Connect with us

Daerah

Taman Budaya Jadi SPBU, Seniman Sulut: Ini Musibah Kebudayaan

Published

on

Penulis: Filo Karundeng


Manado – Rabu sore, 1 Oktober 2025. Satu tim ASN dari bidang aset BKAD Provinsi Sulawesi Utara mendatangi kawasan Taman Budaya. Mereka berkeliling mengukur lahan dan sejumlah bangunan yang berdiri di atasnya. Hal ini menjadi pertanyaan besar, menyusul kabar yang beredar di kalangan seniman Sulawesi Utara bahwa kawasan Taman Budaya hendak dijadikan Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBU) yang entah milik siapa.

Seniman Sulut gempar. Mereka telah kehilangan ruang ekspresi setelah gedung kesenian Pingkan Matindas dialihkan bukan untuk kepentingan seni. Demikian juga Taman Budaya ditelantarkan. Kini kawasan terlantar itu hendak diubah menjadi SPBU.

“Bagi para seniman, ini adalah musibah kebudayaan!” kata Koordinator Gerakan Seniman Sulut (Gemas), Aldes Sambalao, Kamis, 9 Oktober 2025.

Taman Budaya Sulawesi Utara, embrionya telah ada sejak akhir tahun 70-an, tergabung dengan Museum Negeri Sulawesi Utara. Namun kemudian, Taman Budaya Sulawesi Utara dibangun secara terpisah di kawasan Rike, Kecamatan Wanea Manado,  di lokasinya saat ini. Prof. Dr Fuad Hasan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu meresmikan Taman Budaya Sulut pada 8 Januari 1987.

Sejak saat itu, Taman Budaya Sulawesi Utara menjadi titik penting tempat bertemunya para seniman Sulawesi Utara dari berbagai disiplin seni. Baik teater, tari, musik dan seni rupa. Eksplorasi dan eksperimentasi karya pun dilakukan. Berbagai kegiatan, baik latihan, olah seni, pagelaran dan pameran karya seni rupa terus diadakan silih berganti. Taman Budaya menjadi rumah singgah sekaligus pusat olah kreativitas para seniman.

Puncaknya terjadi di tahun 2016. Saat itu, Taman Budaya Sulawesi Utara menjadi tuan rumah penyelenggaraan Temu Taman Budaya se-Indonesia yang mempertemukan ratusan seniman dari seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan yang dilaksanakan saat itu adalah pagelaran seni, pameran seni rupa, diskusi maupun wisata seni ke berbagai lokasi di daratan Sulawesi Utara. 

Sayangnya, kegiatan itu menjadi momentum terakhir bagi eksistensi Taman Budaya Sulut. Pada tahun 2017, bersamaan dengan dibentuknya Dinas Kebudayaan Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Taman Budaya yang semula berbentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dengan pimpinan kantor setingkat eselon III, diturunkan levelnya menjadi setingkat seksi atau eselon IV.

Alasannya, tidak menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ferry Sangian, pimpinan Dinas Kebudayaan Sulut saat itu memerintahkan seluruh staf Taman Budaya untuk pindah ke kompleks Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara di Jl. W.R. Supratman. Taman Budaya Sulut di Rike pun dikosongkan.      

Mulai saat itu, seluruh fasilitas dan aset milik Taman Budaya seperti meja, kursi, sound system hingga peralatan kesenian pun berpindah tangan. Ada yang berpindah ke Kantor Dinas Kebudayaan Daerah, tapi sebagian besar hilang entah dibawa ke mana.

“Taman Budaya tidak ubahnya toko yang dijarah kawanan perampok,” ujar Sambalao.

Seniman senior, mantan ketua harian Dewan Kesenian Sulut, Merdeka Gedoan mengatakan, ironis sekali jika Taman Budaya diperlakukan sebagai sumber PAD. Taman Budaya adalah Pusat pembinaan dan pengembangan kesenian yang harganya tidak ternilai dan jumlahnya tidak terukur.

“Kehadiran Taman Budaya adalah untuk membentuk kepribadian manusia Indonesia yang berpekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan YME, mencintai keindahan, dalam harmoni dengan sesama dan lingkungan. Di sana para seniman/budayawan mengabdi dengan tanpa pamrih, membina generasi muda di panggung seni budaya, dengan semangat berkreasi, mempertinggi peradaban bangsa, meski sering kurang dihargai,” tutur Gedoan.

Taman Budaya Sulut yang di tahun 2016 demikian rapi terawat dan menjadi rumah para seniman, kini bak hutan, lengang berisi bangunan rusak  yang ditutupi tanaman rambat. Para seniman pun kehilangan rumah mereka.

Sejak ditelantarkannya Taman Budaya, para seniman dipaksa mencari jalannya masing-masing. Para seniman teater harus mencari cara sendiri untuk survive. Mereka mencari biaya untuk berlatih lalu hilir mudik dari satu sekolah ke sekolah lainnya untuk mendapatkan ruang pentas. Para seniman musik pun demikian. Beruntunglah para seniman pop boleh mendapatkan ruangnya di kafe-kafe dan panggung hiburan. Sementara para seniman musik tradisi harus terseok-seok mempertahankan keberadaan kolintang dan musik bambu.

Demikian juga dengan seni tari dan seni rupa. Para seniman tari harus mengupayakan sendiri sanggar mereka dan mencari jalan untuk mementaskan karya. Sedangkan para perupa dipaksa berjibaku dari satu rumah kopi ke rumah kopi lain, atau dari satu dinding hotel ke dinding hotel berikutnya. Ini karena tidak ada gedung kesenian yang tersedia dan Taman Budaya dimatikan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sendiri.

Dalam rentang waktu sejak 2017 hingga 2025, sempat beredar kabar bahwa kompleks Taman Budaya hendak dijadikan kampus sekolah tinggi pariwisata. Namun rupanya batal. Kini kabar terbaru, tempat kebanggaan para seniman Sulut itu hendak diubah menjadi SPBU.

Para seniman telah mencapai puncak kesabarannya. Ini tidak bisa ditolerir lagi. Sudah cukup kesenian Sulawesi Utara direndahkan dan dianggap sektor tidak penting. Selama ini Pemerintah hanya menganak-emaskan sektor ekonomi dan tidak peduli dengan kebudayaan. Padahal dalam setiap aspek kehidupan, kebudayaan, di mana kesenian ada di dalamnya selalu hadir memberi warna, makna dan menciptakan peradaban bagi manusia.

“Jika olahraga demikian didukung secara istimewa, mengapa seni tidak? Bukankah olahraga dan seni memiliki peran yang sama bagi tubuh dan jiwa manusia? Olahraga memelihara kesehatan tubuh sedangkan seni menjaga kewarasan jiwa. Jadi adakah salah satu lebih penting dari yang lain? Dalam hal potensi prestasi pun seni tidak kalah penting. Banyak ruang kontribusi untuk hadirnya prestasi dalam kesenian,” terang seniman Sulut lainnya yang turut bergerak dalam Gemas, Eric Dajoh, Pitres Sombowadile dan Alfred Pontolondo.

Kata para seniman, jika benar ingin menguji seberapa pentingnya seni, coba saja hidup sehari di atas tumpukan uang. Tetapi tanpa lagu dan senandung musik, tanpa melihat warna artistik, tanpa mendengar puisi, tanpa taman kota, tanpa desain bangunan yang unik, tanpa layar televisi dan film, tanpa menikmati tari maengket atau kabasaran. Makan jangan menggunakan piring, sendok dan gelas, karena itu dihasilkan oleh seni. Cukup gunakan tempurung kelapa saja.

Jika terasa gerah, jangan potong rambutmu di salon atau di barber shop karena para pemotong rambut adalah seniman.  Biarkan saja rambutmu panjang seperti manusia gua. Juga jangan gunakan pakaian, karena setiap pakaian didesain dengan seni. Gunakan saja kulit kayu, akar-akaran atau dedaunan untuk membungkus tubuhmu.

Bahkan, uang yang bertumpuk itu, jangan gunakan gambar di atasnya, karena gambar adalah seni. Gunakan saja kertas putih. Dan kertas putihmu jangan dipakai membeli sepatu, sandal, kosmetik, handphone, karena semua itu dihasilkan oleh seni. Cukuplah uangmu yang bertumpuk itu dipakai membeli buah-buahan, batu, pasir dan dedaunan. Hanya dalam sehari saja, dengan ketiadaan seni, manusia akan kembali ke peradaban purba.

“Jadi, jika seni diabaikan, maka kehidupan akan kehilangan peradabannya. Tetapi di Sulawesi Utara, seni diabaikan. Para seniman dirampas ruangnya dan tidak diberi kesempatan untuk menampilkan karya. Selama sepuluh tahun terakhir, kesenian dianaktirikan, hanya menjadi pelengkap penderita di berbagai seremoni buatan pemerintah,” terang Eric Dajoh, Pitres Sombowadile dan Alfred Pontolondo.

Karena itu, gabungan seniman dalam Gerakan Seniman Sulut atau Gemas, menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk menghentikan marginalisasi atas kesenian.

“Kami menuntut dibangunnya kembali Taman Budaya Sulawesi Utara, agar menjadi ruang kreativitas bagi para seniman dalam melahirkan karya, serta bagi pembinaan mental generasi muda,” tegas mereka.

Kedua, para seniman Sulut meminta Pemerintah Provinsi Sulut untuk merenovasi dan mengembalikan fungsi Gedung Kesenian Pingkan Matindas sesuai peruntukannya. Yakni sebagai ruang seni publik. Tempat di mana para seniman dapat menampilkan dan memamerkan karyanya, lalu masyarakat pun dapat menikmati setiap karya yang dihadirkan.

Diakui saat ini Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus telah menunjukkan komitmennya terhadap kebudayaan dengan merevitalisasi Museum Negeri Sulawesi Utara. Komitmen itu diwujudkan dalam bentuk dukungan anggaran fantastis senilai 15 miliar rupiah. “Lalu, mengapa tidak Taman Budaya Sulawesi Utara dan Gedung Kesenian Pingkan Matindas mendapat perlakuan yang sama, didukung dan dikembalikan nilainya sebagai aset kebudayaan Sulawesi Utara,” tegas Sambalao, Dajoh, Sombowadile dan Pontolondo.

Jika hal itu diwujudkan, maka menurut mereka ini akan menjadi legacy terbaik gubernur. Sehingga ia akan dikenang bukan hanya oleh seniman dan masyarakat budaya saja, tapi oleh seluruh rakyat Sulawesi Utara. Bahwa, pernah ada seorang pemimpin Sulawesi Utara yang benar-benar peduli terhadap kebudayaan, cinta terhadap kesenian dan menumbuhkan peradaban.

“Sekali lagi, kesenian jangan lagi dipinggirkan. Kami para seniman telah turut membangun peradaban daerah dan bangsa ini. Kami memiliki hak yang sama, karena itu kami menuntut perlakuan yang sama. Kembalikan Taman Budaya Sulut, Kembalikan Gedung Kesenian Pingkan Matindas!”   

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *