ECONEWS
Tangan Kapitalis-Oligarki di Pusaran Polemik Pertambangan dan Pelanggaran HAM

1 November 2023
“Ini merupakan transaksi politik antara elit politik yang bertarung, dengan pengusaha pengelola pertambangan. Sebab, pasca Pemilu, besar kemungkinan untuk jasa timbal balik. Karena sudah menyokong anggaran Pemilu untuk elit politik tertentu yang menang. Hal ini tentu akan mempermudah izin bagi pihak perusahaan tambang. Jadi, ini semacam permainan lingkaran elit oligarki untuk mempermudah izin-izin pertambangan.”
Penulis: Hendra Mokorowu
SEDERET persoalan lingkungan hidup masih membekap daerah Sulawesi Utara (Sulut). Aktivitas perusahaan tambang di Bumi Nyiur Melambai juga turut berkontribusi bagi persoalan ini. Kondisi itu memantik berbagai reaksi publik. Pemerintah daerah sendiri mengaku tetap berupaya responsif terhadap setiap persoalan yang terjadi.
Rerata laporan atau komplain masyarakat terkait masalah pencemaran lingkungan hidup langsung ditindaklanjuti. Ketika ada laporan masyarakat, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bersama tim koordinasi pasti langsung turun ke lapangan untuk pengecekan. Hal ini diungkap Sekretaris DLH Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Feibe Rondonuwu, ketika diwawancarai Kamis, 26 Oktober 2023.
Dijelaskan, DLH mempunyai fokus pada 4 bidang. Bidang 1 mencakup tata kelola lingkungan. Di dalamnya ada urusan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan perlindungan lingkungan hidup. Bidang 2 meliputi pengelolaan sampah, termasuk limbah bahan berbahaya beracun (B3). Bidang 3 meliputi pengelolaan pencemaran tanah, darat, laut, air maupun udara, serta indeks kualitas lingkungan hidup. Bidang 4, yakni penaatan tata kelola lingkungan.
“Laporan masyarakat atau pihak manapun yang keberatan terhadap dampak pencemaran lingkungan, itu masuk di bidang empat. Bidang ini juga menangani laporan masyarakat terkait persoalan yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan tambang,” kata Rondonuwu.
Menurutnya, setelah dicek, kebanyakan perusahaan tambang di Sulut sudah mengantongi izin. Sebelum Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Sulut mengeluarkan izin, harus ada pertibangan teknis terlebih dahulu dari DLH. Diketahui, untuk mendapatkan izin, terdapat sejumlah tahapan yang harus diikuti perusahaan tambang. Di antaranya dokumen usaha pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL), Amdal serta persetujuan teknis.
Kata Rondonuwu, sebagian besar perusahaan tambang di Sulut sudah punya persetujuan teknis. Namun setelah dicek ke lapangan, ada saja yang “nakal”. Luas lahan operasi telah melebihi batasan sesuai persetujuan teknis. Misalnya, persetujuan teknis hanya 10 Ha, tapi ternyata yang dikerjakan mencapai 15 Ha tanpa persetujuan. Akhirnya dianalisa dan ditinjau kembali persetujuan teknisnya. DLH pun akan mengeluarkan rekomendasi untuk peninjauan kembali terhadap izin yang dikeluarkan DPMPTSP bila di lapangan ternyata tidak sesuai lagi.
“Bila ditemukan ada pelanggaran, DLH membuatkan catatan untuk dibahas bersama dengan tim koordinasi. Rekomendasi ini biasanya diberikan untuk mencarikan solusi. Hal yang sering menjadi soal bagi perusahaan, terutama korporasi tambang adalah pengelolaan limbah. Kalau sudah diberi peringatan, tapi pihak perusahaan tidak menggubris, DLH akan mengeluarkan rekomendasi untuk dilakukan peninjauan kembali pada perizinannya,” jelas Rondonuwu.

Feibe Rondonuwu
Sementara, Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulut saat dikonfirmasi mengakui, hal-hal terkait perizinan berusaha bagi perusahaan tambang menurut aturan undang-undang adalah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini disampaikan Staf Bidang Mineral Batubara Dinas ESDM Sulut, Julia Buluran.
Katanya, ada ketentuan baru tentang Izin Usaha Pertambangan yang kini diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022. Dalam aturan ini ada yang namanya pedelegasian. Itu maksudnya, kini tidak semua izin ada di pemerintah provinsi (Pemprov). Kewenangan Pemprov hanya khusus mineral bukan logam, batuan dan wilayah pertambangan rakyat. Disebutkan, tugas Dinas ESDM kini hanya membuatkan kajian teknis terhadap perusahaan tambang untuk direkomendasikan kepada Dinas PTSP guna penerbitan izin berusaha.
“Soal legalitas perizinan perusahaan pertambangan beroperasi, itu kewenangan dari Dinas PTSP. Nah, ketika perusahaan tambang sedang melakukan produksi tapi tidak melaksanakan kewajiban pelaksanaan kegiatan pertambangan, tindak lanjutnya adalah kewenangan Inspektur Tambang dari Kementerian ESDM,” singkat Buluran.
Persoalan hukum pada aktivitas pertambangan oleh perusahaan tambang di wilayah Sulut ternyata acap kali terjadi. Imbasnya, masyarakat lingkar tambang kerap jadi korban. Berdasarkan penilaian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado saat melakukan advokasi, kebanyakan kasus yang timbul ada di isu pertambangan, yaitu terkait perizinan.
Direktur LBH Manado, Satriano Pangkey, menguraikan komitmen dan tantangan yang mereka hadapi dalam kerja-kerja pendampingan kasus pada sektor pertambangan. Hal-hal yang kemudian dijumpai saat melakukan kerja-kerja itu, umumnya menyasar ke proses perizinan dan Amdal yang tidak melibatkan warga lingkar tambang. Padahal ada ketentuan yang mengatur bahwa wajib mendengarkan pendapat warga lingkar tambang terkait izin pertambangan. Misalnya perizinan PT Meares Soputan Mining (MSM) Likupang dan PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
“Berbicara soal rezim regulasi perizinan, memang terkesan pasca Undang-Undang Mineral Batubara (Minerba) terbaru disahkan, skemanya lebih dimudahkan. Undang-Undang Minerba sebelumnya, daerah provinsi punya kewenangan untuk mengatur izin usaha pertambangan (IUP). Tetapi pasca Undang-Undang Minerba diperbarui, hampir semua urusan perizinan diambil alih pemerintah pusat. Jadi, kontrol daerah terkesan dihambat,” nilainya.

Direktur LBH Manado, Satriano Pangkey saat menyampaikan materi tentang berbagai persoalan hukum di seputar pertambangan pada kelas pelatihan menulis “Papendangan Mapantik”.
Dalam beberapa kajian, proses perizinan kerap tak bisa lepas dari kepentingan elit politik demi meraup kekuasaan. Pihak korporasi tambang jalin kontrak politik pada kontestasi pemilihan umum (Pemilu) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada), untuk menyokong anggaran. Ini merupakan transaksi politik antara elit politik yang bertarung, misalnya pada kontestasi Pemilu, dengan pengusaha pengelola pertambangan. Sebab, pasca Pemilu, besar kemungkinan untuk jasa timbal balik. Karena sudah menyokong anggaran Pemilu untuk elit politik tertentu yang menang. Hal ini tentu akan mempermudah izin bagi pihak perusahaan tambang. Jadi, ini semacam permainan lingkaran elit oligarki untuk mempermudah izin-izin pertambangan.
“Keterlibatan oligarki ini besar kemungkinan bisa terjadi. Sebab sudah banyak riset yang dilakukan teman-teman dari NGO (Non-Governmental Organization, red). Yang paling terkenal itu, ada riset yang dilakukan oleh Watchdog,” beber Pangkey.
Di Undang-Undang Minerba terbaru, IUP-nya memang diatur kementerian, tetapi izin Amdal dan izin lingkungan masih di provinsi. “Kami mendorong untuk adanya partisipasi warga di dalam rezim perizinan lingkungan. Contoh di Sangihe, kami tekankan soal bagaimana keterlibatan warga dalam proses pembuatan Amdal. Karena, pembuatan Amdal di Sangihe memang jelas tidak melibatkan warga lingkar tambang,” ungkapnya.
Berangkat dari kasus di Sangihe, LBH Manado harus menyasar ke pusat atau nasional. Materi gugatan warga Sangihe adalah IUP PT TMS yang digugat di Kementerian ESDM sampai di tingkat kasasi, alhasil menang. Pangkey menuturkan, akses untuk melakukan kerja-kerja advokasi diperluas. Tidak hanya di daerah.
“Mau tidak mau, karena rezim perizinan seperti itu maka kita harus memperluas akses kerja-kerja advokasi sampai ke pusat,” tukasnya.
Digambarkan, hampir setiap kasus di wilayah pertambangan perusahaan tambang, menuai keluhan masyarakat. Kemudian, ketika warga melakukan perlawanan, pasti ada praktik-praktik kriminalisasi. Masyarakat di lingkar tambang pun selalu menjadi korban.
“Contohnya, Robinson Saul saat melakukan aksi penolakan tambang di pulau kecil Sangihe, kemudian oleh perusahaan, dia dikriminalisasi. Hal yang sama juga dialami Bapak Kesek di Minahasa Selatan dulu,” tutur Pangkey.
Hal itu menurut dia merupakan skema-skema dari perusahaan tambang untuk mengkriminalisasi warga yang melakukan penolakan. Padahal di dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, ada jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat atau setiap orang yang melakukan kerja-kerja advokasi untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yang sehat. Tidak bisa digugat secara perdata maupun pidana.
Bahkan sekarang sudah ada peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 tahun 2023. Itu mengatur khusus soal perlindungan kepada setiap orang yang melakukan kerja-kerja perjuangan untuk menjaga lingkungan hidup. Peraturan MA ini baru disahkan di tahun 2023.
Pangkey menyatakan, konsekuensi perusahaan tambang, pasti akan ada perampasan ruang hidup. “Contoh perampasan ruang hidup, kami sudah mendapat informasi bahwa PT MSM akan melakukan perluasan wilayah eksplorasi. Ada satu desa yang kemungkinan besar akan tergusur,” sebutnya.
LBH Manado pun melihat perspektif pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dikatakan, pasti ada dimensi-dimensi pelanggaran HAM yang marak terjadi. Adalah hak hidup, hak lingkungan bersih, hak untuk pekerjaan dan lain-lain. Berbicara tentang pelanggaran HAM di pertambangan, pasti saling mengait.
“Pelanggaran HAM di sektor lingkungan hidup pasti akan berimbas pada hak-hak di bidang lain. Misalnya hak kerja, hak pendidikan, hak kesehatan dan lain sebagainya. Hal-hal inilah yang barangkali selama ini kami lihat sering terjadi pada isu-isu pertambangan,” pungkas Pangkey. (*)
