REVIEW
Tentang Menjadi Kecil
Published
6 years agoon
By
philipsmarx24 Februari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Ini tentang cara memaknai, menjalani dan mensiasati kehidupan
SUATU MALAM di bulan Mei 2018 kami sekeluarga menonton film Downisizing. Pemeran utamanya adalah Matt Damon. Di Indonesia, film ini dirilis Februari 2018 lalu.
Downisizing berkisah tentang Paul Safranek (Matt Damon). Ia dan isrinya Audrey Safranek (Kristen Wiig) berhasrat ingin hidup mewah. Tapi, keuangan mereka tidak mendukung. Mereka lalu tertarik dengan teknologi medis ‘mengecilkan tubuh’ menjadi hingga sebesar 5 inci (12,7 centimeter).
Ini sebetulnya keputusan sulit bagi Paul dan Audrey. Sekali disuntik tubuh mereka akan mengecil selamanya. Tapi demi hasrat hidup mewah, keputusan pun harus diambil.
Di tempat pengecilan tubuh, Paul dan Audrey ditempatkan di ruang terpisah. Paul lebih dulu. Lalu menyusul istrinya.
Setelah para tenaga medis mengutak-atik tubuh Paul, akhirnya ia selesailah prosedur yang mesti diikutinya. Proses pengecilan tubuh terjadi dengan cepat. Namun bukan berarti, ‘tubuh kecil’ Paul siap beroperasi. Butuh pemulihan berapa jam. Ketika sadar, Paul benar-benar sudah menjadi manusia kecil, sangat kecil.
Paul kecil tiba-tiba menerima panggilan telepon istrinya. Paul sangat senang mendengar suara Audrey dari seberang. Tapi, tiba-tiba segera setelah itu ia tampak kecewa. Sangat kecewa. Audrey, baru menyatakan, bahwa ia batal mengecilkan tubuh karena tak rela meninggalkan keluarga dan kehidupan normalnya.
Paul tak mungkin menjadi besar lagi. Singkat cerita, Paul dan Audrey akhirnya cerai. Paul kecewa berat. Audrey stress. Tapi, prosedur sudah dijalankan. Keputusan sudah diambil. Paul bertubuh kecil, Audrey tetap dengan tubuhnya.
Paul kemudian melanjutkan hidupnya sebagai manusia mikro tanpa istrinya. Ia hidup di Leisureland sebuah kawasan elit manusia-manusia kecil.
Adalah Jorgen Asbjørnsen (Rolf Lassgård), dokter asal Norwegia yang menemukan teknologi medis mengecilkan tubuh. Demi untuk membuktikan temuannya, maka jadilan Jorgen sebagai manusia kecil pertama di dunia. Ide awalnya, bahwa dengan manusia menjadi kecil maka konsumsi sumber daya alam akan menjadi kecil pula. Ini katanya untuk menyelamatkan planet bumi dari kehancuran karena eksploitasi. Dengan konsumsi yang berkurang berlipat-lipat dari kehidupan normal, maka sebaliknya nilai harta naik berkali lipat dalam kehidupan serba kecil.
Benar, di Leisureland, warganya hidup serba berkecukupan dan bahkan perlahan menjadi berlebihan dengan tidak banyak mengeluarkan uang dari kekayaan mereka yang dikumpul waktu masih sebagai manusia normal.
Di dunia kecil, Paul menjalani kehidupan yang tak jauh berbeda dengan dunia normal. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin digambarkan dalam kehidupan sebuah rumah susun kumuh, tempat hidup orang-orang kecil miskin, pekerja kasar di rumah-rumah mewah Leisureland di tembok sebelahnya.
Ancaman lain yang serius adalah kepunahan spesies ‘homo sapiens’.
Terhadap ancaman itu, dokter Jorgen dan koloninya, manusia-manusia kecil pertama itu, menemukan lagi solusinya. Mereka membangun dunia lain di dalam tanah. Dan, sepertinya itu sama dengan masuk ke dalam kubur secara massal.
***
Ide cerita film ini menarik. Bahwa, untuk dapat hidup kaya, maka kecilkan tubuh. Dengan mengecilkan tubuh, maka pengeluaran atau biaya hidup menjadi kecil pula. Kebutuhan makan, menjadi kecil dengan begitu biaya pengeluaran menjadi kecil. Rumah menjadi kecil, maka biaya air bersih, listrik, dan lain-lain juga menjadi kecil.
Jadilah pemanfaatan sumber daya alam berkurang berlipat-lipat. Dengan begitu, planet bumi akan berumur panjang.
Semua rupanya berujung pada ‘tubuh’, atau yang oleh ajaran gereja menyebutnya ‘keinginan daging’. Jangan pusingkan dengan ‘ketidakmasukakalan’ film ini. Namanya juga film, dan Downisizing adalah kritik terhadap masyarakat modern yang materialistis dan konsumtif.
Jumlah populasi, kebutuhan dan gaya hidup manusia dan masyarakat yang terus berkembang, membutuhkan makin banyak sumber daya alam. Ambil contoh tren penggunaan tissue.
Penelitian World Wide Fund (WWF) dan Creative Agency Hakuhodo misalnya menemukan, “54 persen masyarakat Indonesia yang hidup di kota besar, memiliki kebiasaan menghabiskan tiga helai tisu untuk mengeringkan tangan.”
Nur Arinta pada artikelnya Nasib Hutan di Balik Sehelai Tisu (dimuat pada situs WWF) mengatakan, 7 juta hektar hutan di Sumatera telah berubah menjadi lahan perkebunan. Lainnya menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kertas dan tisu. Arinta menulis bahwa, sejak tahun 1985 hingga kini, hutan Sumatera terus menyusut dengan angka laju deforestasi sebesar 2,9 persen setiap tahunnya.
“Kini hanya tinggal 24 persen luas hutan alami yang tersisa di Sumatera, dan akan semakin menyusut jika permintaan komoditas hutan seperti tisu terus meningkat dan tidak terkendali,” tulis Arinta.
Itu baru tentang tisu, helaian kertas tipis yang sangat lembut untuk keperluan remeh manusia. Belum lagi ketika berbicara kebutuhan energi, bahan bakar minyak, batu bara, gas, dan lain sebagainya untuk kebutuhan sehari-hari atau industri dari skala mikro hingga skala makro.
Itu semua, bukan hanya untuk ‘kebutuhan’, tapi juga ‘keinginan’. Belum lagi kecenderungan serakah pada makhluk bernama manusia ini.
Tapi, Paul kecil menemukan cara menjalani hidup yang lebih bermakna ketika dia berjumpa dengan Ngoc Lan Tran, perempuan aktivis asal Vietnam yang tubuhnya dikecilkan oleh pemerintah. Ngoc sang penyintas itu hidup di rumah susun yang dihuni oleh orang-orang kecil miskin. Dia bertahan hidup dengan menjadi tukang bersih rumah-rumah mewah di Leisureland.
Suatu hari Ngoc mengajak Paul berkunjung ke situ. Paul lalu menyaksikan kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan di Leisureland. Di sini terdapat banyak orang yang hanya berharap pemberian orang lain.
Ngoc ternyata adalah seorang perempuan yang sangat peduli kehidupan sesamanya. Setiap kali membersihkan rumah keluarga-keluarga kaya di Leisureland, Ngoc meminta makanan-makanan yang tak sempat dimakan untuk dibawanya pulang. Ketika kembali ke rumah susun, Ngoc membagi-bagikan makanan itu kepada orang-orang miskin atau yang tak berdaya di situ.
Paul perlahan belajar dari cara hidup Ngoc.
Perempuan ini berhasil mengajarkan Paul cara menjalani hidup secara baru di bawah bayang-bayang ancaman kepunahan umat manusia dan kehancuran planet bumi. Bagi Ngoc, cara membuat hidup bermakna adalah dengan saling berbagi.
Dari Ngoc, perempuan Vietnam yang berjalan dengan kedua kaki palsunya itu, Paul belajar tentang cara melawan ancaman punahnya kehidupan. Sebab, ketika kehidupan punah oleh karena masing-masing orang ingin senang dan menang sendiri, maka apalah arti alam atau bumi yang lestari.
Paul akhirnya belajar bahwa ancaman kehancuran planet bumi dapat dihadapi dengan melakukan tindakan yang sudah dilakukan sejak zaman purba masyarakat manusia, yaitu: saling berbagi. Dengan saling berbagi, spesies ‘homo sapiens’, makhluk cerdas ini akan dapat bertahan hidup untuk memulihkan dan merawat planet bumi.
Dengan adanya kehidupan, maka bumi memiliki arti.
***
Sementara asyik menonton, tiba-tiba Kevin anak laki-laki saya minta dibuatkan kukis Cucur. Kue berbahan gula merah dan tepung beras ini adalah kesukaan kami keluarga. Saya selalu penasaran dengan ‘renda-renda’ kue ini yang terbentuk waktu penggorengan. Tanpa ‘renda’ di pinggir sekeliling bentuknya yang bulat, orang-orang Minahasa tak akan menyebutnya Cucur.
Semakin banyak renda yang terbentuk di sebuah kukis Cucur, maka semakin ia dipandang berkelas. Jumlah renda disinonimkan dengan tingkat kesulitan saat pembuatan.
Beberapa hari berturut ini, kami di rumah bikin Cucur. Entah karena rasanya yang enak, atau karena lagi lapar, kue Cucur justru adalah sumber konflik antara Kevin dan kakaknya Teresa. Mereka saling berebutan.
Ketika Kevin meminta dibuatkan, saya tiba-tiba teringat, tepung beras tinggal sedikit. Saya bilang ke Kevin bahwa malam ini belum ada kue Cucur. Tepung berasnya tinggal sedikit. Khawatir nanti kue Cucur-nya tidak cukup seperti yang kami butuhkan.
Tapi Kevin terus merengek.
Saya akhirnya mengalah dan berjanji, selesai menonton Downisizing pasti ada kue Cucur.
Film selesai. Saya ke dapur. Merebus gula merah dan menyiapkan tepung beras yang tinggal sedikit itu di baskom berukuran sedang.
Beberapa menit kemudian gula merah selesai direbus. Tunggu beberapa menit sampai panasnya tinggal suam-suam kuku baru air gula merah dituangkan ke dalam baskom berisi tepung beras. Ketika mengandonnya dengan sendok, semakin jelas, bahwa kue Cucur yang akan dihasilkan nanti jumlahnya pasti hanya sedikit.
Gawat, ini masalah. Permintaan bakal tidak sesuai dengan ketersediaan. Kami di rumah ada empat orang. Apa nanti masing-masing orang akan merasa cukup?
Terutama Kevin dan Teresa, apakah mereka tidak akan saling berebutan?
Waktu proses penggorengan, saya menuangkan adonan ke wajan berisi minyak kelapa goreng panas dengan hanya memakai sendok makan. Ini beda dengan biasanya yang menggunakan sendok sup. Dengan begitu, adonan yang dituangkan ke wajan tentu jumlahnya sedikit.
Maka, hasilnya adalah kukis Cucur berukuran mini dengan renda-renda kecil di sekeliling pinggirannya.
Ketika Kevin ke dapur dan melihatnya, spontan dia berkata, “Odoh! Kukis Cucur kecil.”
Ya, ‘Cucur mini’. Kevin dan kakaknya Terasa merasa lucu melihat kue Cucur berukuran kecil ini. Kevin tertawa berulang-ulang melihat kue Cucur kecil yang jumlahnya terus bertambah di piring.
Adonan habis digoreng. Saatnya menyantap kue Cucur kecil. Ketika disajikan, saya lihat Kevin dan Teresa menikmatinya dengan tenang dan damai tanpa konflik.
“Pa, besok bekeng lagi neh kukis Cucur kecil…”, kata Kevin kepadaku dengan mulut yang masih mengunyah Cucur terakhir malam ini.
Dari besar menjadi kecil rupanya melampaui soal ukuran yang berkurang. Ini tentang cara memaknai, menjalani dan menyiasati kehidupan yang sesungguhnya terbatas tapi berhadapan dengan dorongan keinginan yang tanpa batas.(*)
Editor: Andre Barahamin