah secara online bagi siswa dan mahasiswa, berdiskusi lewat webinar, beribadah dari rumah lewat pengeras suara atau live streaming, resepsi pernikahan ditiadakan, ibadah duka dipersingkat, tidak ada lagi perkunjungan orang sakit di rumah sakit.
Apakah ketentuan social distancing melanggar HAM ? Menurut penulis adalah pelanggaran HAM karena setiap pembatasan terhadap manusia adalah pelanggaran HAM. Tetapi pelanggaran aturan HAM, yaitu social distancing dalam konteks Covid-19 adalah tindakan pemerintah yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan HAM yang lebih besar, yaitu hak hidup dari seluruh masyarakat Indonesia, hak atas keselamatan kesehatannya.
Kebijakan Bupati Minahasa Tenggara, James Sumendap yang melarang ASN, THL dan pegawai swasta keluar dari Mitra, adalah pelanggaran HAM yang melindungi rakyat Minahasa Tenggara supaya tidak terjangkit virus corona yang didatangkan dari luar daerah. Tindakan aparat yang membubarkan orang-orang yang mandi di pantai dan memproses pidana bagi tiga orang yang melawan social distancing adalah pelanggaran HAM demi menyelamatkan hidup orang banyak.
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan amanat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman virus corona. Pemerintah Indonesia telah melakukan apa yang dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf, orator yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno, dengan istilah “salus populi suprema lex esto”. Artinya, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. (*)