FEATURE
Suatu Malam di Arakan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx24 Februari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Wen berkisah tentang politik yang mengubah dirinya, dari seorang perempuan kampung menjadi seorang aktivis sayap kiri.
THAN WEN adalah peminum bir tangguh. Sekaligus perempuan paling cerdas dan sinis yang pernah saya temui di Burma. Kombinasi mematikan bila kita menambahkan paras wajahnya yang memenuhi indikator-indikator kecantikan oriental ala iklan tivi.
Pertemuan dengannya di bulan Oktober 2013 di Sittwe adalah sebuah kejutan. Awalnya, saya mengira akan berjumpa dengan seorang laki-laki. Semua gambaran yang diberikan oleh Honey Oo, kawan sekaligus contact person di Yangoon dalam bayangan saya hanya cocok untuk rupa seorang yang memiliki penis. Otak saya memang masih patriarkis. Sehingga alam bawah sadar saya secara sengaja menolak mengimajinasikan bahwa seorang penenggak bir dengan kadar minum di atas rata-rata, pengendara motor yang baik, selera humor yang sempurna serta menguasai soal politik dengan nafas sinisme, bisa saja seorang perempuan.
Hingga akhirnya malam Sabtu, 18 Oktober 2013, saya berjumpa dengannya. Ia memilih sebuah bar sederhana yang tidak terlalu ramai yang letaknya tidak jauh dari hotel saya menginap. Perempuan dengan rambut sebahu yang dikuncir ala kadarnya. Ia mengenakan kaos berwarna merah dengan gambar logo ABFSU yang disablon dengan warna putih. Senyumnya lebar dan seketika membuatmu merasa bertemu kawan lama. Wen adalah salah satu yang terlibat aktif pada Revolusi Saffron 2007.
“Aku masih duduk di semester 3 saat itu. Belum setahun bergabung dengan ABFSU.”
All Burma Federation of Students’ Unions (ABFSU), adalah federasi nasional dari berbagai serikat pelajar di tingkat kampus di Burma. Secara kuantitas, mereka merupakan organisasi terbesar. Sejarah historis, mereka adalah organisasi paling tua di negeri ini.
Bertil Lintner dalam The Rise and Fall of the Communist Party of Burma (1990) menulis bahwa cerita ABFSU diawali dengan pendirian Ranggon University Students’ Union (RUSU) pada tahun 1931. Saat itu, Burma masih merupakan daerah koloni Inggris. Tokoh-tokoh utama pendiri RUSU dan kemudian menduduki kolektif pimpinan serikat di tahun 1935, seperti Aung San, U Nu, Ko Kyaw Nyein, dan Ko Thein Pen adalah figur-figur penggerak protes besar pelajar di kota Rangoon pada Februari 1936.
Protes itu diawali oleh pemecatan yang menimpa Aung San dan U Nu karena dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terbitnya artikel berjudul “Jahanam Yang Berubah Agak Baik”. Artikel yang secara simbolik menyerang rektor Universitas Rangoon dan kebijakan-kebijakan pro-kolonial Inggris-nya tersebut diterbitkan di majalah periodik RUSU yang dikepalai oleh Aung San. U Nu sendiri merupakan presiden RUSU pada saat itu.
Protes besar RUSU kala itu memang gagal menggapai tuntutan dan justru membuat pemerintah kolonial Inggris mulai mengawasi pergerakan pelajar. Namun, protes besar tersebut sukses memantik kesadaran para pelajar di kampus-kampus lain yang berbuah pada kongres raya pelajar Burma beberapa bulan berikutnya.
Kongres ini diprakarsai RUSU dan dilaksanakan pada 8 Mei 1936 . Ko Yarship dan Aung San terpilih sebagai pasangan Ketua dan Wakil Ketua untuk menakhodai serikat pelajar baru yang bernama All Burma Students’ Union (ABSU).
Di tahun 1951, bersamaan dengan digelarnya pemilu elektoral pertama di negara tersebut, ABSU juga melakukan kongres untuk mengganti namanya menjadi ABFSU. Kongres ini juga menegaskan bahwa perjuangan ABFSU tidaklah hanya di bidang pendidikan, namun juga melibatkan diri secara aktif dalam upaya penegakan demokrasi di Burma.
Dua tahun setelah melakukan kongres ke enamnya, yaitu pada tahun 1962, ABFSU melakukan pemogokan nasional sebagai ucapan selamat datang kepada Jendral Ne Win yang baru saja naik tampuk kekuasaan setelah melakukan kudeta pada 2 Maret di tahun itu. Ne Win, seorang jendral berhaluan sosialis-nasionalis yang saat itu menjabat sebagai Komandan Unit Pertahanan Burma. Dalam Living Silence: Burma Under Military Rule, Christina Fink, menjelaskan bahwa Ne Win bukan orang baru di dunia militer Burma. Ia merupakan salah seorang perwira binaan Aung San.
Kudeta tersebut direspon pelajar dengan mengorganisir protes.
Pemogokan pelajar sejak pertengahan Maret memuncak dengan terjadinya kerusuhan di Universitas Rangoon pada bulan Juli, yang segera diikuti dengan pengerahan tentara untuk memukul mundur pelajar. Tentara segera melakukan tindak represif dengan cara menembaki pelajar dan membom kantor pusat ABFSU di universitas Rangoon.
Diperkirakan lebih dari seratus pelajar tewas dalam kerusuhan tersebut. Jendral Ne Win membekukan serikat pelajar dan ABFSU kemudian dinyatakan ilegal. Kondisi ini memaksa ABFSU untuk beroperasi melalui jalur bawah tanah.
Setelah kerusuhan di Universitas Rangoon, Jendral Ne Win dan Dewan Revolusi melanjutkan programnya untuk membawa Burma menuju sosialisme. Ini jenis sosialisme yang jauh berbeda dengan apa yang diadvokasikan oleh Marx. Sosialisme Ne Win adalah kombinasi mematikan antara ide mengenai negara satu partai, sentralisme kekuasaan, dominasi militer, kebanggaan nasional dan sistem ekonomi hibrida dari dua kutub kekuatan yang sedang bertempur di dunia saat itu. Untuk memastikan rencananya sukses, ia mendirikan Partai Program Sosialis Burma (PPSB) di awal kekuasaannya untuk menjadi salah satu perangkat utama dalam revolusi yang dicanangkannya. Tahun 1964, PPSB diputuskan sebagai satu-satunya partai resmi di gelanggang politik Burma.
Hingga masa akhir kekuasaannya sebagai presiden di tahun 1981, Ne Win melancarkan berbagai program yang dianggapnya dapat mendorong Burma menjadi negara sosialis. Termasuk di antaranya adalah kebijakan autarki yang terus menerus mendapatkan penentangan dari ABFSU karena dituduh menjadi sebab dari kemiskinan massal yang melanda seantero negeri. Namun kritik yang menerpanya sejak awal masa kepemimpinannya, tak membuat Ne Win bergeming.
Ia sangat yakin bahwa Burma akan segera menjadi negara sosialis yang mandiri.
Itu mengapa pada tahun 1974, tepatnya 2 Maret, Jendral Ne Win membubarkan Dewan Revolusi karena menganggap bahwa tugas telah selesai, dan segera mendeklarasikan Republik Sosialis Serikat Burma. Ne Win lalu dipilih sebagai presiden dan menunjuk tangan kanannya Jendral Sein Win sebagai perdana menteri.
Setelah melalui masa-masa clandestin, ABFSU kembali muncul di permukaan.
Diawali dengan protes untuk menentang kebijakan ekonomi mistik ala presiden Ne Win pada bulan November 1987. Kebijakan tersebut adalah peluncuran mata uang pecahan 45 dan 90 Kyat dan melarang penggunaan pecahan yang lain seperti 100, 75 dan 25 kyat. Hal ini dilatarbelakangi oleh keyakinan sang jendral bahwa angka 9 adalah angka keberuntungan dan penggunaannya dalam transaksi ekonomi dalam negeri akan membantu penyelesaian krisis yang semakin parah di Burma.
Lintner dalam tulisannya yang lain berjudu Outrage: Burma Struggle’s for Democracy (1989) menjelaskan mengapa protes pelajar yang meluas secara spesifik diarahkan sebagai protes atas keputusan rejim untuk meniadakan subsidi pendidikan. Pelajar dari Institut Teknologi Rangoon (ITR) yang tidak puas dengan berbagai keputusan rezim yang dianggap tidak masuk akal, meluapkan amarah di jalanan. Anak-anak muda ini menyapu bersih jendela-jendela, fasilitas publik dan bangunan pemerintah yang terletak di jalan Insein, kota Rangoon.
Peristiwa kerusuhan di Insein memaksa rezim menutup seluruh kampus, meniadakan aktivitas belajar mengajar dan menyuruh pelajar agar tetap di rumah.
Namun, larangan di kota Rangoon justru menyulut solidaritas di Mandalay. Kali ini, bukan hanya pelajar yang terlibat. Serikat pekerja dan biksu-biksu juga ikut turun ke jalan melakukan protes. Protes ini kembali dihadapi secara represif oleh junta militer yang kembali menyulut kerusuhan publik yang lebih luas. Gedung-gedung pemerintah dan pusat-pusat bisnis segera diselimuti api. Untuk mencegah efek domino, rezim militer menerapkan sensor ketat kepada media terkait pemberitaan peristiwa di Mandalay.
Aktivitas belajar mengajar di Rangoon kembali bergeliat di akhir bulan Oktober 1987. Kampus-kampus dibuka, dan para pelajar kembali ke ruang kelas. Tapi situasi tidak lagi sama. Para pelajar sudah mendengar kebangkitan aksi-aksi protes di berbagai distrik di luar Rangoon. Rapat-rapat rahasia pelajar mulai digelar dan protes-protes dalam skala kecil mulai ditanam. Pamflet-pamflet protes mulai sebarkan. Salah satu grup pelajar bahkan mengirimkan surat ancaman kepada junta militer.
Pada bulan Maret hingga Juni 1988, jumlah protes semakin meningkat dan menjadi pemandangan harian di kota-kota utama Burma. Protes pelajar yang meluas dan mendapatkan dukungan publik disebabkan karena tindak represif aparat, dan rasa putus asa akibat krisis ekonomi berkelanjutan yang membuat Burma bahkan dikategorikan sebagai negara terbelakang oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, hingga status ini dicabut pada Desember 1987.
Protes-protes berkelanjutan ini membuat rejim memutuskan untuk kembali melakukan pembekuan aktivitas belajar mengajar di berbagai universitas dan sekolah tinggi yang menjadi pusat protes di seantero negeri. Selain menutup kampus, militer juga melakukan penangkapan massal terhadap mereka yang dianggap sebagai dalang protes. Sapu bersih militer ini melanda Rangoon, Mandalay, Mergui, Minbu, Myitkyina, Pakokku, Pegu, Sittwe dan Tavoy. Aktivis-aktivis pelajar dan serikat pekerja ditangkap dan para biksu dipaksa kembali ke kuil-kuil. Namun tidak ada yang selesai dengan represi tersebut.
Tuntutan utama dari rangkaian protes ini adalah demokrasi elektoral multi partai.
Gelombang besar protes sipil akhirnya berujung pada pengunduran diri Jendral Ne Win pada 23 Juli 1988. Sebagai penggantinya, sang jenderal menunjuk Sein Lwin, sosok yang paling dibenci oleh gerakan sipil Burma, karena keterlibatannya dalam beragam tindakan represif terhadap demonstran di Ranggon. Sein Lwin adalah sosok di balik aksi pemboman kantor utama ABSFU dan penembakan pelajar yang terlibat protes di Universitas Rangoon pada tahun 1962.
Pengalihan kekuasaan secara sepihak tersebut dianggap sebagai bukti ketidakinginan rezim militer untuk melaksanakan pemilu multi partai yang demokratis.
Puncak dari seluruh frustasi ekonomi dan politik ini meledak di awal bulan Agustus. ABSFU merencanakan mogok nasional pada tanggal 8 Agustus 1988. Seminggu sebelumnya, pamflet-pamflet gelap membanjiri sudut-sudut kota Rangoon. Lengkap dengan logo burung merak, yang menjadi simbol ABSFU. Rezim militer melakukan antisipasi dengan mengumumkan darurat militer pada 3 Agustus dan melarang lebih dari lima orang berkumpul.
Meski begitu, mogok nasional tetap dilangsungkan seperti rencana walau berada di bawah ancaman senjata. pelajar, kelompok minoritas, biksu, serikat pekerja, dan petani melakukan demonstrasi yang dikoordinasikan secara nasional dan melumpuhkan kota-kota penting di seantero Burma. Hingga tanggal 12 Agustus, selama empat hari sejak mogok nasional dilangsungkan, protes tak surut namun justru membengkak dalam segi jumlah dan sebaran titik api. Untuk menghadapi demonstran yang telah mengepung kota, jenderal Lwin menambah kekuatan dengan memanggil pulang kekuatan tentara yang sebelumnya ditempatkan di daerah-daerah operasi militer.
Panik, Lwin menginstruksikan untuk menembaki demonstran. Akibatnya sungguh mematikan.
Menurut Vincent Boudreau dalam Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia (2004) diperkirakan hingga tiga ribuan orang tewas dalam rangkaian protes ini. Ribuan lagi terluka dan ditangkap. Gelombang protes kemudian berada di persimpangan ketika Sein Lwin tiba-tiba mengundurkan diri pada 12 Agustus 1988. Kekosongan kekuasaan terjadi. Menyiasati hal ini, beberapa kelompok radikal segera membentuk dewan-dewan rakyat untuk menjaga stamina protes dan terus mengorganisir protes.
Pada 19 Agustus, Maung Maung, seorang sipil yang merupakan penulis biografi jendral Ne Win dan juga merupakan salah seorang intelektual pro-militer, ditunjuk menjadi presiden.
Namun penunjukan Dr. Maung tidak menghentikan protes. Demonstrasi dalam skala nasional kembali terjadi beberapa hari kemudian. Pada tanggal 22 Agustus, lebih dari 50.000 orang melakukan protes di Sittwe, sementara 100.000 lainnya melumpuhkan Mandalay. Ini adalah periode penting bagi perjuangan demokrasi di Burma yang ditandai dengan kemunculan Suu Kyi yang untuk pertama kalinya di hadapan publik. Pagoda Shwedagon menjadi saksi bisu aksi perdana Suu Kyi melakukan pidato umum di hadapan lebih dari setengah juta demonstran.
Sejak hari itu dalam catatan Boudreau, Suu Kyi bertransformasi menjadi simbol perjuangan menuntut demokrasi di Burma dan menjadi idola negara-negara Barat. Menyusul kemudian, tepatnya pada tanggal 27 November 1988, National League for Democracy (NLD) dibentuk. Aktivis-aktivis pelajar radikal yang terlibat dalam Revolusi 8888, sebagian besar menggabungkan diri dengan NLD.
Untuk meredam perkembangan oposisi, pihak militer melakukan penangkapan terhadap sekitar 6000 orang aktivis, termasuk di dalamnya adalah para pimpinan ABFSU dan pendukung NLD. Aksi ini membuat banyak aktivis pelajar yang terpaksa melarikan diri ke daerah perbatasan atau daerah pegunungan untuk kemudian melancarkan perang gerilya terhadap militer. Banyak di antara aktivis pelajar yang kemudian bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata dari etnis-etnis minoritas yang memperjuangkan otonomi penuh, seperti etnis Karen dan Kachin.
Junta militer akhirnya terpaksa menyelenggarakan menyelenggarakan pemilu pertama sejak kudeta yang terjadi pada tahun 1962.
Pemilihan umum diselenggarakan pada 27 Mei 1990, dan menandai kemenangan siginifikan kubu oposisi yang diwakili oleh NLD dengan memenangi 59 persen dari total suara dan secara konstitusional berhak atas 392 kursi anggota parlemen dari total 492 yang diperebutkan. National Unity Party (NUP) sebagai partai representasi junta militer, kalah telak dalam pemilu 1990. Figur utama NUP, Sein Lein yang merupakan pengikut setia Jendral Ne Win, tak mampu menyaingi popularitas Suu Kyi yang mewakili NLD.
Hasil pemilu tidak berhasil membuat militer menyerahkan kekuasaannya. Sebaliknya, pihak militer melalui State Peace and Development Council (SPDC) atau Dewan Keamanan dan Pembangunan Negara menuduh bahwa Suu Kyi tanpa sadar telah dimanfaatkan oleh eksponen komunis. Suu Kyi sendiri telah berada dalam status tahanan rumah sejak 20 Juli 1989, karena menyatakan keraguannya terhadap pemilu yang demokratis dengan militer sebagai penyelenggara.
Pasca-pemilu, gerakan pelajar yang dimotori oleh ABFSU kembali menurun.
Kemunculan signifikan terjadi ketika ABSFU menggunakan momentum penerimaan Nobel Perdamaian oleh Suu Kyi sebagai ajang konsolidasi dan protes. Pada 10 Desember 1991, ABSFU tampil dan melakukan pemogokan. Aksi yang segera direspon dengan represif oleh militer dan berujung pada penangkapan kolektif pimpinan dan figur-figur utama ABFSU.
Tindakan represif tersebut untuk sementara dapat dikatakan sukses. Gerakan ABFSU menurun secara kuantitas dan kualitas. Tahun 1994, ABSFU dapat dikatakan absen dalam pertarungannya dengan junta militer. Rapat-rapat untuk mempersiapkan aksi segera berujung penangkapan dan pemenjaraan aktivis pelajar. Radikalisasi dan jejak sejarah ABFSU membuat anggota dan figur-figur utamanya selalu menjadi target militer. Hal ini menyebabkan jumlah aktivis ABFSU yang dipenjara terus meningkat. Selama periode ini, satu-satunya kemunculan signifikan gerakan pelajar kembali terjadi pada tahun 1996, namun dengan cepat kembali meredup seiring badai represi.
Gerakan pelajar di Burma kembali menemukan momentum konsolidasinya di tahun 2007, ketika SPDC mengumumkan pencabutan subsidi BBM pada 15 Agustus, yang memicu kenaikan harga bahan bakar hingga 66 persen. Beberapa hari kemudian, pelajar mulai melakukan protes. Hal ini mendorong SPDC untuk kembali menangkap 13 figur utama gerakan demokratik, termasuk pimpinan utama ABFSU, Min Ko Naing, lalu juga memenjarakan kembali Ko Ko Gyi serta Mya Aye. Dua nama terakhir adalah tokoh kunci gerakan pelajar yang menghabiskan sebagian hidupnya dalam tahanan sejak kebangkitan popular 8888.
Tapi kali ini, penangkapan urung meredam frustasi atas krisis yang terjadi. Protes terus berlangsung dan bahkan membesar.
Pada 5 September, dalam sebuah protes yang direpresi oleh militer, tiga orang biksu terluka. Kyaw Hin Hlaing mencatat di tulisannya yang berjudul Challenging The Authoritarian State: Buddhist Monks and Peaceful Protests in Burma peristiwa tersebut mendorong lebih banyak biksu yang turun ke jalan untuk melakukan protes dan meminta pihak junta militer meminta maaf. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh SPDC. Puncaknya, sekitar 2000 biksu melakukan reli politik di jalan-jalan Rangoon, ditemani oleh pelajar dan serikat pekerja. Di Mandalay, lebih dari sepuluh ribu biksu melakukan protes. Lima kota besar lain juga lumpuh dengan aksi protes yang dipelopori oleh para biksu.
Tindakan represif junta militer terhadap para biksu menjadi sentimen aksi solidaritas di berbagai negara yang juga memicu lahirnya tekanan politik dari PBB dan ASEAN, yang meminta agar Burma segera melakukan reformasi politik dan meminimalisir pelanggaran hak asasi manusia. Tekanan internasional dan ancaman isolasi ekonomi serta ancaman yang menyasar figur-figur utama junta militer membuat SPDC sedikit melunak. Meski demikian, junta militer telah menegaskan jauh-jauh hari bahwa NLD dan Suu Kyi tidak akan dilibatkan dalam perencanaan, pembentukan dan penerapan “demokrasi yang disiplin” di negara tersebut.
Kepeloporan biksu dalam kebangkitan gerakan demokratik di Burma membuat periode ini oleh Lintner dalam laporan panjangnya berjudul The Resistance of The Monks: Buddhism and Activism in Burma di kemudian hari dikenal sebagai revolusi Saffron. Mengacu pada warna kain yang digunakan para biksu yang menjadi warna dominan di periode tersebut.
Setelah revolusi ini, gerakan demokratik di Burma kembali melemah.
Wen kemudian menceritakan panjang lebar bagaimana peristiwa pemogokan sipil selama tiga bulan tersebut mengubah hidupnya. Dari seorang perempuan kampung yang datang kuliah dengan tujuan mendapatkan pekerjaan di institusi pemerintah, menjadi seorang aktivis sayap kiri yang kini menghabiskan waktunya dengan petani-petani miskin.
“Bapakku mungkin masih marah hingga kini. Bagaimana tidak? Ia banting tulang agar anak perempuannya mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai aparat negara. Tapi lihat ujungnya. Aku malah jadi seorang pembenci ketidakadilan. Padahal, sebagai anak yang datang dari keluarga miskin, soal-soal seperti revolusi, penindasan, kesetaraan gender, dan lain sejenisnya, adalah hal-hal terakhir yang akan dipedulikan setelah perut terisi dan sedikit cadangan uang di dompet. Segalanya makin rumit karena selain perempuan, aku adalah anak pertama dalam keluarga. Beban ganda tersebut seharusnya lebih dari cukup untuk menjadi alasan bagiku menjaga jarak dengan politik.”
Saya meringis kecil. Sebabnya, latar belakang kami tak jauh berbeda. Menghabiskan waktu bersekolah dengan tujuan akhir menjadi pegawai negeri adalah dambaan orang tua. Ayah saya dahulu berharap bahwa ia bisa melihat saya bangun pagi, sarapan lalu mengenakan seragam dan pergi bertugas di kantor kecamatan. Tapi semuanya berubah ketika saya mulai mengenal politik sewaktu duduk di bangku kuliah. Politik juga pada akhirnya yang membuat jalan hidup saya berbelok sepenuhnya dan meninggalkan semua harapan orang tua.
“Tapi, setidaknya kau masih lebih baik. Orang tuamu sedikit banyak bisa menerima. Tidak sefeodal orang tuaku. Di negaramu, protes setidaknya masih diberikan ruang. Di sini, tidak ada kemewahan demokrasi semacam itu,” nada bicara Wen terdengar sinis. Botol bir di tangannya sudah kosong. Saya melambaikan tangan. Seorang pelayan datang mendekat.
“Dua lagi. Boleh?”
Wen tersenyum mendengar saya memesan bir kembali. “Kau ingin membuatku mabuk?”
Saya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja tidak. Jika tidak kuat lagi minum, tidak usah minum. Tapi saya, jelas masih mau minum.” Kretek dinyalakan dan tidak lama kemudian, dua botol ukuran kecil sudah berada di atas meja.
“Rokok yang kau hisap. Baunya aneh. Seperti ganja.”
“Ini bukan ganja. Ini kretek. Asli Indonesia. Bau yang kau bilang aneh itu berasal dari cengkeh. Ini bahan utama yang membedakan rokok Indonesia dengan rokok kreasi Eropa. Rokok di sini, dibuat dengan resep ala Eropa. Tanpa cengkeh.”
Wen tak menanggapi. Ia hanya diam dan memegang botol bir.
“Alasan Eropa menyeberangi lautan ratusan tahun lampau adalah rempah-rempah. Cengkeh salah satunya. Di kampung, kami menyebutnya emas coklat. Ini adalah sebab mengapa kita dijajah. Para merkantilis datang untuk berdagang, lalu memonopoli dan akhirnya menjadikan leluhur kita budak.”
“Tapi setidaknya, setelah merdeka, kalian punya demokrasi. Kami? Kami punya senjata!” Nada suaranya meninggi, meski tidak sampai berteriak.
“Benar. Kami punya demokrasi. Dengan kualitas yang buruk sekali. Presiden kami adalah seorang delusional yang membayangkan dirinya sebagai Justin Bieber. Seorang pensiunan jendral yang kini hampir sepuluh tahun berkuasa. Dan apa prestasi terbaiknya? Meluncurkan album lagu! Bukan hanya satu. Tapi seingatku, lebih dari lima. Itu benar-benar gila.”
Saya menghela nafas. Lalu kembali menghisap kretek yang sedikit lagi tandas. Ini benar-benar pembicaraan yang bodoh. Kami berdua seakan berlomba soal siapa yang paling menderita.
“Ya. Kami memang punya demokrasi. Setelah lebih dari tiga dekade hidup di bawah junta militer. Dan demokrasi itu kini sedang menderita penyakit setelah satu-satunya presiden paling waras yang pernah kami punya dikudeta oleh parlemen.”
Saya menenggak kembali bir yang tinggal setengah isinya. Hingga tandas. Penjelasan panjang lebar yang terasa percuma di hadapan seorang perempuan yang tampaknya begitu keras kepala.
“Tapi setidaknya, kalian masih punya pemilu. Di Myanmar, tidak ada pemilu. Kau tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang berkuasa. Sebagai warga negara, tugasmu hanyalah menerima siapapun yang ditunjuk. Tidak boleh ada protes. Dan di sini, di Rakhine State, kondisinya jauh lebih buruk. Demokrasi dapat diibaratkan seperti surga. Banyak orang membicarakannya, tapi tak pernah ada satupun yang pernah mengalaminya.”
Tawa Wen pecah sesuda menyelesaikan kalimatnya. Meski, tidak ada hal yang lucu. Saya kembali menyalakan kretek. Lalu meletakkan bungkus dan korek di atas meja. Wen terus menatap saat kretek terbakar dan baunya melayang ke sekitar.
“Kalau ingin coba, silahkan. Tidak ada salahnya. Kalau tidak cocok, jangan diteruskan.” Saya menggeser bungkus kretek sedikit lebih dekat ke arah Wen.
“Nanti saja. Pasti aku akan coba.”
Kami lalu sama-sama membisu. Seperti kehabisan topik pembicaraan. Mungkin karena lelah dengan situasi di negeri masing-masing. Saya bisa memahami frustasi yang terasa di setiap nada bicara Wen ketika mendiskusikan soal Rakhine. Dua hari berada di sini, saya bisa merasakan bahwa Sittwe tidaklah seideal bayangan awal. Bahwa kota ini pernah menjadi pusat gerakan politik, itu kini tinggal fakta sejarah. Sulit menemukan warisan periode penting yang kini dicatat dalam tikungan sejarah politik Burma. Tapi kondisi tak jauh berubah. Keberagaman etnis terasa seperti bom waktu yang kapan saja siap meledak.
Saya teringat Shelby Tucker yang menulis Burma: The Curse of Independence. Apakah benar, negeri ini dikutuk?
Orang-orang Bamar sebagai etnis mayoritas di negeri ini, tentu saja ingin mempertahankan status quo. Orang-orang Arakan, yang sadar bahwa mereka adalah minoritas di kancah politik dan ekonomi nasional, setidaknya ingin mengamankan posisi mereka di Rakhine State. Secara historis, sebagian besar wilayah negara bagian ini dahulu merupakan bagian dari Kerajaan Arakan. Dan orang-orang Rohang di bagian barat laut, adalah kelompok paling minor, rentan dan sering menjadi sasaran pukul dari banyak kelompok.
“Dilematis. Tidak mudah berbicara soal Rohingya. Latar belakang sebagai orang Arakan tentu saja mempengaruhi penilaianku. Ada bias yang tidak mungkin disangkal. Dan persoalan ini terlalu pelik. Campur aduk antara kepentingan subjektif para elit dan keinginan militer untuk memonopoli sumber-sumber bisnis ekstraksi di wilayah tersebut.”
Saya tidak merespon soal itu. Karena setidaknya, apa yang sedang terjadi di Rakhine dalam beberapa hal mengingatkan saya dengan Papua.
“Belum lagi jika kita menyebut soal kelompok-kelompok gerilya bersenjata. Aku tidak punya soal tentang taktik yang mereka pilih. Tapi tak jarang, aksi-aksi mereka membuatku sangat marah. Sebab, masyarakat sipil yang menjadi korban. Setiap kali ada serangan terhadap pos Tatmadaw, pasti desa-desa sekitar yang jadi sasaran. Kau tentu tahu bagaimana tololnya militer. Mereka tidak punya otak. Baik tentara rendahan maupun para jendralnya. Semuanya seperti kecoa yang kalap. Tidak punya target, sehingga semua yang tampak di hadapannya akan terlihat sebagai musuh.”
Perempuan ini menarik nafas.
“Kau tentu pernah dengar Arakan Army. Minggu lalu, mereka kembali melancarkan serangan. Tidak ada korban tewas memang. Tapi letupan satu peluru sudah cukup menjadi alasan bagi Tatmadaw untuk menyerang pemukiman-pemukiman Rohingya.”
“Mungkinkah konflik ini sengaja dipelihara? Maksudku begini. Belajar dari pengalaman di Papua. Terkadang, sebuah serangan yang terjadi adalah manipulasi untuk memecah situasi damai. Dalam bisnis militer, situasi damai justru mengganggu bisnis. Kau pernah dengar Freeport?”
Wen menggelengkan kepala.
“Freeport adalah tambang emas terbesar di Indonesia. Letaknya di bagian tengah selatan, pulau Papua. Tunggu sebentar,” saya lalu mengeluarkan handphone. Membuka Google Map dan menunjukkan kepada perempuan ini letak Freeport.
“OK. Lalu?” tanya Wen sambil terus menggenggam botol birnya.
“Nah, untuk kasus Freeport, ketika situasi sedang kondusif, tiba-tiba saja ada serangan bersenjata. Biasanya menyasar warga asing. Tak jarang, ada korban tewas. Dengan demikian, maka pihak Freeport tentu akan mengeluarkan sejumlah uang. Dana keamanan istilahnya. Atau, menggandakan jumlah uang keamanan yang biasanya disetor kepada Polisi atau Angkatan Darat. Uang diterima, kasuspun selesai. Semua pihak bahagia. Perusahaan merasa aktivitasnya dilindungi, militer dan polisi mendapatkan uang setoran, pemerintah tenang karena kondisi kembali kondusif.”
Nafas saya terasa berat. Serasa habis lari sepuluh kilometer. Membicarakan Papua selalu membuat saya geram dan malu. Bahwa saya adalah bangsa penjajah.
“Dan kalian punya bukti soal itu?”
Saya menggeleng mendengar pertanyaan itu. “Bukti fisik tidak punya. Anggap saja ini seperti rahasia publik. Semua orang tahu bagaimana bisnis kotor ini berjalan. Itu mengapa Papua menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki tingkat konsentrasi militer dan polisi paling tinggi. Meski tidak secara verbal diucapkan, tapi mereka yang waras dapat melihat bahwa Papua adalah daerah operasi militer. Pos tentara dan pos polisi ada di mana-mana.”
Saya mengambil jeda. Menghisap kretek lalu membasahi kembali bibir dengan bir. Wen tampak serius menyimak.
“Tapi ada satu tulisan bagus soal penembakan di area Freeport yang terjadi tahun 2002. Laporan menarik yang ditulis Eben Kirksey dan Andreas Harsono. Nanti aku bagi soft copy-nya.” Laporan yang saya maksud tentu saja adalah Murder at Mile 63. Ini pamungkas yang baik. Saya bisa berbagi dan tidak sekedar datang dan memerah informasi dari Wen.
“Persis seperti di sini. Rakhine adalah salah satu dari beberapa negara bagian yang menjadi konsentrasi militer. Hal ini terkait erat dengan upaya perjuangan untuk menuntut otonomi penuh.” Nada suara Wen meninggi.
“Jadi, kalian sebenarnya bukan menuntut untuk merdeka?” saya bertanya karena sedikit kaget.
Wen tertawa. Sementara saya tampak kebingungan.
“Tentu saja tidak. Tuntutannya adalah otonomi penuh. Special Autonomous Region. Seperti Hong Kong, misalnya. Sebab, ketika kami merdeka dari Inggris, itu adalah kesepakatannya. Federasi bangsa-bangsa. Bangsa Arakan setara dengan bangsa Bamar atau bangsa Kachin. Walaupun secara kuantitas, kami jauh lebih sedikit. Masing-masing bangsa berhak mengatur dirinya. Meski kami terikat sebagai Burma.”
“Jelaskan lebih detil lagi,” saya kemudian membuka lagi satu botol bir.
“Burma itu adalah terma politik yang digunakan di masa perjuangan pembebasan melawan kolonial Inggris. Para pendiri negeri ini datang dari latar belakang bangsa yang berbeda-beda, namun menggunakan Burma sebagai identitas politik untuk menyatukan gerakan. Saat itu, bahasa etnis Bamar adalah bahasa percakapan yang umum digunakan. Hanya sebatas itu saja. Identitas politik ini adalah hasil kreasi ketika para pejuang kemerdekaan Burma di masa tersebut berhasil mengidentifikasikan entitas yang disebut sebagai musuh bersama. Namun, identitas politik ini tidak menegasikan identitas kultural kami yang berumur jauh lebih lama dan telah membentuk struktur sosial masyarakat kami selama berabad-abad. Identitas politik adalah alat perjuangan menuju pembebasan dari cengkraman kolonialisme.”
Perempuan itu menatap kedua mata saya. Ini mungkin caranya mengambil jeda sekaligus menyiratkan pertanyaan apakah saya mengerti penjelasannya tadi. Saya mengangguk kecil.
“Namun kudeta militer mengubah semuanya. Identitas politik kemudian ditransformasikan sebagai satu-satunya identitas yang berhak mendapatkan ruang hidup. Semua orang dipaksa untuk menjadi ‘orang Burma’. Sesuatu yang mustahil, karena tidak pernah ada yang namanya orang Burma. Namun kemustahilan itu kemudian dipermak dan diberi prasyarat dan bentuk. Bamar sebagai etnis mayoritas kemudian dipersonifikasi sebagai gambaran dari apa yang disebut sebagai ‘orang Burma’. Dan bangsa-bangsa lain, kemudian disebut sebagai ‘minoritas’. Penyebutan ini memiliki implikasi serius. Sebagai minoritas, kami dibatasi secara ekonomi, politik dan budaya. Sebab, minoritas adalah persoalan kuantitas. Dan jumlah yang lebih sedikit diharuskan tunduk pada jumlah yang lebih banyak. Lalu, mereka menyebutnya demokrasi. Gila! Sangat gila!” Wen menutup penjelasannya.
Bir di tangan saya kini semakin berkurang. Di atas meja, sudah ada delapan botol yang tandas. Wen lalu melambai ke arah pelayan bar.
“Aku minta bir lagi. Kau bagaimana? Masih mau minum?” tanya perempuan itu.
“Ya. Masih mau. Pesan saja dua botol.” Usai menjawab, segera saya menandaskan bir yang sedari tadi berada dalam genggaman. “Kau pernah dengar intelektual bernama Ben Anderson? Ia menulis buku bagus soal nasionalisme dan bangsa-bangsa.” Saya kembali memulai percakapan.
Wen menggeleng. “Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apalagi membaca bukunya. Aku bukan intelektual atau tipe orang yang nyaman berlama-lama di belakang meja. Aku lebih suka terjun di lapangan. Berkeringat karena kerja kasar.” Wen lalu menenggak bir yang baru saja tiba. “Tapi jangan salah paham dulu.” Ia sepertinya sedang menerka bahwa mungkin saya tersinggung dengan pernyataannya barusan.
Saya kembali menyalakan kretek. Kurang dari semenit yang lalu, sebatang yang lain sudah tandas kuhisap.
“Kau seperti kereta api. Merokok tanpa henti. Memang berapa banyak stok rokok yang kau bawa ke sini?” tangannya membolak-balik bungkus rokok yang semakin ringan karena berkurang isinya.
Saya tersenyum. “Cukup untuk dua minggu di sini. Jika setiap hari saya menghabiskan dua bungkus.”
Wen nampak terkejut. “Kau akan cepat mati. Paru-parumu akan membusuk secara perlahan hingga kemudian kau menjadi sulit bernafas. Kematian yang datang menjemputmu adalah jenis yang bergerak pelan dan begitu menyakitkan.” Tawanya lalu pecah mendadak.
“Tidak apa-apa. Asalkan itu terjadi setelah Papua merdeka.”
Kami lalu tertawa bersama. Wen kemudian menenggak lagi birnya. “Ceritakan soal Papua. Aku ingin tahu lebih banyak.” Matanya terlihat penuh keingintahuan.
“OK. Tapi sebaiknya kita beranjak dari sini. Aku khawatir kita berdua tidak akan sanggup mengemudikan sepeda motor jika terlalu lama berada di sini.”
Wen tersenyum. “Kita lanjutkan diskusi ini di hotelmu. Tentu saja kau harus mentraktirku bir. Sepakat?” perempuan itu masih belum beranjak dari bangkunya.
“OK. Soal itu gampang.” Aku kembali melambaikan tangan. Pelayan perempuan itu datang lagi. Senyumnya makin lebar. Mungkin ia mengira kami akan memesan lagi. “Aku minta tagihannya.”(*)
Editor: Gratia Karundeng