Published
6 years agoon
By
philipsmarx23 Maret 2019
Oleh: Febriani Sumual
kelung.com – Tidak ada yang mengingkari bahwa perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, khususnya mengelola sumber daya hutan. Filosofi bumi adalah ibu, hampir sebagian besar menjadi pegangan bagi masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia, menandakan bahwa keterikatan perempuan atas hutan, tanah, air dan alamnya begitu besar.
Bagi perempuan yang selama ini hidup di dalam atau sekitar hutan, hutan bukan sekedar pepohonan, tetapi hutan adalah sumber kehidupan, hutan sumber pangan dan sekaligus sumber obat-obatan yang selama ini menjadi tumpuan perempuan dalam hampir seluruh aspek kehidupannya.
Itulah salah satu landasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menggagas Acara Temu Nasional Perempuan Pejuang Lingkungan Hidup yang mengusung tema “Menggagas Agenda Politik Perempuan untuk Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (SDA)”. Acara ini dilangsungkan di Jakarta pada 22 Maret 2019, dan dihadiri sekitar 100 perempuan komunitas dan aktivis lingkungan hidup dari 26 provinsi di Indonesia.
“Momentum politik elektoral 2019 menjadi ruang bagi perempuan komunitas untuk kembali menggagas agenda politik, menyuarakan dan mendesak tuntutannya kepada pemimpin ke depan untuk mengakui dan melindungi hak perempuan atas sumber daya alam dan lingkungan hidup, termasuk melindungi hak perempuan sebagai pembela HAM, serta membuka seluas-luasnya ruang partisipasi politik yang aman dan nyaman bagi perempuan,” ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Temu Perempuan ini digagas dengan melihat fakta-fakta pelanggaran hak asasi yang dialami perempuan akibat eksploitasi sumber daya alam dan penghancuran lingkungan hidup yang merampas kedaulatan hidup dan ruang hidup perempuan yang dilakukan oleh negara dan kekuatan pemilik modal yang berujung pada pemiskinan. Kasus lingkungan dan SDA di pesisir, laut, hutan, perkebunan, pertambangan, infrastruktur, masalah air dan pangan, telah mencerabut identitas dan keterikatan perempuan atas sumber daya alam dan lingkungannya.
Secara nyata perempuan mengalami penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dampaknya berlapis dan mendalam terhadap perempuan dan komunitasnya. Namun berbagai kepungan ancaman dan penindasan ini tidak membuat perempuan di komunitas diam, ada begitu banyak perempuan dan komunitasnya yang gigih berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
“Tujuan kegiatan ini adalah memperkuat nilai dan kerja-kerja keadilan gender dalam langgam gerakan advokasi WALHI serta mengkonsolidasikan gerakan perempuan pejuang lingkungan hidup dalam mendorong agenda yang berkeadilan gender” jelas Rudiansyah, Direktur Eksekutif Daerah (ED) WALHI Jambi.
WALHI telah menegaskan bahwa keadilan gender menjadi bagian yang terintegrasi dalam perjuangan dan advokasi untuk mewujudkan keadilan ekologis di Indonesia. WALHI sebagai bagian dari gerakan lingkungan hidup dan gerakan sosial di Indonesia menyadari begitu besarnya perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Memiliki peran yang strategis dalam keluarga, memperkuat komunitas, membangun dan memperkuat organisasi, serta mengambil bagian penting dalam proses kehidupan berbangsa, dalam ranah politik salah satunya dengan tujuan agar kebijakan negara berpihak kepada lingkungan hidup dan perempuan, dari tingkat desa hingga kebijakan nasional.
“Dalam agenda kegiatan ini berbagi pengetahuan dan pengalaman dan mendokumentasikan inisiatif perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan penyelamatan lingkungan hidup merupakan tujuan di adakannya kegiatan ini” ungkap Rudiansyah.
Temu nasional perempuan pejuang lingkungan hidup ini juga diharapkan menjadi sebuah momentum dan wadah untuk merumuskan agenda politik perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup, serta sekaligus mengkonsolidasikan aktivis WALHI yang selama ini bekerja mendorong keadilan gender dalam perjuangan WALHI bersama dengan komunitas pejuang lingkungan hidup di Indonesia.(*)
Editor: Denni Pinontoan