Connect with us

Nasional

Sorot Menang, Kompaks Minta Usut Kasus-Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Published

on

Penulis: Omega Pantow


Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) mengecam dan menyesalkan pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar pada Selasa, 14 Oktober 2024, yang menyebutkan kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren terlalu dibesar-besarkan oleh media dan berpotensi membuat orang tua khawatir untuk menyekolahkan anak-anaknya di pesantren.

Pernyataan tersebut melukai rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban kekerasan seksual di lingkungan pesantren karena mengecilkan dan cenderung menyangkal pengalaman korban, dan justru menghilangkan akuntabilitas dan membangun ruang impunitas dengan alasan atas nama baik pesantren.

Kompaks merujuk pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Catahu) yang mengumpulkan laporan kekerasan berbasis gender dari seluruh Indonesia. Selama 21 tahun dokumentasi Catahu menunjukkan bentuk kekerasan seksual di ranah publik menempati posisi tertinggi. Kekerasan seksual paling banyak terjadi di lembaga pendidikan, lembaga bisnis, dan dalam relasi personal. Relasi kuasa menjadi penyebab utama kekerasan seksual, karena pelaku cenderung menempati posisi atau profesi yang seharusnya jadi panutan dan pelindung bagi korban, termasuk tokoh agama. Catahu 2022 mencatat ada 9 kasus dengan pelaku kekerasan seksual teridentifikasi sebagai tokoh agama, sedangkan pada 2023 tercatat sebanyak 13 kasus.

Kasus-kasus yang dilaporkan itu adalah puncak gunung es. Kompaks meyakini bahwa kasus kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di lingkungan pesantren, banyak yang tidak dilaporkan dikarenakan stigma yang ditempelkan masyarakat pada korban. Namun, korban bukan sekadar angka statistik. Satu kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun sudah merupakan bencana bagi kemanusiaan. Kekerasan seksual adalah kekerasan yang menghancurkan dan merendahkan ketubuhan korban, dan dampaknya panjang serta mempengaruhi kualitas hidup korban dan penikmatan seseorang atas hak-haknya.

“Banyak sekali hambatan bagi korban dan anggota keluarganya untuk mengadukan kekerasan seksual yang dihadapinya. Korban, yang umumnya berusia anak, perempuan dan tinggal di pondok atau asrama, memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan anak, perempuan yang tinggal dalam perlindungan keluarga. Jika terjadi sesuatu, tidak serta merta mereka bisa mengadu kepada orang tua atau keluarganya. Terlebih jika pelaku adalah ustad atau kyai yang memiliki kuasa atau otoritas keilmuan dan agama,” ujar Siti Aminah Tardi, anggota Kompaks yang juga merupakan Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center dan sempat menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan 2020-2025, menjelaskan situasi kekerasan seksual di pesantren.

Alih-alih mempermasalahkan pemberitaan media massa yang mengangkat kasus kekerasan seksual di pesantren, Kompaks mengingatkan bahwa Menteri Agama seharusnya merujuk ke Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Lembaga Pendidikan di Lingkungan Kementerian Agama (PMA 73/2022) dan lebih giat melakukan sosialisasi dan pengawasan atas kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama, termasuk pesantren, madrasah, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya. Peraturan ini memastikan adanya mekanisme dan prosedur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban, yang juga merupakan mandat moral dan hukum bagi Kementerian Agama.

“Hadirnya PMA 73/2022 justru upaya untuk meyakinkan wali santri bahwa pesantren akan menjadi ruang aman dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Seharusnya Menteri memastikan semua pesantren sudah mentaati ketentuan PMA tersebut, bukan secara tidak langsung menyangkal dan menuduh sebagai merusak nama baik pesantren,” lanjut Siti menegaskan sikap Kompaks.

Indonesia sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi tonggak penting dalam upaya negara memastikan ruang pendidikan bebas dari kekerasan seksual. Pasal 12 dan 13 UU TPKS dengan jelas menegaskan bahwa lembaga pendidikan wajib melaksanakan upaya pencegahan kekerasan seksual, termasuk dengan memastikan adanya mekanisme pengaduan, perlindungan bagi pelapor dan korban, serta pendidikan kesetaraan dan anti-kekerasan berbasis gender. UU TPKS memberikan penegasan peran negara untuk menghapus budaya tutup mata terhadap kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang kerap bersembunyi di balik narasi “menjaga nama baik lembaga”.

Pernyataan Menag bukan hanya melukai korban, dan merupakan pandangan yang keliru, tetapi juga bertentangan dengan semangat dan mandat UU TPKS. Sikap tersebut berpotensi menghalangi implementasi UU TPKS, memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan agama, dan mengancam komitmen Indonesia terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas rasa aman bagi anak dan perempuan di lingkungan pendidikan.

Selain itu, pernyataan Menteri Agama yang menyebut kasus kekerasan seksual di pesantren dibesar-besarkan oleh media tidak hanya menunjukkan sikap abai terhadap penderitaan korban, tetapi juga berpotensi menghalangi kerja-kerja jurnalisme yang memiliki mandat konstitusional untuk menjalankan fungsi pengawasan sosial dan memastikan transparansi publik.

Aseanty Pahlevi, anggota Jurnalis Perempuan Khatulistiwa yang juga tergabung di Kompaks menambahkan, “Dalam konteks demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, jurnalis memiliki peran strategis sebagai pengungkap kebenaran dan pelindung kepentingan publik, terutama terhadap kelompok rentan seperti anak dan perempuan. Upaya media untuk memberitakan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama merupakan bagian dari pelaksanaan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak warga negara untuk memperoleh informasi.”

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dan Korban Kekerasan Seksual (Dewan Pers & Komnas Perempuan, 2019), media justru didorong untuk memberitakan secara etis dan berpihak pada korban. Karena itu, tudingan bahwa media “membesar-besarkan kasus” merupakan bentuk pelemahan terhadap jurnalisme etis dan upaya publik memecah budaya pembungkaman yang kerap terjadi dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Sikap Menteri Agama ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, dan Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan hak masyarakat untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Tak hanya itu, Kompaks mendorong Peringatan Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober dijadikan sebagai momen pengingat tanggung jawab moral dan hukum negara untuk menjamin keselamatan para santri hari ini, baik dari ancaman kekerasan seksual maupun kelalaian struktural yang merenggut nyawa. Tragedi ambruknya bangunan pondok pesantren di Sidoarjo yang menewaskan puluhan santri menunjukkan bahwa keamanan fisik dan psikologis santri masih jauh dari kata terlindungi. Kasus tersebut semestinya menjadi alarm keras bahwa keselamatan santri tidak cukup dijaga dengan narasi kesalehan, melainkan harus diwujudkan melalui pengawasan negara, akuntabilitas pesantren, dan penerapan standar profesional di bidang konstruksi, tata kelola, serta pencegahan, penanganan, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Oleh karenanya, Kompaks mendesak Menteri Agama, pertama meminta maaf atas pernyataan yang menilai bahwa media massa telah membesar-besarkan kasus kekerasan seksual. Kedua, melaporkan kepada publik terkait pelaksanaan PMA 73/2022 yang telah, dalam proses, dan belum melaksanakan ketentuan tersebut. Ketiga, mengubah UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dengan menambahkan hak santri untuk bebas dari kekerasan, perundungan, dan intoleransi, serta kewajiban penyelenggara pesantren untuk membangun ruang aman dari berbagai bentuk kekerasan. Keempat, mendukung upaya-upaya masyarakat sipil dan pesantren yang tengah membangun pesantren ramah anak dan perempuan. Kelima, mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan di pesantren, menghukum tegas pelaku, dalam upaya perlindungan terhadap santriwan dan santriwati di Indonesia.

Diketahui, Kompaks adalah koalisi yang hadir sejak tahun 2018 dan merupakan respons yang diinisiasi masyarakat sipil atas buruknya situasi kekerasan berbasis gender, utamanya kekerasan seksual di Indonesia. Terdiri dari puluhan lembaga, kolektif, dan individual yang fokus pada isu pemenuhan hak-hak perempuan, pencegahan serta penanganan kekerasan berbasis gender dan seksualitas di ranah luring maupun daring, Kompaks turut dalam #GerakBersama mengawal penyusunan UU TPKS dan implementasinya, serta upaya-upaya lain untuk menghapus kekerasan berbasis gender.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *