OPINI
Teologi Dodika: Wahana Tou Minahasa Bersekutu Dengan Allah
Published
3 years agoon
27 Februari 2022
Oleh: Febriani P. Sumual
Teolog, Penggerak Komunitas Penulis Mapatik
Dodika kini mulai mengalami degradasi karena perkembangan zaman yang semakin modern, yang mengalihkan semua cara hidup dalam bentuk praktis. Padahal jika diulas lebih dalam, dodika ini memiliki nilai teologis dan sosial yang tinggi ketika dikontekstualisasikan dengan kehidupan masa kini. Nilai yang terkandung dalam dodika ini penting untuk digali sebagai wahana dan tumpuan dalam membangun teologi kontekstual di Minahasa.
KEHIDUPAN orang Minahasa berasal dari wale (rumah). Rumah orang Minahasa bukan sekedar tempat berlindung dari ancaman siklus alam yang begitu ekstrem dan juga makhluk yang dapat meniadakan eksistensi penghuni rumah. Ia juga menopang orang Minahasa dalam membentuk warna berpikir dan cara berkepercayaan.
Rumah adalah pusat pendidikan dan kebudayaan bagi orang Minahasa. Satu hal kunci dalam rumah dan menjadi sumber kehidupan adalah dodika (tungku khas Minahasa).
Setiap masyarakat adat sekecil apa pun, tetap memiliki nilai-nilai budaya yang sangat kuat dan mengakar, yang membentuk jati diri mereka (Schreiter, 1996:72). Demikian halnya dengan tou (orang) Minahasa, simbol dan nilai dodika yang terjelma dalam kehidupan, telah membentuk karakter, sifat dan sikap hidup mereka secara turun-temurun. Pandangan hidup berupa kode-kode, pemikiran, moral, etis, yang menginspirasikan orientasi kehidupan orang Minahasa dari generasi ke generasi.
Dodika kini mulai mengalami degradasi karena perkembangan zaman yang semakin modern, yang mengalihkan semua cara hidup dalam bentuk praktis. Padahal jika diulas lebih dalam, dodika ini memiliki nilai teologis dan sosial yang tinggi ketika dikontekstualisasikan dengan kehidupan masa kini. Nilai yang terkandung dalam dodika ini penting untuk digali sebagai wahana dan tumpuan dalam membangun teologi kontekstual di Minahasa.
Dodika: Proses, Makna dan Fungsi
Secara umum, dodika diketahui dan dikaitkan dengan rumah dan dapur. Sebagai tempat masak tradisional Minahasa yang memiliki tiga pilar penjuru dengan produk alam, yakni batu. Dodika merupakan salah satu tradisi leluhur, yang dikenal dan hidup dalam masyarakat Minahasa. Tradisi dodika ini, adalah orang Minahasa, bangun pagi buta, dan pergi ke awu (dapur tempat dodika berada) untuk berusaha menyalakan bara menjadi api. Hal yang harus dipersiapkan dengan teliti, sesekali ditiup dengan perlahan, yang dalam batin sering orang Minahasa berbicara dan mengucap syukur dari dalam hatinya. Prosesi ini, memiliki makna api sebagai semangat hidup, dan setiap bentuk kehidupan harus berlandaskan pada ketetapan dan hati lurus.
Cara tradisi dodika mengajarkan hal tersebut, dengan masih terbawa hingga kini tradisi “mindo api”, “teles api”. Di tradisi ini, seorang yang ada di sebuah rumah, pagi buta meminta bara api dari katana, atau dari awu terdekat (seperti dapur tetangga), untuk dibawa dan digunakan di dodika, awu tersebut. Hal yang paling penuh perjuangan adalah mempertahankan bara yang diminta tadi. Karena bermodalkan tempurung kelapa atau kayu bakar kecil yang muat di tangan. Orang tersebut harus dengan sabar, jangan sampai dalam perjalanan bara itu padam. Filofosi ini mengajarkan setiap manusia berlaku sopan dan penuh kesabaran, dan jangan tergesa-gesa, karena apa yang sementara ia lakukan adalah demi seisi keluarga atau rumah.
Awalnya, makanan yang dikelola di atas dodika merupakan simbol kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia yang telah memberikan berkat, sehingga bisa terus hidup, berkarya dan bekerja. Selain sebagai sumber hidup, dodika merupakan simbol perdamaian, persekutuan, kebersamaan. Kebersamaan dimulai dalam keluarga karena kebersamaan merupakan suatu kekuatan besar yang diperlukan untuk membangun kehidupan sosial, terutama ketika berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Bagi tou Minahasa, dodika tidak sekedar dipamahi sebagai tempat masak, tetapi berfungsi sebagai wadah untuk menghimpun keluarga menikmati makanan dan wadah sakral. Dodika dipahami sebagai tempat menyatukan berbagai pandangan, cara dan sikap hidup. Simbol yang mengingatkan tentang spiritualitas, Tuhan, orang tua, dan anak. Ikatan inilah yang menentukan hakekat sebagai tou Minahasa. Dalam lingkaran tersebut, generasi saat ini bisa memahami ada orang tua, dan orang tua kita memiliki silsilah, dan sadar silsilah itu berasal dari Tuhan. Dodika ini ada dalam ikatan dan mengingatkan juga tentang tiga acuan hidup orang Minahasa, yang disebut sebagai leluhur Karema, Lumimuut, dan Toar. Mulai dari pendidikan, spiritualitas, dan bersosial.
Dodika dilihat sebagai wadah persekutuan sosial, yang mempunyai daya magis dan kekuatan pengikat, pemersatu, kebersamaan, solidaritas, sepenanggungan, persaudaraan dan sama rasa, sebagai simbol yang utuh terhadap kualitas hidup tou Minahasa. Dodika ini menyimbolkan keharmonian, mengingatkan tentang asal usul, tapi juga mengingatkan tentang ikatan keluarga.
Teologi Dodika: Persekutuan Keluarga Allah dan Kebersamaan
Secara umum, keluarga merupakan salah satu lembaga terkecil dalam masyarakat. Namun perlu dipahami sesuatu yang dianggap kecil dapat berdampak besar bagi masyarakat, bahkan bagi dunia ini. Maksudnya, segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, baik atau buruknya, umumnya dimulai dari dalam keluarga. Ada pula yang mengatakan keluarga sebagai persekutuan cinta kasih dari Allah, komunitas pendidikan yang utama dan mendasar, merupakan sarana yang istimewa bagi penerus nilai-nilai budaya, nilai-nilai iman yang membantu seseorang memperoleh identitasnya sendiri. (Maurice, 2001:11).
Pada level institusional, keluarga Allah adalah suatu bentuk persekutuan orang-orang percaya secara partikular (gereja) dan universal umat manusia. Pada level organis, keluarga Allah lebih menunjuk pada relasi antara warga atau antar anggota jemaat satu dengan yang lain.
Gambaran keluarga Allah jika dihubungkan dengan pemaknaan Alkitabiah sebagai anggota tubuh Allah, seperti yang tertuang dalam Efesus 2:19, maka dapat dikatakan dodika ini merupakan bentuk ekspresi tou Minahasa sebagai suatu persekutuan keluarga, yaitu keluarga Allah di mana Allah menjadi kepalanya. Karena itu, untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam keluarga, maka dodika ini digunakan sebagai sarana perekat anggota keluarga yang satu dengan yang lain. Disimbolkan sebagai tempat sukacita, kasih sayang, pemulihan, tempat komunikasi, bergumul, bermazmur, dodika memperlihatkan Allah sebagai kepala keluarga yang mengatur keseluruhan hidup anak-anak-Nya.
Kemudian dalam perkembangannya, dodika menjadi sebuah nilai yang ditransformasi sebagai suatu cara mendidik dan membina anak agar dapat hidup rukun, damai, hidup saling menopang seorang dengan yang lain dalam keadaan apa pun. Simbol dodika yang serupa dengan bentuk ”meja makan”, merupakan tempat alami untuk berbagi, bercakap-cakap dan bersekutu. Bagi tou Minahasa percakapan mendalam, baru akan terjadi pada saat makan di sekitar dodika, dari pada berlangsung dalam rapat atau pertemuan formal. Sebab melalui dodika, persaudaraan diperdalam dan solidaritas ditempa. Serupa dengan teori meja makan Hope Antone.
Sebagai sebuah wadah pendidikan, dodika mengajarkan proses pembaruan hidup ke arah yang lebih bermakna. Proses pembaruan hidup ini sesuai dengan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 28:20 yaitu, “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuprintahkan kepadamu.” Dengan demikian, ada beberapa hal esensi yang memberi makna. Pertama, dodika memberi nuansa keluarga yang hidup bersukacita, yang menjadi basis pembinaan dan tumpuan pergumulan, berkat dan segalanya. Kedua, dodika sebagai ekspresi keluarga yang saling mengampuni, tempat menyelesaikan masalah, memulihkan hubungan yang retak, tetapi sekaligus sebagai tempat memperkuat persekutuan keluarga. Karena jika tersatukan dalam lingkaran dodika, maka yang ada hanya satu pemikiran, bagaimana cara memberikan jamuan lezat dengan nilai kepuasan yang baik bagi keluarga maupun kerabat. Bandingkan dengan pengampunan yang diberikan oleh Tuhan Yesus ketika berada di kayu salib kepada orang-orang yang menyalibkan Dia. Inilah teladan. Sikap mengampuni yang sempurna dan tulus yang sudah sepatutnya dilakukan juga oleh seluruh ciptaan-Nya.
Dodika, juga menjadi lambang kebersamaan dan keutuhan. Persekutuan yang saling menolong, memperlihatkan relasi antar sesama manusia yang hidup sebagai “Si Tou Timou Tumou Tou” (manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain) yang bersifat menerobos, merangkul, menghimpun dalam semangat saling menghargai dan menerima. Sikap ini juga dibarengi dengan kesediaan untuk menerima, mengakui kelebihan dan kelemahan yang ada pada diri sendiri, maupun orang lain, sehingga saling menerima dan memberi untuk melengkapi akan terus terbangun.
Epilog
Bagi tou Minahasa, dodika merupakan suatu wadah atau sarana yang digunakan menghimpun keluarga, makan bersama, mensyukuri berkat Tuhan, dan menikmati rekonsiliasi baik dengan Tuhan maupun sesama. Saat berkumpul dan bersama-sama itu, orang tua menggunakan kesempatan membangun percakapan, mendidik, secara sungguh-sungguh terhadap generasi mereka sehingga kebersamaan yang terjalin semakin kuat dan berkualitas. Kebersamaan membangun persekutuan itu, dimulai dari kerja sama memenuhi kebutuhan makan dan minum, sehingga dapat memberi kekuatan untuk tubuh secara jasmani maupun rohani.
Melalui dodika, persekutuan keluarga menyatu dan menikmati hidup toleransi seorang dengan yang lain, sehingga perbedaan-perbedaan di antara anggota keluarga, digunakan sebagai potensi atau sumber daya untuk saling menopang dan melengkapi satu dengan yang lain.
Dodika menjadi wahana berteologi dalam konsep teologi kontekstual bagi tou Minahasa, khususnya dalam konteks perjumpaan dengan Allah. Karena adanya dodika, sebagai simbolisasi memasak bahan mentah untuk menjadi energi dan juga berdiri sendiri-sendiri menjadi satu harmoni. Maka, secara teologis, dodika membangun kesadaran spiritual masing-masing pribadi dalam kesatuan keluarga. Adanya dodika, ada juga kesadaran, bahwa setiap manusia memiliki keluarga dan Tuhan. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa