Connect with us

ESTORIE

Taratara, Lumbung Pangan Era Permesta

Published

on

26 Juni 2024


“Taratara, sebuah negeri yang berlimpah hasil alam. Sudah lama ia tercatat dalam catatan para pelancong luar negeri, para misionaris, bahkan zendeeling. Sebuah negeri yang kaya di kaki Gunung Lokon. Siapapun yang singgah dan beristirahat di sini, tak pernah pulang dengan perut kosong. Bahkan, saat hendak meninggalkan negeri, mereka pasti akan membawa ‘wowa’ atau ‘ba-saput’.”


Penulis: Belarmino Marsiano Lapong


2013 SILAM, tepatnya Kamis, 24 Januari. Semilir angin dingin berbalut hangat senja menemani perbincangan sore di sebuah negeri terkenal yang dahulunya bagian dari distrik Tombariri. Sebuah wanua (kampung) bernama Taratara, yang saat ini menjadi bagian dari kota Tomohon.

Secangkir kopi menyemarakkan perjumpaan saya dengan Opa Israel.  Tetua Taratara yang tengah menikmati tuturnya tentang pengalaman hidup saat menjadi bagian dari Permesta.

Nama lengkapnya Israel Lonta. Tahun itu ia telah berusia 74 tahun. Orang tua yang telah mengantongi banyak pengalaman hidup. Kesan itu terlihat jelas dari raut wajah serta caranya berkisah.

“Waktu itu akses jalan di Taratara pe susah skali. Mo ka Tanawangko deng ka Tomohon musti tunggu oto pe lama. Pas so zaman Permesta, jalan ta buka lebar. So pengerasan deng aspal. Itu jalan raya Tomohon-Tanawangko hasil dari Permesta,” jelas Lonta, eks tentara Permesta yang kemudian menjadi Hukum Tua (Kepala Desa) bahkan Lurah Taratara 1 tahun 1995-2003 dan pada 2003-2008.

Bangunan bekas Penjara Permesta di Taratara yang saat ini ditempati Keluarga Taroreh-Ondang.

Bangunan bekas Penjara Permesta di Taratara yang saat ini ditempati Keluarga Taroreh-Ondang.

Permesta Dalam Bingkai Sejarah

Sebuah konsepsi pembangunan dicetuskan di Makasar pada Maret tahun 1957. Ide itu ditelorkan tokoh sipil serta militer di Indonesia Timur, atas prakarsa Panglima TT-VII Wirabuana, Letkol. Ventje Sumual. Konsep pembangunan yang dilatari oleh berbagai kesemrawutan situasi ekonomi serta politik negara saat itu, yang bisa dikata baru seumur jagung. Pembangunan yang dirasa terlalu ‘jawasentris’, konflik dwitunggal Soekarno-Hatta, konflik internal TNI/AD serta PKI yang waktu itu dianggap sebagai ancaman politik negara yang berhasil duduk sebagai partai poltik pemenang ke empat dalam Pemilu tahun 1955, semuanya menjadi alasan utama para tokoh itu berunding dan menghasilkan Piagam Permesta (Perjuangan Semesta).

Tuntutan yang terangkum dalam Piagam Permesta ini dinilai menjadi sebuah langkah yang tepat untuk mendesak pemerintah kala itu, agar melaksanakan pembangunan berbagai sisi kehidupan. Sebuah langkah penting yang harus segera dilakukan untuk pemenuhan hak-hak masyarakat, khususnya di Indonesia Timur. Pemerintah era itu bukan hanya dianggap gagal dalam pemenuhan hak-hak masyarakat secara ekonomi di Indonesia Timur, tapi juga dianggap bermasalah dalam mengelola negara. Kondisi sistem pemerintahan nasional saat itu merupakan masalah utama yang menjadi sasaran pembenahan.

Secara faktual, di masa itu, masa kabinet Ali Sastroamidjojo dianggap semakin condong ke haluan politik kiri atau komunisme. Selalu menyibukkan diri dengan retorika-retorika kiri serta berbagai kerja sama dengan negara-negara komunis. Amanat yang terkandung dalam ‘Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun 1956-1960’ dianggap tak terpenuhi oleh kabinet Ali Sastroamidjojo. Bahkan bila ada pembangunan, akan terpusat di Indonesia bagian barat, khususnya pulau Jawa.

Sesuai Proklamasi 2 Maret 1957, wilayah yang terakomodir oleh Permesta meliputi seluruh bekas Negara Indonesia Timur, atau wilayah operasi TT-VII Wirabuana.

Konsep pembangunan ala Permesta ini mendapat dukungan dari berbagai daerah di Indonesia Timur. Berbagai pembangunan terjadi, dikerjakan oleh Permesta. Pembangunan jalan, rehabilitasi jalan baru, gedung sekolah, pembangunan perguruan tinggi, rumah ibadah bahkan pasar-pasar modern. Menurut Bert Supit dalam buku Apa Beda PRRI & Permesta (2006), di desa Pinasungkulan, Minahasa telah berdiri Bank Rakyat atas prakarsa Permesta.

Adolf Sinolungan menulis dalam karyanya, “Permesta-PRRI, Mengawal Negara Proklamasi 1945 Sesuai Pancasila”, pada September 1957, tepatnya tanggal 10-14, sebagai perwujudan sejumlah konsep otonomi daerah ala Permesta, diadakanlah oleh pemerintah pusat Musyawarah Nasional (Munas). Selanjutnya rencana pembangunan diputuskan dalam Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) pada 25 November 1957. Sejumlah program strategis segera direncanakan dalam penyelenggaraan kedua musyawarah ini.

Namun, janji hanyalah janji. Di bidang politik, kisruh yang terjadi di tubuh Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) dengan berbagai kebijakan kontroversial serta ditambah dengan semakin jauhnya hubungan Soekarno dan Hatta, semakin memperburuk situasi politik.

Para perwira dari daerah yang tengah bergolak saat itu semakin sadar bahwa harapan dari kedua musyawarah sebelumnya mustahil diwujudkan. Kondisi itu diperparah dengan kecurigaan pemerintah pusat terhadap gerakan politik para tokoh daerah ini. Puncaknya pada peristiwa Cikini 1957, pencobaan pembunuhan dengan granat oleh sekelompok orang kepada presiden Soekarno. Oleh pihak-pihak tertentu terus dipropagandakan dilakukan oleh tokoh-tokoh daerah yang sedang memperjuangkan pembangunan daerah.

“Semua tokoh yang dianggap terlibat, diburu dan ditangkap untuk dijatuhi hukuman mati,” jelas Adolf Sinolungan dalam bukunya.

Kondisi makin parah dengan situasi politik serta tubuh militer yang semakin semrawut. Amanat Munas dan Munap telah buyar. Akhirnya, oleh dua tokoh, D. J. Somba di Sulawesi Utara dan Ahmad Husein di Sumatera, memutuskan hubungan antara daerah dengan pusat. Titik ini menjadi awal operasi militer penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Permesta di Sulawesi yang dianggap sebagai gerakan separatis.

SMA Negeri 2 Tomohon yang dulunya merupakan SMP dan SMA Permesta di Taratara

SMA Negeri 2 Tomohon yang dulunya merupakan SMP dan SMA Permesta di Taratara

Bersekolah di Zaman Permesta

Di masa awal pergolakan Permesta, kondisi lebih baik dirasakan masyarakat Taratara. Fakta itu dikuak Opa Israel Lonta, sosok penting yang bertugas sebagai tenaga administrasi daerah militer Permesta di Taratara. Di saat jalan diperbaiki, akses makin baik, kondisi pendidikan di Taratara pun bisa dikata cukup memadai.

“Ya, walaupun saat itu sekolah di Taratara adalah sekolah-sekolah rakyat peninggalan gereja Katolik dan para zendeeling dari Belanda,” ungkap Israel yang saat pergolakan berlangsung, rumahnya dijadikan tempat tinggal Komandan Batalyon Tarantula.

Phill Sulu dalam buku yang ditulisnya tahun 2011, “Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri”, menjelaskan atas prakarsa pimpinan pasukan yang bertugas di Taratara, didirikanlah SMP dan SMA Permesta. Sebagai tenaga pengajarnya adalah para guru dari berbagai daerah di Minahasa yang kala itu bermukim di Taratara. Drs. Warouw, seorang tenaga pendidikan berkualitas dari jawatan P&K (Pendidikan dan Kebudayaan), diangkat menjadi Direktur SMP dan SMA Permesta di Taratara.

Menurut Phill Sulu, selain bertugas sebagai militer daerah perang di Taratara waktu itu, para tentara Permesta tak jarang ikut turun ke sekolah-sekolah untuk menjadi tenaga pengajar sukarela. Tanpa digaji. SMP dan SMA Permesta di Taratara, di kemudian hari menjadi cikal-bakal berdirinya SMA Negeri 2 Tomohon di Taratara.

Di waktu berbeda, di tahun 2013, Yohanis Kereh (74 tahun) menegaskan kembali keberadaan pendidikan yang cukup memadai di Taratara. “Pendidikan di Taratara banyak diselenggarakan oleh yayasan-yayasan gereja. Seperti Sekolah Rakyat Roma Katolik atau SRRK dan Sekolah Rakyat GMIM atau SRG,” jelas Kereh, seorang pelajar yang kemudian bergabung menjadi tentara Permesta di saat itu.

“Kintal besar di muka aula deng gereja Katolik itu pernah jadi lapangan latihan tentara pelajar Permesta. Torang pertama kali gabung, dorang selatihan pegang senjata di situ. Senjata bren pe brat,” kenang kereh, mengingat momen masa muda yang berkesan dan terus terngiang di memorinya.

Bangunan bekas markas Bn. Tarantula di Taratara yang saat ini ditempati Kel. Loho-Makalew.

Bangunan bekas markas Bn. Tarantula di Taratara yang saat ini ditempati Kel. Loho-Makalew.

“Samua Kenyang Kalu So Sampe Taratara”

Taratara, sejak dahulu terkenal dengan lahan pertanian, khususnya padi. Selain banyak yang berladang di lahan kering sebagai petani jagung, petani aren, petani kopra serta petani buah-buahan, sebagian besar lahan di Taratara dimanfaatkan untuk lahan petani padi. Dua lahan pertanian padi besar di Taratara, yakni Meras di utara dan Katua’na’an di selatan.

Sampai saat ini lahan pertanian di Taratara adalah yang terbesar di kota Tomohon.

Tradisi ‘Kuman Wangko’ (makan besar) menjadi gaya hidup orang Minahasa, termasuk di Taratara. Kebiasaan untuk menjamu siapapun yang menjadi tamu merupakan hal lumrah di Minahasa. Makan adalah hal utama dalam menjamu tamu. Tamu akan disediakan berbagai menu makanan hasil alam yang berlimpah di Minahasa. Tamu pulang dengan perut kenyang merupakan kebanggaan para tuan dan nyonya rumah. Sementara, jika tamu pulang dengan perut kosong dan lapar, akan menjadi petaka bagi tuan dan nyonya rumah.

“Di Taratara, samua pasukan Permesta kenyang. Tu dari arah Tanawangko mo ka Tomohon, pasti basinggah makang di Taratara. Rakyat waktu itu, pasti kase makang,” tutur Israel Lonta yang semasa Permesta pernah bertugas sebagai kepala bagian administrasi Permesta di Taratara dan sempat menjadi bagian dari Bn. Tarantula pimpinan Boy Potu dalam tugas terakhirnya.

Di masa itu, Taratara juga menjadi tempat aman, persinggahan para prajurit untuk beristirahat serta mengisi perut yang kosong. Pengalaman itu dikisahkan pada penghujung bulan Januari tahun 2013 oleh Albertus Waluyan yang ketika itu berusia 76 tahun.

“Pas sebelum deng so Permesta, masyarakat Taratara bisa dibilang makmur. Sandang, pangan tercukupi dari hasil sendiri. Karena terkenal deng hasil alam berlimpah, Taratara sempat menjadi tempat pelatihan dan penampungan tentara Permesta,” kata Waluyan.

Dalam wawancara dengan Phill Sulu tahun 2019, penulis dan eks tentara Permesta ini berceritera, meski dalam keadaan darurat perang, masyarakat Taratara tidak mengalami kesulitas dengan urusan pangan. Kegiatan mengolah ladang dan sawah tetap berjalan dengan baik. Semua giat mengurus lahan pertanian masing-masing.

Sulu menegaskan, pasukan yang bertugas maupun yang lewat di Taratara, tidak pernah mengalami kesulitan logistik makanan. Berbagai hajatan masih marak digelar sebagai wujud syukuran pernikahan, baptisan dan syukur atas hasil panen yang melimpah. Hasil panen berupa padi sawah, padi ladang, ketela pohon, ubi talas, buah-buahan cukup melimpah. Selain itu hasil peternakan masyarakat, seperti babi, anjing, ayam serta beragam jenis ikan air tawar selalu berlimpah. Warga tak mengalami kekurangan. Hasil buruan dari kelompok-kelompok ‘melutam’ dan ‘mangasu’, menjadi alternatif pangan yang tak pernah habis saat itu.

Mengutip catatan perjalanan pribadi Jan Fredriek Mailangkay, yang dibukukan tahun 2016 dengan judul “Permesta, Commando Seabird”, dikisahkan suatu ketika pada malam hari, sesudah rombongannya dijamu makan malam yang berlimpah dan meriah dari masyarakat Taratara, mereka kemudian lanjut dengan malam gembira. Bung Lex Kawilarang dan Boy Potu, para penguasa wilayah perang Taratara, memainkan gitar dan ukulele untuk menghibur para rombongan yang terdiri dari Panglima Besar Alex Kawilarang, Kapten Worek, Haji Daeng Tanrenrengi, serta Jan Mailangkay dan enam orang lainnya.

 

Pieter Tangkuman, Hukum Kedua Taratara di era Permesta.

Pieter Tangkuman, Hukum Kedua Taratara di era Permesta.

Permesta Dalam Bingkai Tou Taratara

Taratara, di masa Permesta dijadikan pusat Komando Daerah Garnisun (KDG) di sub WK Lokon, wilayah Wehre Kreise  (WK) III. Capt. Dedi Kalalo menjadi komandan KDG. Di Taratara berkedudukan kantor pemerintahan sipil militer Hukum Besar Tomohon, yang dijabat oleh Abang Somba, adik dari D. J. Somba (Panglima KDPM SUT) dan dibantu oleh Hukum Kedua Pieter Tangkuman.

Wilayah perang, khususnya Taratara, menjadi markas besar Batalyon I/Tarantula yang dipimpin oleh Boy Potu. Tidak seperti pasukan-pasukan Permesta lain yang bermarkas di hutan belantara, Bn. Tarantula ini berkantor di tengah kampung. Berbaur dan berkativitas dengan masyarakat Taratara.

Dihitung dari pusat kota Tomohon, jarak ke Taratara hanya sekitar 4-5 kilometer. Jarak yang sangat mudah dilalui oleh peluncur-peluncur roket tentara pusat yang telah menguasai Tomohon. Aktivitas masyarakat Taratara, berjalan normal dan tak seperti di daerah perang lainnya. Bahkan suasana kampung terkesan ramai dan sibuk.

Phill Sulu menjelaskan dalam bukunya, sesekali ada pesawat tempur lewat terbang tinggi melewati Taratara, tapi tak pernah berani terbang rendah. Wilayah geografis Taratara dengan beberapa puncak gunung yang lumayan tinggi, menjadi ‘benteng alam’ Taratara. Biasanya, ketika terdengar dengung suara pesawat tempur dari kejauhan, kegiatan masyarakat di Taratara dihentikan sementara, seperti dikomando, dan kampung pun terlihat sepi tak berpenghuni.

Eks tentara Permesta yang pernah bermukim di Taratara, masyarakat setempat, banyak mengisahkan tentang peluncur-peluncur roket pernah ditembakkan ke Taratara dari Tomohon. Namun tak pernah tepat sasaran, tak pernah jatuh di pemukiman penduduk. Hanya jatuh di pinggiran kampung, mengenai pohon-pohon kelapa dan lahan pertanian masyarakat. Tapi, jika roket-roket berat buatan Chekoslovakia tersebut jatuh di tanah, bunyi ledakan sangat dahsyat dan menakutkan.

Situasi desa yang cukup aman dan ramai, membuat Panglima Besar Alex Kawilarang sering berkunjung ke Taratara. Rumah tempat ia beristirahat berada di ujung kampung menuju ke Tomohon. Sayang memang, saat ini kondisinya sudah hancur. Selain Kawilarang, banyak petinggi Permesta yang sering beristirahat di Taratara, seperti Panglima Angkatan Udara Revolusi (Aurev) Permesta, Komodor Udara Petit Muharto.

Letak Taratara yang strategis, menjadikan kampung ini jalur perlintasan para pasukan yang bergerak dari selatan Minahasa ke utara. Begitupun sebaliknya. Karena dianggap aman, Taratara dijadikan tempat transit. Mereka singgah, kadang beristirahat beberapa hari baru melanjutkan perjalanan. Ketika mereka di Taratara, akan menjadi tanggung jawab Bn. Tarantula dan masyarakat Taratara untuk menjamu mereka.

“Setiap hari ada yang ba lewat. Prajurit deng depe keluarga, dengan beberapa kali kurir-kurir pembawa pesan slalu lewat sini. Dorang singgah makang deng tidor. Samua frey. Taratara kase sadia,” terang Opa Albertus Waluyan, berusaha mengingat memori semasa ia muda.

Semua kegiatan di Taratara berjalan lancar. Termasuk kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemerintahan sipil berjalan seperti biasa. Untuk melakukan perjalanan ke luar kampung, masyarakat tidak dibatasi, tapi hanya diawasi.

Masyarakat yang akan melakukan perjalanan, demi kelancaran dan keamanan perjalanan, harus mengantongi ‘pas jalan’ yang dikeluarkan oleh pemerintah desa dan diketahui oleh perwira Permesta di Taratara yang disebut Komandan Basis. Pas jalan itu harus ditunjukkan dan diserahkan ke pos-pos jaga yang ada di ujung kampung. Pas itu harus diambil lagi ketika kembali dari daerah yang dikuasai oleh TNI. Begitu ketat, demi keamanan desa Taratara. Salah satu pos terdepan Permesta berada di ujung kampung Woloan, di bawah pimpinan Usa Pandeirot.

Dikutip dalam buku Minahasa Benteng Terakhir NKRI karya H. B. Palar tahun 2009, pernah satu momen, Pastor L. Laarhoven dengan menunggang kuda dari Seminari Kakaskasen – aktivitas yang biasa ia lakukan setiap weekend – ke Taratara untuk pelayanan misa mingguan dan ibadah lainnya, ia dihadang oleh Pieter Tangkuman. Hukum Kedua Taratara itu hendak memeriksa dan menyita kudanya. Namun aksi penghadangan itu hanya dijawab enteng Laarhoven.

“Mana surat perintah dari Rukminto? (Kol. Rukminto, Panglima Kodam XIII 17 Agustus di Tomohon tahun 1959),” tanya Pastor Laarhoven ke Tangkuman  sembari berlalu melanjutkan perjalanan.

Selama berstatus keadaan darurat perang, di wilayah yang dikuasai oleh Permesta, selain tugas militer, tugas-tugas yang berkaitan dengan masyarakat menjadi tanggung jawab pasukan Permesta. Terutama menyangkut keamanan dan ketertiban di desa-desa, termasuk di Taratara.

Hal unik dan lucu memang seringkali terjadi ketika pasukan Permesta bertugas. Jika ada masalah yang sulit ditangani oleh pemerintah desa, masalah itu dilimpahkan ke pimpinan Permesta setempat.

Di Taratara, ada cerita yang didapat oleh Phill Sulu, ketika mewawancarai masyarakat Taratara. Dalam bukunya ia mengisahkan, suatu ketika ada laporan bahwa telaga ikan milik masyarakat telah dijarah oleh orang. Pemerintah desa sulit mengungkap siapa pelaku penjarahan itu. Pasukan Permesta akhirnya turun tangan dalam kasus ini. Sebab bukan tidak mungkin, kecurigaan masyarakat bisa saja menyasar pada keberadaan pasukan Permesta di Taratara. Untuk itu pelaku harus segera diungkap. Akhirnya pihak intel bergerak menyelidiki masalah ini.

Dalam waktu singkat, pelaku segera diketahui. Caranya, intel mencari informasi di masyarakat, oknum siapa saja yang patut dicurigai atau seringkali membuat onar di kampung, menjadi preman kampung. Ternyata ada beberap orang, mereka segera diciduk dan diinterogasi ala militer. Kasus selesai.

Berbagai masalah didapati dan diselesaikan oleh pasukan Permesta. Pernah juga terjadi kasus pembantaian sapi. Seekor sapi yang diikat di perkebunan warga, salah satu pahanya telah hilang dipotong orang tak dikenal. Ternyata kedua pelaku adalah anak belasan tahun yang terkenal nakal di kampung. Mereka beralasan, saat sedang bermain-main di pinggir kampung, rasa lapar tiba-tiba muncul. Melihat sapi yang diikat dan tak sedang diawasi, segera mereka bawa dan robohkan dan diambil sebagian kecil paha sapi itu.

Berbagai masalah rumit dan unik sering diselesaikan oleh pasukan pimpinan Boy Potu. Seperti masalah percintaan, hamil di luar nikah yang tak diketahui pelakunya, pencurian buah dan pencurian hewan piaraan. Semua dipercayakan masyarakat untuk diselesaikan tentara Permesta.

Hadirnya pasukan Permesta di Taratara, memberikan rasa aman dan tertib bagi masyarakat. Pemerintah desa terbantu secara positif. Masyarakat lebih bertambah simpati dan menghilangkan persepsi bahwa pasukan Permesta tak diterima oleh orang Minahasa sendiri.

Namun tak jarang, beberapa waktu ketika perang berkecamuk, demi keamanan, masyarakat diperintahkan untuk mengungsi dan sembunyi di atas gunung. Ketika sudah aman, barulah diperintahkan turun ke kampung lagi.

“Walaupun lengkali damai, pernah satu waktu, kalo nda salah tahun 1959. Pas perang pe hebat. Demi keselamatan, orang Taratara lengkali ja lari ka gunung ba sambunyi. Kalo so klar, baru turun ulang,” tutur Opa Albertus Waluyan.

Yohanis Kereh, menjelaskan saat itu banyak juga pemuda kampung yang direkrut menjadi calon prajurit Permesta. Mereka dilatih untuk memegang senjata dengan waktu singkat. Para pemuda tanggung yang hanya terbiasa dengan ‘pacol’ dan ‘sabel’ akhirnya diharuskan memegang barbren dan bazooka tangan dengan sekejap.

Jembatan Zanowangko Taratara.

Jembatan Zanowangko Taratara.

Ada yang dilatih di pusat pelatihan Permesta, tepatnya di gedung yang saat ini telah beralih fungsi menjadi aula St. Antonius Padua Taratara. Usai dilatih, mereka akan ditempa dengan pendidikan lebih lanjut di kompleks SMA Kristen Tomohon, Talete, Tomohon.

Di awal pergolakan, Mayor John Ottay, Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) memang mengembangkan jajarannya untuk merekrut para pemuda Minahasa. Isu bahwa pemerintah pusat telah dikuasai oleh komunis, jadi ‘provokasi efektif’. Bagaikan api yang membakar, para pemuda dan pelajar pun beramai-ramai mendaftarkan diri. Semua pemuda relawan itu disebut Caper (calon prajurit). Turut mendaftar pula pensiunan TNI dan para ‘papo-papo’ eks KNIL.

“Tercatat, di Staf Komando TT VII Wirabuana Kinilow, ada sekitar 30.000 relawan. Adagium terkenal waktu itu berbunyi sampe rumpu so Permesta’,” jelas Ben Palar dalam bukunya Minahasa Benteng Terakhir NKRI.

Konsekuensi dari perang adalah kehancuran dan nyawa. Tak sedikit putra-putri Minahasa yang gugur dalam  perang. Di Taratara, mereka yang gugur dimakamkan dalam kubur massal di atas bukit yang berada di sebelah kanan ketika baru masuk kampung Taratara. Tepatnya di jembatan Zanowangko. Ada pula yang dipenjara dan ada pula yang direhabilitasi.

Setelah damai, usai ditandatangani perjanjian rekonsiliasi ‘tidak ada yang kalah atau menang’ tahun 1960, mereka yang masih ingin berjuang, ditampung dalam Laskar Rakyat Indonesia (LRI). Sebuah perkumpulan bekas prajurit Permesta. Pendaftarannya dilakukan di Gedung Juang, daerah Pasar 45 Manado dan disahkan oleh pemerintah kala itu. Sebagian dari mereka dikirim ke kamp-kamp di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk rehabilitasi, namun ada juga memilih untuk kembali bertani.

Pasca Permesta, sebagian eks tentara terakomodir di Laskar Rakyat Indonesia (LRI)

Pasca Permesta, sebagian eks tentara terakomodir di Laskar Rakyat Indonesia (LRI).

Taratara dan Permesta

Taratara, sebuah negeri yang berlimpah hasil alam. Sudah lama ia tercatat dalam catatan para pelancong luar negeri, para misionaris, bahkan zendeeling. Sebuah negeri yang kaya di kaki Gunung Lokon. Siapapun yang singgah dan beristirahat di sini, tak pernah pulang dengan perut kosong. Bahkan, saat hendak meninggalkan negeri, mereka pasti akan membawa ‘wowa’ (makanan pemberian pemilik pesta) atau ‘ba-saput’ (makanan pemberian tuan dan nyonya rumah untuk dibawa pulang).

Taratara akan terus dikenang sebagai ‘Kota Permesta’ yang selalu ramai dikunjungi. Nama ini tak bisa dilepas dalam bingkai sejarah perjuangan Permesta. Selalu lestari dalam ingatan para pelaku dan anak-cucu Permesta.

Kuat dalam ingatan, masyarakat desa ini dulunya telah banyak membantu perjuangan, memberi dari kekurangan, mampu menerobos sekat antara tentara Permesta dan rakyat. Pada catatan terakhir Jan Mailangkay, dalam buku Permesta Commando Seabird, ia menegaskan hal itu.

Dikisahkan, siang hari sekira pukul 14.00 waktu setempat, sebelum melanjutkan perjalanan, rombongan Mailangkay dijamu dengan makanan berlimpah dan meriah oleh masyarakat Taratara. Setelah itu, mereka mengambil foto bersama, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Pinaras.

Perjuangan fisik Permesta memang gagal dan tenggelam dalam sejarah nasional negara ini. Tapi secara politik, cita-cita perjuangan Permesta akhirnya menampakkan keberhasilan dan puncakknya pada otonomi daerah dan pembangunan yang merata.

Teks Proklamasi Permesta 2 Maret 1957, secara tegas menekankan bahwa Permesta tidak dan sekali lagi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia. Piagam Permesta dalam perspektif ini, bisa dikatakan merupakan ikrar kesetiaan sejumlah tokoh yang mencintai negara ini. Negara merdeka yang dulu mereka perjuangkan dengan darah dan nyawa. Karena itulah mereka mengajukan koreksi terhadap segala yang menyimpang dan menyeleweng dari amanat konsensus bersama dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaaan dahulu.

“Memberontak terhadap ketidakadilan itu sama dengan berjuang menegakkan keadilan. Kalau untuk keadilan dan kebenaran, saya bangga jadi pemberontak,” kata Ventje Sumual dalam wawancara eksklusif bersama Benny Mathindas, yang dirangkum dalam buku Permesta & PRRI Bukan Separatis. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *