Connect with us

CULTURAL

Tanjung Merah Jadi Saksi Papendangan Pinaesa’an Ne Kawasaran Tonsea

Published

on

15 Juni 2024


“Semangat mencari pengetahuan memang ada dalam darah tou Minahasa. Pengetahuan bagi orang Minahasa adalah bagaimana untuk memberikan kesadaran tertinggi sebagai tou atau manusia seutuhnya.”


Penulis: Hendro Karundeng


SEJUMLAH komunitas budaya, khususnya pegiat seni tradisi Minahasa, tari Kawasaran di wilayah adat Tonsea, tepatnya di bagian utara Minahasa, kiat meperteguh ikatan kebersamaan sebagai ‘kedung um banua’ (pelindung negeri). Tanah adat mereka terbentang dari dataran pesisir Likupang dan Wori, kaki gunung Klabat, hingga timur semenanjung Selebes, dari daerah Kema hingga kota Bitung.

Komunitas-komunitas itu terikat dalam sebuah ‘rumah persaudaraan’ yang menjadi ruang bersama tumpukan-tumpukan Kawasaran di seluruh tanah adat Minahasa, yang dikenal dengan ‘Pinaesa’an Ne Kawasaran’. Kali ini mereka bersua di Pantai Tanjung Merah, Kota Bitung. Tempat penuh ingatan dari para leluhur itu jadi saksi pelepas rindu, wadah perkenalan untuk mempererat persaudaraan satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Papendangan atau sekolah adat, jadi alasan berkumpulnya beberapa tumpukan penari Kawasaran di akhir pekan pertama bulan ini, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2024. Mereka duduk rapat melingkar, melinting tembakau, untuk mempererat ikatan Pinaesa’an Ne Kawasaran.

Rein Loris, seorang penggiat budaya, salah satu inisiator Papendangan kali ini, mengatakan kegiatan mereka merupakan inisiatif dari para pemuda adat yang ada dalam komunitas Pinaesa’an Ne kawasaran.

“Terlebih khusus pemuda-pemuda di wilayah adat Tounsea. Ini merupakan langkah awal untuk merangkul dan mempererat tali persaudaraan teman-teman komunitas Tounsea,” ujarnya.

Ia berharap, Papendangan Kawasaran di tanah Tonsea kali ini akan memberi wawasan, pengetahuan dan keterampilan, terutama bagi para pemuda pegiat Kawasaran yang baru.

“Kiranya dengan diadakannya diskusi seperti ini boleh menambah wawasan teman-teman. Harapan lain, kiranya pertemuan ini juga boleh memberi semangat buat para peserta yang terlibat bersama untuk tetap melestarikan budaya yang ada di Minahasa,” jelas Loris yang juga penggerak Sanggar Manguni Fakultas Teknik, Universitas Negeri Manado (Unima).

Sembari menikmati seduhan kopi dan tiupan angin Tanjung Merah, Loris kembali menjelaskan tajuk dari pertemuan mereka kali ini. Menurutnya, tema kegiatan yang disepakati merupakan kesadaran, komitmen dan gumul yang dirasakan para teruna di wilayah adat Tounsea.

“Kami sepakat, tema kegiatan kali ini adalah ‘Tonsea: Menemukan Akar, Membangun Peradaban’,” tegas Loris.

Dalam pemaparan dan pendalaman tema, para peserta dan inisiator yang ikut terlibat menjadi peserta, dibantu seorang penggiat budaya Minahasa, Rikson Karundeng. Sosok yang juga dikenal sebagai peneliti di Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), seorang dosen yang juga giat sebagai seorang jurnalis, serta bagian dari dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Sulawesi Utara, organisasi masyarakat adat terbesar di dunia.

“Banyak saudara di wilayah adat Tonsea ini, termasuk di Bitung yang sering mengalami keraguan dengan identitasnya. Orang tua kita yang bijaksana, mengajarkan sebuah pengetahuan penting untuk menentukan dan memastikan siapa kita sesungguhnya. Mungkin ngana pe orang tua memang bukan bagian dari daerah Minahasa, mar ngana lahir deng besar di Bitung, makang deri tanah ini dan memberi hidup bagi tou dan tanah ini, berarti ngana orang Tonsea. Ngana orang Minahasa. Karena Bitung merupakan tanah Tonsea, Minahasa,” ujar Karundeng.

Director Komunitas Penulis Minahasa ‘Mapatik’ ini juga menjelaskan, menemukan ‘akar’ artinya berupaya untuk menemukan identitas, budaya, nilai-nilai pengetahuan warisan leluhur yang menghidupakan tou (orang) Minahasa hingga hari ini.

“Ibarat sebuah pohon, sebesar apapun dia kalau akarnya tercabut, pasti bakal tumbang. Sama seperti kita, jika tidak mengetahui identitas, tidak lagi memiliki nilai-nilai keminahasaan yang mengikat kita dengan tanah dan leluhur kita, cepat atau lambat kita akan hilang dari tanah ini. Tanah bagi tou Minahasa adalah kehidupan. Kehilangan tanah atau tercabut dari tanah berarti mati,” tutur Karundeng.

Membangun peradaban menurutnya merupakan tanggung jawab setiap generasi yang mendiami tanah Minahasa. Sebuah upaya sadar dan serius demi mewariskan sebuah ‘harta terbaik’ bagi generasi selanjutnya.

“Setiap generasi memiliki tanggung jawab peradaban masing-masing. Nilai-nilai pengetahuan warisan leluhur adalah pondasi, kekuatan kita untuk mebangun sebuah peradaban terbaik, demi kehidupan kita hari ini dan demi anak serta cucu kita nanti. Itu mengapa hari ini kita berjumpa, saling berbagi, karena kita memiliki kesadaran untuk tetap menjaga warisan keminahasaan, harta berharga yang diwariskan para leluhur. Ini wujud tanggung jawab peradaban yang kita emban hari ini,” paparnya.

Budayawan Minahasa, Rinto Taroreh yang hadir dan berbagi banyak pengetahuan tradisi Minahasa menjelaskan, lembaga pendidikan di Minahasa telah ada sejak masa Malesung (era Minahasa purba). Konsep ‘Taman Pendidikan’ atau ‘Perguruan Tonaas’ ini disebut ‘Papendangan’. Gurunya disebut ‘Si Mapendang’, pelajarannya disebut ‘Papendang’, kegiatannya disebut ‘Pendang’ (mengajar) atau Pendangen (memberi pelajaran).

Dijelaskan, semangat mencari pengetahuan memang ada dalam darah tou Minahasa. Pengetahuan bagi orang Minahasa adalah bagaimana untuk memberikan kesadaran tertinggi sebagai tou atau manusia seutuhnya.

“Terlebih, bagaimana melatih dan mencapai kesadaran yang dikenal dengan istilah ‘Telu Paeren’ atau dikenal dengan ‘Tiga Kualitas Hidup Minahasa’, yakni niatean, memiliki hati yang bersih, nga’asan memiliki pikiran yang tajam, dan mawai’ memiliki fisik yang kuat,” paparnya.

Taroreh pun menjelaskan banyak hal terkait dengan Kawasaran sebagai wadah di mana pengetahuan keminahasaan tersimpan, hingga Kawasaran sebagai sebuah seni tradisi Minahasa.

“Tema khusus untuk belajar bersama kali ini tentang Kawasaran. Karena itu, berbagai pengetahuan, hingga pengalaman dan tantangan soal Kawasaran jadi bahan diskusi. Kita memang berbeda, memiliki ciri khas masing-masing, tapi punya visi yang sama, ‘Bagaimana membangun Kawasaran dan menjaga konsistensi perjuangan itu’,” terang Taroreh.

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) sebagai pelestari Kawasaran yang juga Penggerak Sekolah Adat ‘Waraney Wuaya’ ini menjelaskan lebih lanjut, ruang belajar ini memang terasa sangat penting dalam rangka saling edukasi soal Kawasaran.

“Papendangan Kawasaran ini digagas oleh teman-teman Pinaesaan ne Kawasaran wilayah Tonsea(Bitung). Hadir juga beberapa pemimpin kelompok Kawasaran. Mereka turut berbagi berbagai pengetahuan dan pengalaman mereka. Itu mengapa sekolah adatnya terasa sangat kaya,” jelas Taroreh kepada Kelung.id.

Ia mengaku gembira, karena Papendangan tetap jalan dengan menerapkan sebuah tradisi, nilai warisan leluhur Minahasa yang dikenal dengan ‘rukup’.

“Seperti biasa, kegiatan ini boleh digelar karena rukup. Samua yang datang, kase apa yang ada pa masing-masing secara sukarela. Rukup memang luar biasa. Ya, tradisi saling baku tongka yang diwariskan para leluhur,” kata Taroreh dengan ekspresi bangga.

“Makase banya vor makawale Kawasaran Tana Rundang, Rein Loris, Sutra Siby, Kawasaran Kumeter Tonsea dan Kawasaran Tulap Wuaya yang so menyediakan tempat selama dua hari kegiatan. Makase banya samua peserta, pemantik deng tamang-tamang yang so baku bantu, yang nda dapa sebut satu persatu. Makapulu’ sama’. Mohon maaf bila ada kekurangan. Kasuruan Wangko’ selalu jaga deng berkati torang samua. Sampe bakudapa ulang di kegiatan-kegiatan selanjutnya,” tutur Taroreh.

Berbagai hal dibahas dalam Papendangan selama dua hari. Tanpa disadari, setiap roda waktu berputar, makin banyak pemuda adat dari sekitar tanah Tonsea ikut bergabung, duduk bersama dalam diskusi. Suasana hangat sangat bisa dirasakan antar peserta. Tawa bahkan rasa haru mereka ungkapkan, sebagai wujud syukur atas perjumpaan penuh makna.

Rasa terima kasih pun terus mengalir dari Sutra Siby, salah satu penggerak Kawasaran di kota Bitung yang menjadi penggagas kegiatan ini.

“Apresiasi kepada teman-teman komunitas yang sudah ikut serta dalam kegiatan ini. Apresiasi juga buat kakak-kakak, orang tua kami yang sudah berbagi pengalaman dan pengetahuan. Terima kasih Kak Rikson, terima kasih Tonaas Rinto Taroreh dan Opa Supit Ponto Karundeng, terima kasih semua yang sudah hadir dan turut berbagi pengetahuan,” ucap Siby.

Dirinya juga berharap kiranya kegiatan seperti ini tetap berlanjut, dan jangan putus di tengah jalan. Karena masih banyak pemuda adat, para pegiat Kawasaran yang membutuhkan sentuhan pengetahuan seperti yang mereka nikmati selama dua hari, 8-9 Juni 2024 di Tanjung Merah.

Indahnya suasana saat itu. Di tepi pantai timur Minahasa yang mengagumkan, terlihat panji-panji bertuliskan Kumeted Tonsea, Kawasaran Tana Rundang, Pakasa, Pinaesa’an Tou Witung, Kawasaran Manguni Raya serta Pinaesa’an Ne Kawasaran, menari dibelai angin pantai Tanjung Merah.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *