Connect with us

CULTURAL

Tataha’an Toitow, Bengkel Waruga di Wanua Ure Tiniwa’an

Published

on

2 Mei 2023


“Jangan sampai berbagai bentuk pembangunan, keserakahan manusia, kemudian harta berharga itu hilang. Kalau itu hilang, berarti kita kehilangan bukti sebagai pemilik tanah ini. Jika itu dihancurkan, maka hancurlah ingatan kita. Sudah itu berarti kita akan menjadi generasi yang hilang ingatan dan mudah dikuasai, dengan gampang dieksploitasi untuk kepentingan pihak luar. Itu bencana bagi kita, Saudara.”


Penulis: Rikson Karundeng


JAZIRAH utara Selebes menyimpan banyak harta peninggalan zaman megalitikum yang tak ternilai harganya. Salah satunya, waruga. Wadah kubur batu yang hanya bisa dijumpai di wilayah adat Minahasa, Sulawesi Utara.

Waruga hadir melalui sebuah proses dari tangan-tangan terampil, tubuh yang kuat dan otak yang cerdas yang dikenal dengan tumetetaha’. Tukang yang memiliki kemampuan khusus, hingga mampu menghasilkan karya mengagumkan itu.

Waruga diproduksi di sebuah bengkel. Biasanya, di tempat itu terdapat bahan baku pembuatannya. Tak banyak situs perbengkelan yang masih bisa ditemui saat ini. Salah satu yang masih tersimpan dalam ingatan tou (orang) Minahasa adalah kawasan situs “Tataha’an Toitow”.

Jejak Peradaban di Wanua Tiniwa’an

Tataha’an Toitow adalah bukti peradaban dan ingatan masa lampau tou Minahasa. Sebuah kawasan yang dahulu menjadi bengkel pembuatan waruga di wilayah wanua ure atau kampung tua Tiniwa’an. Letaknya berada di Perkebunan Kuren, Desa Winangun, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa kini.

Kampung tua Tiniwa’an dahulu merupakan bagian dari Lotta, ibu kota negeri Walak Kakaskasen. Tiniwa’an artinya “da sumpah akang”. Sumpah itu dilakukan orang-orang Tombulu Walak Kakaskasen, untuk menegaskan bahwa tanah itu merupakan wilayah adat mereka.

Dahulu, untuk membangun sebuah kampung di Minahasa, hal penting yang harus dilakukan lebih dahulu adalah sebuah aktivitas ritus yang disebut mengetiwa’. Biasanya, setelah menemukan tempat yang direstui oleh Sang Khalik dan para leluhur, orang-orang yang akan mendirikan kampung akan melakukan tiwa’ atau sumpah bersama.

“Sumpah itu dilakukan dengan Sang Khalik. Biasanya mereka bertanya, jika tempat ini bisa didirikan kampung oleh mereka, Sang Khalik diminta memberikan tanda,” kata Lambertus Koraag, tua-tua adat Pineleng, 26 April 2023.

Menurutnya, mengetiwa’ terkait dengan tanda alam yang menjadi tanda restu dari Sang Khalik. Biasanya tanda paling umum adalah tanda burung oot atau manguni.

Mengetiwa’ juga dilakukan para leluhur walak Kakaskasen yang kemudian mendirikan pemukiman Tiniwa’an.  “Kampung ini didirikan sebagai kampung benteng pertahanan dari gangguan orang luar,” ujar Koraag.

Wanua Tiniwa’an berdiri sekitar tahun 1700. Pemukiman ini didirikan untuk mengantisipasi berbagai ancaman yang datang ke wilayah adat Walak Kakaskasen.

“Masa pembangunan pemukiman itu terjadi sebelum peristiwa penyerangan dan pembakarana Lotta, tahun 1760. Ketika itu ibu kota walak dipindahkan dari daerah pegunungan di kaki Gunung Lokon, ke daerah dataran rendah, Lotta,” sebut budayawan Minahasa, Rinto Taroreh.

Dalam catatan sejarah, pemindahan ibu kota walak Kakaskasen dilakukan di masa kepemimpinan Opo’ Sulu’. Saat Lotta menjadi pusat walak, walak Kakaskasan dipimpin Opo Siwi Parengkuan sebagai kepala walak.

“Kampung Tiniwa’an dibangun untuk menghadang pihak luar yang ketika itu coba masuk ke daerah Tombulu Kakaskasen. Di masa itu, daerah tersebut merupakan ‘pintu masuk’ ke daerah Minahasa pegunungan. Jadi, Tiniwa’an sebenarnya merupakan pemukiman sewaktu-waktu karena masa perang,” kata Taroreh.

Di kemudian hari, datang pendatang-pendatang Minahasa lain menempati daerah ini. Terutama orang-orang Sonder yang biasa melakukan aktivitas di Manado. “Tiniwa’an dijadikan tempat beristirahat dan mengambil air oleh orang-orang Sonder,” jelas Taroreh.

Situs Tataha’an Toitow

Tataha’an Toitow adalah jelak peninggalan di era peradaban Tiniwa’an. Masyarakat adat di Minahasa banyak mengenal kawasan situs yang berada di perbatasan Manado-Minahasa ini dengan Tataha’an Toitow, karena terkait aktivitas yang dilakukan di tempat itu.

Tataha’an bermakna aktivitas untuk babetel atau memahat batu yang menjadi bahan baku waruga. Tataha’an Toitou memang merupakan bengkel pembuatan waruga,” ujar Taroreh.

Sementara kata toitow terkait dengan pahatan berbentuk kepala manusia yang lebih dari satu. Di tempat ini terdapat waruga pemimpin Minahasa yang memiliki pahatan yang menggambarkan dua kepala manusia.

“Waruga itulah yang disebut toitow oleh masyarakat,” terang Taroreh.

Di situs Tataha’an Toitow terdapat sejumlah bongkahan batu yang hampir membentuk waruga serta waruga yang sudah utuh dan digunakan. Ada badan waruga, ada juga kepala atau penutup waruga. Selain itu ada juga jejak pahatan-pahatan di dinding sekitar.

Hal menarik lain, di tempat ini terdapat tempat yang dahulu diperkirakan digunakan sebagai daseng, pondok yang dipakai sementara waktu oleh para pembuat waruga untuk berteduh.

“Di pinggir-pinggir kawasan situs Tataha’an Toitow terdapat dinding-dinding batu. Di dinding batu itu dibuat lubang-lubang seukuran telapak tangan. Fungsinya untuk memasukkan sebatang kayu, untuk dibuatkan atap tempat berlindung,” kata pegiat budaya asal Pineleng, Donald Jacob.

Bisanya, sebelum waruga digunakan, karya itu masih milik dari si tumetetaha’, tukang yang membuatnya. Dari tempat ini, waruga kemudian disebar ke sejumlah pemukiman orang-orang Tombulu yang dekat dengan wanua Tiniwa’an.

Dalam ingatan orang-orang Pineleng, waruga dari Tiniwa’an dibawa ke wanua Lotta, bahkan sampai ke pemukiman yang menjadi wilayah walak Wenang.

“Waruga-waruga di pusat kota Manado kini, kami yakin berasal dari Tiniwa’an. Karena bahan baku dari tempat ini dikenal kualitasnya bagus,” ujar Alexander Lontaan, tua-tua adat Pineleng.

Selain tersimpan dalam cerita dan ingatan orang-orang Tombulu, keyakinan itu bisa dibuktikan karena jenis batu di waruga-waruga yang ada di Lotta dan Wenang semuanya sama.

“Kalau kita memerhatikan bahan baku waruga di Wenang dan di Lotta, sama persis. Itu jenis batu teras,” tutur Lontaan.

Kawasan Penting Bagi Ilmu Pengetahuan

Bengkel waruga salah satu peninggalan penting masa lampau di Minahasa. Seperti halnya situs Tataha’an Toitow.

Ipak Fahriani dalam tulisannya tentang “Situs Perbengkelan Waruga di Minahasa” di buku Jejak-Jejak Arkeologi tahun 2011, menjelaskan bahwa waruga merupakan wadah kubur tinggalan budaya megalitik yang cukup unik di Minahasa. Menurut arkeolog, peneliti di Balai Arkeologi Manado ini, salah satu keunikan waruga adalah batu yang menjadi bahan bakunya yang pada umumnya menggunakan bahan batuan berupa lava basal.

Batuan sedimen ini banyak ditemukan di wilayah Minahasa. Daerah yang merupakan wilayah tektonik aktif (Minahasa Section). Perbukitan batuan sedimen ini terjadi akibat adanya letusan gunung api Lokon dan Klabat. Kekerasan yang dimiliki jenis batuan ini tidak terlalu keras, sehingga dapat dibentuk atau dikerjakan sesuai kebutuhan dan keinginan.

Kelimpahan sumber daya alam berupa batuan sedimen ini memungkinkan masyarakat Minahasa pada masa berlangsungnya budaya megalitik untuk memanfaatkannya. Terutama bahan baku dasar pembuatan kubur batu waruga.

Ipak yang meneliti tentang sebaran situs perbengkelan waruga di Minahasa menjelaskan, kawasan situs tempat produksi atau lokasi pembuatan dan tempat perolehan bahan baku waruga sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Data hasil penelitian dapat menambah pengetahuan tentang budaya megalitik yang pernah berkembang di Minahasa pada masa lampau. Khususnya budaya penggunaan waruga sebagai salah satu wadah kubur pada masa lampau di Minahasa.

Peneliti Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), Leonard Wilar, mengatakan jika situs Tataha’an Toitow sangat penting untuk memahami banyak hal tentang Minahasa di masa lampau.

“Situs itu bisa jadi tempat edukasi. Bisa jadi tempat studi budaya, studi arkeologi atau kebudayaan manusia di masa lalu, bisa menjadi pintu penting untuk menyelami sejarah Minahasa di era waruga yang menurut para peneliti masanya berlangsung cukup lama,” kata Wilar.

Tataha’an Toitow akan sangat membantu para siswa, mahasiswa dan peneliti untuk mempelajari waruga dan mengetahui proses perubahan budaya dari masa lalu. Dari situ bisa ditemukan banyak pengetahuan baru, sehingga membantu para pelajar atau peneliti untuk melakukan penelaahan lebih jauh.

“Situs ini adalah sumber sejarah yang dapat memberikan gambaran tentang suatu peristiwa di Minahasa masa lampau dengan lebih konkret. Itu kenapa situs Tataha’an Toitow sangat penting untuk tetap dijaga dan dilestarikan,” tandasnya.

Belarmino Lapong, penulis sejarah Minahasa menyebutkan, Tataha’an Toitow  adalah bukti peradaban yang sangat berharga bagi generasi Minahasa kini dan generasi berikutnya. Karena itu, Ketua Barisan pemuda Adat (BPAN) Tomohon ini meyakini jika masyarakat Minahasa wajib untuk menjaga ingatan itu.

Dari situs itu banyak pihak dapat mengenal kebudayaan, cara berpikir dan teknologi, pencapaian pengetahuan orang Minahasa sejak masa lampau.

“Itu bukti peradaban tou Minahasa. Hari ini bengkel waruga sulit ditemui. Makanya situs ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Tapi lebih penting lagi bagi kita tou Minahasa,” ujar Lapong.

Tataha’an Toitow  harus dijaga bukan hanya karena ia dilindungi oleh undang-undang. Tapi karena itu adalah bukti peradaban Minahasa yang sangat penting bagi eksistensi orang Minahasa di tanahnya.

“Jangan sampai berbagai bentuk pembangunan, keserakahan manusia, kemudian harta berharga itu hilang. Kalau itu hilang, berarti kita kehilangan bukti sebagai pemilik tanah ini. Jika itu dihancurkan, maka hancurlah ingatan kita. Sudah itu berarti kita akan menjadi generasi yang hilang ingatan dan mudah dikuasai, dengan gampang dieksploitasi untuk kepentingan pihak luar. Itu bencana bagi kita, Saudara,” tegas Lapong. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *