ESTORIE
Taratara, Watu Tumani um Wanua dan Komitmen Keberlangsungan Hidup
Published
2 years agoon
By
Admin24 November 2022
“Bila batu perjanjian (pendirian kampung) hilang atau diambil penduduk negeri lain, maka demikian pula akan terjadi pada penduduk Taratara. Mereka akan kehilangan kepala mereka.”
Penulis: Belarmino Lapong
TARATARA, negeri di ujung barat kota Tomohon. Sebelum menjadi sebuah wanua (kampung), dahulu adalah wilayah dari Distrik Tombariri. Adrianus Kojongian dalam bukunya Tomohon Kotaku, yang terbit tahun 2006, menulis jika di masa itu daerah Taratara kini masih berupa hutan belantara nan subur. Sebagian kawasan di pinggiran kaki Gunung Lokon, berbentuk rawa.
Nicolas Rotikan, tua-tua Taratara berusia 76 tahun, menyebutkan asal nama kampung mereka diberikan oleh para pelintas dari negeri Sarongsong. Awalnya, Taratara menjadi jalur serta tempat persinggahan masyarakat dari Sarongsong untuk mencari bahan pokok berupa garam ataupun ikan laut di Tanawangko dan sekitar wilayah pantai barat Minahasa.
Garam menjadi salah satu produk penting yang tidak bisa dihasilkan di wilayah pegunungan. Penduduk dataran tinggi kemudian akan mencari tempat untuk membuat garam di daerah pesisir.
“Ada juga yang membarter barang atau hasil bumi mereka dengan garam. Khusus untuk penduduk Sarongsong, mereka tidak ke pantai daerah Manado seperti masyarakat Minahasa lainnya. Mereka ke wilayah Tanawangko. Kebiasan untuk membuat atau mendapatkan garam, kami sebut tradisi mengasin,” ucap Rotikan, narasumber Taratara.
Jalur mengasin inilah yang menjadikan Taratara lokasi strategis untuk bersinggah dan beristirahat. Baik yang akan pergi ke pantai maupun sebaliknya. Sebelum berubah menjadi pemukiman tetap, di daerah itu banyak didirikan popo, terung atau pondok-pondok sederhana sebagai tempat peristirahatan untuk satu malam hingga beberapa hari. Selain itu, banyaknya mata air besar serta hewan buruan yang melimpah, menjadi salah satu faktor mereka singgah dan istirahat di sini.
Adrianus Kojongian juga menulis, atas dasar jarak yang dekat atau strategis dengan tempat mereka mengasin, hewan berburu yang berlimpah, mata air besar yang banyak, serta tanah yang subur, maka para pelintas berkeinginan untuk mendirikan suatu pemukiman tetap. Sebuah negeri yang baru.
Sekira tahun 1700, rombongan beberapa keluarga yang berasal dari Distrik Sarongsong, yang dipimpin Mahwentas Wewengkang, Tulong, Kalangi, Sumarandak Lelepouan dan Lontoh, mendirikan negeri yang baru atas izin Kepala Walak Tombariri saat itu. Negeri itu diberi nama ‘Tazataza’.
Nama Tazataza, berasal dari sebuah rumput khas yang ada wilayah ini. Rumput itu ketika diinjak akan berbunyi seperti ‘tazz-tazzz’. Seiring waktu, serta banyaknya serapan bahasa Melayu, akhirnya penyebutannya menjadi Taratara.
Dalam mendirikan sebuah negeri yang baru, seperti tradisi Minahasa kebanyakan, para pendahulu Taratara awalnya melakukan sebuah upacara khusus yang dinamakan mengaley. Memohon petunjuk, serta restu dari Opo Empung (Sang Khalik).
Mereka memilih tempat yang tinggi berbentuk kentur (bukit), untuk menggelar foso (ritus) ini. Lokasi tempat mereka melakukan upacara ini berada di wilayah bukit yang dinamakan Timbesi. Kemudian hari, situs bersejarah ini diberi nama penduduk Taratara sebagai ‘Tinalingaan um Wanua’.
Setelah dirasa telah mendapat restu, mendapatkan pertanda yang baik untuk mendirikan negeri yang baru, dipilihlah lokasi yang berada di tengah kampung Taratara kini untuk melakukan upacara ‘Tumani um Wanua’. Dalam prosesi ini, ditancapkanlah sebuah batu sebagai tanda resmi berdirinya sebuah negeri yang baru.
Rikson Karundeng, peneliti sejarah dan budaya Minahasa menjelaskan, ketika negeri Taratara didirikan, Tonaas Sumarandak Lelepouan mendapat tugas untuk menancapkan watu tumani atau watu tetektek. Batu pertama pendirian pemukiman baru, yang kemudian menjadi pusat spiritual dan aktivitas masyarakat.
“Batu tumani itu berada sekira empat puluh meter ke arah utara dari gedung gereja GMIM Imanuel Taratara. Di lokasi ini juga kini bisa ditemukan beberapa waruga (makam tua Minahasa) yang masih berdiri,” kata Karundeng.
PARA TONAAS PEMIMPIN NEGERI
Adrianus Kojongian menulis, Tulong yang merupakan pemimpin rombongan saat itu, dipilih menjadi pemimpin negeri yang pertama. Ia bergelar ‘Tonaas Walian um Wanua’, karena para Tonaas saat itu bukan hanya mengurusi bidang pemerintahan, namun juga merangkap sebagai pemimpin agama.
Pada zaman Tonaas Tulong, dimulailah perluasan tanah untuk ditanami. Aktivitas itu atas izin Kepala Walak Tombariri, Supit Sahiri Macex. Selanjutnya, Tulong digantikan Kalangi sekitar tahun 1720-an, yang tetap memimpin perluasan pemukiman hingga tahun 1738. Tambingon kemudian menggantikan Kalangi, memimpin Taratara hingga tahun 1750.
Menurut Kojongian, pada masa Tonaas Tambingon inilah sengketa dengan negeri tetangga terjadi. Perluasan tanah pemukiman serta tanah perkebunan, menjadi akar sengketa. Pencurian hasil pertanian, perluasan tanah penduduk negeri lain, penculikan dan pembunuhan warga Taratara, menjadi masalah sosial yang pelik ketika itu. Oleh karena itu, Tambingon memerintahkan penduduk untuk membangun warangka (jebakan berbentuk lubang sedalam 3-5 meter, di bawahnya terdapat bambu runcing) untuk melindungi Taratara dari para musuh yang mengintai.
Pada tahun 1750, Sembel menggantikan Tambingon memimpin Taratara. Di masa ini tradisi seni pahat dan ukir berkembang. Salah satunya terlihat pada relief khas penutup waruga yang ada di Taratara.
Di tahun 1789, Sembel digantikan Lontoh. Era Lontoh, batas-batas wilayah Taratara ditetapkan. Batas-batas negeri itu bertahan sampai sekarang. Diakui sebagai batas wilayah administratif kelurahan se-Taratara raya.
WILAR DAN ERA KOLONIAL BELANDA
Adrianus Kojongian, saat diwawancarai medio Mei 2019, menjelaskan di tahun 1808-1809 terjadi peralihan pemimpin negeri di Taratara. Pada saat itu, Lontoh meninggal dan masyarakat belum sempat memilih pemimpin negeri yang baru. Bersamaan dengan itu, pasukan Belanda yang akan menyerbu Tondano hendak melewati Taratara. Pasukan itu berjalan dari jalur pantai barat Minahasa. Mereka membawa perahu kora-kora, meriam, serta perbekalan perang lainnya.
“Barang-barang itu ditarik para tawanan Mangindano dan para pemuda yang dipaksa atau ditangkap. Sebagian besar dari para pemuda itu berasal dari negeri-negeri tetangga di wilayah Tombariri,” kata Kojongian.
Desas-desus kekejaman pasukan Belanda, telah menciptakan teror bagi masyarakat Taratara saat itu. Terlebih ketika pemecatan Hukum Tua Woi (Kepala Negeri Lolah) yang menentang dengan keras penangkapan para pemuda Lolah untuk dijadikan penarik kora-kora serta pendukung pasukan Belanda.
“Kerena itu mereka mengungsikan diri ke wilayah utara dan selatan. Jauh dari pemukiman saat ini. Wilayah pengungsian mereka kini dikenal dengan Gonggulang. Tempat mereka beristirahat dan berkebun,” kata Kojongian.
Setibanya pasuka Belanda di Taratara, banyak warga yang sudah mengungsi. Mereka hanya mendapati penduduk yang sudah lanjut usia dan berpenyakit. Salah satu yang mereka jumpai adalah seorang pemuda yang sedang sakit. Namanya, Wilar.
“Wilar, oleh Belanda dijadikan penuntun jalan. Karena sebelum mengungsi, masyarakat Taratara telah mengaktifkan kembali warangka-warangka dan memutus jembatan penghubung dari arah Lolah (saat ini dikenal dengan jembatan Makalesung), sehingga menyulitkan Belanda ketika melewati Taratara,” terang Kojongian.
Dianggap berjasa, Belanda akhirnya mengangkat Wilar sebagai Hukum Tua (Kepala Desa) pertama Taratara. Mulai saat itu, berakhirlah zaman para Tonaas Walian um Wanua. Dimulailah pola administrasi kolonial di Taratara.
Dari waktu ke waktu, para penduduk yang mengungsi di Gonggulang mulai kembali ke pemukiman awal mereka. Para penduduk akhirnya mulai menerima pemerintahan Wilar sebagai Hukum Tua di Taratara. Mereka mulai membangun kembali jalur-jalur penghubung yang dirusak ketika mengungsi. Seperti jembatan Makalesung, jembatan Meras, serta jembatan Zanowatu. Jalur tempat menarik kora-kora adalah ruas rintisan yang sekarang dikenal dengan jalan raya Tomohon-Tanawangko.
Tahun 1810, Wilar digantikan Roring. Ia memerintah sampai tahun 1815. Lalu Kandow 1815-1840, Wati Roring 1840-1855, dan selanjutnya Hukum Tua Welan. Ketika dibabtis menjadi Kristen, nama Welan menjadi Daniel Wohon.
Masa kepemimpinan Wilar bersamaan dengan resminya kolonialisme di Taratara. Sejak itulah kebijakan kolonial segera diberlakukan. Sejak tahun 1819, Belanda mewajibkan penduduk Taratara untuk menanam kopi. Hasil panen dikumpul di gudang kopi Tanawangko. Puncaknya ketika dibangun gudang kopi di Taratara. Gudang itu berfungsi hingga akhir abad ke-19.
Hingga saat ini masih ada beberapa lokasi kebun di wilayah utara Taratara terdapat pohon kopi tua peninggalan masa kolonial. Salah satu jejaknya, ada wilayah perkebunan yang dinamakan Kebun Kopi. Tanah perkebunan itu saat ini menjadi milik Gereja Katolik Taratara.
TUMANI, AWAL NEGERI BARU
Pada awalnya kehidupan masyarakat Minahasa sepenuhnya berserah pada pemberian alam. Di masa berburu dan meramu, mereka mencari makanan di hutan, mencari ikan di sungai dan danau. Di kemudian hari, mulai bertumbuh kesadaran untuk mendirikan sebuah pemukiman yang ditempati bersama-sama secara tetap.
Air menjadi salah satu sumber kehidupan penting, yang menentukan keberlangsungan satu keluarga, dan lebih luas lagi satu pemukiman. Demikian pula kehidupan masyarakat Minahasa di masa lampau. Selain sumber air, hutan adalah tempat yang kaya. Menjadi ruang berburu, lahan mencari sumber makanan, serta obat-obatan.
Pola saat itu, hidup dekat hutan adalah kunci kehidupan makmur. Tak heran jika wanua-wanua (negeri-negeri) yang baru di Minahasa dahulu, pasti tidak berada jauh dari sumber air. Baik itu sungai, danau ataupun mata air besar, ada di sekitarnya. Keberadaan hutan yang menjadi daerah perburuan juga menjadi pertimbangan penting untuk mendirikan sebuah pemukiman baru.
Dari masa berburu dan meramu, kemudian atas desakan kebutuhan serta sumber makanan yang berlimpah, akhirnya berkembang menjadi masyarakat yang mempunyai lahan bertani atau berkebun. Pola kehidupan yang berubah dari berpindah-pindah menyesuaikan dengan sumber daya alam yang ada, menjadi pola menetap bertani dan berkebun, mengolah tanah menjadi sumber kehidupan. Maka mulailai masa membuka hutan, dibersihkan, ditanami tanaman pangan seperti padi, ubi, dan jenis tumbuhan lain yang bisa dikonsumsi.
Mulai masa itu, terjadilah pembagian-pembagian tanah di Minahasa untuk ditempati satu kelompok masyarakat. Bagi masyarakat Taratara, proses inilah yang dinamakan ‘Tumani um Wanua Weru’. Joutje Sendoh dalam buku Profil Kebudayaan Minahasa yang ditulis tahun 1977, menjelaskan kata tumani berasal dari kata tani’. Artinya, membuat rumah bersama-sama secara berkelompok (sudah menetap).
Budayawan Minahasa, Rinto Taroreh, menjelaskan dalam masyarakat Minahasa sebelum tumani, dulu ada yang disebut dengan tumontani’. Artinya, menduduki suatu wilayah.
Sejak kapan praktek tumontani’ dimulai? Menurut Taroreh, sejak peristiwa pembagian wilayah awohan (wilayah untuk ditempati, dikelola, dan daerah berburu) bagi masyarakat Minahasa di Watu Pinawetengan.
“Setiap keluarga yang ikut dalam rombongan, akan diberikan jatah untuk mendirikan pemukiman di wilayah yang akan mereka duduki,” kata Taroreh.
Setelah tumontani’, setiap keluarga atau taranak akan melakukan ritual khusus yang disebut lumigauw (bertanya). Proses ‘bertanya’ akan dilakukan dengan mendengar tanda burung. Apabila telah disetujui oleh Sang Khalik dan para leluhur, para pemimpin rombongan atau pemimpin ritual akan segera mencari batu yang akan dipakai untuk menandai pendirian kampung.
“Saat prosesi ritual dilakukan, akan mendengar tanda burung. Setelah mendapat restu, pemimpin ritual mematahkan rere tahas atau seutas lidi. Setelah itu, rere tahas yang telah dipatahkan akan disimpan dalam belanga tanah. Kemudian pemimpin ritual akan segera mencari batu. Batu ini akan dipakai untuk penanda berdirinya kampung,” papar Taroreh.
Di mana lokasi foso, tempat direstuinya permohonan pendirian kampung, di situlah tanah akan digali untuk menanam rere tahas yang telah dipatah-patahkan. Setelah itu, batu yang telah dicari di sungai, segera mereka pegang. Batu diancungkan ke langit, mengucapkan syair doa yang dituturkan pemimpin foso, kemudian batu akan ditancapkan di tanah yang telah digali.
“Dengan ditancapkannya batu tersebut, maka telah dianggap sah atau telah dideklarasikan bahwa wilayah itu akan didirikan suatu pemukiman yang baru,” jelas Taroreh.
Selama proses tumontani’, para pemimpin rombongan akan menilai apakah wilayahnya pantas atau layak untuk ditempati. Salah satu tokoh yang mempunyai keahlian khusus untuk menilai suatu wilayah, akan ditunjuk. Ia disebut dengan tinu’us. Sosok yang berperan sebagai orang pertama untuk mencari jalan ke sebuah wilayah yang baru.
“Apa yang menjadi syarat suatu wilayah layak untuk didiami? Pertama, sumber air dekat dan memadai. Air sebagai sumber kehidupan menjadi hal mutlak untuk pemukiman. Entah bersumber dari sungai ataupun mata air dekat wilayah calon pemukiman. Kedua, keamanan di sekitar wilayah calon pemukiman harus terjamin,” urai Taroreh.
Masyarakat Minahasa dahulu pernah mengalami masa perang antar suku, serta perang antar klan. Di masa itu, mahmumu’is, head hunter, para pemburu kepala ada di mana-mana. Para pemimpin rombongan atau yang ditunjuk sebagai tinu’us, harus menjamin hal tersebut.
Selain itu, faktor aman dari bencana alam harus dipastikan. Ancaman longsor, banjir, sampai gunung berapi, menjadi faktor penentu pendirian kampung.
“Syarat ketiga, bahan makanan berlimpah. Tersedianya bahan makanan untuk ke depan harus dijamin demi sejahteranya negeri yang baru. Hewan buruan, buah-buahan, sampai tanaman pangan harus jelas tersedia di wilayah itu,” kata Taroreh.
Bagaimana bila dalam proses lumigauw, pendirian kampung tidak atau belum direstui? Biasanya para pemimpin rombongan akan mengadakan upacara khusus yang disebut dengan kumomba’. Dalam upacara ini, mereka akan menggunakan daun sejenis talas, yang akrab disebut daun kokomba’an, terutama yang berwarna merah.
Dalam upacara ini, mereka akan memanggil satu leluhur yang disebut Opo Kumokomba’. Leluhur inilah yang dipercaya mengajarkan pengetahuan kumokomba’. Dialah yang akan memberikan tanda, kepastian di mana lokasi yang layak untuk didirikan pemukiman.
“Dalam prosesi ini, akan dinyanyikan nyanyian yang seirama dengan gerakan sebagai suatu ekspresi. Kemudian, sambil mengambil daun kokombo’an yang telah mereka siapkan. Daun itu segera mereka potong-potong. Di mana potongan daun tersebut mengarah dan jatuh, maka di situlah tempat yang dianggap layak untuk didirikan pemukiman baru,” jelasnya.
Menurut Taroreh, tumani berarti ‘yang telah dikuasai dan dideklarasikan’. Ketika proses ritual selesai dilaksanakan, maka dimulailah pembuatan hunian sementara oleh rombongan. Semacam popo atau sabuah kobong. Setelah proses ini, yang akan dilakukan selanjutnya adalah membatasi serta melindungi kampung melalui sebuah ritual khusus.
Menandai batas-batas kampung, bisa dengan batu ataupun tanaman seperti tawa’ang dan pohon. Tempat tapal batas ini kemudian dinamakan dengan si’izang um wanua. Di daerah Toutemboan disebut si’rang um banua.
“Sebetulnya, prosesi adat ini dinamakan ritual si’zang um wanua, dan batu atau situs yang ada dinamakan sela um wanua. Karena itu, di daerah Tonsea, batu-batu penjaga yang ada di ujung kampung dinamakan ‘Watu Pasela’,” tegas Taroreh.
NEGERI BARU DAN MASA DEPAN ANAK-CUCU
Ketika membuka sebuah wilayah penguma’an (berkebun) yang baru, mata air harus berada di dekat. Sebagai sumber pengairan yang cukup untuk bertani. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, air juga digunakan dalam berbagai foso atau ritus orang Minahasa.
Taratara adalah salah satu negeri di Minahasa yang hidup dan lestari dari dua elemen penting, air dan hutan. Hutan Gunung Lokon menjadi bagian yang tak terpisahkan dari orang Taratara sampai saat ini. Berbagai hasil hutan, captikus, sampai gula merah tak lepas dari hutan.
Tradisi yang masih dilestarikan sebagai tinggalan kultural budaya leluhur Taratara, yaitu tradisi mengasu (berburu). Saat ini ada lebih dari dua kelompok berburu di Taratara. Wilayah berburu mereka adalah hutan sekitar kampung.
Taratara pun tidak bisa lepas dari mata air. Sama seperti negeri pada umumnya di Minahasa. Mata air besar di Taratara yang menjadi pokok untuk memenuhi kehidupan sekarang ini, bersumber dari Gunung Lokon.
Mata air Meras dan mata air Makalesung, dua mata air besar dan berlimpah yang digunakan sejak dahulu hingga saat ini oleh orang Taratara. Sungai Meras dan Sungai Makalesung adalah dua sungai yang penamaannya mengikuti nama sumber airnya. Airnya digunakan orang Taratara sebagai sumber irigasi pertanian, serta mencari bahan panganan lain untuk melangsungkan hidup.
Jelas dalam ingatan masyarakat Minahasa, untuk mendirikan sebuah negeri baru harus memperhatikan keberlangsungan hidup anak-cucu. Tak bisa asal memilih, terutama harus atas restu Sang Khalik.
“Syarat penting yang harus dipenuhi satu wilayah agar layak dan pantas didiami, hutan sebagai tempat berburu dan berkebun, sumber air, dan aman dari bencana alam ataupun serangan musuh. Ketiga hal ini harus benar-benar dipastikan. Bukan untuk satu generasi saja, tetapi untuk masa depan, sepanjang wilayah itu didiami,” kata Rinto Taroreh.
Berpindahnya suatu kelompok masyarakat mencari wilayah baru untuk didiami, biasanya karena wilayah pertama telah padat. Sumber kehidupan menipis. Bisa juga akibat pertentangan yang terjadi di dalam wilayah pertama, hingga membuat kelompok tertentu keluar meninggalkan pemukiman itu dan mencari wilayah pemukiman baru.
Mencari sebuah wilayah baru bukan sekedar menetap dan tinggal, tapi mengenai makna serta arti hidup dan tradisi yang akan tetap lestari. Berdirinya sebuah negeri yang baru, dimaknai dengan sebuah awal kehidupan yang baru pula.
“Itu diawali dengan upacara khusus, meminta restu. Menandai berdirinya kampung, mendirikan wale, mencari serta membuka lahan pertanian yang baru. Sebuah keinginan yang bukan sesaat tetapi sebuah pertaruhan hidup untuk lepas dari wilayah induk dan memulai hidup yang baru, namun tetap pada jalan tradisi yang sama,” ungkap Taroreh.
Nicolas Rotikan menyebutkan, dalam ingatan orang Taratara, “Bila batu perjanjian (pendirian kampung) hilang atau diambil penduduk negeri lain, maka demikian pula akan terjadi pada penduduk Taratara. Mereka akan kehilangan kepala mereka.”
Itu sumpah yang terjadi ketika pendirian negeri Taratara. Sumpah ini masih tetap ada dalam ingatan orang Taratara.
“Masih banyak orang tua yang mengingat kalimat tua ini. Itu sumpah yang diikrarkan secara kolektif oleh orang Taratara sendiri,” jelasnya.
Sumpah ini membuktikan sebuah komitmen untuk menjaga, serta melestarikan apa yang telah dimulai oleh para leluhur. Watu Tumani um Wanua Taratara, bukan sekedar batu penanda berdirinya kampung. Ia merupakan saksi sebuah komitmen bersama untuk kehidupan yang baru bagi generasi selanjutnya. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan