CULTURAL
Tenggelam di Bir Vietnam
Published
5 years agoon
By
philipsmarx21 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Bir adalah peluang ekonomi yang sulit ditolak Vietnam, meski efek buruknya juga mengkhawatirkan.
ASIA TENGGARA MESTI berterimakasih kepada Vietnam.
Terutama untuk produksi bir lokal mereka yang membuat para penggemar bir seperti saya, selalu tersenyum bahagia. Rasa yang khas, selalu dijual dalam kondisi dingin dan harga yang murah adalah tiga alasan utama, mengapa menenggak bir di siang terik terasa biasa saja di negeri komunis ini. Di malam-malam panjang akhir pekan, berbagai ragam bir di Vietnam akan membuatmu tabah menjalani hidup setelah lelah bekerja. Perayaan paling sempurna kelas pekerja yang kalah.
Namun di antara semua jenis bir produksi dalam negeri di Vietnam, tidak ada bir yang dapat menyaingi rasa Huda Beer. Setidaknya, itu menurut saya. Huda Beer adalah bir produksi lokal yang merupakan hasil kerjasama antara perusahaan milik pemerintah kota Hue dengan Heineken. Hue sendiri adalah kota kecil yang terletak di bagian tengah Vietnam, yang juga merupakan ibukota provinsi Thue Thien Hue.
Warna kalengnya didominasi warna hijau dengan tulisan “Huda”. Dibuat menyerupai ukiran yang digunakan induk pabrikan mereka di Eropa. Menurut banyak orang lokal, Huda adalah akronim dari Hue-Danish. Semacam penanda tentang proteksi ekonomi versi negeri sosialis yang beradaptasi dengan kebutuhan untuk membuka keran investasi skala internasional.
Meskipun revolusioner paling terkemuka di Vietnam -yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama kota terbesar di daerah selatan setelah dibebaskan dari cengkraman imperialis- pernah mengatakan bahwa alkohol adalah racun. Bagi Paman Ho, jenis minuman memabukkan adalah cara kolonial Prancis melemahkan gerakan pembebasan rakyat Vietnam dan para revolusioner. Paman Ho hidup seutuhnya dalam kritikan keras tersebut. Sepanjang masa hidupnya, pendiri Partai Komunis Indocina ini tak pernah menyentuh minuman beralkohol lalu membiarkan dirinya terkapar mabuk.
Namun wajah Vietnam yang saya temui semasa empat tahun menggelandang di sana adalah antonim dari semua itu.
Bir adalah jenis minuman yang paling mudah ditemukan, beragam dan dapat dikatakan merupakan favorit anak-anak muda di negeri komunis tersebut. Minum bir di Vietnam seakan menjadi kultur baru semenjak progres pasar yang meluas seiring bertambahnya populasi anak muda. Selain itu, minimnya fasilitas hiburan alternatif di tengah kepadatan dunia kerja membuat kafe bar yang menyediakan bir menjadi sasaran tempat melepaskan penat. Harga yang murah serta berlimpahnya waktu luang adalah alasan lainnya. Belum lagi menyoal urbanisasi yang terjadi begitu cepat dan mendorong migrasi para pemuda dari daerah-daerah pinggiran menuju kota-kota besar untuk mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan.
“Menenggak bir adalah cara melupakan rasa lelah, sekaligus menikmati hidup,” kata Hoang Anh Tuan. Ia adalah peneliti di Hue College of Education, Hue University. Gedung kampus mereka terletak tepat di depan sungai Huong Giang dan jembatan Truong Tien.
Anh Tuan meminum bir setiap hari, meski hanya satu atau dua kaleng saja saat makan siang dan makan malam. Kecuali di malam Sabtu dan malam Minggu. Di akhir pekan, jumlah isi kaleng bir yang berpindah ke dalam perutnya sulit untuk diterka. Apalagi jika ada yang sedang dirayakan. Tanda-tanda bahwa ia akan minum bir hingga puas sangat mudah dilihat. Apabila ia datang tanpa mengendarai sepeda motor, itu artinya alarm tanda bahaya. Ia telah bersiap untuk kemungkinan kami menenggak bir sampai pagi. Saya paham betul karena berkawan karib dengannya selama menetap di Hue, Vietnam.
Lagipula, kafe dan resto yang menjual bir terletak tak jauh dari Hue College of Education. Tak sampai lima puluh meter ke arah kanan, dapat ditemukan DMZ Bar. Ini adalah salah satu bar modern paling tua dan yang paling terkenal di Hue. Kebanyakan pelanggannya adalah para turis, sementara orang lokal memilih restoran-restoran kecil. Menu makanan yang disajikan sebagai pendamping bir adalah soal utama. Orang Vietnam, lebih senang menenggak bir sembari makan babi, bebek, ayam atau katak. Sementara orang Eropa merasa sudah puas jika bir telah ditemani kacang dan kentang goreng.
Popularitas bir dan populasi penenggaknya di Vietnam kini ibarat simalakama. Ini merupakan peluang ekonomi yang potensial, tapi juga membawa ancaman serius yang tidak dapat dianggap remeh.
Dalam laporannya di bulan Juli 2016, Euromonitor International mengatakan bahwa Vietnam di masa depan akan menjadi medan penentu dalam pertarungan antar produsen bir. Laporan tersebut menyoroti perdagangan bir di wilayah Asia Pasifik yang menggarisbawahi potensi pasar yang dimiliki Vietnam di masa depan. Bertambahnya populasi anak muda di Vietnam dan meningkatnya jumlah kelas menengah telah mendorong naiknya konsumsi bir hingga 300% sejak tahun 2002.
Euromonitor International memperkirakan pasar bir di Vietnam berkisar di angka 6,5 juta dollar Amerika di tahun laporan tersebut dirilis. Mereka memprediksi konsumsi bir per kapita mencapai 40.6 liter di tahun 2016. Angka ini adalah yang terbesar di wilayah Asia Tenggara, mengalahkan Thailand dan Filipina yang di dekade sebelumnya merupakan surga para peminum bir di region ini.
Laporan ini juga memprediksi bahwa hingga tahun 2021, pasar yang tersedia untuk konsumsi bir di Vietnam akan secara signifikan mengalahkan Thailand dan Filipina.
Itu mengapa ketika di awal tahun 2017, saat pemerintah Vietnam mengumumkan rencana untuk melepas saham mayoritas mereka di dua perusahaan bir negara paling besar di negeri tersebut, perusahaan-perusahaan produsen bir Eropa sangat tergiur. Saigon Beer Alcohol Beverage Corp. (Sabeco) dan Hanoi Beer Alcohol Beverage Corp. (Habeco) yang berbasis di dua kota terbesar di tanah air Paman Ho, kini menjadi incaran dari produsen bir global.
Nama-nama seperti Heineken NV yang berbasis di Belanda, Carlsberg A/S yang berada di Denmark, jelas lebih memiliki keuntungan karena telah lebih dahulu beroperasi dan memasarkan produk mereka di Vietnam, meskipun terikat dalam berbagai komitmen perdagangan yang disepakati di masa lalu. Untuk saham Sabeco misalnya, Heineken akan mendapatkan persaingan dari Anheuser-Bush InBev NV yang sama-sama berbasis di negeri Tulip, dan juga dua perusahaan asal Jepang bernama Asahi Group Holdings Ltd dan Kirin Holdings Co. Menurut Bloomberg, sudah ada tujuh perusahaan yang tertarik untuk mengakuisisi saham dua perusahaan negara tersebut. Rencana pelepasan saham yang dipegang negara di dua raksasa penghasil bir ini dipandang sebagai pintu masuk yang terbuka lebar untuk persaingan internasional sektor alkohol di Vietnam.
Kepada Bloomberg dalam sebuah reportase di bulan Agustus 2016, Kementerian Perdagangan dan Industri Vietnam mengatakan bahwa saham Sabeco yang dipegang pemerintah sebesar 89,59%, nilainya diperkirakan mencapai 1.8 milyar dollar Amerika. Ini adalah perusahaan utama penghasil bir di negeri yang pernah mengalami salah satu perang paling buruk di era Perang Dingin. Sementara saham 82% milik pemerintah di Habeco diperkirakan menyentuh angka 404 juta dollar Amerika.
Bir adalah salah satu minuman tertua yang diproduksi manusia, berasal dari setidaknya milenium ke-5 SM di Iran, dan tercatat dalam sejarah tertulis Mesir kuno dan Mesopotamia dan menyebar ke seluruh dunia. Trevor Hemor dalam The Book of Origins (2007) mencatat bahwa bir diproduksi sekitar 7.000 tahun lalu di sebuah tempat yang sekarang disebut Iran. Penemuan ini mengungkapkan salah satu kegunaan fermentasi paling awal dan merupakan bukti pembuatan bir di masa lalu. Dalam Revealing a 5,000-y-old beer recipe in China, Jiajing Wang, Li Liu, Terry Ball, Linjie Yu, Yuanqing Li, dan Fulai Xing menemukan bahwa di Cina, residu pada tembikar yang berasal dari sekitar 5.000 tahun lalu memberikan petunjuk cara pengolahan bir yang diseduh menggunakan jelai dan biji-bijian lainnya.
Horst Dornbusch dalam Beer: The Midwife of Civilization berpendapat bahwa penemuan roti dan bir dianggap bertanggung jawab atas kemampuan manusia untuk mengembangkan teknologi dan membangun peradaban. Bir bahkan mungkin telah dikenal di masa Neolitik Eropa sekitar 5.000 tahun yang lalu.
Sebelum Revolusi Industri, bir diproduksi dan dijual pada skala domestik. Pada abad ke-7, bir juga diproduksi dan dijual oleh biara-biara Eropa menurut Martyn Cornell, dalam Beer: The Story of the Pint (2003). Selama Revolusi Industri, produksi bir beralih dari manufaktur artisanal ke manufaktur industri, dan manufaktur dalam negeri tidak lagi signifikan pada akhir abad ke-19. Pengembangan hidrometer dan termometer juga mengubah metode pembuatan bir. Dua penemuan tersebut memungkinkan para pembuat bir lebih dapat mengontrol proses, dan pengetahuan yang lebih besar tentang hasilnya.
Saat ini, industri pembuatan bir adalah bisnis global, yang terdiri dari beberapa perusahaan multinasional yang dominan dan ribuan produsen kecil mulai dari tempat pembuatan bir hingga tempat pembuatan bir regional. Lebih dari 133 miliar liter (35 miliar galon) dijual per tahun — menghasilkan total pendapatan global $ 294,5 miliar (£ 147,7 miliar) pada tahun 2006. Angka ini yang mungkin sulit ditolak oleh para petinggi Partai Komunis Vietnam.
Ironis memang. Ketika Ho Chi Minh dengan teguh dan keras mengkritik pemasaran alkohol, para penerusnya di hari ini melihat sesuatu yang jauh berbeda. Bagi para petinggi komunis di Hanoi, bir bukan lagi musuh. Sebaliknya, ia adalah peluang untuk mengkapitalisasi ekonomi negeri. Meski itu berarti bergerak menjauhi pesan yang diamanatkan pendiri bangsa mereka.
Pada saat yang sama, para pejabat mengakui bahwa meningkatnya industri bir di Vietnam secara penuh disadari membawa konsekuensi langsung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat.
Dalam laporannya di tahun 2016, hanya sekitar sepertiga pria dan dua pertiga wanita di Vietnam yang tidak pernah mengkonsumsi alkohol seumur hidupnya, menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia. Pria yang minum, cenderung banyak minum dan 8,7 persen menderita beberapa bentuk ketergantungan atau gangguan alkohol, dibandingkan dengan rata-rata 4,6 persen di wilayah Pasifik Barat.
Pemerintah Vietnam memang telah berusaha untuk memperketat regulasi terkait distribusi dan pemasaran minuman keras. Salah satunya adalah menerapkan pajak konsumsi khusus yang bertujuan untuk meningkatkan tarif cukai bir setiap tahun hingga mencapai 65 persen pada tahun 2018. Majelis Nasional sedang mempertimbangkan proposal untuk mematikan keran bir selama jam makan siang dan sore hari. Mereka juga sedang menimbang apakah akan melarang penjualan alkohol kepada wanita hamil dan untuk melarang pegawai pemerintah minum selama jam kerja.
“Sering ada tekanan luar biasa dari sisi keuangan – baik di dalam maupun di luar pemerintah – untuk menumbuhkan pasar. Penghasilannya sangat jelas, tetapi biayanya jauh lebih tidak terlihat: peningkatan minum dan mengemudi, meningkatnya kekerasan terkait alkohol, kekerasan dalam rumah tangga, bunuh diri, tenggelam,” kata David Jernigan, Direktur dari Center on Alcohol Marketing and Youth, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.
“Bahkan jika pemerintah memang memperketat peraturan alkohol dan membatasi penjualan bir, investor asing tidak akan terhalang,” kata Jhon Ditty dari KPMG dalam sebuah wawancaranya dengan The Edge Singapore. “Setiap perusahaan global yang terlibat dalam industri alkohol sangat sadar akan pentingnya konsumen yang bertanggung jawab,” sambungnya.
Persoalannya kemudian, bagaimana mengukur tanggung jawab tersebut?(*)
Editor: Daniel Kaligis